Anda di halaman 1dari 37

CLINICAL SCIENCE SESSION

FAKTOR RISIKO PNEUMONIA ANAK

Disusun oleh :
Dita Maulida Anggraini 130112150694

Preseptor :
Prof. Dr. H. Ponpon Idjradinata, dr. Sp.A(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia, karena angka
kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga negara maju.
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru.1 Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan
oleh hal lain (aspirasi,radiasi, dll).2 Terjadinya pneumonia pada anak sering kali
bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus. Pada tahun 2005, WHO
memprediksikan kematian balita akibat pneumonia di seluruh dunia sekitar 19%
atau kira kira 1,6 2,2 juta jiwa, sekitar 70% terjadi di negara berkembang
terutama di Asia dan Afrika.3 Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian
anak diakibatkan oleh pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan
tuberkulosis. Diantara lima kematian balita, satu disebabkan oleh pneumonia,
namun tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini sehingga pneumonia disebut
juga pembunuh balita yang terlupakan atau the forgotten killer of children.4
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa kejadian
pneumonia sebulan terakhir (period prevalence) mengalami peningkatan pada
tahun 2007 sebesar 2,1 menjadi 2,7 pada tahun 2013. Kematian balita yang
disebabkan oleh pneumonia tahun 2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5%.5,6
Demikian juga hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), yang
melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat,
yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007.7
Menurut hasil penelitian terdahulu faktor risiko terjadinya pneumonia
adalah usia terlalu muda, status imunisasi yang kurang, status gizi yang tidak baik,
pemberian ASI yang kurang, lantai rumah yang terbuat dari tanah, adanya polusi
dari dapur dikarenakan penggunaan kayu bakar, polusi asap rokok, polusi dari
obat anti nyamuk bakar, pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat, suhu
rumah, kelembaban rumah yang terlalu rendah, ventilasi rumah yang kurang, serta
kepadatan hunian dan juga dipengaruhi oleh kebiasaan perilaku hidup sehat di
dalam keluarga.3,8
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor risiko terjadi
pneumonia tidak hanya dari diri balita saja tetapi juga dari luar diri balita itu
sendiri. Faktor yang berasal dari luar seperti perilaku hidup sehat keluarga dan
kondisi lingkungan rumah. Faktor lingkungan rumah meliputi jenis lantai rumah,
jenis dinding rumah, jenis atap rumah, indeks ventilasi rumah, tingkat kepadatan
hunian, suhu, kelembaban sedangkan faktor kebiasaan hidup sehat keluarga
meliputi: kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan merokok, dan kebiasaan
membersihkan rumah.3
Penanggulangan penyakit pneumonia merupakan fokus pelaksanaan
pemberantasan penyakit ISPA yang ditujukan pada kelompok usia balita, yaitu
bayi (< 1 tahun) dan anak balita (1 5 tahun). Pemilihan kelompok ini sebagai
target populasi program berdasarkan pada kenyataan bahwa angka mortalitas
pneumonia diharapkan mempunyai daya ungkit dalam penurunan angka kematian
bayi di Indonesia. Namun demikian dalam hal pelaksanaannya masih dihadapkan
berbagai masalah dan kendala. Dalam hal ini masyarakat masih banyak yang
belum mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia
pada anak balita.3

1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di
Indonesia.

1.3 Manfaat
Pada penulisan makalah ini penulis berharap dapat memberikan
pengetahuan pada pembaca mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia pada balita secara lebih mendalam, dan sebagai pembelajaran
yang lebih bagi penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi dan Etiologi Pneumonia


Menurut definisi, pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru
(alveoli) yang bersifat akut. Penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur,
pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh
tidak langsung dari penyakit lain. Bakteri yang biasa menyebabkan
pneumonia adalah Streptococcus dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan
virus yang menyebabkan pneumonia adalah adenoviruses, rhinovirus,
influenza virus, respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus.9

2. Insidensi
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan
dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia
komunitas/PK) atau di dalam rumah sakit (pneumonia nosokomial/PN).
Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di
parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%.
Di AS pneumonia mencapai 13% dari semua penyakit infeksi pada
anak dibawah 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian insiden pada pneumonia
didapat 4 kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9
tahun,dan 1 kasus ditemukan dari 100 anak umur 9-15 tahun.
UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal
karena penyakit pneumonia setiap tahun. Meskipun penyakit ini lebih banyak
ditemukan pada daerah berkembang akan tetapi di Negara majupun
ditemukan kasus yang cukup signifikan.
Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa saja. Meskipun
lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Pada berbagai usia penyebabnya
cendrung berbeda-beda, dan dapat menjadi pedoman dalam memberikan
terapi.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia pada
Anak
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya
kejadian pneumonia pada balita, baik dari aspek individu anak, perilaku orang
tua (ibu), maupun lingkungan. Kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat
meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit seperti TB, katarak, dan
pneumonia.9 Rumah yang padat penghuni, pencemaran udara dalam ruang
akibat penggunaan bahan bakar padat (kayu bakar/ arang), dan perilaku
merokok dari orangtua merupakan faktor lingkungan yang dapat
meningkatkan kerentanan balita terhadap pneumonia.10 Faktor risiko
pneumonia pada anak diabgi menjadi 4 kategori, yaitu faktor anak, faktor
lingkungan, faktor perilaku, dan faktor pelayanan kesehatan.

