Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekonomi dunia dewasa ini mengalami perubahan cukup pesat dan pergeseran peta
kekuatan ekonomi yang diwarnai dengan semakin kompleksnya persoalan serta persaingan yang
semakin tajam. Persoalan demi persoalan mi dihadapi oleh sebagian besar negara-negara di
berba gal kawasan, terutama negara-negara sedang berkembang. Segala upaya dalam
meningkatkan pembangunan nasional melalui berbagai kegiatan, khususnya pembangunan
ekonomi, perdagangan dan bisnis internasional terasa semakin rumit menjelang era globalisasi
ekonomi yang penuh tantangan.
Beberapa kekuatan mikro dan makro ekonomi telah dan sedang menggerakkan
globalisasi yang merambat ke segala penjuru dunia saat mi dan masa datang.
Kekuatan pertama adalah kekuatan yang menggelinding melalui deregulasi internasional,
yang bergerak dan kekuatan pasar negara maju ke segala penjuru dunia, sejak awal tahun l970 an
hingga saat ini.
Kekuatan kedua adalah kekuatan globalisasi financial markets yang mempermulus
deregulasi pasar barang dan jasa yang diikuti dengan lompatan teknologi komunikasi dan
informasi yang secara pninsip melemahkan kedaulatan nasional dalam pengembangan kebijakan
ekonomi yang berbasis nasional.
Kekua tan ketiga adalah semakin terbukanya perekonomian negara-negara non OECD di
Asia, Amerika Latin, dan Eropa Timur yang menuju pasar bebas dunia.
Kekuatan terakhir adalah penyebaran yang sangat luar biasa dan teknologi komunikasi
dan informasi yang berbasis mikroelektronik yang memacu dan mempolakan sumber daya dan
produksi global pada penajaman daya saing.
Kekuatan terakhir inilah yang membeni warna kuat dalam menggerakkan gelombang
ketiga menuju gelombang keempat dan globalisasi (the present fourth wave of globalization).
Situasi yang demikian mengantarkan pemenintah negara-negara dunia ketiga, khususnya
Indonesia, pada sisi yang rentan terhadap tekanan globalisasi karena kecepatan pergerakan modal
yang sama sekali tidak berimbang dengan keterbatasan ruang gerak kualitas tenaga kerja dan
sumber daya lamnnya. Hal mi dilengkapi dengan ketegaran MNC/TNC dengan senjata relokasi
investasi telah memincangkan perimbangan kekuatan negosiasi antarnegara.
Era globalisasi kini telah mulai melingkari Indonesia, di mana ditandai dengan hal-hal
berikut.
1. Perkembangan mazhab/aliran/paham pemikiran pembangunan yang berubah secara
adaptif dan bergerak secara dinamis.
2. Perubahan realitas peta kekuatan global, pelaku, instrumen, variable pembangunan
ekonomi dan kelembagaan yang bergeser secara progfesif, dinamis dan konstektual.
3. Perkembangan dan perubahan keterbukaan ruang lingkup, cakupan wilayah ekonomi,
dan ruang gerak terbatas (limited) menuju ruang gerak tanpa batas (global).
4. Semakin terpinggir dan rentannya kebijakan-kebijakan pembangunan dan penekanan
pemikiran pembangunan ekonomi yang terlalu berbasis nasional.
Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang memasuki era sebagai negara industri
baru, tidak bisa lepas dan putaran roda kegiatan ekonomi internasional yang penuh dengan
berbagai dinamika. Kesiapan dalam menghadapi era globalisasi dan liberalisasi ekonomi untuk
kawasan AFTA (Asean Free Trade Area), APEC (Asia Pacific Economic Coo poration) dan era
perdagangan bebas secara total dan WTO (World Trade Organisation), ke depan, merupakan
suatu tantangan berat dan keharusan yang tidak bisa dihindari. Bagi Indonesia, hal mi merupakan
masalah serius karena pada saat yang sama kita sedang dihadapkan pada berbagai himpitan serta
kemelut ekonomi dan politik yang berkepanjangan.

Dalam industri otomotif nasional, pemerintah sebagai operator utama negara, harus
memiliki konsep yang jelas dalam pentahapan kemandirian industri otomotif nasional. Tak pelak
lompatan katak teknologi energi merupakan satu pilihan logis, yaitu Pada tahap awal, pemerintah
perlu mendorong kalangan swasta nasional untuk menjadi pelaku utama penguasaan teknologi
otomotif. Sebenarnya saat ini kalangan swasta Indonesia telah melakukan lompatan katak
pertama berupa kerjasama dan lisensi. Texmaco merupakan satu contoh swasta nasional yang
serius dalam penguasaan teknologi otomotif (truk).
Pendayagunaan dan kerjasama yang terprogram antar sumber daya yang ada di berbagai
lembaga riset pemerintah ataupun antara lembaga riset dengan kalangan swasta nasional guna
penguasaan teknologi otomotif mutakhir. Hasil lain dari tahap ini diharapkan munculnya pemain-
pemain baru-lokal yang berkualifikasi sebagai supplier otomotif nasional dan global. Ketiga
berhasilnya penguasaan teknologi serta bermunculannya qualified local supplier akan
memudahkan swasta nasional Indonesia mendirikan industri otomotif dalam negeri.

