area lokalisasi, wilayah itu masih berada di pinggiran kota Jakarta, yang berlokasi dekat
dengan pelabuhan Tanjung Priok di wilayah Jakarta Utara. Wilayah ini diperkirakan
sudah ada pada tahun 1950-an. Ketika itu lokasi praktek pelacur masih bercampur dengan
rumah-rumah penduduk. Di sekitar lokasi Kramat Tunggak juga terdapat beberapa lokasi
pelacuran yang lain seperti Kelurahan Cilincing, Kalibaru, Koja Utara, Pejagalan,
Pademangan, dan Penjaringan.[5]
Pada tahun 1970, waktu Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur, Pemda DKI
Jakarta mulai berupaya untuk menertibkan masalah pelacuran di Kota Jakarta melalui SK
Gubernur No. Ca.7/1/13/70, tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi
Wanita Tuna Susila serta Pembidangan Tugas dan Tanggung Jawab. Surat Keputusan ini
kemudian disusul dengan berbagai kebijakan yang dituangkan dalam SK dan Instruksi
Gubernur, SK Walikota Jakarta Utara, SK Kepala Dinas Sosial dan lain sebagainya.
Upaya yang utama adalah melokalisasikan pelacuran. Dengan Surat Gubernur No.
Ca.7/1/39/71 pejabat-pejabat lokal diinstruksikan untuk menutup dan memindahkan
praktek-praktek pelacuran di wilayah Jakarta Utara ke lokasi Kramat Tunggak. Para
germo dari wilayah yang ditutup diminta segera mendaftarkan diri ke Dinas Sosial Jakarta
Utara untuk memperoleh kapling di Kramat Tunggak, dan para pelacurnya agar segera
mengikuti germo-germo yang telah berada di lokalisasi.
norma, dan moral agama karena merendahkan martabat manusia, apa pun agamanya.
Namun sekeras apapun larangan itu, pelacuran di Indonesia terus berkembang. Secara
resmi, aturan hukum dan perundangan tentang pelacuran di Indonesia sangat
membingungkan. Setiap daerah di Indonesia mempunyai persepsi dan kebijakan
tersendiri mengenai hal ini. Akibatnya, tiap-tiap daerah memperlakukan pelacur dengan
cara yang berbeda.[10]
Ketidakjelasan hukum juga tampak pada peraturan yang berbeda di beberapa kota
di Indonesia. Misalnya, di kabupaten Cilacap, Pemda merevisi Perda tertanggal 1 Oktober
1953 menjadi Perda No. 13 tertanggal 14 Juni 1989 di mana ditegaskan bahwa segala
jenis pelacuran dilarang di Cilacap. Tetapi di sisi lain pemerintah masih membolehkan
pusat resosialisasi dijadikan tempat beroperasi bagi para pelacur.[11]
Di Indonesia, sekarang ini praktek prostitusi sudah sangat memprihatinkan, bukan
saja hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta
akan tetapi telah menyelusup sampai ke daerah-daerah. Di Papua, 11 % wanita penjaja
seks dan 62 % pria pelanggannya telah mengidap penyakit HIVAIDS.[12]
Maraknya praktek prostitusi di Indonesia sangat membahayakan bagi kehidupan
masyarakat. Hal ini membuat masyarakat menjadi resah, sebab korban keganasan
penyakit berbahaya HIVAIDS ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga
para pelajar dan mahasiswa yang usianya masih produktif.[13] Selain itu praktek ini juga
dapat mengganggu ketenangan masyarakat dalam menjalankan kehidupan beragama,
adat-istiadat dan budaya. Apalagi kalau praktek ini dilakukan secara liar dalam
lingkungan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah beserta tokoh masyarakat
dan agama secara maksimal telah berupaya untuk menanggulangi praktek prostitusi
tersebut.
Upaya yang dilakukan pemerintah, untuk merehabilitasi dan memisahkan pelacur
dari masyarakat, misalnya dengan membuat program-program rehabilitasi dan
menempatkan mereka di pusat resosialisasi dan panti. Namun aturan baku untuk hal ini,
sampai sekarang belum ada, sehingga pelacur diperlakukan dengan cara yang berbeda-
beda, sering terjadi satu resosialisasi ditutup di kota A, tetapi resosialisasi lain tetap
dibuka di kota B.
