PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi dunia dewasa ini mengalami perubahan cukup pesat dan pergeseran peta
kekuatan ekonomi yang diwarnai dengan semakin kompleksnya persoalan serta persaingan yang
semakin tajam. Persoalan demi persoalan mi dihadapi oleh sebagian besar negara-negara di
berba gal kawasan, terutama negara-negara sedang berkembang. Segala upaya dalam
meningkatkan pembangunan nasional melalui berbagai kegiatan, khususnya pembangunan
ekonomi, perdagangan dan bisnis internasional terasa semakin rumit menjelang era globalisasi
ekonomi yang penuh tantangan.
Beberapa kekuatan mikro dan makro ekonomi telah dan sedang menggerakkan
globalisasi yang merambat ke segala penjuru dunia saat mi dan masa datang.
Kekuatan pertama adalah kekuatan yang menggelinding melalui deregulasi internasional,
yang bergerak dan kekuatan pasar negara maju ke segala penjuru dunia, sejak awal tahun l970 an
hingga saat ini.
Kekuatan kedua adalah kekuatan globalisasi financial markets yang mempermulus
deregulasi pasar barang dan jasa yang diikuti dengan lompatan teknologi komunikasi dan
informasi yang secara pninsip melemahkan kedaulatan nasional dalam pengembangan kebijakan
ekonomi yang berbasis nasional.
Kekua tan ketiga adalah semakin terbukanya perekonomian negara-negara non OECD di
Asia, Amerika Latin, dan Eropa Timur yang menuju pasar bebas dunia.
Kekuatan terakhir adalah penyebaran yang sangat luar biasa dan teknologi komunikasi
dan informasi yang berbasis mikroelektronik yang memacu dan mempolakan sumber daya dan
produksi global pada penajaman daya saing.
Kekuatan terakhir inilah yang membeni warna kuat dalam menggerakkan gelombang
ketiga menuju gelombang keempat dan globalisasi (the present fourth wave of globalization).
Situasi yang demikian mengantarkan pemenintah negara-negara dunia ketiga, khususnya
Indonesia, pada sisi yang rentan terhadap tekanan globalisasi karena kecepatan pergerakan modal
yang sama sekali tidak berimbang dengan keterbatasan ruang gerak kualitas tenaga kerja dan
sumber daya lamnnya. Hal mi dilengkapi dengan ketegaran MNC/TNC dengan senjata relokasi
investasi telah memincangkan perimbangan kekuatan negosiasi antarnegara.
Era globalisasi kini telah mulai melingkari Indonesia, di mana ditandai dengan hal-hal
berikut.
1. Perkembangan mazhab/aliran/paham pemikiran pembangunan yang berubah secara
adaptif dan bergerak secara dinamis.
2. Perubahan realitas peta kekuatan global, pelaku, instrumen, variable pembangunan
ekonomi dan kelembagaan yang bergeser secara progfesif, dinamis dan konstektual.
3. Perkembangan dan perubahan keterbukaan ruang lingkup, cakupan wilayah ekonomi,
dan ruang gerak terbatas (limited) menuju ruang gerak tanpa batas (global).
4. Semakin terpinggir dan rentannya kebijakan-kebijakan pembangunan dan penekanan
pemikiran pembangunan ekonomi yang terlalu berbasis nasional.
Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang memasuki era sebagai negara industri
baru, tidak bisa lepas dan putaran roda kegiatan ekonomi internasional yang penuh dengan
berbagai dinamika. Kesiapan dalam menghadapi era globalisasi dan liberalisasi ekonomi untuk
kawasan AFTA (Asean Free Trade Area), APEC (Asia Pacific Economic Coo poration) dan era
perdagangan bebas secara total dan WTO (World Trade Organisation), ke depan, merupakan
suatu tantangan berat dan keharusan yang tidak bisa dihindari. Bagi Indonesia, hal mi merupakan
masalah serius karena pada saat yang sama kita sedang dihadapkan pada berbagai himpitan serta
kemelut ekonomi dan politik yang berkepanjangan.
