AMFOTERISIN B
AKTIVITAS ANTIJAMUR. Amfoterisin B menyerang sel yang tumbuh dan sel yang
matang.Aktivitas antijamur nyata pada pH 6,0-7; berkurang pada pH yang lebih rendah.
Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung pada dosis dan sensitivitas jamur
yang dipengaruhi. Dengan kadar 0,3 -1,0 g/mL antibiotik ini dapat menghambat aktivitas
Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans. Coccidioides immitis, dan beberapa
spesies Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitidis,
Paracoccidioides braziliensis, beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum schenckii,
Microsporum audiouini dan spesies Trichophyton. Secara in vitro bila rifampisin atau
minosiklin diberikan bersama amfoterisin B terjadi sinergisme terhadap beberapa jamur
tertentu,
Bakteri, virus dan riketsia tidak dipengaruhi oleh antibiotik ini karena jasad renik ini
tidak mempunyai gugus sterol pada membran selnya. Pengikatan kolesterol pada membran
sel hewan dan manusia oleh antibiotik ini diduga merupakan salah satu penyebab efek
toksiknya. Resistensi terhadap amfoterisin B ini mungkin disebabkan terjadinya perubahan
reseptor sterol pada membran sel.
Belum ada data yang jelas terhadap efek hepatotoksik amfoterisin B. Penurunan fungsi
ginjal terjadi pada lebih dari 80% pasien yang diobati dengan amfoterisin B. Keadaan ini
akan kembali normal bila terapi dihentikan tetapi pada kebanyakan pasien yang mendapat
dosis penuh mengalami penurunan filtrasi glomerulus menetap. Derajat kerusakan yang
terjadi tergantung dari jumlah dosis amfoterisin B yang diterima. Bukan dari kadar kreatinin
darah. Meskipun demikian, peningkatan kadar kreatinin darah sampai 3,5 mg/mL merupakan
tanda perlunya pengurangan dosis amfoterisin B untuk mencegah timbulnya uremia
(penumpukan urea didalam darah karena ginjal tidak bekerja secara efektif). Asidosis tubuler
(ketidakmampuan ginjal untuk menjaga perbedaan pH normal antara darah dan lumen
tubulus ginjal) ringan dan hipokalemia (kadar kalium yang rendah didalam darah) sering
dijumpai dan keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kalium. Efek toksik terhadap ginjal
dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan bersama flusitosin. Anemia normositik normokrom
hampir selalu ditemukan pada pemakaian jangka panjang.
EKINOKANDIN
Ada tiga ekinokandin yang diterima untuk penggunaan klinik yaitu kaspofungin,
mikafungin dan anidulafungin. Ketiganya merupakan siklik-lipopeptida dengan inti heksa-
peptida.
Spektrum Antijamur. Terutama meliputi spesies Candida dan Aspergillus. Tidak ada
aktivitas antijamur terhadap Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans dan
Trichosporum.
Mekanisme Kerja. Obat ini menghambat enzim yang diperlukan untuk sintesis dinding
sel jamur yaitu komponen 1,3--D-glukan.hambatan tersebut menyebabkan kerusakan
integritas dinding sel jamur, instabilitas osmotik dan kematian sel tersebut. Kadar hambat
minimal C. albicans 0,015-0,5 mcg/ml. Lebih tinggi untuk kaspofungbin daripada
anidulafungin dan mikafungin. Kadar fungisid 2-4 kali kadar fungistatik. Suatu efek
paradoksal yang tidak dapat dijelaskan adalah meningkatnya pertumbuhan pada kadar diatas
KHM yang lebih sering ditemukan pada C. parapsilosis daripada spesies Candida lainnya dan
lebih sering dengan kaspofungin dibanding mikafungin dan anidulafungin.
Indikasi. Kaspofungin diindikasikan pada infeksi kandida mukokutaneous (esophagus
dan orofaring) dan diseminata dan terapi empiris febril neutropenia (jumlah neutrofil yang
lebih rendah dari nilai normal didalam darah). Untuk aspergilosis invasive kaspofungin hanya
diberikan pada kasus yang tidak responsif terhadap amfoterisin B dan votikonazol.
Mikafungin diindikasikan untuk kandidiasis invasive dalam, yaitu : kandidiasis
esofagus,kandidiasis diseminata akut, serta peritonitis dan asbes karena kandida. Mikafungin
juga digunakan untuk profilaksis terhadap infeksi kandida pada penderita yang mendapat
terapi sel punca hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantation, HSCT). Indikasi
anidulafungin sama dengan mikafungin.