DKI Jakarta berupa pelatihan tata boga, tata busana dan salon kecantikan selama tiga
bulan. Akan tetapi setelah penutupan lokalisasi itu dilakukan, mereka memang kembali ke
tengah-tengah masyarakat, tetapi tetap melakukan perbuatan maksiat secara liar, bahkan
lebih marak lagi di mata masyarakat pada umumnya.[16]
Fenomena serupa juga terjadi di Propinsi Bengkulu, tepatnya di lokalisasi Wanita
Tuna Susila (WTS) Pulau Baai Bengkulu. Lokasi ini terletak di pinggiran pantai wilayah
Kelurahan Kandang RT 11 Pulau Baai Kota Bengkulu yang berjarak 19 kilometer dari
pusat kota dan 3 kilometer dari wilayah kediaman penduduk, serta memiliki lahan tanah
seluas 1,5 hektar dan 30 buah rumah kediaman yang dilengkapi fasilitas bisnis berupa
warung minuman, Wartel dan bar.[17]
Di kalangan masyarakat Kota Bengkulu, lokalisasi PSK ini biasa disebut dengan
istilah Komplek Pulau Baai, lokal atau yang tahu. Disebut Komplek Pulau
Baai karena lokalisasi tersebut terdapat di dekat Pelabuhan Dermaga Pulau Baai Kota
Bengkulu, disebut lokal karena tempatnya terpisah dari pemukiman penduduk, dan
disebut yang tahu karena para sopir angkot yang membawa penumpang ke arah tersebut
menawarkan dengan sebutan yang tahu.[18]
Keunikan dari lokalisasi WTS Pulau Baai ini, yang pertama secara ekonomi
Bengkulu adalah daerah yang baru berkembang dan masih tertinggal dibandingkan
dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Kedua wilayah ini dekat dengan pelabuhan,
sehingga lokasi ini cepat berkembang karena para pelanggannya adalah para Anak Buah
Kapal (ABK) yang sering juga bermalam di tempat itu.[19]Mereka (ABK) biasanya
bercerita dengan kenalan-kenalan mereka yang ada di tempat yang mereka singgahi,
sehingga informasi adanya lokalisasi ini cepat menyebar, dan akhirnya para pelanggan
dari daerah lain pun berdatangan, selain itu WTS yang sudah beroperasi di daerah lain
melihat adanya peluang baru untuk beroperasi di tempat ini, dan akhirnya mereka pun
datang dan menetap di lokalisasi tersebut.
Mengenai sejarah Lokalisasi WTS Pulau Baai Kota Bengkulu ini, belum
mendapat perhatian dari sejarawan dan peneliti sejarah umumnya. Belum ada kajian dan
karya yang membahas tentang sejarah Lokalisasi WTS itu secara kritis. Sejauh ini
memang sudah banyak tulisan yang mengupas tentang dunia pelacuran, namun penulis
masih melihat adanya celah untuk melakukan penelitian tentang sejarah lokalisasi WTS
Pulau Baai Bengkulu, yaitu tentang perkembangannya dari suatu perkampungan nelayan
pada tahun 1988 sampai dengan ditutup pada tahun 2002, serta bagaimana keadaan WTS,
mucikari dan germo pasca penutupan Lokalisasi WTS itu, dalam sebuah karya yang
berjudul : Lokalisasi Wanita Tuna Susila (WTS) Pulau Baai Bengkulu: Suatu Tinjauan
Historis.
2. Bagaimana keberadaan WTS dan mucikari/germo pasca penutupan lokalisasi Pulau Baai Bengkulu ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Menambah dan memperkaya pengetahuan penulis tentang Lokalisasi WTS Pulau Baai Bengkulu dan
kaitannya dengan praktek prostitusi liar yang masih berkembang di lingkungan Kota Bengkulu.
2. Memberi sumbangan pada khasanah ilmu sosial, terutama mengenai Sejarah Sosial dan sebagai
bahan bacaan dalam bentuk sumbangan historis, pengetahuan dan informasi yang diperlukan dalam
penelitian selanjutnya.
3. sebagai masukan bagi PEMDA dan masyarakat Kota Bengkulu, berkaitan dengan maraknya praktek
prostitusi secara liar setelah penutupan Lokalisasi PSK Pulau Baai Bengkulu.
D. Tinjauan Pustaka
Prostitusi berasal dari bahasa latin prostituere yang berarti usaha menyerahkan
diri untuk maksud hubungan seks secara terang-terangan dengan mendapat imbalan jasa.
