Anda di halaman 1dari 9

A.

Latar Belakang Masalah


Tidak ada yang bisa menentukan secara pasti, sejak kapan pelacuran (prostitusi)
ada di tengah masyarakat. Karena prostitusi sebagai suatu bentuk penyaluran syahwat
laki-laki kepada beberapa perempuan, sebenarnya sudah terjadi sejak diturunkannya
manusia di muka bumi ini. Dimulai dari kisah keluarga Nabi Adam A.S. dimana konflik
antara Habil dan Qobil berawal dari perempuan, Nabi Adam diturunkan dari surga ke
dunia juga karena Siti Hawa yang perempuan.[1] Di Indonesia, pelacuran telah terjadi
sejak zaman kerajaan Majapahit. Salah satu bukti yang bisa dijadikan pedoman adalah
penuturan kisah-kisah perselingkuhan dalam kitab Mahabarata. Pada zaman kerajaan
Mataram pelacuran semakin meningkat. Label daerah plesiran yang disandangkan
pada Wonogiri dan Wonosari dapat dijadikan sebagai bukti. Pelacuran di Indonesia
semakin berkembang di zaman kolonial. Ingleson (1986) menyebutkan bahwa pelacuran
meningkat dengan cepat pada abad ke-19 sebagai akibat dari meningkatnya permintaan
pelayanan seks. Pada tahun 1900-an, penyakit menular merembet dengan cepat. Tahun
1913, peraturan baru diterapkan pada mucikari dan agen-agen. Misset memperkirakan
bahwa
jumlah pelacur di Jakarta pada tahun 1917 sekitar 3.000 sampai 4.000 orang.[2]
Pada zaman penjajahan Jepang (1941 1945), jumlah dan kasus pelacuran
semakin meningkat. Banyak remaja dan anak sekolah ditipu dan dipaksa menjadi pelacur
untuk melayani tentara Jepang. Pelacuran juga berkembang di luar Jawa dan Sumatera.
Hal ini terbukti dengan adanya pernyataan dari dua bekas tentara Jepang yang
melaporkan bahwa pada tahun 1942 di Sulawesi Selatan terdapat setidaknya 29 rumah
bordil yang dihuni oleh lebih dari 280 orang pelacur (111 orang dari Toraja, 67 orang dari
Jawa dan 7 orang dari Mandar). Menurut etnisitasnya, mereka adalah orang Jawa, Bugis,
Cina, dan daerah lain.[3]
Selanjutnya sampai saat ini bagi laki-laki yang kaya dan menginginkan
berhubungan seksual dengan perempuan selain isterinya tetapi tidak mau pergi ke
lokalisasi, maka mereka memiliki isteri simpanan, atau teman perempuan yang bisa
diajak kencan yang disebut Wanita Idaman Lain (WIL). Namun sebagian besar laki-laki
masih banyak yang memilih pergi ke lokalisasi dengan pertimbangan, kalau butuh daging
mengapa harus beli kambingnya.[4]
Salah satu lokalisasi yang sangat terkenal di Indonesia adalah Lokalisasi Kramat
Tunggak Jakarta. Pertama kali wilayah ini ditunjuk sebagai

