Anda di halaman 1dari 4

TRAWL : DEFENISI, DAMPAK & KEBIJAKANNYA

Pro kontra trawl kembali mencuat dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No.6/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur
Bagian Utara yang ditanggapi kalangan aktifis lingkungan dan nelayan ( Kompas, 28/3/2008) .
Meskipun sudah dilarang berdasarkan Keppres 39/1980, munculnya pro kontra seputar trawl ini,
tidak terlepas dari masih minimnya input informasi yang membantu publik untuk
memahaminya . Untuk itu, penulis kembali membuka memori file dengan pertanyaan-
pertanyaan, apa itu trawl, ini cukup mendasar mengingat jenisnya yang beragam . Apa saja
dampak yang ditimbulknnya ? Pertanyaan ini bertujuan untuk memberikan jawab atas
pernyataan pihak-pihak yang mengatakan trawl masih efektif. Dan terakhir apa saja produk
kebijakan terkait? Ini bertujuan mengetahui bahwa sesungguhnya kebijakan yang ada tidak
hanya berhenti pada Keppres 39/1980.

Defenisi Trawl

Trawl artinya jaring pemukat, dari kata ini muncul kata trawler (kapal pukat) dan
trawling berarti menangkap ikan dengan pukat. Kemudian namanya lebih populer dengan pukat
harimau. Lebih rinci pengertiannya dapat juga dilihat dalam SK Mentan
No.503/Kpts/Um/7/1980 Tentang Langkah-Langkah Penghapusan Trawl Tahap Pertama, yang
menyebutkan ;
a. Jenis jenis Jaring berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal motor dan
menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat
pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh dua buah kapal bermotor.
b. Jenis-jenis jaring trawl termasuk sub a dikenal dengan nama-nama pukat harimau, pukat
tarik, tanggul tarik, jaring tarik, jaring trawl ikan, pukat appollo, pukat langgai dan sebagainya.
Munculnya nama seperti; pukat layang, pukat setan, pukat hela, dan lain-lain adalah
bungkus baru, barang lama. Penyebutan nama lain merupakan salah satu bentuk modus operandi
memperoleh ijin dan untuk mengelabui nelayan tradisional. Selain dengan mengganti nama,
alatnya juga banyak dimodifikasi. Namun, sebagai pedoman di lapangan untuk membedakan
alat penangkap ikan yang termasuk dalam klasifikasi trawl atau bukan dapat dicermati dari Surat
Keputusan Dirjen Perikanan Nomor IK.340/DJ.10106/97 tentang petunjuk pelaksanaan SK
Mentan nomor 503/Kpts/Um/7/1980 yang pokok-pokok ketetapannya adalah sebagai berikut:
a. Jaring trawl merupakan jenis jenis jaring yang berbentuk kantong yang ditarik sebuah kapal
bermotor dan menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang ( beam ) atau
sepasang alat pembuka ( otter board ) dan jaring yang ditarik oleh dua kapal bermotor.
b. Spesifikasi jaring trawl terdiri dari:Tali penarik ( warp ), Papan pembuka mulut jaring ( otter
board ) atau gawang ( beam ), Tali lengan ( hand rope ), Sayap jaring ( wing ), Mulut jaring,
Badan jaring ( body ), Kantong (cod end).
c. Jaring trawl dengan spesifikasi seperti yang tersebut di atas tetap dilarang penggunaannya
d. Alat penangkap ikan berbentuk kantong yang telah diubah/dimodifikasi tersebut hanya boleh
digunakan oleh nelayan usaha skala kecil yaitu nelayan yang memiliki sebuah kapal tidak
bermotor atau bermotor luar atau bermotor tidak lebih dari 5 GT dan atau mesinnya
berkekuatan tidak lebih dari 15 daya kuda, kecuali Lampara Dasar dapat menggunakan kapal
berukuran panjang tidak lebih dari 12 meter dan atau mesin berkekuatan tidak lebih dari 36
DK dan ukuran panjang bentangan sayap tidak kurang dari 60 meter

Meskipun sudah ada penetapan pengertian di atas namun masih perlu dikritisi karena
modifikasi alat bisa saja dilakukan dengan semakin berkembangnya teknologi. Dengan demikian
redefenisi berikut dengan standarnya perlu diupdate terus.
Dampak Trawl