Dalam Bahasa Indonesia ada beberapa istilah yang dipakai, seperti pelacuran dan tuna
susila.[20] Menurut Ali Akbar, prostitusi adalah suatu perbutan zina, karena perbuatan itu
diluar perkawinan yang sah. Secara umum definisi prostitusi itu ditekankan pada
hubungan laki-laki dan perempuan dalam hal pemuasan seks, dari perbuatan itu pihak
perempuan menerima bayaran, baik ditentukan sebelumnya atau tidak. Dengan adanya
kemauan atau kesanggupan dari pihak laki-laki untuk membayar atas tindakan itu,
menimbulkan suatu rangsangan bagi mereka yang mencari uang dengan mudah.[21]
Untuk menyebut wanita penjaja seks, sangat banyak istilah yang digunakan
misalnya pelacur, lonte, ayam, PSK, WTS, Whore, Prostitute, bitch dan lain sebagainya,
dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah WTS. Karena masyarakat kota
Bengkulu lebih mengenal lokalisasi Pulau Baai dengan sebutan komplek WTS, selain itu
pemerintah juga menyebut lokalisasi ini dengan sebutan lokalisasi WTS.[22]
WTS dapat diartikan sebagai suatu bentuk dari perhubungan kelamin di luar
pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada tujuan secara terbuka dan selalu dengan
pembayaran, baik itu untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya dan memberikan
kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan. Pendapat lain mengatakan, WTS
adalah menyerahkan diri secara badaniyah seorang wanita untuk pemuasan laki-laki siapa
pun yng menginginkannya dengan pembayaran.[23]
Sedangkan lokalisasi berasal dari kata lokal yang berarti setempat atau tempat.
Jadi lokalisasi adalah pembatasan pada suatu tempat atau lingkungan. Dengan demikian
Lokalisasi WTS adalah pembatasan tempat atau lingkungan dimana para WTS beserta
para germo dan mucikari berdomisili dan melakukan praktek prostitusi.[24]
Di dalam lokalisasi atau komplek prostitusi, para WTS dijadikan sutau masyarakat
tersendiri dengan subkultur yang khas. Dari luar, kelihatannya komplek atau lokalisasi
prostitusi merupakan tempat atau daerah penampungan para WTS, yang letaknya jauh
dari keramaian pusat kota, agar pengaruh asusila yang ditimbulkan kegiatan tersebut tidak
mengganggu masyarakat umum. Juga untuk menghilangkan praktek prostitusi di jalanan
dan menghapuskan bordir-bordir liar yang ada di sela-sela rumah penduduk. Dengan
dilokalisasikan diharapkan tidak menyolok mata, selain itu juga dimaksudkan untuk
memudahkan pengontrolan kesehatan para WTS secara periodik, serta memudahkan
usaha resosialisasi dan rehabilitasi. Sejalan dengan tujuan pokok melokalisasikan tempat
penampungan WTS ini, biasanya daerah yang dipilih berada di pinggiran kota.[25]
Sedangkan motif yang melatarbelakangi timbulnya pelacuran, menurut Dra.
Kartini Kartono, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Adanya nafsu-nafsu seks yang abnormal atau tidak terkendali dalam kepribadian,
sehingga tidak merasa puas melakukan hubungan seks dengan satu orang saja.
2. Adanya kecenderungan melacurkan diri karena merupakan kesenangan dan
menghindari diri dari tanggung jawab hidup berkeluarga.
3. Anak-anak remaja memberontak terhadap para orang tua yang otoriter dan juga
memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu
mengekang dirinya.
4. Karen bujuk rayu kaum laki-laki hidung belang yang menjanjikan pekerjaan-
pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi. Misalnya menjadi bintang film, menjadi
model, pelayan toko, pragawati dan lain-lain. Namun pada akhirnya gadis-gadis
tersebut dijebloskan ke dalam bordil-bordil dan rumah-rumah pelacuran.
5. Banyaknya perangsang seks bagi remaja atau bagi orang yang belum nikah, seperti
film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan-bacaan cabul dan lain-lain.
6. Karena faktor ekonomi dan adanya ambisi-smbisi besar pada diri wanita untuk
mendapatkan status sosial yang tinggi dengan jalan mudah tanpa kerja keras dan tanpa
skill atau keterampilan khusus.
7. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius seperti morfin,
ganja, minuman dengan kadar alkohol tinggi dan lain-lain, yang menjadi pelacur
untuk mendapatkan barang-barang tersebut.
8. Karena pengalaman-pengalaman yang menyakitkan hati, misalnya gagal dalam
perkawinan, gagal dalam percintaan, perkawinan dimadu atau perkawinan tertipu.
9. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh suami, misalnya
karena suami lemah, lama menderita sakit, atau suami mempunyai banyak isteri. Dan
juga sebaliknya, ada suami yang tidak puas terhadap istrinya.