Selanjutnya dalam makalah ini penulis mencoba menelaah masalah seputar


perkembangan industri otomotif yang dikaitkan dengan ekonomi global.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep globalisasi ekonomi ?
2. Apa dampak krisis ekonomi global ?
3. Bagaimana latar belakang dan perkembangan industri otomotif di Indonesia ?
4. Bagaimana prospek industri otomotif indonesia ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep globalisasi ekonomi


2. Untuk mengetahui dampak krisis ekonomi global
3. Untuk mengetahui latar belakang dan perkembangan industri otomotif di Indonesia
4. Untuk mengetahui prospek industri otomotif indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Globalisasi Ekonomi

1. Konsep Globalisasi Ekonomi

Perkembangan ekonomi dunia yang begitu pesat telah meningkatkan kadar


hubungan saling ketergantungan dan mempertajam persaingan yang menambah semakin
rumitnya strategi pembangunan yang mengandalkan ekspor di satu pihak, hal ini
merupakan tantangan dan kendala yang membatasi. Di pihak lain hal tersebut merupakan
peluang baru yang dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan pelaksanaan pembangunan
nasional (Hendra Halwani, 2002).
Perekonomian dunia mengalami perubahan sejak dasawarsa tujuh puluh hingga
tahun 2000-an yang bersifat mendasar atau struktural dan mempunyai kecenderungan
jangka panjang atau konjungtural. Perkembangannya menarik, yang istilahnya sangat
populer belakangan ini adalah globalisasi.
Secara historis globalisasi berarti meluasnya pengaruh suatu kebudayaan atau
agama ke seluruh penjuru dunia. Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial,
produksi, investasi, dan perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan
ekonomi antarbangsa Proses globalisasi itu telah meningkatkan kadar hubungan saling
ketergantungan antarnegara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia,
sehingga batas-batas antarnegara dalam berbagai praktik dunia usaha/bisnis seakan-akan
dianggap tidak berlaku lagi.
Selain globalisasi, perubahan yang cukup menonjol adalah kecenderungan
terpisahnya kegiatan ekonomi primer dan ekonomi industri, yang berarti bahwa
penggunaan material dalam industri makin sedikit. Dan perkembangan itu terlihat bahwa
proses kegiatan ekonomi produksi industri pengolahan dalam perkembangannya tampak
makin melemah kaitannya ke belakang. Sehingga perkembangannya tidak banyak
menimbulkan pengaruh yang serupa pada produksi barang primer.
Dampak yang terjadi adalah merosotnya harga komoditi primer yang disebabkan
oleh permintaan yang lesu, merosotnya nilai tukar perdagangan (term of trade) dan sektor
pertanian, sejalan dengan produksi yang terus-menerus meningkatkan karena teknologi
baru. Kaitan yang melemah juga tampak pada perkembangan industri dengan penciptaan
kesempatan kerja sebagai akibat robotisasi dan melemahkan kaitan ekonomi moneter
perbankan dengan ekonomi riil (sektor produksi dan perdagangan).
Pada umumnya, negara di dunia menghadapi perkembangan tersebut dengan
melakukan berbagai langkah penyesuaian yang sebagian cenderung bersifat
proteksionistis. Timbulnya berbagai blok perdagangan yang pada dasarnya melanggar
ketentuan General Agrecment On Tariffs and Trade (GATT)/ World Trade Organization
(WTO) atau diterapkannya peraturan perundang-undangan yang jelasjelas proteksionistis,
semuanya menunjukkan gejala tersebut.
Dalam kerangka hubungan perdagangan internasional, berbagai upaya masih
dijalankan agar usaha memperbaiki sistem perdagangan dunia melalui perundingan
perdangangan multilateral dalam kerangka, yaitu perundangan dalam Putaran Urugay,
dapat segera memberi hasil positif, yaitu terciptanya perdagangan dunia yang bebas, adil,
dan terbuka. Globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya batas-batas
investasi atau pasar secara nasional, regional, ataupun internasional. Hal itu disebabkan
oleh adanya hal-hal berikut.
1. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih.
2. Lalu lintas devisa yang semakin bebas.
3. Ekonomi negara yang makin terbuka.
4. Penggunaan secara penuh keunggulan kompartif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap
negara.
5. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang makin efisien,
6. Semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia.
(Hendra Halwani, 2002)
2. Organisasi-organisasi Internasional
Telah terjadi peningkatan pengalihan kekuasaan (ceding sovereignity)
pemerintah kepada organisasi-organisasi internasional yang bertindak demi kepentingan
perusahaan-perusahaan transnasional seperti IMF, Bank Dunia dan Organisasi
Perdagangan Dunia.
Lagi-lagi kita perlu membedakan antara negara-negara semi-kolonial dan negara-
bangsa imperialis. Pemerintah negara-negara imperialis tidak lain adalah merupakan
sebuah komite eksekutif untuk mengelola kepentingan bersama para kapitalis nasional
mereka, fraksi yang dominan diorganisir di dalam perusahaan-perusahaan transnasional.
Dan adalah pemerintah negara-negara imperialis yang mengontrol IMF, Bank Dunia dan
WTO, sebagaimana mereka juga mengontrol Dewan Keamanan PBB. Di dalam IMF,
misalnya, proporsi suara berdasarkan besarnya setoran saham mereka atas sumber
keuangan. Pada tahun 1990, ke 23 negara-negara imperialis memiliki 62,7% suara
sebagai tandingan 35,2% suara yang dimiliki 123 anggota lainnya. Lima pimpinan
Dewan Eksekutif Permanen IMF dicalonkan oleh lima besar pemilik saham --AS,
Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang.
Fungsi pokok IMF, Bank Dunia dan WTO adalah untuk menyetir seluruh negara
dalam hal kebijakan ekonomi dunia yang telah disepakati oleh negara-negara imperialis
utama. Kebijakan tersebut diputuskan dalam pertemuan tahunan pemerintah 7 negara
imperialis utama (atau kelompok G7,pentj). Dalam pertemuan tahun 1976 mereka,
misalnya, pemimpin-pemimpin negara G7 menyetujui rencana reorganisasi ekonomi
negara-negara Dunia Ketiga melalui : pembukaan pasar dunia (dalam hal ini, untuk
mengimpor barang-barang dari negara-negara imperialis), memprioritaskan ekspor
daripada pasar dalam negeri, privatisasi BUMN-BUMN serta pemfungsian dan
membukanya bagi investasi asing (dalam hal ini : imperialis), dan pemotongan pos-pos
anggaran yang tidak produktif seperti pendidikan dan kesehatan. Setelah tahun 1976,
keputusan itu menjadi kebijakan yang dipaksakan bagi negara-negara pengutang yang
berasal dari Dunia Ketiga oleh IMF dan Bank Dunia.
Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menancapkan pengaruh guna mendapatkan
konsesi politik dan ekonomi bagi negara-negara imperialis dan perusahaan-perusahaan
transnasional yang mana dekolonisasi dan kemerdekaan politik formal yang diberikan
kepada borjuasi di negara-negara tersebut. Dus, penerapan beberapa resep pro-export bagi
semua nagara-negara debitur (pengutangpentj)Dunia Ketiga berarti adalah intensifikasi
persaingan diantara mereka, dengan efek yang menghancurkan harga komoditi ekspor
mereka, yang terdiri dari sebagian besar bahan mentah. Menjelang tahun 1989, harga
rata-rata produk-produk ini, diluar minyak, adalah dibawah 33% harganya di tahun 1980.
Penaklukan kembali pasar dalam negeri negara-negara semi-kolonial adalah juga
merupakan tujuan mendasar dibalik tekanan kekuatan negara-negara imperialis terhadap
asosiasi-asosiasi pasar bebas seperti NAFTA dan APEC. Penghapusan tarif impor
terhadap seluruh anggota asosiasi-asosiasi ini menghapus satu-satunya bentuk proteksi
yang tersisa oleh negara-negara semi-kolonial terhadap penetrasi pasar dalam negeri
mereka oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Tetapi negara-negara imperialis dapat
membatasi penetrasi terhadap pasar dalam negeri mereka terhadap ekspor dari negara-
negara semi-kolonial melalui menerapkan serangkaian hambatan-hambatan non-tarif
yang kokoh.