Pada tahun 1970-an pukat harimau mulai berkembang baik di Jawa, Kalimantan, Perairan
Indonesia Timur dan Sumatera. Hal tersebut, tidak terlepas dari kelebihannya yang dengan
mudah mendongkrak peningkatan perolehan tangkapan ikan. Tapi pada awal 1980-an penolakan
mulai ada terutama di Perairan Sumatera dan Jawa. Penolakan tersebut karena hasil tangkapan
nelayan tradisional menurun secara dratis dari hari ke hari. Mubyarto et.al, (1984) telah
membuktikan hal tersebut melalui penelitianya mengenai nelayan dan kemiskinan di perairan
Jawa.
Pro kontra apakah trawl merusak atau tidak hingga hari inipun tetap terjadi . Meskipun
bagi nelayan tradisional tidak lagi mau digiring pada posisi pro kontra, karena bagi mereka sudah
jelas bahwa alat tersebut adalah musuh dan sekaligus ,menjadi maut. Pihak pro, menuding
pihak yang kontra menolak modernisasi perikanan sembari berlogika bahwa trawl dengan
kemampuannya akan dapat mensejahterahkan nelayan tradisional. Tapi, faktanya dari hasil
beberapa kajian penelitian menujukkan juetru sebaliknya.
Pernyataan Eliot Norse Presiden dari Marine Conservatiaon Of Biology Institut (MBCI)
atau Lembaga Konservasi Biologi Kelautan yang berkedudukan di New York Amerika Serikat
menyatakan:
The Effect of trawling on the seafloor are amazingly similar to those of clear cutting in
forest. Trawling destroys the complex living structures of seafloor habitat, eliminating hiding
places and food for all sorts of animals and reducing biological diversity..
Efek pengoperasin trawl pada dasar laut sungguh dahsyat hampir sama dengan
penebangan hutan. Trawl menghancurkan struktur kehidupan habitat laut yang kompleks,
menyebabkan hilangnya tempat tinggal dan sumber makanan dari binatang-binatang kecil dan
menghancurkan keanekaragaman hayati laut.
Laporan lain terungkap dalam pernyataan Ted Denson, Presiden American Ocean
Campaign (AOC) berdasarkan penelitian menyatakan, Trawl adalah alat penangkap ikan
dengan menggunakan jaring yang diletakkan disamping kapal atau boat dan ditarik dengan
menggunakan katrol. Hal ini memungkinkannya menjadi alat tangkap komersil yang paling
besar di dunia. Sasaran utamanya udang dan ikan gepeng. Tapi, menggunakan alat tangkap ini
harus dibayar mahal akibat kerusakan yang ditimbulkannya. ( Scintist Reveal Bottom Trawling
Is Worlds Leading Distrubance of the Seafloor , Http://www.mbci.org).
Dari aspek sosial-ekonomi dampak yang yang timbulkannya adalah konflik antar
nelayan dan adanya pemborosan sumberdaya ikan oleh para rent seeking (pemburu rente) yang
berakibat menurunya hasil tangkapan nelayan tradisional dan degradasi kearifan lokal komunitas
nelayan dalam tradisi penangkapan ikan mengendor seiring tawaran untuk menggunakan kapal
pukat harimau oleh para pemodal maupun lewat bantuan pemerintah.

Standar Ganda Kebijakan

Era Pemerintah Orde Baru telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait trawl, namun
kebanyakan masih terfokus pada Keputusan Presiden No 39 Tahun 1980 Tentang Pelarangan
Trawl. Dasar pertimbangan, dikeluarkannya kebijakan ini , yaitu: (a) pembinaan kelestarian
sumber perikanan dasar, (b) mendorong peningkatan produksi nelayan tradisional dan (c)
menghindarkan ketegangan sosial. Kepres tersebut belum secara total melarang melainkan
dengan bertahap yang dihitung sejak tanggal berlakunya Keppres ( 1 Juli 1980 ) sampai 30
September 1980 khususnya yang berdomisili dan beroperasi di sekitar Jawa dan Bali.
Kemudian, terhitung sejak tanggal 1 Oktober 1980 melarang semua kegiatan penangkapan ikan
yang menggunakan jaring trawl di perairan laut yang mengelilingi Pulau-pulau Jawa dan Bali.
Sedangkan yang berdomisili dan beroperasi di sekitar Pulau Sumatera, larangan tersebut
selambat-lambatnya mulai berlaku pada 1 Januari 1981. Dan terhitung mulai 1 Oktober 1980 di
perairan laut di luar Pulau Sumatera, Jawa dan Bali, jumlah kapal perikanan yang menggunakan
jaring trawl dikurangi secara bertahap hingga pada tanggal 1 Juli 1981 jumlahnya menjadi 1000
buah.
Pelanggaran terhadap Keppres 39/80 dianggap melakukan kegiatan penangkapan ikan
tanpa izin sehingga dapat dituntut di muka pengadilan sesuai dengan pasal 15 Ordonasi
Perikanan Pantai Staatblaad Nomor 144 tahun 1927. Sesuai ketentuan ordonasi tersebut, maka
penangkapan ikan pantai yang melanggar ketentuan dikenakan sangsi pidana setinggi-tingginya
3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 500,00 ( lima ratus rupiah ), sedangkan kapal dan alat
penangkap ikan, termasuk perlengkapan yang dipergunakan dalam pelanggaran tersebut beserta
hasil laut yang diperoleh dari pelanggaran dapat disita.