Dalam industri otomotif nasional, pemerintah sebagai operator utama negara, harus
memiliki konsep yang jelas dalam pentahapan kemandirian industri otomotif nasional. Tak pelak
lompatan katak teknologi energi merupakan satu pilihan logis, yaitu Pada tahap awal, pemerintah
perlu mendorong kalangan swasta nasional untuk menjadi pelaku utama penguasaan teknologi
otomotif. Sebenarnya saat ini kalangan swasta Indonesia telah melakukan lompatan katak
pertama berupa kerjasama dan lisensi. Texmaco merupakan satu contoh swasta nasional yang
serius dalam penguasaan teknologi otomotif (truk).
Pendayagunaan dan kerjasama yang terprogram antar sumber daya yang ada di berbagai
lembaga riset pemerintah ataupun antara lembaga riset dengan kalangan swasta nasional guna
penguasaan teknologi otomotif mutakhir. Hasil lain dari tahap ini diharapkan munculnya pemain-
pemain baru-lokal yang berkualifikasi sebagai supplier otomotif nasional dan global. Ketiga
berhasilnya penguasaan teknologi serta bermunculannya qualified local supplier akan
memudahkan swasta nasional Indonesia mendirikan industri otomotif dalam negeri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep globalisasi ekonomi ?
2. Apa dampak krisis ekonomi global ?
3. Bagaimana latar belakang dan perkembangan industri otomotif di Indonesia ?
4. Bagaimana prospek industri otomotif indonesia ?
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Globalisasi Ekonomi
1
B. Latar Belakang dan Perkembangan Industri Otomotif di Indonesia
Ancaman ketersediaan minyak bumi serta isu pemanasan global merupakan dua hal
terpenting yang mempengaruhi kebijakan industri otomotif dunia saat ini. Hemat energi dan
ramah lingkungan menjadi standard utama bagi kendaraan, terutama di negara maju. Guna
mengantisipasi tuntutan tersebut, raksasa otomotif seperti Toyota memilih strategi diversifikasi
produk (Coup, 1999). Strategi semacam ini cukup tepat mengingat belum matangnya sumber
energi selain minyak bumi yang berkorelasi pada masih mahalnya sumber-sumber energi baru
tersebut.
Strategi industri otomotif dunia dalam mengantisipasi tuntutan mutakhir tersebut
umumnya bermuara pada tiga hal: (1) Perbaikan efisiensi dan karakteristik mesin pembakaran
dalam (Internal Combustion Engine-ICE) yang sudah ada saat ini, (2) Kombinasi, baik antar
berbagai sumber energi, seperti bensin-bioethanol, solar-biofuel, dan sebagainya, maupun antar
teknologi energi, seperti ICE konvensional dengan motor elektrik, (3) Penggunaan sumber dan
teknologi energi baru, seperti fuel cell vehicleberbahan bakar hidrogen.
Kecenderungan lain sektor otomotif dunia adalah penyebaran divisi manufaktur dan
perakitan di berbagai negara yang besar jumlah penduduknya serta memiliki pertumbuhan
ekonomi yang signifikan. Langkah ini awalnya muncul karena regulasi negara-negara yang
menjadi sasaran industri otomotif dunia (seperti ketentuan Local Content Requirements-LCRs,
dan sebagainya), namun belakangan, usaha untuk menekan biaya produksi menjadi motif utama
pendirian divisi manufaktur dan perakitan tersebut (Ivarsson, 2005).
Namun demikian, divisi riset dan pengembangan (R&D) yang merupakan jantung
pertumbuhan industri otomotif umumnya masih dikendalikan dan berposisi di negara prinsipal.
Selain memudahkan strategi pengembangan industri dalam menghadapi perubahan global yang
saling kait-mengkait, pemosisian divisi R&D di negara prinsipal bisa juga dipahami sebagai
usaha proteksi terhadap eksistensi prinsipal otomotif.
Bila ukuran kemandirian industri otomotif diukur dari keberadaan pabrik manufaktur atau
perakitan kendaraan bermotor, Indonesia boleh berbangga karena berbagai merek kendaraan
ternama dunia telah mendirikan pabrik manufaktur dan atau perakitan di tanah air.