3. Dampak Krisis Ekonomi Global


Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib 1 (satu) orang
bahkan lebih dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai
argument dan komentar pun dilontarkan di berbagai media yang selalu memojokkan
pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia) Di salah satu media menyatakan
bahwa Presiden Yudhoyono menyampaikan 10 langkah untuk menghadapi masalah
tersebut. Empat di antaranya:
1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri
2. Memanfaatkan peluang perdagangan internasional
3. Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4. Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu bukanlah
semata adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini perlu dihadapi
bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini lebih dahsyat meluluh-
lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai Krisis Moneter
Part I di Era Soeharto.
Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat
jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin
bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai
merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu.
Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun mulai menarik saham dalam
industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan peluang
untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum lagi kasus-
kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan dengan masalah yang lebih di
prioritaskan sehingga dengan bebasnya para koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang.
Selamat buat para koruptor Anda bisa keluar dari persembunyain untuk sementara
Waktu. How pity a Country !
Memang sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris
tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari negara
tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang
sebagai rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang
ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari hasil
laut belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai
sehingga negara-negara lain meraup keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan
cara yang tidak fair. Belum lagi persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis
serta Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan
Punya Harta yang sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh
bangsa ini.
Dan kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi
Global yang di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat
memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita
meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat indonesia termasuk element pemerintah
berikut departement terkait untuk meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional
sehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat mandiri
serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak bumi terbesar yang akan
membalikkan keadaan menjadi negara Pengekspor Terbesar.1