area lokalisasi, wilayah itu masih berada di pinggiran kota Jakarta, yang berlokasi dekat
dengan pelabuhan Tanjung Priok di wilayah Jakarta Utara. Wilayah ini diperkirakan
sudah ada pada tahun 1950-an. Ketika itu lokasi praktek pelacur masih bercampur dengan
rumah-rumah penduduk. Di sekitar lokasi Kramat Tunggak juga terdapat beberapa lokasi
pelacuran yang lain seperti Kelurahan Cilincing, Kalibaru, Koja Utara, Pejagalan,
Pademangan, dan Penjaringan.[5]
Pada tahun 1970, waktu Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur, Pemda DKI
Jakarta mulai berupaya untuk menertibkan masalah pelacuran di Kota Jakarta melalui SK
Gubernur No. Ca.7/1/13/70, tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi
Wanita Tuna Susila serta Pembidangan Tugas dan Tanggung Jawab. Surat Keputusan ini
kemudian disusul dengan berbagai kebijakan yang dituangkan dalam SK dan Instruksi
Gubernur, SK Walikota Jakarta Utara, SK Kepala Dinas Sosial dan lain sebagainya.
Upaya yang utama adalah melokalisasikan pelacuran. Dengan Surat Gubernur No.
Ca.7/1/39/71 pejabat-pejabat lokal diinstruksikan untuk menutup dan memindahkan
praktek-praktek pelacuran di wilayah Jakarta Utara ke lokasi Kramat Tunggak. Para
germo dari wilayah yang ditutup diminta segera mendaftarkan diri ke Dinas Sosial Jakarta
Utara untuk memperoleh kapling di Kramat Tunggak, dan para pelacurnya agar segera
mengikuti germo-germo yang telah berada di lokalisasi.

Dengan semakin meluasnya daerah Metropolitan, Kramat Tunggak akhirnya


berada di tengah kota. Kramat Tunggak terletak di Jalan Kramat Jaya, Kelurahan Tugu,
Kecamatan Koja. Lokalisasi ini terdiri dari 8 RT, yang kemudian diberi nama resmi
Kelompok Teratai 1 sampai 8. Di wilayah ini juga tersedia sekolah, klinik-klinik
pengobatan, bioskop, pasar, toko-toko, mesjid bahkan sebuah toserba yang cukup besar.
Luas keseluruhan wilayah Kramat Tunggak sekitar 11,5 hektar, dengan dua pintu gerbang
utama, ditambah dengan sebuah pintu tidak resmi yang berada di belakang kompleks.[6]
Selain Kramat Tunggak, di Surabaya terdapat sebuah lokalisasi yang tak kalah
besarnya, yaitu kompleks pelacuran Dolly yang berada di kawasan Kelurahan Putat Jaya,
Kecamatan Sawahan, Kotamadya Surabaya. Tepatnya kompleks ini berada di Jalan
Kupang Gunung Timur I. Dari pusat kota Surabaya, kompleks Dolly dapat dicapai dalam
waktu kurang lebih 10 menit dengan kendaraan bermotor, jaraknya kira-kira 1,5 Km.[7]
Sebelum menjadi lokalisasi daerah ini dulunya merupakan makam Cina. Baru
sekitar tahun 1966 mulai banyak pendatang baru yang datang untuk membongkar
makam-makam tersebut. Pembongkaran makam ini berdasarkan atas pernyataan
pemerintah daerah, yang menyatakan bahwa makam Cina itu tertutup bagi jenazah baru,
dan kerangka lama harus dipindahkan oleh para ahli warisnya. Kemudian berdatangan
orang-orang yang ingin mendapatkan tanah bekas makam. Dengan cara membongkar
bangunan makam, menggali kerangka yang ada, atau hanya meratakan gundukan makan
tanpa menggali kerangka yang ada di dalamnya, kemudian

menyatakan diri sebagai pemilik tanah tersebut.[8]


Pada tahun 1967 muncul seorang pendatang baru yang bernama Dolly Khavit,
seorang wanita yang konon dulunya juga seorang pelacur, yang kemudian menikah
dengan seorang pelaut Belanda. Dialah orang pertama yang mendirikan bordil di sana. Ia
memiliki 4 bordil/wisma yang dikenal dengan nama Wisma T, Sul, NM, dan
MR, tiga diantaranya disewakan kepada orang lain. Karena ia dianggap sebagai cikal
bakal kompleks pelacuran di Kupang Gunung Timur I, namanya diabadikan untuk
kompleks pelacuran itu. Mengenai izin pendirian bordil-bordil ini, hanya diperoleh dari
kepolisisn dengan menyebutkan izin untuk warung kopi yang dilayani oleh perempuan,
karena itu lurah Putat Jaya menolak sebutan lokalisasi pelacuran, sebab Surat Keputusan
Walikotamadia yang menyatakan daerah itu sebagai lokalisasi pelacuran hingga kini
belum ada.[9]
Secara hukum, pelacuran di Indonesia sangat dilarang, karena pelacuran
bertentangan dengan sumber hukum di Indonesia, yakni Pancasila terutama sila pertama
dan kedua. Sehubungan dengan hal ini, Dinas Sosial RI (1984) telah menetapkan bahwa
pelacuran bertentangan dengan nilai sosial,