Namun bila ukuran kemandirian tersebut dilihat dari sisi penguasaan teknologi beserta
keleluasaan dalam pengembangannya, kenyataan menunjukkan bahwa berbagai industri otomotif
yang ada saat ini secara mayoritas masih dikendalikan oleh tiga pemain utama otomotif dunia
yaitu Jepang, Eropa, dan Amerika. Raksasa otomotif dari Negeri Sakura, yakni Toyota,
Mitsubishi, Suzuki, Isuzu, dan Daihatsu, adalah lima besar industri otomotif Indonesia saat ini.
Saat ini jelas tidak mudah untuk mendirikan industri otomotif dalam negeri di tengah
persaingan ketat antar raksasa otomotif dunia. Belum lagi, regulasi perdagangan internasional
saat ini yang semakin mengarah ke perdagangan bebas (free-trade), sudah barang tentu
mempengaruhi ruang gerak pemerintah dalam memberikan proteksi, terhadap bibit industri
otomotif dalam negeri.
Namun jelas pula, bahwa tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Pilihan ke arah
kemandirian industri otomotif nasional harus menjadi cita-cita seluruh komponen bangsa.
Setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakanginya yaitu (1) Secara alamiah, prinsipal lebih
mengutamakan kepentingan bisnis globalnya dibandingkan dengan kepentingan bangsa
Indonesia. Hal ini berimplikasi pada tidak mudahnya aspirasi lokal menembus desain otomotif di
negara principal, (2) Tidak berjalannya mekanisme kemitraan bisnis dan teknologi yang
sungguh-sungguh dan sistematis dari prinsipal ke supplier lokal. Globalisasi otomotif yang
berimplikasi pada mobilitas produk trans-nasional menuntut kualitas komponen yang tinggi.
Logis bahwa prinsipal lebih memilihsupplier trans-nasional yang memenuhi standar prinsipal
dibandingkan harus membimbing supplier lokal untuk mencapai standar tertentu. Belum lagi bila
kepentingan nasional prinsipal turut berperan dalam pengambilan keputusan
pemilihan supplier komponen. Dalam bisnis, ini hal yang biasa. Namun dalam kerangka
kepentingan nasional, ini tidak menguntungkan karena menyebabkan tidak terbangunnya industri
pendukung otomotif. (3) Ketergantungan penuh dengan prinsipal asing akan menyulitkan
Indonesia untuk catch-up dengan teknologi otomotif mutakhir yang hemat energi dan ramah
lingkungan dalam rangka memenuhi kepentingan nasional.
Pemerintah, sebagai operator utama negara, harus memiliki konsep yang jelas dalam
pentahapan kemandirian industri otomotif nasional. Tak pelak lompatan katak teknologi energi
merupakan satu pilihan logis, yatiu (1) Pada tahap awal, pemerintah perlu mendorong kalangan
swasta nasional untuk menjadi pelaku utama penguasaan teknologi otomotif. Sebenarnya saat ini
kalangan swasta Indonesia telah melakukan lompatan katak pertama berupa kerjasama dan
lisensi. Texmaco merupakan satu contoh swasta nasional yang serius dalam penguasaan
teknologi otomotif (truk). (2) Pendayagunaan dan kerjasama yang terprogram antar sumber daya
yang ada di berbagai lembaga riset pemerintah ataupun antara lembaga riset dengan kalangan
swasta nasional guna penguasaan teknologi otomotif mutakhir. Hasil lain dari tahap ini
diharapkan munculnya pemain-pemain baru-lokal yang berkualifikasi sebagai supplier otomotif
nasional dan global. (3) Berhasilnya penguasaan teknologi serta bermunculannyaqualified local
supplier akan memudahkan swasta nasional Indonesia mendirikan industri otomotif dalam
negeri.
Menilik fasilitas dan kemampuan sumber daya di bidang teknologi yang dimiliki
Indonesia saat ini, lompatan katak otomotif ini (seharusnya) tidaklah sesulit usaha putra-putri
bangsa menguasai teknologi dirgantara. Kemauan yang kuat, sinergi, dan konsistensi dari seluruh
komponen bangsa, merupakan kata kunci untuk mewujudkannya.2
Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia memberikan kebijakan mengenai program pinjaman
terhadap para pengusaha nasional. Program ini bertujuan agar pengusaha nasional dapat membeli
perusahaan yang semula dimiliki oleh perusahaan asing di Indonesia.Kondisi ini juga diharapkan
terjadi pada industri otomotif. Pemeritah berharap perusahaan-perusahaan otomotif asing dapat
diambil alih oleh pengusaha nasional dan dapat berkembang.
Keinginan tersebut ternyata tidak berjalan mulus sesuai dengan harapan karena PT Gaya
Motor yang merupakan salah satu pabrik perakitan tidak dapat diambil alih karena keterbatasan
modal dan ahli teknik yang dimiliki. Kondisi dunia otomotif Indonesia memburuk saat tahun
1960-an terjadi kekacauan ekonomi dan politik yang menyebabkan perusahaan otomotif asing
enggan untuk memasuki pasar Indonesia. Situasi ini mengakibatkan produk yang beredar di
Indonesia semakain langka. Disisi lain permintaan menunjukkan angka yang positif. Seiring
berjalannya waktu kondisi ekonomi dan politik pun membaik.
Pada tahun 1970-an pemerintah mengeluarkan kebijakan baru lagi tentang penanaman
modal,baik asing maupun domestik. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Sjamoebi untuk melakukan
kerjasama dengan Mitsubishi Corporation. Mulai saat itu PT Marwa Baru merupakan distributor
tunggal resmi kendaraan Mitsubishi di Indonesia.
2 industri-otomotif-nasional , http://www.kamusilmiah.com/mesin/industri-otomotif-nasional/, diakses tanggal 20
Desember 2009.
Dalam waktu yang tidak berselang lama, tepatnya 12 April 1971 berdiri PT Toyota Astra Motor
yang merupakan kerjasama antara PT Astra International Tbk dengan Toyota Motor Corporation
Jepang. Kepemilikan sahamnya yaitu 51% untuk PT Astra Internasional Tbk dan 49% untuk
Toyota Motor Corporation. Mulai saat itu persaingan mulai terlihat dan dunia otomotif Indonesia
semakin semarak.
Pada tahun 1973, PT Marwa Baru berubah nama menjadi PT Krama Yudha Tiga Motor
Berlian (KTB). Pada tahun yang sama perusahaan ini juga mendirikan PT Mitsubishi Krama
Yudha Pabrikasi dan Motor yang berfungsi sebagai pabrik produksi pengecapan komponen. PT
Toyota Astra Motor juga tidak mau kalah, sehingga perusahaan ini juga mendirikan pabrik
perakitan sendiri.
tiga tahun berikutnya, Pada tahun 1976 PT Toyota Astra Motor juga mendirikan pabrik
komponen bodi yang dalam pengerjaannya dibawah PT Toyota Mobilindo.
Dunia otomotif semakin lama semakin semarak dan mengalami kemajuan, hal ini dapat
terlihat dengan bermunculannya inovasi-inovasi baru untuk menarik dan memenuhi kebutuhan
konsumen. Salah satunya adalah Indomobil Internasional Tbk,yang merupakan salah satu
perusahaan perseroan yang terbesar dan terkemuka di Indonesia. Perseroan dan anak perusahaan
merupakan Agen Tunggal Pemegang Merk(ATPM) dan distributor dari sembilan merk kendaraan
terkenal yaitu Audi,Hino,Mazda,Nissan,
Renault,Suzuki,Ssangyong,Volkswagen dan Volvo.
Pada tanggal 31 Desember 1998 PT Toyota Astra Motor melakukan merger dengan PT
Multi Astra, PT Toyota Engine Indonesia, dan PT Mobilindo. Dengan ini posisi PT Toyota Astra
Motor semakin kuat karena didukung komponen yang bagus.
Pada tahun 2000, dari bulan januari sampai november,angka penjualan mobil di
Indonesia mencapai 274.864 unit.Angka penjualan ini menempatkan Indonesia di urutan kedua
setelah Malaysia.Namun pada tahun 2001 penjualan mulai menurun karena jatuhnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS dan adanya pengenaan pajak penjualan barang mewah dan kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) untuk industri.
Pada tahun 2001 penjualan mobil selama bulan januari mencapai 21.117 unit, dan bulan
februari 22.744 unit. Angka tersebut lebih baik daripada angka penjualan pada periode yang
sama tahun 2000,yangmencapai 11.032 unit dan 18.066 unit. Penjualan mobil tertinggi dipegang
oleh Toyota,urutan kedua Honda,urutan ketiga Suzuki,urutan keempat BMW,urutan kelima
Hyundai,urutan keenam Mitsubishi,dan urutan ketujuh Marcedes Benz.
Pada tahun 2003 PT Dirgantara yang dikenal sebagai pabrik pesawat terbang
memperkenalkan produk pertama mobil buatannya yang diberi nama Gang Car dengan berat
260 kg,berkapasitas penumpang 2 orang,dan berkekuatan 125 cc dan 250 cc. Meskipun mungil
PT DI mentargetkan untuk bisa menguasai 10% pasar di Indonesia.
Pada akhir Oktober 2004,produksi Honda secara keseluruhan telah menembus posisi
keempat pasar mobil di Indonesia.Angka penjualan telah mencapai 39.317 unit atau meraup total
pangsa pasar mobil nasional sebesar 9,8% dari total penjualan keseluruhan. Kenaikan penjualan
mobil Honda di Indonesia ini menunjukkan bahwa
Honda semakin memposisikan dirinya sebagai salah satu mobil yang paling diminati masyarakat
Indonesia.
Persaingan dan inovasi dari masing-masing perusahaan semakin hari semakin terlihat.
Hal tersebut merupakan indikasi positif untuk perkembangan kedepan dalam dunia otomotif
Indonesia. Pada tahun 2005 jumlah produksi mobil baru yang berhasil dijual mencapai 533.000
unit yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah industri otomotif di Indonesia.
D. Prospek Industri Otomotif Indonesia
Dampak dari krisis ekonomi global terhadap kemerosotan industri otomotif termasuk
yang paling luar biasa. Ini antara lain ditandai kasus kebangkrutan sejumlah perusahaan otomotif
besar, seperti General Motor (GM), Ford, dan Chrysler atau yang lebih dikenal The Big Three.
Kemerosotan The Big Three telah diidentifikasi sejak tahun 2000. Ini setidaknya dapat
dilihat dari semakin menurunnya pangsa pasar mereka di Amerika Serikat (AS). Tiga perusahaan
otomotif raksasa itu telah menderita penurunan penjualan mobil (light vehicles) hampir 20 persen
di pasar AS sejak 2000 hingga 2008.
Pada 2008, pangsa penjualan The Big Three di AS untuk pertama kalinya akan berada di
bawah 50 persen. Kurangnya inovasi di bidang teknologi, desain, biaya, imaji, dan unsur lainnya
menjadi penyebab penurunan penjualan mobil keluaran The Big Three.
3 Industri Otomotif yang diyakini sebagai industri masih mempunyai masa depan.
http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t=10238&start=0,
penyelamatan industri otomotif AS betul-betul gagal, kemungkinan besar pangsa pasar
mereka akan diambil alih oleh pabrikan dari Jepang, yang memang telah menyiapkan diri,
selain pabrikan dari Eropa.
Meski demikian, pabrikan otomotif di luar AS tampaknya tidak akan memaksakan
diri melakukan penetrasi di AS. Hal ini terutama didasari oleh realitas bahwa daya beli
konsumen AS yang jatuh pada 2009. Prediksinya, pabrikan otomotif Jepang dan Eropa
justru akan meningkatkan investasinya di pasar-pasar baru yang memiliki potensi untuk
tumbuh pesat, seperti di BRIC.
