Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka


dinding perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan seksio sesarea jauh lebih
aman dibandingkan masa sebelumnya karena tersedianya antibiotika, transfusi
darah, teknik operasi yang lebih baik, serta teknik anestesi yang lebih sempurna.
Hal inilah yang menyebabkan saat ini timbul kecenderungan untuk melakukan
seksio sesarea tanpa adanya indikasi yang cukup kuat. 1
Proses persalinan dengan menggunakan metode seksio sesarea perlu
diperhatikan dengan serius, karena proses persalinan ini memiliki risiko yang
dapat membahayakan keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya. Salah
satu risiko yang dapat terjadi adalah terjadinya perubahan hemodinamik dalam
tubuh ibu yang mengandung sebagai efek samping penggunaan anestesi dalam
operasi seksio sesarea. Hal inilah yang menyebabkan perlunya pemantauan
tekanan darah dan nadi selama proses operasi seksio sesarea.
Pada kehamilan normal, organ jantung ibu akan mendapat beban untuk
memenuhi kebutuhan selama kehamilan dan juga beban dari berbagai penyakit
jantung yang mungkin diderita selama kehamilan. Kehamilan dapat menyebabkan
terjadinya kenaikan tekanan darah, volume darah, tekanan pembuluh darah
perifer, serta tekanan pada sisi kanan jantung. 2
Pada kehamilan, darah yang dipompa oleh jantung akan meningkat sekitar
30%, sementara denyut nadi akan meningkat 10 kali / menit. Volume darah
meningkat 40% pada kehamilan normal. Kenaikan tekanan pembuluh darah
perifer terjadi karena adanya peningkatan volume air total pada tubuh ibu dan hal
ini sering menimbulkan edema perifer serta vena verikosa bahkan pada kehamilan
normal.2
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.3

1
Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi
regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien.
Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada pasien obstetri yaitu
blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok kaudal. 3Anestesia
spinal aman untuk janin, namun selalu ada kemungkinan bahwa tekanan darah
pasien menurun dan akan menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi ibu
dan janin.1
Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada ibu selama anestesia harus
diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat membahayakan keadaan janin,
bahkan dapat menimbulkan kematian ibu. Komplikasi yang mungkin terjadi
antara lain aspirasi paru, gangguan respirasi, dan gangguan kardiovaskular.3
Walaupun banyak faktor yang dapat mempengaruhi ibu dan janin yang dikandung
serta banyaknya sistem tubuh yang dapat dipengaruhi oleh teknik anestesi spinal.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem
organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari
korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi
dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada trimester kedua dan
ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi
dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang
relevan meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi,
metabolik, dan gastrointestinal.
2.1.1 Berat Badan dan Komposisi
Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira 17% dari
BB sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat badan adalah akibat
dari peningkatan ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan amnion 1 kg,
fetus dan plasenta 4 kg), peningkatan volume darah dan cairan interstitial
(masing-masing 2 kg), dan lemak serta protein baru kira-kira 4 kg. Penambahan
BB normal selama trimester pertama adalah 1-2 kg dan masing-masing 5-6 kg
pada trimester 2 dan 3.
Implikasi Klinisnya:
Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan oksigen sebelum induksi
anestesi umum. Penusukan spinal atau epidural anestesi menjadi lebih sulit.
Karena penambahan berat badan dan penambahan besar buah dada kemungkinan
menimbulkan kesulitan intubasi.
2.1.2 Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadapa
beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular
terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular
berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang
lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang tidak hamil. Cardiac output

3
meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai tingkat maksimum
sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan
sampai masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar 50%
peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan
kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya
peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting
adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih
banyak daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit
untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat
pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung
tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen
simpatis.10
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi
penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38,
setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis.
Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi
supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi
ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine,
yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang
mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan
kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini
mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya
asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan
posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua
dan ketiga dari kehamilan.9
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam
dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan
deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG).
Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara

4
jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa
pasien juga terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan asimptomatik.11
Implikasi Klinis:
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh wanita hamil
dengan penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta, stenosis mitral) atau
penyakit jantung koroner. Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24
minggu kehamilan, selama persalinan, dan segera setelah melahirkan.

Gambar 1. Penyebab terjadinya Supine Hypotensive Syndrome dan penanganannya

2.1.3 Perubahan Hematologi


Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan sebagai
akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin, menyebabkan
terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L.
Pada masanya, volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah
merah hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat
menyebabkan terjadinya anemia fisiologis dalam kehamilan dengan hemoglobin
rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak
terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan kompensasi
dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke
kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin.10
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang
memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat
proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya
faktor XI yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat

5
diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi,
leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja
terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat
dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak
terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi viral.11
Implikasi Klinis:
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting yaitu untuk
memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta, mengisi
reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan karena ibu
menjadi hipercoagulabel selama proses kehamilan. Keadaan ini berlangsung
sampai 8 minggu setelah melahirkan.
2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi
Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan
oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari
janin ke ibu.12
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam
masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan
meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan meningkat sekitar 20-50% dan
ventilasi semenit meningkat hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg.
Alkalosis respiratorik dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan
konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2
secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek
hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen
dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen
meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan
peningkatan curah jantung memicu perfusi jaringan.11
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan
umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari
cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume, residual
volume,dan functional residual capacity menurun, mendekati akhir masa

6
kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak hamil.
Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga
kapasitas paru total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil,
penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi
mereka yang mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai
akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan
nafas awal dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver
tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal antara
closing volume dan functional residual capacity. Volume residual dan functional
residual capacity kembali normal setelah proses persalinan.9
Implikasi Klinisnya:
1 Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya penurunan MAC
akan menyebabkan paturien lebih sensitive terhadap anestetika inhalasi
daripada wanita yang tidak hamil.
2 Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas membran
mukosa, harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa endotrakhea yang
lebih kecil daripada untuk wanita yang tidak hamil.
2.1.5 Perubahan Sistem Renal
Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada awal
masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal umumnya membesar.
Peningkatan dari renin dan aldosterone mengakibatkan terjadinya retensi sodium.
Aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama
trimester pertama dan laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal
pada trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin
menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan threshold dari tubulus
renal untuk glukosa dan asam amino umum dan sering mengakibatkan glukosuria
ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300 mg/dL). Osmolalitas plasma menurun
sekitar 8-10 mOsm/kg.11

7
Implikasi Klinis:
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari wanita yang
tidak hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama seperti wanita yang tidak hamil
menunjukkan adanya fungsi ginjal yang abnormal.
2.1.6 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan menjadi
topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus gastrointestinal
mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan resiko
terjadinya aspirasi yang berhubungan dengan anestesi general.10
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa kehamilan.
Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu ketidakmampuan dari
sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron menurunkan tonus dari
sfingter gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan
hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan wanita yang akan
melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal.
Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang
menyatakan mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di
samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5 dan lebih
dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25mL. kedua faktor
tersbut telah dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi
pneumonitis berat. Opioid dan antikolinergik menurunkan tekanan sfingter
esofagus bawah, dapat memfasilitasi terjadinya refluks gastroesofagus dan
penundaan pengosongan lambung. Efek fisiologis ini bersamaan dengan ingesti
makanan terakhir sebelum proses persalinan dan penundaan pengosongan
lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada
ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual.11
Implikasi Klinis:
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa melihat lama puasa
prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari. Dianjurkan penggunaan rutin

8
antacid non-partikel. Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu
postpartum.
2.1.7 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer
Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa
kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general.
Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca
kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan opioid endogen telah
dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis
farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa
aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara
signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan
dan kelahiran.11 Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap
kedua jenis anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan
anestesi secara neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal
daripada wanita yang tidak hamil untuk mencapai level dermatom sensorik yang
diberikan.10 Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam
anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal dan
MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi analgesik efektif dalam 20
ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal persalinan. Obstruksi dari
vena cava inferior karena pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena
pleksus epidural dan meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa
akhir kehamilan menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan
serebrospinal, (2) penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3)
peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek awal memicu penyebaran sefalad
dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan epidural, dimana efek yang
terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam insidensi lebih tinggi dari punksi
dural dengan anestesi epidural.11
Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi lokal
yang digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam
postpartum.

9
2.1.8 Perubahan Sistem Muskoloskeletal
Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan
kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan
relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan
peningkatan risiko terjadinya cedera punggung. Kemudian dapat berkontribusi
dalam insidensi nyeri punggung dalam kehamilan.11
Implikasi Klinis:
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis merupakan
sebab utama dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang menyulitkan
dilakukan spinal atau epidural analgesi.
2.1.9 Sirkulasi Uteroplasental
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan
perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat
menjadi penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika
menjadi parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi
bergantung pada aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta. 11
Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai
nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki
resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa
gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh
darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat
bergantung pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang
mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek
berbahaya pada suplai darah fetus.
Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:
UAP-UVP
UBF=
UVR
UBF = uterine blood flow
UAP = uterine arterial pressure

10
UVP = uterine venous pressure
UVR = uterine vascular resistance
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal
tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval,
dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan
frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang
dapat terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran
darah.10
Implikasi Klinis:
Perhatikan obat yang menembus sawar darah plasenta.

2.2 Sectio Caesarea


2.2.1 Definisi
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan janin
melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi).
Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum abdomen dalam kasus
ruptur uteri/kehamilan abdominal. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah
kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang dapat
timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam. Seksio sesarea adalah
pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus. 1,5
2.2.2 Indikasi
Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan suatu
persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power (kekuatan ibu),
psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah satu faktor
tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar bahkan
dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin jika
keadaan tersebut berlanjut.7
Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:
1. Indikasi Medis
Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage
2. Indikasi Ibu

11
a. Usia
b. Tulang Panggul
c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea
d. Faktor hambatan jalan lahir
e. Kelainan kontraksi rahim
f. Ketuban pecah dini
g. Rasa takut kesakitan
3. Indikasi Janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress)
b. Bayi besar (makrosemia)
c. Letak sungsang
d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accreta
e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat
Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang lebih
lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu, atau bahkan
keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan
aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara maju
seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.1, di Norwegia diperoleh hasil bahwa
indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia 3,6%, diikuti oleh
presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio sesarea sebelumnya
1,4% dan lain-lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang terjadi
(Cunningham dkk, 2005).
Di Skotlandia diperoleh bahwa distosia sebagai indikasi seksio sesarea
terbanyak yaitu 4,0%, sedangkan riwayat seksio sesarea sebelumnya 3,1%, gawat
janin 2,4%, presentasi bokong 2,0% dan lain-lain 2,7% dalam 14,2% kasus seksio
sesarea. Riwayat seksio sesarea sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari
10,7% kasus seksio sesarea yang terjadi di Swedia yaitu 3,1%, diikuti oleh
distosia dan presentasi bokong yang masing-masing berkisar 1,8%, sedangkan
gawat janin hanya 1,6% dan lain-lain 2,4%. Di USA, riwayat seksio sesarea
sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari 23,6% kasus seksio sesarea yang
terjadi yaitu 8,5%, dan distosia berperan dalam 7,1%, presentasi bokong 2,6%,
gawat janin 2,2% dan lain-lain 3,2% (Cunningham dkk, 2005). Sebaran indikasi
seksio sesarea di negara-negara maju tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel
sebagai berikut :

12
Tabel 1. Indikasi seksio sesarea di 4 negara maju; Norwegia, Skotlandia,
Swedia dan USA, 1990 Indikasi Seksio sasarea tiap 100 persalinan Norwegia
Skotlandia Swedia USA

Seksio Cesarea tiap 100 persalinan


Indikasi
Norwegia Skotlandia Swedia USA
Distosia 3,6 4,0 1,8 7,1
Riwayat SC sebelumnya 1,4 3,1 3,1 8,5
Presentasi bokong 2,1 2,0 1,8 2,6
Gawat janin 2,0 2,4 1,6 2,2
Lainnya 3,7 2,7 2,4 3,2
Seksio Caesarea 12,8 14,2 10,7 23,6

Di negara-negara berkembang dilaporkan dari penelitian selama 15 tahun


terhadap indikasi seksio sesarea, ada empat faktor klinis utama yang menjadi
indikasi seksio sesarea yang tidak berubah, yakni gawat janin (22%), partus tidak
maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh Mahdi
(1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah gawat
janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %) (Birza, 2003).
2.2.3 Kontraindikasi
Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin
sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea.
Dalam hal ini adanya gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan
pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat seminimal
mungkin (Cunningham dkk, 2005).
2.2.4 Klasifikasi
A. Seksio sesarea transperitoneal profunda
Merupakan suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen
bawah uterus (Prawiroharjo, 2002). Hampir 99% dari seluruh kasus seksio
sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan menggunakan teknik ini,
karena memiliki beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih baik, dan
tidak banyak menimbulkan perlekatan. Adapun kerugiannya adalah terdapat

13
kesulitan dalam mengeluarkan janin sehingga memungkinkan terjadinya
perluasan luka insisi dan dapat menimbulkan perdarahan (Manuaba, 1999).
Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi memanjang (secara Kronig).
B. Seksio sesarea klasik (corporal)
Yaitu insisi pada segmen atas uterus atau korpus uteri. Pembedahan ini
dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman
(misalnya karena perlekatan yang erat pada vesika urinaria akibat
pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada segmen bawah uterus
atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan kelainan letak terutama
jika selaput ketuban sudah pecah (Charles, 2005). Teknik ini juga memiliki
beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit, kemungkinan
terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan kemungkinan
terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar (Manuaba, 1999).
C. Seksio sesarea yang disertai histerektomi
Yaitu pengangkatan uterus setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang
tidak dapat diatasi dengan tindakan lain, pada uterus miomatousus yang besar
dan atau banyak, atau pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan
jahitan (Cunningham dkk, 2005).
D. Seksio sesarea vaginal
Yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior ke dalam rongga
uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek obstetri (Charles,
2005).
E. Seksio sesarea ekstraperitoneal
Yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi peritoneum dengan mendorong
lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah atau ke garis tengah,
kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah (Charles, 2005).
2.2.5 Komplikasi
Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya
(Bobak, 2004). Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan
dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani
seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan
tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka (Manuaba,
2003; Bobak. 2004).

14
Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai 38,5 0C
(Heler, 1997). Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan sebuah
diagnosis yang menandakan adanya suatu komplikasi serius . Morbiditas febris
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca pembedahan seksio
seksarea (Rayburn, 2001).
Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai kehilangan
darah lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat kegagalan
mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun pada placental bed akibat
atoni uteri (Karsono dkk, 1999). Komplikasi pada bayi dapat menyebabkan
hipoksia, depresi pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan trauma persalinan
(Mochtar, 1988).

2.3 Anestesi Pada Sectio Caesarea


2.3.1 Anestesi Umum Untuk Sectio Caesarea
Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam/sectio
cesarea.
Indikasi :
1. Gawat janin.
2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.
3. Diperlukan keadaan relaksasi uterus.
Keuntungan :
1. Induksi cepat.
2. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.
Kerugian :
1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
asidosis pada janin.
4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas maternal.
Teknik :

15
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit
sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus
digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien
diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap,
dilakukan rapid-sequence induction dengan propofol 2 2.5 mg/kgBB atau
ketamine 1-2mg/kg dan 1,5 mg/kgBB suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa endotrakeal
dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin diinjeksikan
melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0% sevofluran, 0.75%
isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan, untuk mencegah ibu
bangun.
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat tersebut
dapat menyebabkan atonia uteri.
7. Setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV dan 0,2 mg
methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip perlahan.
8. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang kuat
juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.
9. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.
Macam-macam anestesi intravena
a) Pentotal (golongan barbiturate)
Penggunaan pentotal dalam bidang obstetri dan ginekologi banyak ditujukan
untuk induksi anestesia umum dan sebagai anestesia singkat.
Dosis pentotal
Dosis pentotal yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB dalam larutan 2,5%
dengan pH 10.8, tetapi sebaiknya hanya diberikan 50-75 mg.
Keuntungan pentotal
Cepat menimbulkan rasa mengantuk (sedasi) dan tidur (hipnotik).

16
Termasuk obat anestesia ringan dan kerjanya cepat.
Tidak terdapat delirium
Cepat pulih tanpa iritasi pada mukosa saluran napas.
Komplikasi pentotal
Lokal (akibat ekstravasasi), dapat menyebabkan nekrosis
Rasa panas (bila pentotal langsung masuk ke pembuluh darah arteri)
Depresi pusat pernapasan
Reaksi vertigo, disorientasi, dan anfilaksis
Kontraindikasi pentotal
Pentotal merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien yang disertai keadaan
berikut:
Gangguan pernafasan
Gangguan fungsi hati dan ginjal
Anemia
Alergi terhadap pentotal
Apabila dilakukan anestesi intravena menggunakan pentotal, sebaiknya
pasien dirawat inap karena efek pentotal masih dijumpai dalam waktu 24 jam,
dan hal ini membahayakan bila pasien sedang dalam perjalanan.
b) Ketamin
Ketamin termasuk golongan non barbiturat dengan aktivitas rapid setting
general anaesthesia, dan diperkenalkan oleh Domine dan Carses pada tahun
1965.
Sifat ketamin :
o Efek analgetiknya kuat
o Efek hipnotiknya ringan
o Efek disosiasinya berat, sehingga menimbulkan disorientasi dan
halusinasi
o Mengakibatkan disorientasi (pasien gaduh, berteriak)
o Tekanan darah intrakranial meningkat

17
o Terhadap sistem kardiovaskuler, tekanan darah sistemikmeningkat
sekitar20-25%
o Menyebabkan depresi pernapasan yang ringan (vasodilatasi bronkus)
Premedikasi pada anestesia umum ketamin
Pada anestesia umum yang menggunakan ketamin, perlu dilakukan
premedikasi dengan obat-obat sebagai berikut:
Sulfas atropin, untuk mengurangi timbulnya rasa mual / muntah
Valium, untuk mengurangi disorientasi dan halusinasi
Dosis ketamin
Dosis ketamin yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg BB, dengan lama kerja
sekitar 10-15 menit. Dosis ketamin yang dipakai untuk tindakan D & K
(dilatasi dan kuretase) atau untuk reparasi luka episiotomi cukup 0,5 1
mg/Kg BB.
Indikasi anestesi ketamin
Pada opersasi obstetri dan ginekologi yang ringan dan singkat
Induksi anastesia umum
Bila ahli anastesia tidak ada, sedangkan dokter memerlukan tindakan
anastesia yang ringan dan singkat.

Kontra indikasi anastesia ketamin (ketalar)


Hipertensi yang melebihi 150 / 100 mmHg
Dekompensasi kordis
Kelainan jiwa
Komplikasi anastesia ketamin
Terjadi disorientasi
Mual / muntah, diikuti aspirasi yang dapat membahayakan pasien dan
dapat menimbulkan pneumonia.
Untuk menghindari terjadinya komplikasi karena tindakan anastesia
sebaiknya dilakukan dalam keadaan perut / lambung kosong.

18
Setelah pasien dipindahkan ke ruangan inap, pasien diobservasi dan
posisi tidurnya dibuat miring (ke kiri / kanan), sedangkan letak kepalanya
dibuat sedikit lebih rendah.
c) Anastesia analgesia dengan valium
Valium tergolong obat penenang (tranquilizer), yang bila diberikan dalam
dosis rendah bersifat hipnotis. Obat ini jarang digunakan secara sendiri
(tunggal), dan selalu diberikan secara IV bersama dengan ketamin, dengan
tujuan mengurangi efek halusinasi ketamin.
Dosis Valium
10 g IV atau IM. Bila digunakan untuk induksi anastesi, dosisnya sebesar 0,2
0,6 mg/kg BB.
d) Diprivan
Komposisi diprivan adalah sebagai berikut :
10 % minyak kacang kedelai
1,2 % fosfatida telur
2,25 % gliserol
Keseluruhannya merupakan larutan 1% dalam air, dalam bentuk emulsi.
Diprivan sangat baik karena tidak memerlukan obat premedikasi. Disamping
itu kesadaran pasien pulih dengan cepat, tanpa terjadi perubahan apapun.
Diprivan juga tidak menimbulkan depresi pusat pernafasan ataupun gangguan
jantung. Oleh karena itu, ketika diprivan digunakan untuk pertama kalinya
pada tahun 1977, obat ini langsung menduduki tempat tertinggi untuk
kepentingan operasi-operasi yang ringan dan singkat.
2.3.2 Anestesi Regional Untuk Sectio Caesarea
A. Anastesi Subarachnoid
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subArachnoid) ialah anestesi
regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subArachnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid
akan memblock konduksi impuls syaraf. Terdapat tiga bagian syarat yaitu motor,
sensori dan otonom. Motor menyampaikan pesan ke otot untuk berkontraksi dan
ketika diblok, otot akan mengalami paralisis. Syaraf sensori akan menghantarkan

19
sensasi seperti rabaan dan nyeri ke sumsum tulang dan ke otak, sedangkan syaraf
otonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi usus dan fungsi lainnya
yang diluar kesadaran. Pada umumnya, serabut otonom dan nyeri yang pertama
kali diblock dan serabut motor yang terakhir. hal ini akan memiliki timbal balik
yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan penurunan tekanan darah yang
mendadak mungkin akan terjadi ketika serabut otonom diblock dan pasien
merasakan sentuhan dan masih merasakan sakit ketika tindakan pembedahan
dimulai.9,10
Kelebihan pemakaian anestesi spinal, diantaranya biaya minimal, kepuasan
pasien, tidak ada efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga, dapat dilakukan
pada pasien diabetes mellitus, perdarahan minimal, aliran darah splancnic
meningkat, terdapat tonus visceral, jarang terjadi gangguan koagulasi. Sedangkan
kekurangan pemakaian anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi, hanya dapat
digunakan pada operasi dengan durasi tidak lebih dari dua jam, bila tidak aseptik
akan menimbulkan infeksi dalam ruang subarachnoid dan meningitis, serta
kemungkinan terjadi postural headache.10
Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada daerah dibawah umbilikus,
misalnya repair hernia, ginekologi, operasi urogenital dan operasi di daerah
perineum dan genitalia. Anestesi spinal khususnya diindikasikan pada pasien
lanjut usia dan pasien dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernafasan,
hepar, renal dan gangguan endokrin (diabetes mellitus). Pada bagian obstetri,
dengan anestesi spinal pada sectiocaesarea didapatkan keuntungan ganda yaitu
pada ibu dan bayinya. Anestesi spinal dikontra-indikasikan bila peralatan dan obat
resusitasi tidak adekuat, gangguan perdarahan, hipovolemia, pasien menolak,
pasien tidak kooperatif, septikemia, deformitas anatomi, penyakit neurologi.10
Kontraindikasi absolut pemakaian anestesi spinal yaitu pasien menolak,
infeksi pada tempat penyuntikan, hipovolemia berat, syok, koagulopati
(mendapatkan terapi antikoagulan), tekanan intrakranial tinggi, fasilitas resusitasi
minimun, kurang pengalaman, tanpa didampingi konsultan anestesi. Sedangkan
kontraindikasi relatif diantaranya infeksi sistemik (sistemik,bakteriemia), infeksi
sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama,
penyakit jantung, hipovolemia ringan dan nyeri punggung kronis.10