10. Karena hancurnya kerukunan dalam rumah tangga, seperti ayah atau ibu lari atau
kawin lagi, hingga anak-anak kurang diperhatikan dan merasa tertekan batinnya, tidak
bahagia, memberontak dan akhirnya terjun ke dunia pelacuran.[26]
Selanjutnya, mengenai penelitian yang membahas dunia pelacuran diantaranya
Tjahyo Purnomo dan Ashadi Siregar (penyunting) pada tahun 1983, dalam karyanya yang
berjudul Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran
Dolly. Dalam tulisan ini mereka meninjau dari segi faktor penyebab para WTS melakukan
kegiatan pelacuran. Mereka menyatakan bahwa sebagian besar WTS yang ada di Dolly
terjun dalam bisnis ini, disebabkan oleh faktor ekonomi. Mereka juga menyatakan bahwa
lokalisasi dapat memicu pertumbuhan kota baru. Selanjutnya Uwiyono (1992), dalam
bukunya yang berjudul Aspek Hukum dalam Tetap Bertahannya Praktek Lokalisasi
Pelacuran di DKI Jakarta.Uwiyono meninjau dunia pelacuran dari segi hukum,
menurutnya praktek prostitusi bisa bertahan, karena mendapat perlindungan dari aparat
keamanan. Tulisan serupa juga pernah ditulis oleh Wahyudin (2002), dengan
judul Mampir Mas, Spiritualisasi dan Dunia Bathin Perempuan Pelacur. Wahyudin
meninjau dari segi PSK itu sendiri, ia menyatakan bahwa dalam menajalankan
pekerjaannya, sebagian besar WTS mengalami konflik dalam jiwanya. Yang lain adalah
sebuah Tesis yang ditulis oleh Samsudin (2001), yang diberi judul Perilaku Seksual
Remaja, Sebuah Penelitian terhadap Remaja Kota Bengkulu. Di sini Samsudin meninjau
dari segi cara atau gaya pacaran remaja di Kota Bengkulu. Ia menyatakan bahwa, dewasa
ini perilaku seks secara bebas di kalangan remaja Kota Bengkulu sudah sangat banyak
terjadi. Dari beberapa tulisan di atas, penulis masih melihat adanya celah untuk
melakukan penelitian tentang sejarah lokalisasi WTS Pulau Baai Bengkulu, yaitu tentang
perkembangannya dari suatu perkampungan nelayan pada tahun 1988 sampai dengan
ditutup pada tahun 2002, serta bagaimana keberadaan WTS dan mucikari/germo pasca
penutupan Lokalisasi WTS Pulau Baai Bengkulu.
Kritik sumber, yaitu penyeleksian data yang dikumpulkan untuk melihat tingkat keaslian/autensitas
data (kritik ekstertnal) dan menguji informasi yang terdapat dalam sumber (kritik internal). Kritik ini berlaku
untuk kedua jenis sumber. Meskipun hanya ada sedikit perbedaan dalam waktu dan penerapannya. Kritik
eksternal pada sumber lisan sebenarnya sudah dimulai semenjak penetapan informan. Sementara kritik
ekstern pada sumber tertulis dilakukan setelah semua data terkumpul, tujuannya untuk menguji keaslian
sumber. Dengan prosedur pemeriksaan kertas, tinta, ruangan atau celah kosong dan juga kategori sumber.
Sumber pertama atau telah mengalami penggandaan, bila telah diyakini keaslian sumber baru dilanjutkan
dengan menguji kebenaran isinya. Untuk melakukan ini akan ditempuh cara komparasi sumber, ejaan dan
juga logika uraian.
Analisis, sintesis dan interpretasi, yaitu pemilahan sumber sejarah untuk menemukan butir-butir
informasi yang sesungguhnya. Dalam hal ini telah dilakukan pengelompokan sumber berdasarkan objek
yang diteliti, seperti menurut penuturan WTS, germo dan mucikari atau menurut tanggapan masyarakat,
aparat pemerintahan dan lain-lain. Setelah melalui tahap analisis dilanjutkan dengan sintesis, yaitu
merangkai atau menghubungkan fakta dari informasi yang akan melibatkan interpretasi guna
merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang ditulis. Historiografi atau penulisan, yaitu pernyataan-pernyataan
akhir yang kemudian dipaparkan dalam sebuah tulisan tentang Sejarah lokalisasi WTS Pulau Baai
Bengkulu.
jumlah informan sebanyak 22 orang (dapat dilihat pada lampiran), yang terdiri dari PSK 4 orang, pelanggan
2 orang, mucikari 4 orang, pedagang 2 orang, sopir angkot 2 orang, tukang ojek 2 orang, selebihnya adalah
pemuka masyarakat seperti Ketua RT, Lurah dan anggota Tim Penutupan Lokalisasi
Pulau Baai sebanyak 6 orang. Indikator yang digunakan misalnya kedekatannya dengan kegiatan prostitusi,
kemudian usianya haruslah mereka yang tidak pikun atau memiliki gangguan jiwa, tujuannya untuk
menghindari informasi yang palsu atau tidak benar