Di antara negara BRIC, Cina merupakan negara yang memiliki potensi menjadi
pasar otomotif yang paling diincar. Ini mengingat, tingkat pertumbuhan ekonomi Cina
yang tinggi dan jumlah penduduknya yang sangat besar.
Indikasi bahwa pasar otomotif Cina akan mengalami booming, sudah terlihat
sejak 2002. Berdasarkan Annual Report 2008 yang dikeluarkan VDA, aosiasi otomotif
Jerman, disebutkan bahwa pada 2007 Cina mengalami peningkatan produksi mobil
(untuk seluruh jenis) hingga 175 persen dibandingkan produksinya pada 2002.
Indonesia sesungguhnya memiliki peluang untuk menjadi tempat investasi
(relokasi) bagi industri otomotif besar karena karakteristiknya yang sama dengan BRIC.
Hal ini terutama didasari oleh fakta bahwa kekuatan ekonomi Indonesia selama ini
sesungguhnya ditopang oleh sisi domestik kita memiliki daya beli yang cukup tinggi.
Terlihat bahwa meskipun krisis global mengancam prospek ekonomi kita, namun
hal itu tampaknya tidak berlaku bagi produk otomotif di Indonesia. Pada 2008, volume
penjualan mobil mencapai 607.805 unit, atau naik 39,89 persen dibandingkan 2007 yang
mencapai 434.473 unit.
Pada 2007, pertumbuhan penjualan mobil di Indonesia mencapai 35,9 persen
dibandingkan 2006 yang merupakan pertumbuhan tertinggi di Asia, lebih tinggi sekalipun
dengan Cina dan India.
Membaiknya penjualan sektor otomotif di pasar domestik, khususnya pada 2008,
setidaknya sangat dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, tingkat suku bunga perbankan
yang relatif rendah. Kedua, tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Ketiga, nilai
tukar rupiah yang cukup stabil, terutama terhadap yen dan dolar AS.
Prestasi yang diraih pada 2008 memang mustahil diraih lagi pada 2009. Namun,
penurunan penjualan mobil di Indonesia tidak akan separah dibanding negara-negara lain
yang terkena resesi.
Hingga April 2009, penjualan mobil domestik mencapai 134.868 unit, atau turun
39 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 187.246 unit.
Namun demikian, tren tingkat penjualan mobil setiap bulannya mengalami
peningkatan. Pada Januari 2009, volume penjualan mobil mencapai sekitar 31 ribu unit,
pada April 2009 sudah 34.610 unit. Setelah pemilu, penjualan diperkirakan akan naik
lebih besar.
Sentimen lain yang mendorong penjualan mobil adalah bunga kredit yang
cenderung turun dan makroekonomi sudah baik. Dengan kata lain, di balik kebangkrutan
industri otomotif global, sesungguhnya terdapat blessing bagi peningkatan aktivitas
investasi, khususnya sektor otomotif di Indonesia.
Kita sesungguhnya dapat memainkan peran yang lebih aktif guna menarik
kegiatan relokasi industri otomotif agar diarahkan ke Indonesia. Namun semuanya sangat
tergantung pada aspek tawar menawar yang dimiliki kedua belah pihak: investor dan
pemerintah Indonesia.4
4
BAB III
KESIMPULAN
1. Persaingan dunia otomotif pada era globalisasi ekonomi semakin ketat, situasi ini terlihat
dengan adanya inovasi-inovasi baru yang semakin berkembang.
2. Bagian R&D perusahaan harus peka dan respek terhadap setiap fenomena yang terjadi di
dalam masyarakat serta setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
terutama yang berhubungan dengan otomotif.
3. Perubahan yang ada di lingkungan masyarakat menuntut perusahaan untuk
mengimbanginya dengan mengeluarkan produk-produk yang nyaman dan aman bagi
masyarakat dan lingkungan, sehingga perusahaan harus melakukan langkah-langkah
strategis yang dapat menguntungkan perusahaan tapi tidak merugikan masyarakat.