1
B. Latar Belakang dan Perkembangan Industri Otomotif di Indonesia

Ancaman ketersediaan minyak bumi serta isu pemanasan global merupakan dua hal
terpenting yang mempengaruhi kebijakan industri otomotif dunia saat ini. Hemat energi dan
ramah lingkungan menjadi standard utama bagi kendaraan, terutama di negara maju. Guna
mengantisipasi tuntutan tersebut, raksasa otomotif seperti Toyota memilih strategi diversifikasi
produk (Coup, 1999). Strategi semacam ini cukup tepat mengingat belum matangnya sumber
energi selain minyak bumi yang berkorelasi pada masih mahalnya sumber-sumber energi baru
tersebut.
Strategi industri otomotif dunia dalam mengantisipasi tuntutan mutakhir tersebut
umumnya bermuara pada tiga hal: (1) Perbaikan efisiensi dan karakteristik mesin pembakaran
dalam (Internal Combustion Engine-ICE) yang sudah ada saat ini, (2) Kombinasi, baik antar
berbagai sumber energi, seperti bensin-bioethanol, solar-biofuel, dan sebagainya, maupun antar
teknologi energi, seperti ICE konvensional dengan motor elektrik, (3) Penggunaan sumber dan
teknologi energi baru, seperti fuel cell vehicleberbahan bakar hidrogen.
Kecenderungan lain sektor otomotif dunia adalah penyebaran divisi manufaktur dan
perakitan di berbagai negara yang besar jumlah penduduknya serta memiliki pertumbuhan
ekonomi yang signifikan. Langkah ini awalnya muncul karena regulasi negara-negara yang
menjadi sasaran industri otomotif dunia (seperti ketentuan Local Content Requirements-LCRs,
dan sebagainya), namun belakangan, usaha untuk menekan biaya produksi menjadi motif utama
pendirian divisi manufaktur dan perakitan tersebut (Ivarsson, 2005).
Namun demikian, divisi riset dan pengembangan (R&D) yang merupakan jantung
pertumbuhan industri otomotif umumnya masih dikendalikan dan berposisi di negara prinsipal.
Selain memudahkan strategi pengembangan industri dalam menghadapi perubahan global yang
saling kait-mengkait, pemosisian divisi R&D di negara prinsipal bisa juga dipahami sebagai
usaha proteksi terhadap eksistensi prinsipal otomotif.
Bila ukuran kemandirian industri otomotif diukur dari keberadaan pabrik manufaktur atau
perakitan kendaraan bermotor, Indonesia boleh berbangga karena berbagai merek kendaraan
ternama dunia telah mendirikan pabrik manufaktur dan atau perakitan di tanah air.
Namun bila ukuran kemandirian tersebut dilihat dari sisi penguasaan teknologi beserta
keleluasaan dalam pengembangannya, kenyataan menunjukkan bahwa berbagai industri otomotif
yang ada saat ini secara mayoritas masih dikendalikan oleh tiga pemain utama otomotif dunia
yaitu Jepang, Eropa, dan Amerika. Raksasa otomotif dari Negeri Sakura, yakni Toyota,
Mitsubishi, Suzuki, Isuzu, dan Daihatsu, adalah lima besar industri otomotif Indonesia saat ini.
Saat ini jelas tidak mudah untuk mendirikan industri otomotif dalam negeri di tengah
persaingan ketat antar raksasa otomotif dunia. Belum lagi, regulasi perdagangan internasional
saat ini yang semakin mengarah ke perdagangan bebas (free-trade), sudah barang tentu
mempengaruhi ruang gerak pemerintah dalam memberikan proteksi, terhadap bibit industri
otomotif dalam negeri.
Namun jelas pula, bahwa tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Pilihan ke arah
kemandirian industri otomotif nasional harus menjadi cita-cita seluruh komponen bangsa.
Setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakanginya yaitu (1) Secara alamiah, prinsipal lebih
mengutamakan kepentingan bisnis globalnya dibandingkan dengan kepentingan bangsa
Indonesia. Hal ini berimplikasi pada tidak mudahnya aspirasi lokal menembus desain otomotif di
negara principal, (2) Tidak berjalannya mekanisme kemitraan bisnis dan teknologi yang
sungguh-sungguh dan sistematis dari prinsipal ke supplier lokal. Globalisasi otomotif yang
berimplikasi pada mobilitas produk trans-nasional menuntut kualitas komponen yang tinggi.
Logis bahwa prinsipal lebih memilihsupplier trans-nasional yang memenuhi standar prinsipal
dibandingkan harus membimbing supplier lokal untuk mencapai standar tertentu. Belum lagi bila
kepentingan nasional prinsipal turut berperan dalam pengambilan keputusan
pemilihan supplier komponen. Dalam bisnis, ini hal yang biasa. Namun dalam kerangka
kepentingan nasional, ini tidak menguntungkan karena menyebabkan tidak terbangunnya industri
pendukung otomotif. (3) Ketergantungan penuh dengan prinsipal asing akan menyulitkan
Indonesia untuk catch-up dengan teknologi otomotif mutakhir yang hemat energi dan ramah
lingkungan dalam rangka memenuhi kepentingan nasional.
Pemerintah, sebagai operator utama negara, harus memiliki konsep yang jelas dalam
pentahapan kemandirian industri otomotif nasional. Tak pelak lompatan katak teknologi energi
merupakan satu pilihan logis, yatiu (1) Pada tahap awal, pemerintah perlu mendorong kalangan
swasta nasional untuk menjadi pelaku utama penguasaan teknologi otomotif. Sebenarnya saat ini
kalangan swasta Indonesia telah melakukan lompatan katak pertama berupa kerjasama dan
lisensi. Texmaco merupakan satu contoh swasta nasional yang serius dalam penguasaan
teknologi otomotif (truk). (2) Pendayagunaan dan kerjasama yang terprogram antar sumber daya
yang ada di berbagai lembaga riset pemerintah ataupun antara lembaga riset dengan kalangan
swasta nasional guna penguasaan teknologi otomotif mutakhir. Hasil lain dari tahap ini
diharapkan munculnya pemain-pemain baru-lokal yang berkualifikasi sebagai supplier otomotif
nasional dan global. (3) Berhasilnya penguasaan teknologi serta bermunculannyaqualified local
supplier akan memudahkan swasta nasional Indonesia mendirikan industri otomotif dalam
negeri.
Menilik fasilitas dan kemampuan sumber daya di bidang teknologi yang dimiliki
Indonesia saat ini, lompatan katak otomotif ini (seharusnya) tidaklah sesulit usaha putra-putri
bangsa menguasai teknologi dirgantara. Kemauan yang kuat, sinergi, dan konsistensi dari seluruh
komponen bangsa, merupakan kata kunci untuk mewujudkannya.2

Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia memberikan kebijakan mengenai program pinjaman
terhadap para pengusaha nasional. Program ini bertujuan agar pengusaha nasional dapat membeli
perusahaan yang semula dimiliki oleh perusahaan asing di Indonesia.Kondisi ini juga diharapkan
terjadi pada industri otomotif. Pemeritah berharap perusahaan-perusahaan otomotif asing dapat
diambil alih oleh pengusaha nasional dan dapat berkembang.
Keinginan tersebut ternyata tidak berjalan mulus sesuai dengan harapan karena PT Gaya
Motor yang merupakan salah satu pabrik perakitan tidak dapat diambil alih karena keterbatasan
modal dan ahli teknik yang dimiliki. Kondisi dunia otomotif Indonesia memburuk saat tahun
1960-an terjadi kekacauan ekonomi dan politik yang menyebabkan perusahaan otomotif asing
enggan untuk memasuki pasar Indonesia. Situasi ini mengakibatkan produk yang beredar di
Indonesia semakain langka. Disisi lain permintaan menunjukkan angka yang positif. Seiring
berjalannya waktu kondisi ekonomi dan politik pun membaik.
Pada tahun 1970-an pemerintah mengeluarkan kebijakan baru lagi tentang penanaman
modal,baik asing maupun domestik. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Sjamoebi untuk melakukan
kerjasama dengan Mitsubishi Corporation. Mulai saat itu PT Marwa Baru merupakan distributor
tunggal resmi kendaraan Mitsubishi di Indonesia.
2 industri-otomotif-nasional , http://www.kamusilmiah.com/mesin/industri-otomotif-nasional/, diakses tanggal 20
Desember 2009.
Dalam waktu yang tidak berselang lama, tepatnya 12 April 1971 berdiri PT Toyota Astra Motor
yang merupakan kerjasama antara PT Astra International Tbk dengan Toyota Motor Corporation
Jepang. Kepemilikan sahamnya yaitu 51% untuk PT Astra Internasional Tbk dan 49% untuk
Toyota Motor Corporation. Mulai saat itu persaingan mulai terlihat dan dunia otomotif Indonesia
semakin semarak.
Pada tahun 1973, PT Marwa Baru berubah nama menjadi PT Krama Yudha Tiga Motor
Berlian (KTB). Pada tahun yang sama perusahaan ini juga mendirikan PT Mitsubishi Krama
Yudha Pabrikasi dan Motor yang berfungsi sebagai pabrik produksi pengecapan komponen. PT
Toyota Astra Motor juga tidak mau kalah, sehingga perusahaan ini juga mendirikan pabrik
perakitan sendiri.
tiga tahun berikutnya, Pada tahun 1976 PT Toyota Astra Motor juga mendirikan pabrik
komponen bodi yang dalam pengerjaannya dibawah PT Toyota Mobilindo.
Dunia otomotif semakin lama semakin semarak dan mengalami kemajuan, hal ini dapat
terlihat dengan bermunculannya inovasi-inovasi baru untuk menarik dan memenuhi kebutuhan
konsumen. Salah satunya adalah Indomobil Internasional Tbk,yang merupakan salah satu
perusahaan perseroan yang terbesar dan terkemuka di Indonesia. Perseroan dan anak perusahaan
merupakan Agen Tunggal Pemegang Merk(ATPM) dan distributor dari sembilan merk kendaraan
terkenal yaitu Audi,Hino,Mazda,Nissan,
Renault,Suzuki,Ssangyong,Volkswagen dan Volvo.
Pada tanggal 31 Desember 1998 PT Toyota Astra Motor melakukan merger dengan PT
Multi Astra, PT Toyota Engine Indonesia, dan PT Mobilindo. Dengan ini posisi PT Toyota Astra
Motor semakin kuat karena didukung komponen yang bagus.
Pada tahun 2000, dari bulan januari sampai november,angka penjualan mobil di
Indonesia mencapai 274.864 unit.Angka penjualan ini menempatkan Indonesia di urutan kedua
setelah Malaysia.Namun pada tahun 2001 penjualan mulai menurun karena jatuhnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS dan adanya pengenaan pajak penjualan barang mewah dan kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) untuk industri.
Pada tahun 2001 penjualan mobil selama bulan januari mencapai 21.117 unit, dan bulan
februari 22.744 unit. Angka tersebut lebih baik daripada angka penjualan pada periode yang
sama tahun 2000,yangmencapai 11.032 unit dan 18.066 unit. Penjualan mobil tertinggi dipegang
oleh Toyota,urutan kedua Honda,urutan ketiga Suzuki,urutan keempat BMW,urutan kelima
Hyundai,urutan keenam Mitsubishi,dan urutan ketujuh Marcedes Benz.
Pada tahun 2003 PT Dirgantara yang dikenal sebagai pabrik pesawat terbang
memperkenalkan produk pertama mobil buatannya yang diberi nama Gang Car dengan berat
260 kg,berkapasitas penumpang 2 orang,dan berkekuatan 125 cc dan 250 cc. Meskipun mungil
PT DI mentargetkan untuk bisa menguasai 10% pasar di Indonesia.
Pada akhir Oktober 2004,produksi Honda secara keseluruhan telah menembus posisi
keempat pasar mobil di Indonesia.Angka penjualan telah mencapai 39.317 unit atau meraup total
pangsa pasar mobil nasional sebesar 9,8% dari total penjualan keseluruhan. Kenaikan penjualan
mobil Honda di Indonesia ini menunjukkan bahwa
Honda semakin memposisikan dirinya sebagai salah satu mobil yang paling diminati masyarakat
Indonesia.
Persaingan dan inovasi dari masing-masing perusahaan semakin hari semakin terlihat.
Hal tersebut merupakan indikasi positif untuk perkembangan kedepan dalam dunia otomotif
Indonesia. Pada tahun 2005 jumlah produksi mobil baru yang berhasil dijual mencapai 533.000
unit yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah industri otomotif di Indonesia.
D. Prospek Industri Otomotif Indonesia
Dampak dari krisis ekonomi global terhadap kemerosotan industri otomotif termasuk
yang paling luar biasa. Ini antara lain ditandai kasus kebangkrutan sejumlah perusahaan otomotif
besar, seperti General Motor (GM), Ford, dan Chrysler atau yang lebih dikenal The Big Three.
Kemerosotan The Big Three telah diidentifikasi sejak tahun 2000. Ini setidaknya dapat
dilihat dari semakin menurunnya pangsa pasar mereka di Amerika Serikat (AS). Tiga perusahaan
otomotif raksasa itu telah menderita penurunan penjualan mobil (light vehicles) hampir 20 persen
di pasar AS sejak 2000 hingga 2008.
Pada 2008, pangsa penjualan The Big Three di AS untuk pertama kalinya akan berada di
bawah 50 persen. Kurangnya inovasi di bidang teknologi, desain, biaya, imaji, dan unsur lainnya
menjadi penyebab penurunan penjualan mobil keluaran The Big Three.