Kekhawatiran pemerintah akan turunnya hasil produksi udang nasional sebagai


konsekuensi pelarangan trawl, diterbitkanlah Surat Keputusan Presiden Nomor 85 tahun 1982
tentang Pengunaan Pukat Udang. Keluarnya kebijakan ini sebenarnya telah menujukkan tidak
konsistennya pemerintah. Dengan adanya ijin penggunaan Pukat Udang di beberapa wilayah
Indonesia sebenarnya pemerintah telah melegalkan kembali trawl dengan istilah/nama baru
karena secara prinsip dan cara kerja tidak jauh beda.

Tindak lanjut Keppres 39/1980 kemudian terbit Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982
tentang pelaksanaan Keputusan Presiden No 39/80 yang menginstruksikan kepada Menteri
Pertanian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perhubungan,
Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Ketua Badan Koordinasi Penanaman
Modal dan para Gubernur Kepala Daerah untuk melanjutkan penghapusan sisa jumlah kapal
perikanan yang menggunakan jaring trawl seperti yang tercantum dalam pasal 4 bahwa terhitung
mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia sudah tidak ada lagi kapal perikanan yang
menggunakan jaring trawl. Keluarnya Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982, ditindaklanjuti
dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 545/Kpts/Um/8/1982 Tentang
Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 1982. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan
keluarnya Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perikanan Nomor 420/S3.4946/82K tanggal 30
Agustus 1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982.

Tak lama berselang, keluar UU No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan (sekarang menjadi
UU No.31/2004) dan dianggap telah melemahkan posisi Keppres 39 Tahun 1980. Meskipun
demikian, pemerintah melalui Makamah Agung (MA) masih tetap mengeluarkan Surat Edaran
No 3 tahun 1988 tentang penafsiran secara luas terhadap istilah menggunakan dalam Keppres
39 tahun 1980. Surat Edaran tersebut ditujukan kepada seluruh ketua pengadilan negeri di
seluruh Indonesia agar dapat mengadili perkara tindak pidana yang melanggar Keppres No. 39
tahun 1980. Dalam surat edaran tersebut diberikan penafsiran yang lebih luas terhadap istilah
menggunakan yakni termasuk perbuatan membuat, menguasai, ( membawa, menyimpan,
menggunakan ) dan memperdagangkan jaring trawl dan menghukum seberat-beratnya demi
tercapainya sasaran kebijakan pemerintah. Sayangnya, surat edaran tersebut dianggap singa
ompong karena keluarnya UU N0.9/1985 Perikanan secara otomatis melemahkan dasar hukum
tindak pidana pengoperasian trawl yakni Ordonasi Perikanan Pantai staablad 144 tahun 1927.

Lagi-lagi pemerintah menujukkan ketidak konsistenannya yang ditunjukkan lewat


munculnya Surat Keputusan Nomor 799/Kpts/IK.210/10/1988 dari Menteri Pertanian, yang
memperkenankan pengoperasian Lampara Dasar. Padahal, SK Menteri Pertanian Nomor
633/Kpts/Um/9/1980 tentang petunjuk pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980
telah menegaskan untuk melakukan penyuluhan kepada nelayan eks trawl supaya tidak
diberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan SK Nomor 799/Kpts/IK.210/10/1988
tersebut , muncul berbagai jenis jaring yang berbentuk kantong sebagai hasil modifikasi pukat
udang tetapi disebut dengan istilah Pukat Ikan ( PI ) dan Lamparan Dasar . Semakin nyata bahwa
pemerintah setengah hati menghapusakannya, apalagi dengan fakta sekarang ini keluarnya
Permen Kelautan dan Perikanan No.06/2008.
D. Mempertegas Penghapusan Trawl

Upaya penghapusan trawl bukanlah hasil provokasi dari aktivis lingkungan hidup tetapi
aksi murni (pure action) nelayan tradisional selama ini. Aksi enolakannya bisa dibilang tidak
terhitung diseantero negeri, namun hingga hari ini masih tetap beroperasi. Tantangan
penghapusan pun semakin berat, meskipun pada era reformasi yang katanya membawa banyak
perubahan. Berbagai faktor tantangannya adalah; pertama, lemahnya penegakan hukum (low
law enforcement), kedua paradigma pembagunan kelautan dan perikanan masih bertitik tolak
pada konsep pertumbuhan dengan menaikkan target perikanan tangkap meskipun banyak daerah
yang sudah overfishing. Ketiga, kebijakan standar ganda menjadikannya mengambang., yakni
ketiadaan ketegasan dalam bentuk keputusan tetap mengenai status Keppres 39/1980 apakah
masih sah berlaku atau tidak sama sekali.

Sebenarnya, paska keluarnya UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, masih tersisa
ruang untuk memperkuat ketegasan pelarangan trawl khususnya pada ketentuan pasal 8 ayat 1
yang menyebutkan :
Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan
dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau
cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.

Mencermati keseluruhan kalimat pasal 8 tersebut dengan hanya menfasirkan kalimat


menggunakan . alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan belum jelas apakah
diantarnya termasuk trawl (pukat harimau) dan sejenisnya. Pasal ini tentunya bisa diamandemen dengan
menambah klausul dalam penjelasan bahwa alat merusak dimaksud termasuk trawl dan sejenisnya.

Anda mungkin juga menyukai