norma, dan moral agama karena merendahkan martabat manusia, apa pun agamanya.
Namun sekeras apapun larangan itu, pelacuran di Indonesia terus berkembang. Secara
resmi, aturan hukum dan perundangan tentang pelacuran di Indonesia sangat
membingungkan. Setiap daerah di Indonesia mempunyai persepsi dan kebijakan
tersendiri mengenai hal ini. Akibatnya, tiap-tiap daerah memperlakukan pelacur dengan
cara yang berbeda.[10]
Ketidakjelasan hukum juga tampak pada peraturan yang berbeda di beberapa kota
di Indonesia. Misalnya, di kabupaten Cilacap, Pemda merevisi Perda tertanggal 1 Oktober
1953 menjadi Perda No. 13 tertanggal 14 Juni 1989 di mana ditegaskan bahwa segala
jenis pelacuran dilarang di Cilacap. Tetapi di sisi lain pemerintah masih membolehkan
pusat resosialisasi dijadikan tempat beroperasi bagi para pelacur.[11]
Di Indonesia, sekarang ini praktek prostitusi sudah sangat memprihatinkan, bukan
saja hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta
akan tetapi telah menyelusup sampai ke daerah-daerah. Di Papua, 11 % wanita penjaja
seks dan 62 % pria pelanggannya telah mengidap penyakit HIVAIDS.[12]
Maraknya praktek prostitusi di Indonesia sangat membahayakan bagi kehidupan
masyarakat. Hal ini membuat masyarakat menjadi resah, sebab korban keganasan
penyakit berbahaya HIVAIDS ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga
para pelajar dan mahasiswa yang usianya masih produktif.[13] Selain itu praktek ini juga
dapat mengganggu ketenangan masyarakat dalam menjalankan kehidupan beragama,
adat-istiadat dan budaya. Apalagi kalau praktek ini dilakukan secara liar dalam
lingkungan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah beserta tokoh masyarakat
dan agama secara maksimal telah berupaya untuk menanggulangi praktek prostitusi
tersebut.
Upaya yang dilakukan pemerintah, untuk merehabilitasi dan memisahkan pelacur
dari masyarakat, misalnya dengan membuat program-program rehabilitasi dan
menempatkan mereka di pusat resosialisasi dan panti. Namun aturan baku untuk hal ini,
sampai sekarang belum ada, sehingga pelacur diperlakukan dengan cara yang berbeda-
beda, sering terjadi satu resosialisasi ditutup di kota A, tetapi resosialisasi lain tetap
dibuka di kota B.

Selain itu untuk mengantisipasi kegiatan pelacuran aparat pemerintah juga


mengadakan razia dan mengadakan penyuluhan-penyuluhan, baik oleh tokoh agama mau
pun tokoh masyarakat. Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang tentang larangan
dan ancaman selama-lamanya 1 (satu) tahun kurungan bagi praktek germo dan mucikari,
yang masing-masing diatur dalam pasal 296 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Tetapi sampai saat ini belum ada Undang-Undang yang secara khusus
mengatur tentang praktek prostitusi itu sendiri, sehingga sulit bagi pemerintah untuk
mencegah apalagi memberantas praktek prostitusi tersebut.