3.1 Faktor Anak

3.1.1 Usia Anak


Bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang masih
rendah dibanding orang dewasa, sehingga balita masuk ke dalam kelompok
yang rawan terhadap infeksi seperti influenza dan pneumonia. Anak-anak
berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-
anak berusia di atas 2 tahun. Hartati, dkk. mengemukakan bahwa balita 12
bulan mempunyai peluang 3,24 kali untuk mengalami pneumonia dibanding
dengan balita berusia >12 - <60 bulan.11 Hal ini disebabkan imunitas yang
belum sempurna dan saluran pernapasan yang relatif sempit. (DEPKES RI
2004) Selain itu, balita yang lahir premature (usia gestasi < 37 minggu)
mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan
dengan imaturitas SSP (Susunan Saraf Pusat) dan paru-paru antara lain
aspirasi pneumonia karena reflex menghisap, menelan, dan batuk belum
sempurna dan sindroma gangguan pernapasan idiopatik (penyakit membran
hialin).
3.1.2 Jenis Kelamin Balita
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartati, dkk. menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
kejadian pneumonia pada balita. Berdasarkan hasil uji statistik, balita berjenis
kelamin laki-laki berpeluang 1,24 kali untuk mengalami pneumonia
dibanding balita berjenis kelamin perempuan.11 Hal ini dapat disebabkan
diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan anak
perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh anak laki-laki dan
perempuan (Sunyataningkamto, 2004)

3.1.3 Berat badan lahir balita


Balita dengan berat badan lahir 2500 gram berpeluang mengalami
pneumonia sebanyak 1,38 kali dibanding balita dengan berat badan lahir
>2500 gram. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna, berisiko terkena penyakit
infeksi terutama pneumonia sehingga risiko kematian menjadi lebih besar
disbanding dengan berat badan lahir normal.11

3.1.4 Riwayat pemberian ASI balita


Berdasarkan pedoman manajemen laktasi (2010) yang dimaksud
dengan pemberian ASI eksklusif disini yaitu bayi hanya diberi ASI tanpa
makanan atau minuman lain termasuk air putih kecuali obat, vitamin, mineral,
dan ASI yang diperas. Penelitian yang dilakukan Hartati, dkk. menunjukkan
bahwa dari 138 responden terdapat 108 responden tidak memberi ASI
eksklusif. Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif mempunyai peluang
mengalami pneumonia 4,47 kali lebih besar dibanding balita yang mendapat
ASI eksklusif.11 Yang termasuk dalam golongan tidak memberi ASI eksklusif
disini yaitu pemberian ASI predominan (disamping ASI, bayi diberi sedikit
air minum atau minuman cair lain missal air teh), pemberian susu botol (cara
memberikan makanan bayi dengan susu apa saja termasuk juga ASI diperas
dengan botol), pemberian susu buatan (memberi makanan bayi dengan susu
buatan/formula dan sama sekali tidak menyusui), pemeberian ASI parsial
(sebagian menyusui dan sebagian lagi susu buatan/formula atau sereal atau
makanan lain).
Hasil penelitian Hartati, dkk. tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan di Kelurahan Air Tawar Barat Padang 12, dimana pada penelitian ini
tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian pneumonia pada balita.

3.1.5 Status gizi balita


Balita yang memiliki status gizi kurang berpeluang untuk terjadi
pneumonia sebesar 6,52 kali dibanding responden yang berstatus gizi baik. 11
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kelurahan
Air Tawar Barat Padang12, dimana balita dengan status gizi kurang 9,1 kali
berisiko pneumonia dibandingkan dengan balita yang berstatus gizi baik.
Beberapa studi melaporkan bahwa kekurangan gizi akan menurunkan
kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan
fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen, dan juga menyebabkan
kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto, 2004). Oleh karena itu,
pemberian nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan balita
dapat mencegah anak terhindar dari penyakit infeksi sehingga pertumbuhan
dan perkembangan anak menjadi optimal.

3.1.6 Riwayat mendapatkan vitamin A


Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
antara riwayat pemberian vitamin A dengan kejadian pneumonia, proporsi
anak balita yang mendapatkan vitamin A dan menderita pneumonia masih
lebih tinggi. Penelitian Herman (2002) menjelaskan balita yang tidak
mendapat vitamin A dosis tinggi lengkap mempunyai peluang 3,8 kali terkena
pneumonia dibanding anak yang memiliki riwayat pemberian vitamin A dosis
tinggi lengkap dan secara statistic mempunyai hubungan (p=0,000). Hal ini
bisa disebabkan karena jumlah sampel yang diteliti tidak mencukupi untuk
meneliti variable vitamin A. Pemberian vitamin A pada balita bersamaan
dengan imunisasi dapat meningkatkan titer antibody yang spesifik.
3.1.7 Riwayat imunisasi campak balita
Hasil uji statistik yang dilakukan Hartati, dkk. menunjukkan balita
yang tidak mendapatkan imunisasi campak berpeluang mengalami pneumonia
3,21 kali dibanding balita yang mendapatkan imunisasi campak. 11 Balita yang
telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan terhindar dari penyakit
campak dan pneumonia merupakan komplikasi yang paling sering terjadi
pada anak yang mengalami penyakit campak. Oleh karena itu, imunisasi
campak sangat penting membantu mencegah terjadinya penyakit pneumonia
(UNICEF-WHO, 2006)

3.1.8 Riwayat imunisasi DPT


Balita yang tidak mendapat imunisasi DPT berpeluang mengalami
pneumonia 2,34 kali dibandingkan balita yang mendapat imunisasi DPT.11
Imunisasi DPT dapat mencegah terjadinya pennyakit difteri, pertussis, dan
tetanus. Menurut UNICEF-WHO (2006) pemberian imunisasi dapat
mencegaah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi
penyakit pertussis ini. Pertusis dapat diderita oleh semua orang tetapi
penyakit ini lebih serius bila terjadi pada bayi. Oleh karena pemberian
imunisasi DPT sangatlah tepat untuk mencegah anak terhindar dari penyakit
pneumonia.