1. Rontoknya pabrikan raksasa dunia


Seiring dengan penurunan penjualan The Big Three, tingkat penjualan mobil
pabrikan Jepang justru mengalami kemajuan pesat. Jika pada 2000 pangsa penjualan
mobil Jepang di AS sekitar 25 persen, pada 2008 diperkirakan mencapai 40 persen.
Tingginya penjualan mobil Jepang tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki
mobil keluaran Jepang, seperti harga yang lebih murah, efisiensi bahan bakar, dan unsur
lainnya yang tidak ditemukan pada mobil produksi The Big Three.
Seiring dengan pelemahan kinerja tiga perusahaan raksasa itu, pangsa pasar
mereka pun kini semakin menurun. Dan sebaliknya, pangsa pasar pabrikan otomotif dari
Jepang mengalami peningkatan.
Pada 2008, tingkat penjualan mobil di AS mengalami kemerosotan yang drastis.
Berdasarkan laporan AutoObserver, selama tahun 2008, seluruh The Big Six (The Big
Three plus Honda, Nissan, dan Toyota) melaporkan penurunan penjualan.
Selama 2008, industri otomotif AS hanya mampu menjual mobil sebanyak 13,2
juta unit atau menurun 18 persen dibandingkan 2007 yang mampu menjual sebanyak 16,1
juta unit mobil.
Menurunnya kinerja penjualan industri otomotif di AS telah menyebabkan kondisi
keuangan mereka juga dalam kondisi kritis dan terancam bangkrut.
The Big Three, misalnya, kini dalam kondisi sangat kritis.
GM mengalami kondisi yang paling parah. Sepanjang 2007, GM menderita
kerugian sebesar 38,7 miliar dolar AS. Sedangkan pada 2008 kerugiannya diperkirakan
akan lebih besar lagi.
Chrysler sepanjang 2008 diprediksi mengalami kerugian sebesar delapan miliar
dolar AS. Adapun Ford mengalami kerugian 14,6 miliar dolar AS.
Kinerja industri otomotif di Eropa juga mengalami hal yang sama dengan di AS.
Berdasarkan data dari European Automobile Manufacturers Association (EACA), selama
2008, permintaan terhadap mobil komersial baru mengalami penurunan sekitar sembilan
persen di seluruh Eropa. Sedangkan permintaan mobil sedan turun hingga 7,8 persen.
Ini menggambarkan bahwa dampak krisis ekonomi telah memberikan dampak
pada kinerja industri otomotif, khususnya paruh kedua tahun 2008. Penurunan kinerja
tersebut merupakan yang paling tajam sejak 1993.
Secara keseluruhan, selama 2008, sebanyak 18,4 juta unit mobil baru telah
diproduksi atau turun tujuh persen dibandingkan produksi 2007 sebesar 19,7 juta unit.
Salah satu dari lima negara produsen mobil terbesar di Eropa, Italia, dilaporkan
mengalami penurunan produksi mobil hingga 20,3 persen.
Disusul kemudian oleh Prancis turun 14,9 persen, Spanyol turun 12 persen,
Inggris turun 5,8 persen, dan Jerman turun 2,8 persen.
Sementara itu, untuk kategori mobil penumpang, selama 2008 registrasi barunya
mengalami penurunan sebesar 7,8 persen dan menjadi sebanyak 14.712.158 unit. Kinerja
ini merupakan penurunan terburuk sejak 1993.
Permintaan mobil penumpang baru turun sebesar 8,4 persen di Eropa Barat.
Sedangkan registrasi baru untuk kategori mobil penumpang di negara-negara Uni Eropa
turun 0,7 persen selama 2008.
Industri otomotif di Jepang juga mengalami penurunan kinerja selama 2008.
Kendati, penurunan kinerja industri otomotif di Jepang tidak seburuk yang dialami AS
dan Eropa.
Berdasarkan data dari Japan Automobile Manufacturers Association (JAMA),
selama 2008, produksi mobil di Jepang tercatat sebanyak 11.563.629 unit, atau 99,7
persen-nya dibandingkan total produksi mobil selama 2007.