20
Pada dasarnya persiapan untuk anestesia spinal seperti persiapan pada anestesi
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diperiksa, adakah kelainan anatomis tulang
punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba prosessus spinosus.
Selain itu juga harus dipersiapkan informed consent, pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang meliputi hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan
PTT (partial thromboplastine time). Persiapan pre-operasi sangat penting
dilakukan, sehingga diharapkan pasien dipersiapkan semaksimal mungkin dan
bila terdapat penyulit dapat dilakukan medikasi pre-operasi.9
Pasien yang telah dijadwalkan untuk pembedahan elektif umumnya berada
dalam keadaan optimal baik fisik maupun mental dengan diagnosis yang definitif
dan penyakit lain yang kadang-kadang menyertainya sudah terkendali dengan
baik. Berbeda dengan penderita emergensi yang memerlukan tindakan bedah
darurat baik dengan anestesi umum atau regional merupakan suatu tindakan yang
penuh dengan risiko. Hal ini disebabkan penderita datang secara mendadak dan
pada umumnya berada dalam keadaan yang kurang baik, waktu untuk
memperbaiki keadaan umum terbatas, kadang-kadang sulit untuk mengatasi
penyakit lain dan bahkan memperburuk keadaan.5
Premedikasi pada anestesi spinal tidak perlu, namun pada pasien tertentu,
dapat diberikan benzodiazepine seperti 5-10 mg diazepam secara oral yang
diberikan 1 jam sebelum operasi. Agen narkotik dan sedatif dapat digunakan
sesuai keadaan. Pemberaian anticholinergics seperti atropine atau scopolamine
(hyoscine) tidak perlu.10
Agen anestesi lokal dapat berupa molekul berat (hiperbarik), ringan
(hipobarik), dan beberapa isobaric seperti LCS. Larutan hiperbarik cenderung
menyebar kebawah, sementara isobaric tidak dipengaruhi oleh arah. Hal ini akan
lebih memudahkan untuk memperkirakan dari pemakaian agen hiperbarik. Agen
isobaric dapat dijadikan hiperbarik dengan menambahkan dextrose. Agen
hipobarik pada umumnya tidak digunakan. Beberapa agen anestesi lokal yang
digunakan pada anestesi spinal, diantaranya:6
1. Bupivacaine (Marcaine). 0.5% hiperbarik (heavy). Bupivacaine memiliki
durasi kerja 2-3 jam.

21
2. Lignocaine (Lidocaine/Xylocaine). 5% hiperbarik (heavy), dengan durasi 45-
90 minutes. Jika ditambahkan 0.2ml adrenaline 1:1000 akan memperpanjang
durasi kerja.
3. Cinchocaine (Nupercaine, Dibucaine, Percaine, Sovcaine). 0.5% hiperbarik
(heavy) sama dengan bupivacaine.
4. Amethocaine (Tetracaine, Pantocaine, Pontocaine, Decicain, Butethanol,
Anethaine, Dikain).
5. Mepivacaine (Scandicaine, Carbocaine, Meaverin). A 4% hiperbarik (heavy)
sama dengan lignocaine.
Semua pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi spinal, sebelumnya harus
mendapatkan cairan intravena. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan
usia pasien dan luasnya block. Seorang dewasa muda, sehat yang akan dilakukan
repair hernia membutuhkan 500cc. Pasien lanjut usia yang tidak mampu
melakukan kompensasi terhadap terjadinya vasodilatasi dan hipotensi maka
minimal mendapatkan 1000cc. Jika direncanakan akan dilakukan block tinggi,
minimal 1000 cc. Pasien yang akan dilakukan sectiocaesarea membutuhkan
minimal 1500 cc. cairan yang digunakan yaitu normal saline atau larutan
Hartmann's. Dektrose 5% tidak segera dimetabolisme sehingga tidak efektif untuk
mempetahankan tekanan darah.6
Teknik anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi tidur lateral
dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering
dikerjakan. Tempat penyuntikan pada perpotongan antara garis yang
menghubungkan kedua krista illiaka dengan tulang punggung, ialah L4 atau L4-5.
setelah dilakukan tindakan asepsis dan diberi zat anestesi lokal (lidokain 1-2%, 2-
3 ml). Cara tusukan median atau paramedian. Tusukan introducer sedalam kira-
kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian dimasukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang tersebut. Struktur yang dilalui oleh jarum spinal sebelum
mencapai CSF, diantaranya kulit, lemak sukutan, ligamentum interspinosa,
ligamentum flavum, ruang epidural, duramater, ruang subarachnoid. Setelah
resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisis obat dan obat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit.9,10

22
Gambar 2. Lokasi injeksi. Gambar 3. Posisi saat injeksi.

Faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran penyuntikan larutan anestesi


lokal adalah berat jenis dari larutan anestesi lokal, posisi pasien, konsentrasi dan
volume zat anestesi, ukuran jarum, keadaan fisik pasien tekanan intraabdominal,
level penyuntikan dan kecepatan penyuntikan. Lama kerja anestesi lokal
tergantung dari berat jenis anestesi lokal, beratnya dosis, ada tidaknya
vasokonstriktor dan besarnya penyebaran anestesi lokal.9,10
Komplikasi tindakan anestesi spinal diantaranya hipotensi berat, bradikardi,
trauma pembuluh darah, hipoventilasi, trauma pembuluh darah, trauma saraf,
mual-muntah, gangguan pendengaran, block spinal tinggi atau spinal total.
Sedangkan komplikasi pasca tindakan diantaranya nyeri tempat suntikan, nyeri
punggung, nyeri kepala, retensi urin dan meningitis.9
B. Anastesi Epidural
Anestesi epidural merupakan teknik anestesi neuroaksial yang menawarkan
suatu penerapan lebih luas daripada teknik anestesi spinal. Blok epidural adalah
blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural (peridural,
ekstradural). Ruang ini berada di ligamentum flavum dan duramater bagian atas
berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan di bawah selaput
sacrococcigeal. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm di bagian posterior
kedalaman maksimal pada daerah lumbal. Anestesi epidural dapat dilakukan pada
level lumbal, torakal, dan servikal. Teknik epidural digunakan secara luas pada
anestesi, analgesi persalinan, pengelolaan nyeri paska operasi dan pengelolaan
nyeri kronis.11

23
Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal
yang terletak di bagian lateral. Awal kerja analgesi epidural lebih lambat
dibanding analgesi spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih
lemah.12
Blok epidural memiliki beberapa keuntungan, yaitu : 1) Penghindaran obat
narkotik sehingga mengurangi kemungkinan penekanan pernapasan yang lama
dan penekanan saraf pusat pada bayi, serta muntah pada ibu. 2) Kesadaran ibu
tetap tidak berkabut selama pembiusan. 3) Blok dapat disesuaikan guna
memberikan analgesi yang cukup pada persalinan operatif pasca sectio caesaria.13
Anestesi epidural pada sectio caesaria secara umum paling memuaskan jika
menggunakan kateter epidural. Kateter memfasilitasi pencapaian level sensorik
T4, memungkinkan suplementasi jika diperlukan, dan memberikan jalur yang
sangat baik untuk pemberian opioid pasca operasi setelah tes dosis didapatkan
negative anestetik local sebanyak 15-25 mL diinjeksikan perlahan dengan
peningkatan 5 mL. Penambahan fentanyl, 50-100 g, atau sufentanil, 10- 20 g
dapat memperkuat intensitas blok dan memperpanjang durasi tanpa
mempengaruhi keluaran neonatus. Jika nyeri terasa saat level sensorik menurun,
anestesi lokal tambahan dapat diberikan dengan 5 ml untuk menjaga level
sensorik T4. Setelah kelahiran, penambahan opioid intravena dapat diberikan,
hindari sedasi berlebihan dan kehilangan kesadaran. Pada penelitian ini tidak
dilakukan pemasangan kateter epidural maupun penambahan obat lain.1,12,15
Jarum Epidural Jarum epidural standar khususnya 17-18 gauge, atau panjang
3-3,5 inci dan memiliki bevel tumpul dengan kurva 15-30 pada ujungnya. Jarum
Tuohy adalah jarum yang biasanya digunakan (gambar 1). Ujungnya yang tumpul
dapat membantu menekan duramater menjauh setelah menembus dan melewati
ligamentum flavum. Jarum langsung masuk tanpa ujung kurve ( jarum crawrod)
yang dapat menyebabkan kejadian yang lebih tinggi tertusuknya duramater tetapi
memfasilitasi kemajuan dari kateter epidural. Modifikasi jarum termasuk ujung
yang melebar dan penempatan peralatan introduser sebagai petunjuk penempatan
kateter.13

24
Gambar 4. Jarum epidural

Teknik Anestesi Epidural


Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subaraknoid.
Prosedur pelaksanaan anestesi epidural adalah sebagai berikut :
1) Posisi pasien pada saat tusukan seperti pada analgesia spinal yaitu dengan
menidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal pada
kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang belakang lebih stabil.
Pasien diposisikan membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain ialah dengan duduk.
2) Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3- L4, karena
jarak antara ligamentum flavum-duramater pada ketinggian ini adalah yang
terlebar.
3) Jarum epidural yang digunakan ada dua macam. Yaitu jarum ujung tajam
(Crawford) untuk dosis tunggal, dan jarum ujung khusus (Tuohy) untuk
memasukkan kateter ke ruang epidural. Jarum ini biasanya ditandai setiap
cm.12
Untuk membantu mengidentifikasi rongga epidural, dapat digunakan teknik
hilangnya resistensi loss of resistance ataupun teknik tetes tergantung hanging
drop. Pada penelitian ini dilakukan teknik hilangnya resistensi loss of
resistance yaitu dengan cara jarum dimasukkan melalui jaringan subkutan
dengan stilet tetap ditempatnya sampai masuk ligamentum interspinosus yang
ditandai dengan peningkatan tahanan jaringan. Stilet atau introduser diambil dan
spuit diisi dengan kurang lebih 2 ml larutan atau udara pada pangkal jarum. Jika
ujung jarum dalam ligamentum, usaha injeksi secara lembut akan mendapatkan
tahanan dan injeksi tidak memungkinkan. Jarum kemudian secara perlahan
dimasukkan millimeter demi millimeter dengan diulang secara terus menerus dan

25
cepat pada saat suntikan. Pada saat ujung jarum masuk ke dalam ruang epidural,
maka akan terasa mendadak kehilangan tahanan dan injeksi menjadi mudah.
Sekali masuk dalam ligamentum interspinosum dan stilet telah dicabut.14

Gambar 5. Teknik anestesi epidural

Faktor Yang Mempengaruhi Level Blok


Pada dewasa, 1-2 ml obat anestesi untuk setiap segmen yang terblok. Sebagai
contoh, untuk mencapai level T4 dari injeksi setinggi level L4-5 dibutuhkan 12-24
ml. untuk blok segmental atau analgesik, diperlukan volume yang lebih sedikit.
Dosis yang diperlukan untuk mencapai level anestesi yang sama, berkurang sesuai
meningkatnya umur. Hal ini mungkin sebagai akibat umur yang berhubungan
dengan penurunan dalam ukuran atau compliance ruang epidural. Meskipun
terdapat sedikit korelasi antara berat badan dengan dosis obat anestesi lokal yang
diperlukan, tinggi badan pasien mempengaruhi luasnya penyebaran. Pasien yang
lebih pendek hanya membutuhkan 1 ml anestesi lokal untuk memblok 1 segmen,
sedangkan pada pasien yang lebih tinggi memerlukan 2 ml per segmen.
Penyebaran anestesi lokal epidural sebagian cenderung dipengaruhi oleh
gravitasi.14
Obat Anestesi Epidural Dalam penggunaan obat anestesi epidural dipilih
berdasarkan keinginan efek klinis, baik yang digunakan sebagai anestesi primer
maupun untuk tambahan pada anestesi umum atau analgesi. Umumnya digunakan
agen anestesi lokal untuk pembedahan yang bekerja pendek sampai sedang
termasuk lidokain, kloroprokain, dan mepivakain. Sedangkan yang termasuk agen

26
anestesi lokal dengan kerja lama adalah bupivakain, levobupivakain, dan
ropivakain.13
Markain atau bupivakain merupakan zat anestesi lokal yang mempunyai lama
kerja panjang. Mula kerja anestesi lokal kadang dapat dipercepat dengan
menggunakan larutan jenuh CO2. Kadar CO2 jaringan yang tinggi menyebabkan
asidosis intraseluler sehingga CO2 mudah melintasi membran, yang kemudian
menimbulkan tumpukan bentuk kation anestesi lokal.15
Adapun efek yang dapat di timbulkan oleh bupivakain pada sistem saraf pusat
adalah mengantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual, gangguan pendengaran,
dan kecemasan. Reaksi toksik yang paling serius yaitu timbulnya kejang karena
kadar obat dalam darah yang berlebihan. Sedangkan pada sistem kardiovaskuler,
efek samping yang dapat ditimbulkan adalah hipotensi sebagai akibat dari
penekanan kekuatan kontraksi jantung sehingga terjadi dilatasi arteriol.15
Hubungan Operasi Anestesi Epidural dengan sectio caesaria, 1) Respon Stres
Neuroendokrin terhadap Operasi: Respon stres adalah suatu keadaan dimana
terjadi perubahan-perubahan fisiologis tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan
jaringan yang ditimbulkan oleh keadaan-keadaan seperti syok, trauma, operasi,
anestesi, gangguan fungsi paru, infeksi dan gagal fungsi organ yang multipel.
Pada respon stres akan dilepaskan hormon-hormon yang dikenal sebagai
neuroendokrin hormone yaitu ADH, aldosteron, angiotensin II, kortisol,
epinephrine dan norepinephrin. Hormonhormon ini akan berpengaruh terhadap
beberapa fungsi fisiologik tubuh yang penting dan merupakan suatu mekanisme
kompensasi untuk melindungi fungsi fisiologik tubuh.16
Cuthbertson mendefinisikan ada dua fase respon metabolik terhadap trauma
yaitu fase ebb dan fase flow. Selanjutnya fase flow dibagi menjadi tingkatan
katabolik dan anabolik. Fase ebb terjadi selama beberapa jam pertama setelah
injuri dan dicirikan oleh hipovolemia, aliran darah yang lambat, reaksireaksi
fisiologi kompensasi awal terhadap trauma dan syok. Segera setelah resusitasi
komplit dan perfusi, fase flow dimulai kembali, yang dicirikan oleh respon stres
hiperdinamik, retensi cairan, dan edema, katabolisme, dan hipermetabolisme.
Tingkatan katabolik ini bisa bertahan selama beberapa hari sampai minggu,

27
tergantung dari beratnya injuri. Setelah defisit volume dieliminasi, luka-luka telah
menutup, dan infeksi telah terkontrol, maka selanjutnya tingkatan anabolik
dimulai. Hal ini ditandai oleh kembalinya ke hemodinamik normal, diuresis,
akumulasi kembali protein dan lemak tubuh, serta restorasi fungsi tubuh. Tingkat
anabolik umumnya lebih panjang daripada tingkat katabolik dan mungkin
berlangsung selama berminggu-minggu lamanya.17
Mediator-mediator katabolik yaitu insulin, testosterone dan anabolik berupa
ACTH, kortisol, ADH, GH, catecholamines, renin, angiotensin II, aldosteron, IL-
1, TNF, IL-6. Proses operasi merespon neuroendokrin untuk menginduksi
pelepasan hormone neuroendokrin seperti kortisol, sitokin IL-6 (interleukin-6),
TNF (Tumor Necrosis Factor), CRP (protein C reaktif), leptin. Hormon-hormon
stres seperti kortisol, glukagon, dan epinefrin akan meningkatkan pemecahan
glikogen menjadi glukosa. Glukosa juga diproduksi oleh proses glukoneogenesis
dari alanin dan asam amino lain yang dilepaskan oleh pemecahan otot rangka
pada keadaan stres. Anestesi epidural dapat mengurangi respon stres akibat bedah
dengan menekan input afferent simpatik dan somatosensori. Inhibisi total terhadap
respon stres memerlukan penggunaan obat anestesi lokal untuk memberikan blok
total tehadap input simpatik dan somatosensori. Inhibisi total terhadap respon
stres memerlukan penggunaan obat anestesi lokal untuk memberikan blok total
tehadap input simpatik dan somatosensori dari tempat trauma bedah.18
Respon Metabolik dari Anestesi
Efek zat anestesi terhadap metabolisme karbohidrat, lemak dan protein adalah
belum dapat dijelaskan secara pasti. Hal ini disebut sebagai akibat peningkatan
katekolamin, glukagon, dan kortisol, sehingga terjadi mobilisasi karbohidrat dan
protein yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia.19 Respon stres oleh endokrin
disebut dapat ditekan dengan teknik regional anestesi, general anestesi yang dalam
dan dengan menghambat selama operasi sebenarnya disebutkan bahwa banyak
faktor yang akan dapat menaikkan kadar gula darah. Misalnya dengan pemberian
cairan ringer laktat saja dikatakan akan terjadi pembentukan glukosa dari laktat
oleh hepar.19 Pengaruh Obat Anestesi Epidural Terhadap Kadar Glukosa Darah
Dalam penelitian ini menggunakan obat bupivakain yang terdiri dari sebuah gugus