3.1.9 Riwayat asma balita


Hartati, dkk. mengemukakan bahwa balita dengan riwayat asma
berpeluang mengalami pneumonia 1,83 kali dibanding balita yang tidak
mempunyai riwayat asma.11 Anak-anak dengan riwayat mengi memiliki risiko
saluran pernafasan yang cacat, integritas lender, dan sel bersilia terganggu
dan penurunan humoral/imunitas seluler local maupun sistemik. Dawood
(2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan mengalami peningkatan
risiko terkena radang paru-paru sebagai komplikasi dari influenza. Bayi dan
anak-anak <5 tahun berisiko lebih tinggi mengalami pneumonia sebagai
komplikasi dari influenza saat dirawat di RS. Hasil penelitian menjelaskan
anak dengan riwayat asma tidak mempunyai hubungan yang bermakna
dengan kejadian pneumonia. Hal ini dapat disebabkan jumlah sampel tidak
mencukupi untuk meneliti variabel riwayat asma.

3.2 Faktor Lingkungan


Penelitian yang dilakukan oleh Hartati, dkk. menggunakan faktor
lingkungan balita diantaranya tingkat pendidikan ibu, tingkat penghasilan
orangtua, kepadatan rumah, ventilasi udara rumah. Kepadatan hunian yang
padat dan rumah yang tidak berventilasi udara meningkatakan peluang balita
mengalami pneumonia, masing-masing 2,20 kali dan 2,5 kali. Hal ini
berkebalikan dengan tingkat pendidikan ibu dan tingkat penghasilan orang
tua. Ibu balita berpengetahuan rendah berpeluang balitanya mengalami
pneumonia 0,4 kali dibanding yang berpengetahuan tinggi. Pada orangtua
balita berpenghasilan rendah berpeluang balita mengalami pneumonia 0,42
kali dibanding yang berpenghasilan tinggi.11
Anwar dan Dharmayanti 9 dalam penelitiannya tentang pneumonia
pada anak balita menunjukkan bahwa risiko pneumonia pada balita yang
ibunya berpendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang
berpendidikan lebih tinggi (OR=1,20). Demikian juga risiko pneumonia balita
pada rumah tangga dengan tingkat ekonomi rendah (menengah dan terbawah)
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat ekonomi tinggi (menengah atas
sampai teratas) (OR = 1,19). Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
Hartati, dkk. Anwar dan Dharmayanti 9 juga mengemukakan bahwa balita
yang tinggal di perdesaan mempunyai risiko yang lebih besar mengalami
pneumonia dibandingkan dangan balita di perkotaan. Hal ini berhubungan
dengan kondisi rumah (jenis lantai, jenis dinding, keberadaan plafon/langit-
langit, kepadatan hunian) dan penggunaan bahan bakar yang berbeda antara
pedesaan dan perkotaan. Namun, dalam hal tingkat hunian, kedua penelitian
ini memiliki hasil yang sama, dimana kepadatan hunian yang buruk
meningkatkan risiko pneumonia pada balita. Hal ini karena tingkat kepadatan
hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak
sebanding dengan jumlah anggota rumah tangga yang menempatinya. Rumah
yang padat penghuni memungkinkan penularan bakteri, virus penyebab
penyakit pneumonia melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke
penghuni rumah lainnya dengan mudah dan cepat.
Selain dua penelitian di atas, penelitian di Kabupaten Kubu Raya
tahun 2011 juga mengemukakan bahwa balita yang memiliki rumah dengan
kepadatan hunian rumah tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 16,335
kali lebih besar tertular penyakit pneumonia dibandingkan yang memenuhi
syarat.3

3.3 Faktor Perilaku


Balita yang memiliki keluarga dengan kebiasaan merokok di dalam
rumah berpeluang mengalami pneumonia 2,53 kali dibanding balita yang
tidak memiliki keluarga dengan kebiasaan merokok di dalam rumah. 11 Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian di Kabupaten Kubu Raya yang
menunjukkan bahwa balita dengan keluarga yang merokok di dalam rumah
akan meningkatkan risiko terkena pneumonia pada anak 10,886 kali lebih
besar dibandingkan dengan balita yang tidak memiliki keluarga yang
merokok di dalam rumah.3 Penelitian di Kabupaten Kubu Raya juga
mengemukakan bahwa responden yang tidak memiliki kebiasaan
membersihkan rumah kurang dari 2 kali sehari mempunyai risiko 23,327 kali
lebih besar dibandingkan yang membersihkan rumah lebih dari 2 kali sehari.3

3.4 Faktor Pelayanan Kesehatan


Hasil penelitian Hartati, dkk. menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara penggunaan pelayanan kesehatan balita dengan kejadian
pneumonia.11

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan, faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap pneumonia pada balita adalah usia, riwayat
pemberian ASI, status gizi, kebiasaan merokok dalam keluarga, kebiasaan
membersihkan rumah, tingkat kepadatan hunian, ventilasi udara, tingkat
pengetahuan ibu dan tingkat penghasilan orang tua. Sebagian besar faktor
yang mempengaruhi kejadian pneumonia adalah faktor anak, lingkungan, dan
perilaku, sedangkan faktor pelayanan kesehatan tidak memiliki hubungan
yang berarti dengan kejadian pneumonia pada anak. Meskipun demikian,
faktor anak, lingkungan tempat tinggal, perilaku, dan pelayanan kesehatan
secara bersama-sama dapat berperan terhadap kejadian pneumonia pada balita
di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kelly MS, Sandora TJ. Community - Acquired Pneumonia. In: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, Editors. Nelson Textbook of Pediatrics.
20th edition. Philadelpia : WB Saunders, 2016: 2088-2093
2. Kurniawan Y, SAK I. Karakteristik Pasien Pneumonia di Ruang Rawat
Inap Anak Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2010.
3. Sartika MHD, Setiani O, Wahyuningsih NE. Faktor Lingkungan Rumah
Dan Praktik Hidup Orang Tua Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Pneumonia Pada Anak Balita Di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2011.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2013;11(2):153-9.
4. WHO/UNICEF. Pneumonia the forgotten killer of children. WHO; 2006.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan riset kesehatan dasar
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
7. Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional, Departemen Kesehatan. Survei demografi dan kesehatan
Indonesia 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan; 2013.
8. Rudan I, Cynthia BP, Zrinka B, Kim M, Harrys C. Epidemiology and
etiology of childhood pneumonia. Bulletin of the World Health
Organization. 2008:408-16.
9. Anwar A, Dharmayanti I. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014;8(8):359-65.
10. World Health Organization. Pneumonia. Fact sheet No.331 [cited 2016
Des 1]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/2013.
11. Hartati S, Nurhaeni N, Gayatri D. Faktor risiko terjadinya pneumonia pada
anak balita. Jurnal Keperawatan Indonesia. 2012;15(1):13-20.
12. Efni Y, Machmud R, Pertiwi D. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita di Kelurahan Air Tawar Barat Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2016;5(2).
2.1 Rongga thoraks
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak
dalam rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru
mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan
bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian
hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru kiri dan
dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua
lobus.2,3

2.2 Anatomi paru - paru normal


Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi 10 segmen sedangkan paru
kiri dibagi menjadi 9. Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia
seringkali hanya terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Suatu lapisan tipis
kontinu dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada
(pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viseralis).2,3
Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan
tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu
bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru.
Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan kedua pleura tersebut
sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah
suatu ruangan potensial.2
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer,
sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin
mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke dalam
rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.3
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal
ini. Pertama, jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang
cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru cenderung
mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya sebelum
mengembang. Tetapi, permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan
kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai
tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-menerus
bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.2
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif
intrapleura adalah kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane
pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling
tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan bergantung pada
selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong
cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung
menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura
melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan
cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan
normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.3
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki
ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura
parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan mengacaukan
keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik. Ketiga faktor ini
kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif intrapleura
normal.3

2.3 Kontrol pernafasan


Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke
dalam paru sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis
pergerakan udara masuk dan keluar dari paru disebut ventilasi dan mekanisme
ini dilaksanakan oleh sejumlah komponen yang saling berinteraksi.
Komponen yang berperan penting adalah pompa yang bergerak maju mundur,
disebut pompa pernafasan. Pompa ini mempunyai dua komponen volume-
elastis: paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi paru. Dinding terdiri
dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta diafragma, isi abdomen dan
dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding toraks
merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pompa.4
Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang iga
dan sternum) merupakan otot utama yang ikut berperan dalam peningkatan
volume paru dan rangka toraks selama inspirasi; ekspirasi merupakan suatu
proses pasif pada pernafasan tenang.4
Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri dari
neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Pusat pernafasan
merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan.
Faktor utama pada pengaturan pernafasan adalah respon dari pusat
kemoreseptor dalam pusat pernafasan terhadap tekanan parsial (tegangan)
karbon diokasida (PaCO2) dan pH darah arteri. Peningkatan PaCO2 atau
penururnan pH merangsang pernafasan.3,4
Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga
merangsang ventilasi. Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis
pada bifurkasio arteria komunis dan dalam badan aorta pada arkus aorta, peka
terhadap penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan tetapi PaO2
harus turun dari nilai normal kira-kira sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai
sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan yang cukup berarti.4
Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru.
Pada waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada
pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari
reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam
keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi.
Mekanisme ini yang dikenal dengan nama refleksHering-Breuer, refleks ini
tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter
seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi
baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga
merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan
dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons
dan medulla oblongata.3,4
Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf
frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama
lain yang ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika
yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.4

2.4 Kontrol pernafasan pada jalan nafas


Otot polos terdapat pada trakea hingga bronkiolus terminalis dan
dikontrol oleh sistem saaraf otonom. Tonus bronkomotorik bergantung pada
keseimbangan antara kekuatan konstriksi dan relaksasi otot polos pernafasan.
Persarafan parasimpatis (kolinergik melalui nervus vagus) memberikan
tonus bronkokonstriktor pada jalan nafas.5
Rangsangan parasimpatis menyebabkan bronkokonstriksi dan
peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Rangsangan simpatis
terutama ditimbulkan oleh epinefrin melalui reseptor-reseptor adrenergic-
beta2, dan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, bronkodilasi, dan
berkurangnya sekresi bronkus. Simpatis mempersarafi jalan nafas, namun
hanya sedikit.5
Sekarang ini, komponen ketiga pengontrolan saraf yan telah
digambarkan disebut nonkolinergik, sistem penghambat nonadrenergik.
Stimulasi serat saraf ini terletak pada nerfus vagus dan menyebabkan
bronkodilasi, dan neurotransmitter yang digunakan adalah nitrogen oksida.
Reseptor-reseptor jalan nafas bereaksi terhadap iritan-iritan mekanik ataupun
kimia yang akan menimbulkan masukan sensoris jaras vagus aferen, dan dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.5

2.5 Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium
kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek5
Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan
Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus
Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat
dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah
proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.
2.5.1 Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.
Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8
mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara
jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai
tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus
relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis
internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen
dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.3,4
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat
dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir
keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan
ventilasi yang efektif :4
Volume semenit atau ventilasi semenit (V E) adalah volume udara yang
terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. V E dapat dihitung
dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam
keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.
Frekuensi pernafasan (f) atau kecepatan; adalah jumlah nafas yang
dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa
sekitar 10-20 kali per menit.
Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau
diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh
meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas
dalam.
Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak
tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi
yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati
anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1
ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami
ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian
dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio
tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.
Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik.
Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam
alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.
Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan
VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara
yang terbuang dalam ventilasi VD.
Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik
(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai
perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan
statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians
paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan
komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
2.5.2 Transportasi Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5
m). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer
pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan
oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan
parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat
mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati
anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi
efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler
paru kira-kira sebesar 40 mmHg.4
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =
103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah
6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih
CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena
dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih
cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.6
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara
O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit
(misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi
dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama
sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi
dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai
faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan
difusi.6
2.6 Hubungan antara ventilasi perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran
darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit
pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam
keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks
paru.7
Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah
mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks,
disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :7
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar
normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan
pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan
dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami,
apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi
normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau
menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa
perfusi, V/Q lebih dari 0,8).7

2.7 Transpor O2 dalam darah


O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan:
secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai
oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible,
dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai
hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang
ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah.
Selanjutnya, jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai
hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2).7
Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya
sekitar 1% dari jumlah O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara transport
seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam
keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat
dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon
monoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O 2 yang cukup untuk
mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan
memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang
O2 hiperbarik).7
Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O 2. Konsentrasi Hb rata-rata
dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah
dapat mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%.
Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke
darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses
pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang
meninggalkan paru menjadi jenuh.6
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut
bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb
kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25%
O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah
melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi
berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan
HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada
darah arteri.7

2.8 Kurva Disosiasi Oksihemoglobin


Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus
diketahui afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun
pengambilan O2 oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika
darah lengkap dipajankan terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan persentase
kejenuhan Hb diukur, maka didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua
pengukuran tersebut digabungkan. Kurva ini dikenal dengan nama kurva
disosiasi oksihemoglobin dan menyatakan afinitas Hb terhadap O2 pada
berbagai tekanan parsial.7
Fakta fisiologis yang sangat penting tentang kurva ini yaitu adanya
bagian atas yang datar. Pada bagian atas kurva yang datar, perubahan yang
besar pada tekanan O2 akibat sedikit perubahan pada kejenuhan HbO2. Ini
berarti bahwa jumlah O2 yang relatif konstan dapat disuplai ke jaringan bahkan
pada ketinggian yang tinggi saat PO2 dapat sebesar 60 mmHg atau kurang. Ini
juga berarti bahwa pemberian O2 dalam konsentrasi tinggi (udara normal 21%)
pada pasien dengan hipoksemia ringan (PaO2=60-75 mmHg) adalah sia-sia,
karena HbO2 hanya dapat ditingkatkan sedikit sekali. Pelepasan O2 ke jaringan
dapat ditingkatkan oleh hubungan PO2 terhadap SaO2 pada kurva bagian vena
yang curam. Pada bagian ini perubahan-perubahan besar pada
HbO2 merupakan akibat sedikit perubahan pada PO2.7
Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang
menyertai jaringan dan dapat diubah oleh penyakit. Daftar dari beberapa
faktor tersebut serta pengaruhnya pada afinitas terhadap O2 dapat dilihat pada
tabel di bawah.7

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin


(HbO2)7
Kurva disosiasi HbO2
Pergeseran ke kiri Pergeseran ke kanan
(P50 menurun) (P50 meningkat)
pH pH
PCO2 PCO2
Suhu Suhu
2,3 DPG 2,3 DPG
P50 = tegangan oksigen dibutuhkan untuk menghasilka kejenuhan 50%
Kurva bergeser ke kanan apabila pH darah menurun atau
PCO2 meningkat. Dalam keadaan ini, pada PO2 tertentu afinitas Hb terhadap
O2 berkurang, sehingga O2 yang dapat diangkut oleh darah berkurang.
Keadaan patologis yang dapat menyebabkan asidosis metabolic, seperti syok
(pembentukan asam laktat berlebihan akibat metabolisme anaerobic) atau
retensi CO2 (seperti yang ditemukan pada banyak penyakit paru) akan
menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran kurva sedikit ke kanan
seperti pada bagian vena kurva normal (pH 7,38) akan membantu pelepasan
O2 ke jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama efek Bohr.7
Faktor lain yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah
peningkatan suhu dan 2,3 difosfogliserat (2,3-DPG) yaitu fosfat organic dalam
sel darah merah yang mengikat Hb dan mengurangi afinitas Hb terhadap O2.
Pada anemia dan hipoksemia kronik, 2,3-DPG sel darah merah meningkat.
Meskipun kemampuan transport O2 oleh Hb menurun bila kurva bergeser ke
kanan, namun kemampuan Hb untuk melepaskan O2 ke jaringan dipermudah.
Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik pergeseran kurva ke kanan
merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang disertai
kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan metabolisme sel dan
peningkatan kebutuhan O2, juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan
lebih banyak O2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah.7
Sebaliknya, peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan
PCO2, suhu, dan 2,3-DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi
oksihemoglobin ke kiri. Pergeseran ke kiri menyebabkan peninkatan afinitas
Hb terhadap O2. Akibatnya ambilan O2 paru meningkat pada pergeseran ke
kiri, namun pelepasan ke jaringan terganggu. Karena itu secara teoretis dapat
terjadi hipoksia (insufisiensi O2 jaringan guna memenuhi kebutuhan
metabolisme) pada keadaan alkalosis berat, terutama bila disertai dengan
hipoksemia.7
Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi dengan
respirator atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena
hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah serebral karena
penurunan PaCO2, iskemia serebral juga bertanggung jawab atas gejala
berkunang-kunang yang sering terjadi pada kondisi demikian. Darah yang
disimpan akan kehilangan aktifitas 2,3-DPG, sehingga afinitas Hb terhadap
O2 akan meningkat. Oleh karena itu, pasien yang menerima transfuse darah
yang disimpan dalam jumlah banyak kemungkinan akan mengalami gangguan
pelepasan O2 ke jaringan karena adanya pergeseran kurva disosiasi HbO 2 ke
kiri.7
Afinitas Hb diberi batasan melalui PO2 yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kejenuhan 50% (P50). Dalam keadaan normal, P50 sekitar 27
mmHg. P50 akan meningkat, bila kurva disosiasi bergeser ke kanan
(pengurangan afinitas Hb terhadap O2) sedangkan pada pergeseran kurva ke
kiri, (peningkatan afinitas Hb terhadap O2), P50 akan menurun.7
Homeostasis CO2 juga merupakan suatu aspek penting dalam
kecukupan respirasi. Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang
dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma,
karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20%
CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam
sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma
(HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini :7
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-
karbonat.Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi
paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus
dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan
alkalosis (peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi
CO2 berlebihan dari paru; hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi
CO2oleh paru. Penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan
menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurungan
konsentrasi H+(kenaikan pH), dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi
menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+(penurunan pH).7
Sama seperti O2, jumlah CO2 dalam darah berkaitan dengan PCO2.
Kurva disosiasi CO2 hampir linear pada batas-batas fisiologis PCO2. Ini berarti
bahwa kandungan CO2dalam darah berhubungan lansung dengan PCO2. Selain
itu, tidak ada sawar yang bermakna terhadap difusi CO 2. Karena itu
PaCO2 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan ventilasi.7
2.9 Penilaian Status Pernafasan
Pengetahuan tentang gas darah (PO2, PCO2, dan pH darah arteri) saja
tidak cukup memberikan keterangan tentang transpor O2 dan CO2 untuk
memastikan apakah oksigenasi jaringan pasien sudah memadai. Banyak faktor
lain yang ikut berperan dalam proses transport, seperti curah jantung yang
memadai dan perfusi jaringan, serta difusi gas-gas pada tingkat jaringan.
Karena itu deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan
klinis serta interpretasi gas-gas darah.6,7
Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi
pasien adalah konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase
kejenuhan Hb tidak bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan
O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb.
Volume persen menunjukkan berapa banyak O2 yang dapat dihantarkan ke
jaringan pada PaO2 tertentu.6,7

2.10 Analisa Gas Darah


Untuk menilai fungsi pernafasan secara adekuat, perlu juga
mempelajari hal-hal di luar paru seperti volume dan distribusi gas yang
diangkut oleh sistem sirkulasi.7
PaCO2 merupakan petunjuk VA yang terbaik. Bila PaCO2 meningkat,
penyebab langsung selalu hipoventilsai alveolar. Hipoventilasi menyebabkan
asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Penyebab langsung penurunan
PaCO2 adalah selalu hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan
alkalosis resiratorik dan kenaikan pH darah.7
Bila PaO2 turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia.
Pada gagal pernafasan yang berat, PaO2 makin turun sampai 30-40 mmHg.
Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari
mekanisme di bawah ini7
1. Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi (penyebab
tersering)
2. Hipoventilasi alveolar
3. Gangguang difusi
4. Pirau anatomic intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan
yang pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau
anatomic intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi
dengan terapi O2.
Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis
kegagalan pernafasan atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahan-
lahan. Apabila kadar PaO2tutun di bawah normal, terjadi insufisiensi
pernafasan, dan terjadi kegagalan pernafasan bila PaO2 turun sampai 50
mmHg. PaCO2 dapat meningkat atau turun sampai di bawah nilai normal
pada insufisiensi atau kegagalan pernafasan.6
Tabel 2. Nilai Normal dari Gas Darah Arteri
Pengukuran Gas Darah Simbol Nilai normal
35-45 mmHg
Tekanan CO2 PaCO2 (rata-rata, 40)
Tekanan O2 PaO2 80-100 mmHg
Persentase kejenuhan O2 SaO2 97
Konsentrasi ion hydrogen pH 7,35-7,45
Bikarbonat HCO3- 22-26 mEq/L

2. Tujuan Terapi Oksigen


a. Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke
jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob
b. Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 % untuk :
Mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.
Menurunkan kerja nafas dan miokard.
Menilai fungsi pertukaran gas

Indikasi Terapi Oksigen


12 Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2)
dibawah nilai normal. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan
berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2, yaitu:3,8
1. Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan
SaO2 90-94%
2. Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%
3. Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari
75%.
Hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan ventilasi, perfusi,
hipoventilasi, pirau, gangguan difusi dan berada ditempat yang tinggi.
Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang
bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai.
Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan
meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan
sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan
vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi,
juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup
jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki.3,8
Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner
sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru
terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal
sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasitas
transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan
peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi
pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian.8

2.13 Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini lebih
tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benar-
benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Jaringan akan mengalami
hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah
ventilasi spontan berhenti. Secara tradisional, hipoksia dibagi dalam 4 jenis.
Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut :5
1. Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik) yaitu apabila PO2 darah arteri
berkurang. Merupakan masalah pada individu normal pada daerah
ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai
penyakit sistim pernafasan lainnya. Gejala yang muncul pada keadaan ini
antara lain iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas, mual dan
muntah.
2. Hipoksia anemik yaitu apabila O2 darah arteri normal tetapi mengalami
denervasi. Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena
terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah, kecuali
apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita
anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan
latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan
pengangkutan O2 ke jaringan aktif.
3. Hipoksia stagnan akibat sirkulasi yang lambat merupakan masalah bagi
organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hipoksia akibat sirkulasi
lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat
terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat
hipoksia stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan normal,
aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka
waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun, syok
paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah
paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.
4. Hipoksia histotoksi adalah hipoksia yang disebabkan oleh hambatan
proses oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida.
Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim
lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan
sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan sianida, menghasilkan
sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik. Pemberian terapi oksigen
hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan
berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke
metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk
metabolisme. Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi
asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolisme
selule terganggu dan mengakibatkan kematian sel. Pemeliharaan oksigenasi
jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskular,
hematologi, dan respirasi.7

2.13.1 Manifestasi klinik hipoksia


Manifestasi klinik hipoksia tidak spesifik, sangat bervariasi,
tergantung pada lamanya hipoksia, kondisi kesehatan individu, dan
biasanya timbul pada keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi
klinik dapat berupa perubahan status mental/bersikap labil, pusing,
dispneu, takipneu, respiratory distress, dan aritmia. Sianosis sering
dianggap sebagai tanda dari hipoksia, namun hal ini hanya dapat
dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.8
Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse
oxymetry) dan analisis gas darah. Bila nilai saturasi kurang dari 90%
diperkirakan hipoksia, dan membutuhkan oksigen.8

Tabel 3. Gejala dan Tanda-Tanda Hipoksia Akut.8


Sistem Gejala dan tanda
Respirasi Sesak nafas, sianosis

Cardiac output meningkat, palpitasi,


takikardi, aritmia, hipotensi, angina,
Kardiovaskuler vasodilatasi, dan syok
Sistem saraf pusat Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai,
bingung, delirium, gelisah, edema papil,
koma

Neuromuskular Lemah,tremor,hiperrefleks, incoordination

Metabolik Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat

2.13.2 Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lain


Karena berbagai tanda dan gejala hipoksia bervariasi dan tidak
spesifik, maka untuk menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah
pemeriksaan PaO2 arteri atau saturasi oksigen arteri melalui pemeriksaan
invasif yaitu analisis gas darah arteri ataupun non invasif yaitu pulse
oximetry.Pada pemeriksaan gas darah, spesimen darah diambil dari
pembuluh darah arteri (a.Radialis atau a.Femoralis) dan akan didapatkan
nilai PaO2, PCO2, saturasi oksigen, dan parameter lain.8
Pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen.
Pemeriksaan saturasi oksigen ini tidak cukup untuk mendeteksi
hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaO2 60 mmHg atau
PaO2 < 60mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidak
bisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigen jangka panjang,
namun pemeriksaan noninvasif ini efektif digunakan untuk evaluasi
kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan
memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan terapi oksigen
di rumah.6,8