Di era Orde Lama, pemerintah membuat kebijakan untuk melegalisasi lokalisasi


sebagai tempat praktek resmi penjaja seks. Kebijakan ini secara tidak langsung mengakui
eksistensi para perempuan penjaja seks, akan tetapi kebijakan ini dibuat dalam rangka
kampanye disiplin dan pengendalian sosial.[14] Sedangkan pada masa Orde Baru
berkuasa, unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) yang terdiri dari unsur pejabat
Pemda, Jaksa, Kepala Kepolisian dan Komandan Militer ikut mengendalikan dan
mengatur secara resmi komplek prostitusi dan rumah bordil, bahkan unsur Muspida DKI
Jakarta tidak hanya mengatur, tetapi juga berpatisipasi dalam mengelola praktek prostitusi
di kawasan Kramat Tunggak Jakarta. Hal ini ditandai oleh adanya keharusan pembaruan
izin operasi setiap 4 tahun oleh pengelola langsung lokasisasi kepada pihak Pemda
setempat.[15]
Kebijakan tersebut dipandang oleh masyarakat bahwa pemerintah melegalkan
perbuatan amoral dan perbuatan dosa, sehingga masyarakat mendesak pemerintah agar
membubarkan lokalisasi sebagai tempat praktek perbuatan amoral itu. Sebagai contoh
adalah kasus penutupan lokalisasi Kramat Tunggak oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun
1999, setelah 30 tahun beroperasi. Setelah mengetuk palu penutupan di atas mimbar,
Sutiyoso (Gubernur DKI Jakarta) menghimbau para Pekerja Seks Komesil untuk kembali
ke tengah-tengah masyarakat dan menjalani pekerjaan yang terhormat. Apalagi mereka
sudah mendapatkan bekal keterampilan dari Pemda

DKI Jakarta berupa pelatihan tata boga, tata busana dan salon kecantikan selama tiga
bulan. Akan tetapi setelah penutupan lokalisasi itu dilakukan, mereka memang kembali ke
tengah-tengah masyarakat, tetapi tetap melakukan perbuatan maksiat secara liar, bahkan
lebih marak lagi di mata masyarakat pada umumnya.[16]
Fenomena serupa juga terjadi di Propinsi Bengkulu, tepatnya di lokalisasi Wanita
Tuna Susila (WTS) Pulau Baai Bengkulu. Lokasi ini terletak di pinggiran pantai wilayah
Kelurahan Kandang RT 11 Pulau Baai Kota Bengkulu yang berjarak 19 kilometer dari
pusat kota dan 3 kilometer dari wilayah kediaman penduduk, serta memiliki lahan tanah
seluas 1,5 hektar dan 30 buah rumah kediaman yang dilengkapi fasilitas bisnis berupa
warung minuman, Wartel dan bar.[17]
Di kalangan masyarakat Kota Bengkulu, lokalisasi PSK ini biasa disebut dengan
istilah Komplek Pulau Baai, lokal atau yang tahu. Disebut Komplek Pulau
Baai karena lokalisasi tersebut terdapat di dekat Pelabuhan Dermaga Pulau Baai Kota
Bengkulu, disebut lokal karena tempatnya terpisah dari pemukiman penduduk, dan
disebut yang tahu karena para sopir angkot yang membawa penumpang ke arah tersebut
menawarkan dengan sebutan yang tahu.[18]
Keunikan dari lokalisasi WTS Pulau Baai ini, yang pertama secara ekonomi
Bengkulu adalah daerah yang baru berkembang dan masih tertinggal dibandingkan
dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Kedua wilayah ini dekat dengan pelabuhan,
sehingga lokasi ini cepat berkembang karena para pelanggannya adalah para Anak Buah
Kapal (ABK) yang sering juga bermalam di tempat itu.[19]Mereka (ABK) biasanya
bercerita dengan kenalan-kenalan mereka yang ada di tempat yang mereka singgahi,
sehingga informasi adanya lokalisasi ini cepat menyebar, dan akhirnya para pelanggan
dari daerah lain pun berdatangan, selain itu WTS yang sudah beroperasi di daerah lain
melihat adanya peluang baru untuk beroperasi di tempat ini, dan akhirnya mereka pun
datang dan menetap di lokalisasi tersebut.
Mengenai sejarah Lokalisasi WTS Pulau Baai Kota Bengkulu ini, belum
mendapat perhatian dari sejarawan dan peneliti sejarah umumnya. Belum ada kajian dan
karya yang membahas tentang sejarah Lokalisasi WTS itu secara kritis. Sejauh ini
memang sudah banyak tulisan yang mengupas tentang dunia pelacuran, namun penulis
masih melihat adanya celah untuk melakukan penelitian tentang sejarah lokalisasi WTS
Pulau Baai Bengkulu, yaitu tentang perkembangannya dari suatu perkampungan nelayan
pada tahun 1988 sampai dengan ditutup pada tahun 2002, serta bagaimana keadaan WTS,
mucikari dan germo pasca penutupan Lokalisasi WTS itu, dalam sebuah karya yang
berjudul : Lokalisasi Wanita Tuna Susila (WTS) Pulau Baai Bengkulu: Suatu Tinjauan
Historis.

B. Rumusan dan Batasan Masalah


Batasan spatial penelitian ini adalah Kotamadia Bengkulu khususnya RT 11 / RW
03, Kelurahan Kandang, Kecamatan Selebar. Sedangkan batasan temporalnya adalah
tahun 1991 sampai dengan tahun 2004. Batasan ini diambil karena pada tahun 1991
kegiatan prostitusi pertama kali dimulai di wilayah Pulau Baai. Tahun 2004 diambil
sebagai batas penelitian ini karena para WTS masih tetap melakukan perbuatan maksiat
tersebut secara liar di tengah-tengah masyarakat, walaupun pada tahun 2002 lokalisasi ini
sudah ditutup oleh pemerintah, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bengkulu No. 60
tahun 2002.
Untuk memperjelas pokok permasalahan yang akan dibahas maka ruang lingkup permasalahan dibatasi dalam
rumusan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan lokalisasi WTS Pulau Baai Bengkulu ?

2. Bagaimana keberadaan WTS dan mucikari/germo pasca penutupan lokalisasi Pulau Baai Bengkulu ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan perkembangan lokalisasi WTS Pulau Baai Bengkulu.


2. Menjelaskan keberadaan WTS dan mucikari/germo pasca penutupan lokalisasi Pulau
Baai Bengkulu.
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menambah dan memperkaya pengetahuan penulis tentang Lokalisasi WTS Pulau Baai Bengkulu dan

kaitannya dengan praktek prostitusi liar yang masih berkembang di lingkungan Kota Bengkulu.

2. Memberi sumbangan pada khasanah ilmu sosial, terutama mengenai Sejarah Sosial dan sebagai

bahan bacaan dalam bentuk sumbangan historis, pengetahuan dan informasi yang diperlukan dalam

penelitian selanjutnya.

3. sebagai masukan bagi PEMDA dan masyarakat Kota Bengkulu, berkaitan dengan maraknya praktek