2. Peluang Bagi Industri Otomotif Indonesia


Seperti sudah disebutkan bahwa perkiraan pajak dan pungutan pemerintah pada
sektor otomotif masih penyumbang besar bagi pemerintah. Dari penjualan yang
diperkirakan tahun 2003 sebesar Rp 30 Trilyun, pemerintah menerima Rp 20 Trilyun,
suatu penerimaan yang sangat besar dan untuk mengurangi tentu saja sulit sekali. Di
Harian Media Indonesia, hari Sabtu 6 September 2003 disebutkan pernyataan usulan
Gaikindo agar ada penurunan Bea Masuk, karena terlalu tingginya bea masuk untuk
kendaraan bermotor akan menyebabkan kurangnya daya saing. Maksud semula dengan
tingginya bea masuk untuk "proteksi" bagi investasi dan tumbuhnya industri otomotif.
Justru Globalisasi akan memaksa pemerintah untuk memikirkan bagaimana kelanjutan
Bea Masuk dan Pajak-pajak lainnya yang menyebabkan mahalnya harga mobil dinegara
ini. Seandainya pemerintah mau menurunkan pajak serta bea masuk, tentu harga mobil di
Indonesia bisa diturunkan. Sekali lagi ditegaskan bahwa harga mobil mahal disebabkan
pajak-pajak, bea masuk yang meliputi kisaran 60 % dari harga mobil itu sendiri.
Bagaimana Thailand bisa memajukan industri otomotifnya ?-Adanya Free Trade
dengan AFTA, perjanjian perdagangan bebas dengan Cina dan Australia.-Policy
pemerintah mengenai (ownership-regulation-tax).-Memajukan industri lokal melalui
International Manufacturer.-Skill dari tenaga kerja yang lebih baik diantara negara-negara
Asean menyebabkan : low cost dan kapabilitas-Basis supply komponen lokal yang kuat.-
Infra structure yang bagus dan kawasan industri yang berkembang baik-Detroit of Asia-
Pasaran truk global serta Pick Up yang sesuai untuk AFTA (mencapai Critical Mass).
Fakta-fakta mengenai Industri Autoparts Thailand.-Delphi Asia Pacific menetapkan basis
produksinya untuk pasaran Asean di Thailand dan sampai tahun 2005 akan membuat 340
komponen baru.-Autoparts Industry di Thailand ialah 50 % manufacturer sendiri, 40 %
asing sebagai mayoritas dan 10 % Joint Venture dengan pihak Thai sebagai mayoritas.-
Investasi Pemerintah, ARTC-Automotive Research & Testing Center.-Pemilihan OEM
dan REM.
Bagaimana dengan Cina sebagai negara baru bidang otomotif ?-Cina
mengandalkan basis produksi untuk sedan, jenis Pick Up belum ada. Produksi mobil di
Cina 2,4 juta unit, sedangkan gabungan negara Asean 1,2 unit dalam tahun 2002. -. Cina
merupakan pasaran mobil nomor 2 di Asia dan kemungkina besar tahun 2011 pasaran
mobil di Cina akan melewati Jepang dan penjualan diramalkan mencapai 7,2 juta mobil
pertahun.-Untuk pasaran mobil, Cina masih mengandalkan pada domestik yang tumbuh
sangat pesat.
Dalam menghadapi AFTA, apa yang terjadi di industri otomotif ?-Arah industri
otomotif ialah Global Free Trade-Asean Automotive Industry yang mampu bersaing
dipasaran internasional-Investasi langsung dari luar negeri ke Asean-Export CBU-
Completely Built Up.
Apakah yang terjadi saat ini ?-Industri otomotif dari Asia, USA-Europa
memutuskan untuk produksi di Thailand.-Untuk Indonesia hanya Toyota-MPV, Nissan-
Trail, Honda : Stream dan CRV.-Mobil BMW seri 3,5 dan 7 juga produksi di Thailand
dengan target 10.000 unit/tahun.-CBU export dari Thailand 30 % dari National output,
nomor 3 setelah Jepang dan Korea.-Target Thailand 2003, export mobil 730.000 unit-
Thailand juga menetapkan manufacturing based untuk Truk dan Pick Up.
Fakta dan data diatas bisa dijadikan sumber memikirkan policy pemerintah
dibidang otomotif, misalnya arah basis model, industri komponen, bentuk investasi asing
dan lokal, persaingan antar negara Asean terutama majunya Thailand setelah tahun krisis
finansial dunia dan jebloknya kondisi keamanan Indonesia pasca 1998 dan hal-hal lain
yang menyebabkan kaburnya investor asing dan ambruknya investor domestik. Malaysia
baru akan mengikuti AFTA tahun 2008, untuk melindungi Mobil Nasionalnya.3