2.14 Gagal Nafas


Gagal nafas merupakan suatu keadaan kritis yang memerlukan
perawatan di instansi perawatan intensif. Diagnosis gagal nafas ditegakkan
bila pasien kehilangan kemampuan ventilasi secara adekuat atau tidak
mampu mencukupi kebutuhan oksigen darah dan sistem organ. Gagal nafas
terjadi karena disfungsi sistem respirasi yang dimulai dengan peningkatan
karbondioksida dan penurunan jumlah oksigen yang diangkut kedalam
jaringan.8
Gagal nafas akut sebagai diagnosis tidak dibatasi oleh usia dan dapat
terjadi karena berbagai proses penyakit. Gagal nafas hampir selalu
dihubungkan dengan kelainan diparu,tetapi keterlibatan organ lain dalam
proses respirasi tidak boleh diabaikan.8
1. Gagal Nafas Tipe I
Pada tipe ini terjadi perubahan pertukaran gas yang
diakibatkan kegagalan oksigenasi. PaO2 50 mmHg merupakan
ciri khusus tipe ini, sedangkan PaCO2 40 mmHg, meskipun ini
bisa juga disebabkan gagal nafas hiperkapnia. Ada 6 kondisi yang
menyebabkan gagal nafas tipe I yaitu:
Ketidaknormalan tekanan partial oksigen inspirasi (low PIO2)
Kegagalan difusi oksigen
Ketidakseimbangan ventilasi / perfusi [V/Q mismatch]
Pirau kanan ke kiri
Hipoventilasi alveolar
Konsumsi oksigen jaringan yang tinggi
2. Gagal Nafas Tipe II
Tipe ini dihubungkan dengan peningkatan karbondioksida
karena kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup.
Beberapa kelainan utama yang dihubungkan dengan gagal nafas
tipe ini adalah kelainan sistem saraf sentral, kelemahan
neuromuskuler dan deformitas dinding dada.Penyebab gagal nafas
tipe II adalah :
Kerusakan pengaturan sentral
Kelemahan neuromuskuler
Trauma spina servikal
Keracunan obat
Infeksi
Penyakit neuromuskuler
Kelelahan otot respirasi
Kelumpuhan saraf frenikus
Gangguan metabolism
Deformitas dada
Distensi abdomen massif
Obstruksi jalan nafas
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan
bagi kehidupan manusia, sebentar saja manusia tak
mendapat oksigen maka akan langsung fatal
akibatnya. Tak hanya untuk bernafas dan
mempertahankan kehidupan, oksigen juga sangat
dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian
oksigen dapat memperbaiki keadaan umum,
mempermudah perbaikan penyakit dan
memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat
diberikan jangka pendek dan jangka panjang.
Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti
indikasi pemberian oksigen, teknik yang akan
dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan, dan
lamanya oksigen yang akan diberikan serta waktu
pemberian. Pemberian oksigen perlu selalu
dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan
pemberian oksigen dan mencegah terjadinya retensi
CO2.




3.1 Terapi Oksigen Jangka Pendek
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya pneumonia,
PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular,
emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan secara
adekuat. Pemberian oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat
tetap dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan
FiO2 60-100% dalam waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang
spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat
mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan,
oksigen harus diberi secara terus-menerus.
Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek terdapat
rekomendasi dari The American College of Chest Physicians dan The
National Heart, Lung, and Blood Institute(tabel 1).

Tabel 1. Indikasi Akut Terapi Oksigen


Indikasi yang sudah direkomendasi :
Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
Cardiac arrest dan respiratory arrest
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18
mmol/L)
Respiratory distress (frekuensi pernafasan > 24/min)
Indikasi yang masih dipertanyakan :
Infark miokard tanpa komplikasi
Sesak nafas tanpa hipoksemia
Krisis sel sabit
Angina

3.2 Terapi Oksigen Jangka Panjang


Banyak pasien hipoksemia membutuhkan terapi oksigen jangka
panjang. Pasien dengan PPOK merupakan kelompok yang paling banyak
menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Studi awal pada terapi oksigen
jangka panjang pada pasien PPOK memperlihatkan bahwa pemberian
oksigen secara kontinu selama 4-8 minggu menurunkan hematokrit,
memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonar.
Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi oksigen jangka
panjang dapat meningkatkan jangka hidup sekitar 6 sampai 7 tahun. Angka
kematian menurun pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila oksigen
diberikan lebih dari 12 jam sehari dan manfaat survival lebih besar telah
ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan.
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen
jangka panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya perbaikan
dengan terapi oksigen jangka panjang, maka direkomendasikan untuk pasien
hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88%) oksigen
diberikan secara terus-menerus 24 jam dalam sehari. Pasien dengan
PaO2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal atau polisitemia
juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang.
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi
rendah (FiO224-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil
pemeriksaan analisis gas darah, dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan
menghindari penurunan pH dibawah 7,26. Oksigen dosis tinggi yang
diberikan kepada pasien PPOK yang sudah mengalami gagal nafas tipe II
(peningkatan karbondioksida oleh karena kegagalan ventilasi dengan
oksigen yang relatif cukup) akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk
pemicu gerakan bernafas dan meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi. Hal
ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis
respiratorik yang berakibat fatal.
Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang
dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan
mendapat terapi oksien mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu
lagi meneruskan suplemen oksigen.

Tabel 2. Indikasi terapi oksigen jangka panjang


Pemberian oksigen secara kontinyu :
PaO2 istirahat 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada satu keadaan :
- Edema yang disebabkan karena CHF
- P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3mm pada lead
II, III, aVF
Eritrositoma (hematokrit > 56%)
PaO2 > 59 mmHg atau saturasi oksigen > 89%
Pemberian oksigen tidak kontinyu :
Selama latihan : PaO2 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%
Selama tidur : PaO2 55 mmHg atau saturasi oksigen 88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan artimia

Tabel 3. Indikasi terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK


Indikasi Pencapaian terapi
PaO2 55 mmHg or SaO2 PaO2 60 mmHg atau SaO2 90%
88% Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur dan latihan
Pasien dengan kor pulmonal PaO2 60 mmHg atau SaO2 90%
PaO2 55-59 mmHg atau SaO2 Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
89% saat tidur dan latihan
Adanya P pulmonal pada EKG
Hematokrit > 55%
Gagal jantung kongestif
Indikasi khusus
Nocturnal hypoxemia Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur
Tidak ada hipoksemia saat Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
istirahat, tetapi saturasi saat latihan
menurun selama latihan
atau tidur

Anda mungkin juga menyukai