Disusun oleh :
Dita Maulida Anggraini 130112150694
Preseptor :
Prof. Dr. H. Ponpon Idjradinata, dr. Sp.A(K)
1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di
Indonesia.
1.3 Manfaat
Pada penulisan makalah ini penulis berharap dapat memberikan
pengetahuan pada pembaca mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia pada balita secara lebih mendalam, dan sebagai pembelajaran
yang lebih bagi penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Insidensi
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan
dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia
komunitas/PK) atau di dalam rumah sakit (pneumonia nosokomial/PN).
Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di
parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%.
Di AS pneumonia mencapai 13% dari semua penyakit infeksi pada
anak dibawah 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian insiden pada pneumonia
didapat 4 kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9
tahun,dan 1 kasus ditemukan dari 100 anak umur 9-15 tahun.
UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal
karena penyakit pneumonia setiap tahun. Meskipun penyakit ini lebih banyak
ditemukan pada daerah berkembang akan tetapi di Negara majupun
ditemukan kasus yang cukup signifikan.
Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa saja. Meskipun
lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Pada berbagai usia penyebabnya
cendrung berbeda-beda, dan dapat menjadi pedoman dalam memberikan
terapi.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia pada
Anak
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya
kejadian pneumonia pada balita, baik dari aspek individu anak, perilaku orang
tua (ibu), maupun lingkungan. Kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat
meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit seperti TB, katarak, dan
pneumonia.9 Rumah yang padat penghuni, pencemaran udara dalam ruang
akibat penggunaan bahan bakar padat (kayu bakar/ arang), dan perilaku
merokok dari orangtua merupakan faktor lingkungan yang dapat
meningkatkan kerentanan balita terhadap pneumonia.10 Faktor risiko
pneumonia pada anak diabgi menjadi 4 kategori, yaitu faktor anak, faktor
lingkungan, faktor perilaku, dan faktor pelayanan kesehatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan, faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap pneumonia pada balita adalah usia, riwayat
pemberian ASI, status gizi, kebiasaan merokok dalam keluarga, kebiasaan
membersihkan rumah, tingkat kepadatan hunian, ventilasi udara, tingkat
pengetahuan ibu dan tingkat penghasilan orang tua. Sebagian besar faktor
yang mempengaruhi kejadian pneumonia adalah faktor anak, lingkungan, dan
perilaku, sedangkan faktor pelayanan kesehatan tidak memiliki hubungan
yang berarti dengan kejadian pneumonia pada anak. Meskipun demikian,
faktor anak, lingkungan tempat tinggal, perilaku, dan pelayanan kesehatan
secara bersama-sama dapat berperan terhadap kejadian pneumonia pada balita
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelly MS, Sandora TJ. Community - Acquired Pneumonia. In: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, Editors. Nelson Textbook of Pediatrics.
20th edition. Philadelpia : WB Saunders, 2016: 2088-2093
2. Kurniawan Y, SAK I. Karakteristik Pasien Pneumonia di Ruang Rawat
Inap Anak Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2010.
3. Sartika MHD, Setiani O, Wahyuningsih NE. Faktor Lingkungan Rumah
Dan Praktik Hidup Orang Tua Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Pneumonia Pada Anak Balita Di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2011.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2013;11(2):153-9.
4. WHO/UNICEF. Pneumonia the forgotten killer of children. WHO; 2006.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan riset kesehatan dasar
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
7. Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional, Departemen Kesehatan. Survei demografi dan kesehatan
Indonesia 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan; 2013.
8. Rudan I, Cynthia BP, Zrinka B, Kim M, Harrys C. Epidemiology and
etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the World Health
Organization. 2008:408-16.
9. Anwar A, Dharmayanti I. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014;8(8):359-65.
10. World Health Organization. Pneumonia. Fact sheet No.331 [cited 2016
Des 1]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/2013.
11. Hartati S, Nurhaeni N, Gayatri D. Faktor risiko terjadinya pneumonia pada
anak balita. Jurnal Keperawatan Indonesia. 2012;15(1):13-20.
12. Efni Y, Machmud R, Pertiwi D. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita di Kelurahan Air Tawar Barat Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2016;5(2).
2.1 Rongga thoraks
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak
dalam rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru
mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan
bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian
hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru kiri dan
dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua
lobus.2,3
2.5 Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium
kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek5
Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan
Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus
Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat
dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah
proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.
2.5.1 Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.
Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8
mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara
jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai
tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus
relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis
internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen
dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.3,4
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat
dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir
keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan
ventilasi yang efektif :4
Volume semenit atau ventilasi semenit (V E) adalah volume udara yang
terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. V E dapat dihitung
dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam
keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.
Frekuensi pernafasan (f) atau kecepatan; adalah jumlah nafas yang
dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa
sekitar 10-20 kali per menit.
Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau
diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh
meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas
dalam.
Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak
tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi
yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati
anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1
ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami
ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian
dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio
tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.
Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik.
Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam
alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.
Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan
VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara
yang terbuang dalam ventilasi VD.
Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik
(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai
perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan
statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians
paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan
komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
2.5.2 Transportasi Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5
m). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer
pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan
oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan
parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat
mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati
anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi
efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler
paru kira-kira sebesar 40 mmHg.4
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =
103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah
6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih
CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena
dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih
cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.6
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara
O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit
(misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi
dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama
sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi
dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai
faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan
difusi.6
2.6 Hubungan antara ventilasi perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran
darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit
pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam
keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks
paru.7
Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah
mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks,
disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :7
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar
normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan
pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan
dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami,
apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi
normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau
menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa
perfusi, V/Q lebih dari 0,8).7
2.13 Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini lebih
tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benar-
benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Jaringan akan mengalami
hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah
ventilasi spontan berhenti. Secara tradisional, hipoksia dibagi dalam 4 jenis.
Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut :5
1. Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik) yaitu apabila PO2 darah arteri
berkurang. Merupakan masalah pada individu normal pada daerah
ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai
penyakit sistim pernafasan lainnya. Gejala yang muncul pada keadaan ini
antara lain iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas, mual dan
muntah.
2. Hipoksia anemik yaitu apabila O2 darah arteri normal tetapi mengalami
denervasi. Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena
terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah, kecuali
apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita
anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan
latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan
pengangkutan O2 ke jaringan aktif.
3. Hipoksia stagnan akibat sirkulasi yang lambat merupakan masalah bagi
organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hipoksia akibat sirkulasi
lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat
terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat
hipoksia stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan normal,
aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka
waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun, syok
paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah
paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.
4. Hipoksia histotoksi adalah hipoksia yang disebabkan oleh hambatan
proses oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida.
Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim
lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan
sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan sianida, menghasilkan
sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik. Pemberian terapi oksigen
hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan
berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke
metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk
metabolisme. Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi
asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolisme
selule terganggu dan mengakibatkan kematian sel. Pemeliharaan oksigenasi
jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskular,
hematologi, dan respirasi.7