Berdasarkan fakta-fakta di atas, terlihat bahwa kecil kemungkinan industri


otomotif global akan mengalami kebangkrutan massal, meskipun industri otomotif AS
mengalami keruntuhan.
Kemungkinan yang paling masuk akal adalah terjadinya pergeseran pemasok
kebutuhan otomotif yang akhirnya harus ditinggalkan The Big Three. Bila upaya

3 Industri Otomotif yang diyakini sebagai industri masih mempunyai masa depan.
http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=10238&start=0,
penyelamatan industri otomotif AS betul-betul gagal, kemungkinan besar pangsa pasar
mereka akan diambil alih oleh pabrikan dari Jepang, yang memang telah menyiapkan diri,
selain pabrikan dari Eropa.
Meski demikian, pabrikan otomotif di luar AS tampaknya tidak akan memaksakan
diri melakukan penetrasi di AS. Hal ini terutama didasari oleh realitas bahwa daya beli
konsumen AS yang jatuh pada 2009. Prediksinya, pabrikan otomotif Jepang dan Eropa
justru akan meningkatkan investasinya di pasar-pasar baru yang memiliki potensi untuk
tumbuh pesat, seperti di BRIC.
Di antara negara BRIC, Cina merupakan negara yang memiliki potensi menjadi
pasar otomotif yang paling diincar. Ini mengingat, tingkat pertumbuhan ekonomi Cina
yang tinggi dan jumlah penduduknya yang sangat besar.
Indikasi bahwa pasar otomotif Cina akan mengalami booming, sudah terlihat
sejak 2002. Berdasarkan Annual Report 2008 yang dikeluarkan VDA, aosiasi otomotif
Jerman, disebutkan bahwa pada 2007 Cina mengalami peningkatan produksi mobil
(untuk seluruh jenis) hingga 175 persen dibandingkan produksinya pada 2002.
Indonesia sesungguhnya memiliki peluang untuk menjadi tempat investasi
(relokasi) bagi industri otomotif besar karena karakteristiknya yang sama dengan BRIC.
Hal ini terutama didasari oleh fakta bahwa kekuatan ekonomi Indonesia selama ini
sesungguhnya ditopang oleh sisi domestik kita memiliki daya beli yang cukup tinggi.
Terlihat bahwa meskipun krisis global mengancam prospek ekonomi kita, namun
hal itu tampaknya tidak berlaku bagi produk otomotif di Indonesia. Pada 2008, volume
penjualan mobil mencapai 607.805 unit, atau naik 39,89 persen dibandingkan 2007 yang
mencapai 434.473 unit.
Pada 2007, pertumbuhan penjualan mobil di Indonesia mencapai 35,9 persen
dibandingkan 2006 yang merupakan pertumbuhan tertinggi di Asia, lebih tinggi sekalipun
dengan Cina dan India.
Membaiknya penjualan sektor otomotif di pasar domestik, khususnya pada 2008,
setidaknya sangat dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, tingkat suku bunga perbankan
yang relatif rendah. Kedua, tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Ketiga, nilai
tukar rupiah yang cukup stabil, terutama terhadap yen dan dolar AS.
Prestasi yang diraih pada 2008 memang mustahil diraih lagi pada 2009. Namun,
penurunan penjualan mobil di Indonesia tidak akan separah dibanding negara-negara lain
yang terkena resesi.
Hingga April 2009, penjualan mobil domestik mencapai 134.868 unit, atau turun
39 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 187.246 unit.
Namun demikian, tren tingkat penjualan mobil setiap bulannya mengalami
peningkatan. Pada Januari 2009, volume penjualan mobil mencapai sekitar 31 ribu unit,
pada April 2009 sudah 34.610 unit. Setelah pemilu, penjualan diperkirakan akan naik
lebih besar.
Sentimen lain yang mendorong penjualan mobil adalah bunga kredit yang
cenderung turun dan makroekonomi sudah baik. Dengan kata lain, di balik kebangkrutan
industri otomotif global, sesungguhnya terdapat blessing bagi peningkatan aktivitas
investasi, khususnya sektor otomotif di Indonesia.
Kita sesungguhnya dapat memainkan peran yang lebih aktif guna menarik
kegiatan relokasi industri otomotif agar diarahkan ke Indonesia. Namun semuanya sangat
tergantung pada aspek tawar menawar yang dimiliki kedua belah pihak: investor dan
pemerintah Indonesia.4

4
BAB III

KESIMPULAN

1. Persaingan dunia otomotif pada era globalisasi ekonomi semakin ketat, situasi ini terlihat
dengan adanya inovasi-inovasi baru yang semakin berkembang.
2. Bagian R&D perusahaan harus peka dan respek terhadap setiap fenomena yang terjadi di
dalam masyarakat serta setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
terutama yang berhubungan dengan otomotif.
3. Perubahan yang ada di lingkungan masyarakat menuntut perusahaan untuk
mengimbanginya dengan mengeluarkan produk-produk yang nyaman dan aman bagi
masyarakat dan lingkungan, sehingga perusahaan harus melakukan langkah-langkah
strategis yang dapat menguntungkan perusahaan tapi tidak merugikan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai