Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

GAGAL NAFAS

Disusun oleh:
Baiq Febri Aryani (011.06.0001)

Pembimbing :
dr. I Nyoman Sudiarsana, Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. R. SOEDJONO SELONG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2016

1
PENDAHULUAN

Pernafasan merupakan fungsi yang berjalan secara otomatis tanpa dikendalikan oleh

kesadaran. Pusat pernafasan terletak dalam medulla oblongata dan pons bagian atas pada batang

otak mengendalikan rangsangan untuk menentukan irama pernafasan. Neuron didalam medulla

oblongata mengontrol pola siklus inspirasi dan ekspirasi. Impuls eksitatori ditransmisikan

kediafragma dan otot interkosta eksterna untuk berkontraksi dan memulai inspirasi. Dua daerah

lain dalam pusat pernafasan dibatang otak membantu modifikasi irama pernafasan, yaitu pusat

apnea untuk memperpanjang inspirasi dan pusat pnemotaksik untuk membatasi atau

mengendalikan lamanya inspirasi. Kedua pusat ini bekerja bersama mengendalikan kedalaman

pernafasan dalam merespons kebutuhan tubuh. Pernafasan terjadi bila udara bergerak mas

uk keluar paru pada saat inspirasi dan ekspirasi karena terdapat perbedaan antara tekanan

didalam paru (tekanan intrapulmonal) dan tekanan diluar (tekanan atmosfer). Tekanan atmosfer

pada tingkat permukaan air laut adalah 760 mmHg pada suhu, tekanan dan kekeringan standar.

Agar inspirasi dapat dimulai, pusat pernafasan mengirim rangsangan eksitatori kepada diafragma

dan otot interkosta eksterna untuk berkontraksi. Kontraksi diafragma memperpanjang rongga

thorax. Kontraksi otot interkosta eksterna memperlebar rongga thorax. Keadaan ini

menghasilkan perbedaan tekanan intrapulmonal turun menjadi 758 mmHg. Udara masuk

kedalam paru dari daerah tekanan eksternal yang lebih tinggi kedaerah tekanan internal yang

lebih rendah. Pada akhir inspirasi, otot mengalami relaksasi dan rongga thorax menjadi lebih

kecil. Keadaan ini meningkatkan tekanan intrapulmonal menjadi 762 mmHg yang melampaui

tekanan atmosfer. Akibatnya udara mengalir keluar paru dari daerah bertekanan internal tinggi

kedaerah bertekanan eksternal rendah. Bila dimana terjadi suatu keadaan klinis yaitu suatu

2
sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat, maka dapat terjadi

gagal nafas (Urden, Stacy, dan Lough).

Tanda-tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien gagal nafas antara lain : Frekewensi

pernapasan > 30x/menit atau <10x/menit, nafas pendek atau cepat dan dangkal, cuping hidung,

menggunakan otot bantu pernafasan, adanya wheezing, ronchi pada auskultasi. Batuk terdengar

produktif tetapi secret tidak bisa dikeluarkan, pengembangan dada tidak simetris, ekspirasi

memanjang, mudah capek, sesak nafas saat beraktifitas, takhikardi atau bradikardi, tekanan darah

dapat meningkat atau menurun, pucat, akral dingin, sianosis pada kedua ekstremitas. Pada pasien

yang mengalami gagal nafas diperlukan tindakan pemasangan alat bantu nafas intubasi

endotrakeal dengan memasukan selang endotrakeal melalui mulut atau hidung kedalam trakea

atau tindakan prosedur trakeaostomi. Untuk membantu sistem respirasi diperlukan Ventilasi

mekanis atau Ventilator yaitu merupakan alat bantu pernafasan bertekanan positive atau negative

yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien sehingga mampu

mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama. (Iwan Purnawan,

Saryono, 2010). Ventilasi invasive mengacu pada penggunaan ventilasi melalui jalan nafas

buatan melalui endotrakhea tube atau trakheatube.

Ventilasi invasive dibutuhkan apabila pasien tidak bisa bernafas sendiri atau karena pasien

tidak bisa mempertahankan kepatenan jalan nafasnya. Hal ini bisa disebabkan karena proses

penyakit seperti pneumonia, trauma dinding dada, pengaruh anestesi selama operasi, obat-

obatan, atau masalah neuromuskuler seperti cidera spinal bagian atas. Dampak pada pemasangan

alat bantu nafas tersebut adalah, bahwa selang menyebabkan rasa tidak nyaman, reflek batuk

ditekan karena penutupan glotis dihambat. Sekresi cenderung lebih mengental karena efek

penghangatan dan pelembaban saluran pernafasan atas telah dipintas. Reflek- reflek menelan

3
terdiri dari refleks glotis, refleks faring, dan refleks laring, tertekan karena tidak digunakan

dalam waktu lama, iritasi dan trauma mekanis akibat selang endotrakea atau trakeostomi. Untuk

mengetahui banyaknya produksi sekresi adalah : frekuensi pernafasan > 30 x/menit, suara nafas

ronchi, wheezing dan saturasi O2 < 85%, tidal volume < 8 cc/kgBB/menit. Kondisi dimana

pasien pneumonia, kesulitan dalam mengeluarkan sekresinya, dengan batuk efektif yang dapat

merangsang pengeluaran secret dari paru-paru, maka perawat perlu melakukan tindakan

fisioterapi dada dengan cara clapping atau perkusi, vibrasi dan suction.