28
lipofilik yang berikatan dengan sebuah rantai amida yang terikat pada satu gugus
terionisasi. Bupivakain juga bersifat basa lemah. Hal ini menyebabkan bupivakain
dalam tubuh akan berubah menjadi bentuk kation. Farmakokinetik dari
bupivakain merupakan zat anestesi lokal dengan mempunyai lama kerja yang
panjang. Mula kerja anestesi lokal kadang dapat dipercepat dengan menggunakan
larutan jenuh dengan CO2. Kadar CO2 jaringan yang tinggi menyebabkan
asidosis intraselular (CO2 mudah melintasi membran), yang kemudian
menimbulkan tumpukan bentuk kation anestesi lokal.15 Farmakodinamik dari obat
ini mempunyai beberapa efek yang ditimbulkan adalah pada system saraf pusat
yaitu mengantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan pendengaran, dan
kecemasan. Reaksi toksik yang paling serius yaitu timbulnya kejang karena kadar
obat dalam darah yang berlebihan. Sedangkan pada system kardiovaskular efek
samping yang dapat ditimbulkan adalah hipotensi sebagai akibat dari penekanan
kekuatan kontraksi jantung sehingga terjadi dilatasi arteriol.15

BAB III
KESIMPULAN

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi teknik anestesi yang akan


digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi
adalah seperti adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan
intubasi, kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil posisi
terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi (supine aortocaval syndrome)
sehingga janin akan mengalami hipoksia/asfiksia.
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan janin
melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi).
Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum abdomen dalam kasus
ruptur uteri/kehamilan abdominal. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah
kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang dapat
timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam. Seksio sesarea adalah

29
pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum dengan teknik yang cepat, baik bagi
ibu yang takut, serba terkendali dan bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian
yang ditimbulkan kemungkinan aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas sering
mengalami kesulitan, serta kemungkinan depresi pada janin lebih besar. Anestesi
regional (spinal atau epidural) dengan teknik yang sederhana, cepat, ibu tetap
sadar, bahaya aspirasi minimal, namun sering menimbulkan mual muntah sewaktu
pembedahan, bahaya hipotensi lebih besar, serta timbul sakit kepala pasca bedah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lukito Husodo. Pembedahan dengan laparotomi. Di dalam : Wiknjosastro H,


editor. Ilmu kebidanan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2002 . 863 875
2. Caesarean section (editorial). Didapat dari : URL, :
http://www.wikipedia.org. 1 Maret 2006 (diakses tanggal 13 April 2016)
3. Owen P. Caesarean section. Didapat dari : URL, :
http://www.netdoctor.co.uk. 2005 (diakses tanggal 13 April 2016)
4. Mocthar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Obstetri Fisiologis Obstetri
Patologi Jilid I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Elridge. Monitoring during caesarean section. Didapat dari : URL,
http://www.nda.ox.ac.uk. 2000 (diakses tanggal 9 April 2016)
6. Smith GFN. Anaesthetic. Didapat dari : URL, : http://www.netdoctor.co.uk.
2005
7. Manuaba. 1998. http://www.nengbidan.com/2011/11/perubahan-fisiologi-
pada-wanita-hamil.html. 15 Januari 2013. 16:02 WIB.

30
8. Aaron B Caughey, Jennifer R. Butler. Postterm Pregnancy. Medscape
references, 2011. Diunduh dari http://emedicine.medscape/article/26136-
overview#aw2aab6b5
9. Said A Latief, Kartini A Suryadi dan M Ruswan Dachlan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi edisi kedua, Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.
10. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2nd ed. Stamford:A
LANGE medical
11. Latief SA, surjadi K, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
anestesiologi Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia
12. Boulton TB, Blogg CE, alih bahasa : Oswari, Jonatan. Anestesiologi. Edisi
10. Jakarta : EGC. 2004
13. Visser L. Epidural Anestesia. Update 2011. Cited 2011 April. Available from :
http:/www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u13/u1311_01.htm
14. Franco CD, Neuroaxial anesthesia. Updated 2009. Cited 2011. Avaible
from:http://www.cookcountryregional.com/.
15. .Katzung, Bertram G. Alih bahasa: Staf dosen farmakologi FK Universitas
Sriwijaya. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta : EGC.2002
16. Desborough JP. The stress response to trauma and surgery, endocrine and
metabolic disorders in anesthesia and intensive care. Br. J. Anaesth.2000; 85
(1) ;109-17
17. Fischer LG, Bremer M, Coleman EJ, Conrad B, Gross A, et al. local
anesthetics attenuate lysophosphatidic acid-induced priming in human
neutrophils. Anaesth analg 2001;92(4):1041-7
18. Gravlee GP, Davis RF, Markkuruz CCP. Endokrin, Metabolit, and Elektrolyte
Responses in cardiopulmonary Bypass. Principle and practice 2nd edition.
Lippicott Williams and Wilkins. Philadelphia.2000

31

Anda mungkin juga menyukai