prostitusi secara liar setelah penutupan Lokalisasi PSK Pulau Baai Bengkulu.
D. Tinjauan Pustaka
Prostitusi berasal dari bahasa latin prostituere yang berarti usaha menyerahkan
diri untuk maksud hubungan seks secara terang-terangan dengan mendapat imbalan jasa.
Dalam Bahasa Indonesia ada beberapa istilah yang dipakai, seperti pelacuran dan tuna
susila.[20] Menurut Ali Akbar, prostitusi adalah suatu perbutan zina, karena perbuatan itu
diluar perkawinan yang sah. Secara umum definisi prostitusi itu ditekankan pada
hubungan laki-laki dan perempuan dalam hal pemuasan seks, dari perbuatan itu pihak
perempuan menerima bayaran, baik ditentukan sebelumnya atau tidak. Dengan adanya
kemauan atau kesanggupan dari pihak laki-laki untuk membayar atas tindakan itu,
menimbulkan suatu rangsangan bagi mereka yang mencari uang dengan mudah.[21]
Untuk menyebut wanita penjaja seks, sangat banyak istilah yang digunakan
misalnya pelacur, lonte, ayam, PSK, WTS, Whore, Prostitute, bitch dan lain sebagainya,
dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah WTS. Karena masyarakat kota
Bengkulu lebih mengenal lokalisasi Pulau Baai dengan sebutan komplek WTS, selain itu
pemerintah juga menyebut lokalisasi ini dengan sebutan lokalisasi WTS.[22]
WTS dapat diartikan sebagai suatu bentuk dari perhubungan kelamin di luar
pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada tujuan secara terbuka dan selalu dengan
pembayaran, baik itu untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya dan memberikan
kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan. Pendapat lain mengatakan, WTS
adalah menyerahkan diri secara badaniyah seorang wanita untuk pemuasan laki-laki siapa
pun yng menginginkannya dengan pembayaran.[23]
Sedangkan lokalisasi berasal dari kata lokal yang berarti setempat atau tempat.
Jadi lokalisasi adalah pembatasan pada suatu tempat atau lingkungan. Dengan demikian
Lokalisasi WTS adalah pembatasan tempat atau lingkungan dimana para WTS beserta
para germo dan mucikari berdomisili dan melakukan praktek prostitusi.[24]
Di dalam lokalisasi atau komplek prostitusi, para WTS dijadikan sutau masyarakat
tersendiri dengan subkultur yang khas. Dari luar, kelihatannya komplek atau lokalisasi
prostitusi merupakan tempat atau daerah penampungan para WTS, yang letaknya jauh
dari keramaian pusat kota, agar pengaruh asusila yang ditimbulkan kegiatan tersebut tidak
mengganggu masyarakat umum. Juga untuk menghilangkan praktek prostitusi di jalanan
dan menghapuskan bordir-bordir liar yang ada di sela-sela rumah penduduk. Dengan
dilokalisasikan diharapkan tidak menyolok mata, selain itu juga dimaksudkan untuk
memudahkan pengontrolan kesehatan para WTS secara periodik, serta memudahkan
usaha resosialisasi dan rehabilitasi. Sejalan dengan tujuan pokok melokalisasikan tempat
penampungan WTS ini, biasanya daerah yang dipilih berada di pinggiran kota.[25]
Sedangkan motif yang melatarbelakangi timbulnya pelacuran, menurut Dra.
Kartini Kartono, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Adanya nafsu-nafsu seks yang abnormal atau tidak terkendali dalam kepribadian,
sehingga tidak merasa puas melakukan hubungan seks dengan satu orang saja.
2. Adanya kecenderungan melacurkan diri karena merupakan kesenangan dan
menghindari diri dari tanggung jawab hidup berkeluarga.
3. Anak-anak remaja memberontak terhadap para orang tua yang otoriter dan juga
memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu
mengekang dirinya.
4. Karen bujuk rayu kaum laki-laki hidung belang yang menjanjikan pekerjaan-
pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi. Misalnya menjadi bintang film, menjadi
model, pelayan toko, pragawati dan lain-lain. Namun pada akhirnya gadis-gadis
tersebut dijebloskan ke dalam bordil-bordil dan rumah-rumah pelacuran.
5. Banyaknya perangsang seks bagi remaja atau bagi orang yang belum nikah, seperti
film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan-bacaan cabul dan lain-lain.
6. Karena faktor ekonomi dan adanya ambisi-smbisi besar pada diri wanita untuk
mendapatkan status sosial yang tinggi dengan jalan mudah tanpa kerja keras dan tanpa
skill atau keterampilan khusus.
7. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius seperti morfin,
ganja, minuman dengan kadar alkohol tinggi dan lain-lain, yang menjadi pelacur
untuk mendapatkan barang-barang tersebut.
8. Karena pengalaman-pengalaman yang menyakitkan hati, misalnya gagal dalam
perkawinan, gagal dalam percintaan, perkawinan dimadu atau perkawinan tertipu.
9. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh suami, misalnya
karena suami lemah, lama menderita sakit, atau suami mempunyai banyak isteri. Dan
juga sebaliknya, ada suami yang tidak puas terhadap istrinya.
10. Karena hancurnya kerukunan dalam rumah tangga, seperti ayah atau ibu lari atau
kawin lagi, hingga anak-anak kurang diperhatikan dan merasa tertekan batinnya, tidak
bahagia, memberontak dan akhirnya terjun ke dunia pelacuran.[26]
Selanjutnya, mengenai penelitian yang membahas dunia pelacuran diantaranya
Tjahyo Purnomo dan Ashadi Siregar (penyunting) pada tahun 1983, dalam karyanya yang
berjudul Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran
Dolly. Dalam tulisan ini mereka meninjau dari segi faktor penyebab para WTS melakukan
kegiatan pelacuran. Mereka menyatakan bahwa sebagian besar WTS yang ada di Dolly
terjun dalam bisnis ini, disebabkan oleh faktor ekonomi. Mereka juga menyatakan bahwa
lokalisasi dapat memicu pertumbuhan kota baru. Selanjutnya Uwiyono (1992), dalam
bukunya yang berjudul Aspek Hukum dalam Tetap Bertahannya Praktek Lokalisasi
Pelacuran di DKI Jakarta.Uwiyono meninjau dunia pelacuran dari segi hukum,
menurutnya praktek prostitusi bisa bertahan, karena mendapat perlindungan dari aparat
keamanan. Tulisan serupa juga pernah ditulis oleh Wahyudin (2002), dengan
judul Mampir Mas, Spiritualisasi dan Dunia Bathin Perempuan Pelacur. Wahyudin
meninjau dari segi PSK itu sendiri, ia menyatakan bahwa dalam menajalankan
pekerjaannya, sebagian besar WTS mengalami konflik dalam jiwanya. Yang lain adalah
sebuah Tesis yang ditulis oleh Samsudin (2001), yang diberi judul Perilaku Seksual
Remaja, Sebuah Penelitian terhadap Remaja Kota Bengkulu. Di sini Samsudin meninjau
dari segi cara atau gaya pacaran remaja di Kota Bengkulu. Ia menyatakan bahwa, dewasa
ini perilaku seks secara bebas di kalangan remaja Kota Bengkulu sudah sangat banyak
terjadi. Dari beberapa tulisan di atas, penulis masih melihat adanya celah untuk
melakukan penelitian tentang sejarah lokalisasi WTS Pulau Baai Bengkulu, yaitu tentang
perkembangannya dari suatu perkampungan nelayan pada tahun 1988 sampai dengan
ditutup pada tahun 2002, serta bagaimana keberadaan WTS dan mucikari/germo pasca
penutupan Lokalisasi WTS Pulau Baai Bengkulu.

E. Metode dan Bahan Sumber


Dalam penelitian ini akan digunakan dua jenis metode penelitian, yang pertama adalah metode
sejarah, yang akan dipakai untuk mengungkapkan perkembangan lokalisasi, sejak berdiri pada tahun 1988
sampai dengan ditutup pada tahun 2002. Metode ini meliputi empat tahapan yaitu heuristik, kritik sumber,
analisis dan interpretasi serta historiografi atau penulisan. Pengumpulan data (heuristik), yaitu pengumpulan
semua data yang berhubungan dengan objek penelitian. Pada tahap ini akan digunakan dua jenis data yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan yaitu arsip-arsip yang berhubungan dengan
lokalisasi Pulau Baai Bengkulu. Data sekunder yang digunakan adalah hasil wawancara dengan penduduk
setempat dan Pemerintah Daerah Kota Bengkulu yang dianggap mengetahui tentang perkembangan
lokalisasi tersebut.

Kritik sumber, yaitu penyeleksian data yang dikumpulkan untuk melihat tingkat keaslian/autensitas
data (kritik ekstertnal) dan menguji informasi yang terdapat dalam sumber (kritik internal). Kritik ini berlaku
untuk kedua jenis sumber. Meskipun hanya ada sedikit perbedaan dalam waktu dan penerapannya. Kritik
eksternal pada sumber lisan sebenarnya sudah dimulai semenjak penetapan informan. Sementara kritik
ekstern pada sumber tertulis dilakukan setelah semua data terkumpul, tujuannya untuk menguji keaslian
sumber. Dengan prosedur pemeriksaan kertas, tinta, ruangan atau celah kosong dan juga kategori sumber.
Sumber pertama atau telah mengalami penggandaan, bila telah diyakini keaslian sumber baru dilanjutkan
dengan menguji kebenaran isinya. Untuk melakukan ini akan ditempuh cara komparasi sumber, ejaan dan
juga logika uraian.

Analisis, sintesis dan interpretasi, yaitu pemilahan sumber sejarah untuk menemukan butir-butir
informasi yang sesungguhnya. Dalam hal ini telah dilakukan pengelompokan sumber berdasarkan objek
yang diteliti, seperti menurut penuturan WTS, germo dan mucikari atau menurut tanggapan masyarakat,
aparat pemerintahan dan lain-lain. Setelah melalui tahap analisis dilanjutkan dengan sintesis, yaitu
merangkai atau menghubungkan fakta dari informasi yang akan melibatkan interpretasi guna
merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang ditulis. Historiografi atau penulisan, yaitu pernyataan-pernyataan
akhir yang kemudian dipaparkan dalam sebuah tulisan tentang Sejarah lokalisasi WTS Pulau Baai
Bengkulu.

Sedangkan untuk mengungkapkan tentang lokalisasi pasca penutupan, akan digunakan


pendekatan kualitatif, dengan bertumpu pada pandangan fenomenologis yang menekankan pada
pemahaman yang empirik atau menyerap kemampuan dan mengungkap perasaan, serta pemikiran-
pemikiran yang ada dibalik tindakan-tindakan yang lain. Penggunaan metode berlandaskan kepada
pendapat Muhajir yang mengungkapkan bahwa, pertama pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya
pada interaksi sosial, dan kedua masyarakat merupakan proses yang berkembang secara holistik.[27]
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dari tanggal 10 Juli 2004 sampai dengan tanggal
28 Januari 2005, cara yang digunakan pertama adalah dengan cara observasi, dalam hal ini penulis sendiri
yang menjadi instrumen utama dalam melakukan observasi untuk mencari dan mengumpulkan data tentang
keberadaan WTS dan mucikari/germo pasca penutupan lokalisasi serta dampak yang ditimbulkan oleh
penutupan lokalisasi tersebut. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara wawancara, dengan

jumlah informan sebanyak 22 orang (dapat dilihat pada lampiran), yang terdiri dari PSK 4 orang, pelanggan
2 orang, mucikari 4 orang, pedagang 2 orang, sopir angkot 2 orang, tukang ojek 2 orang, selebihnya adalah
pemuka masyarakat seperti Ketua RT, Lurah dan anggota Tim Penutupan Lokalisasi

Pulau Baai sebanyak 6 orang. Indikator yang digunakan misalnya kedekatannya dengan kegiatan prostitusi,
kemudian usianya haruslah mereka yang tidak pikun atau memiliki gangguan jiwa, tujuannya untuk
menghindari informasi yang palsu atau tidak benar

Anda mungkin juga menyukai