FISIOLOGI RESPIRASI

Pertukaran gas antara lingkungan dan pembuluh darah kapiler paru merupakan respirasi

eksterna. Unit fungsional paru terdiri dari alveolus dengan anyaman kapilernya. Banyak faktor

yang mempengaruhi pertukaran udara dari lingkungan ke alveoli (ventilasi) dan pasokan darah

ke kapiler paru (perfusi). Hukum Henry menyebutkan bahwa ketika larutan terpapar dengan gas

atmosfer, kesetimbangan parsial gas mengikuti antara molekul gas terlarut dalam larutan dan

molekul gas di atmosfer. Konsekuensinya, tekanan parsial O 2 dan CO2 yang meninggalkan

kapiler paru (darah vena paru) adalah sama dengan tekanan parsial O 2 dan CO2 yang masuk ke

alveoli setelah tercapai kesetimbangan. Pada keadaan setimbang, tekanan parsial O 2 dan CO2

dihasilkan dari kesetimbangan dinamik antara deliveri O2 ke alveolus dan ekstraksi O2 dari

alveolus, dan deliveri CO2 ke alveolus dan CO2 yang dibuang/dikeluarkan (Shapiro dan Peruzzi,

1994).

Deliveri O2 ke alveolus berhubungan langsung dengan kecepatan aliran masuk udara

(ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan parsial O2 pada udara inspirasi; FIO2). Pada

umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan peningkatan tekanan O2 inspirasi dan

peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2 dari alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas

4
haemoglobin darah yang memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh

darah kapiler paru dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan (cardiac output) dan ekstraksi O2

oleh jaringan (metabolism). Pada umumnya, saturasi Hb yang lebih rendah terdapat dalam darah

yang diperfusi ke kapiler paru sebagai akibat cardiac output yang rendah dan atau peningkatan

metabolism jaringan, ekstraksi O2 yang tinggi di alveoli dan kesetimbangan tekanan parsial O 2

yang rendah. Dengan cara yang sama, kuantitas Hb absolut dalam sirkulasi darah paru juga akan

meningkatkan atau menurunkan ekstraksi O2, meskipun faktor ini kadang kurang begitu penting.

Tekanan parsial O2 dalam alveolus lebih lanjut dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dalam

pembuluh kapiler paru. Seperti telah disebutkan sebelumnya tekanan parsial CO 2 dalam alveolus

karena kesetimbangan dinamik antara CO2 yang diangkut ke dalam alveolus dan CO2 yang

keluar dari alveolus. Jumlah dan tekanan parsial CO2 dalam alveolus meningkat dengan

meningkatnya metabolism jaringan dan dengan adanya cardiac output yang rendah (CO2 yang

dihasilkan dalam jaringan diangkut dalam jumlah yang sedikit dalam darah vena) (Shapiro dan

Peruzzi, 1994).

Ventilasi dan perfusi lebih lanjut dipengaruhi oleh adanya variasi dalam distribusi

ventilasi dan perfusi. Faktor penentu utama dalam distribusi aliran darah pulmoner adalah

cardiac output, tekanan arteri pulmonalis, gravitasi, postur dan interaksi tekanan arteri

pulmonalis dengan tekanan jalan nafas dan tekanan vena pulmonalis. Secara umum, perfusi lebih

banyak di basal paru dibanding dengan di apeks dan perbedaan ini meningkat dengan penurunan

cardiac output, hipotensi dan dengan aplikasi pemberian ventilasi tekanan positif. Distribusi

ventilasi dipengaruhi oleh gradient tekanan tranpulmoner (TPP=Transpulmonary Pressure)

regional dan perubahan TPP selama inspirasi. Pada umumnya volume alveolar lebih besar di

daerah apeks dibanding dengan daerah basal dan ventilasi lebih banyak di daerah apeks dari pada

5
di basal. Secara teori, pertukaran gas yang paling efesien akan terjadi jika perbandingan (match)

yang sempurna antara ventilasi dan perfusi dalam tiap unit fungsional paru. Tekanan parsial O 2

dan CO2 yang terdapat dalam alveolus dimana terdapat pembuluh kapiler yang melewatinya,

utamanya ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi pada alveolus tersebut (West ,1977).

Menurut West (1977) dan Nemaa (2003) unit fungsional tersebut dapat berada dalam

salah satu dari 4 hubungan absolut berikut: (Gambar. 1): (1) Unit normal dimana ventilasi dan

perfusi keduanya matched; (2) Unit dead space dimana alveolus terventilasi normal tetapi tidak

ada aliran darah pada kapiler.; (3) Unit shunting dimana alveolus tidak terventilasi tetapi ada

aliran darah normal melalui kapiler; dan (4) Unit silent dimana alveoli tidak terventilasi dan tidak

ada perfusi juga. Kompleknya hubungan ventilasi-perfusi (VA/Q) utamanya disebabkan oleh

karena luasnya spektrum diantara unit dead space sampai dengan unit shunting.

Paru-paru terdiri dari jutaan alveoli dengan anyaman kapilernya. Pada keadaan sehat dan

sakit hubungan ventilasi-perfusi dapat berada dalam berbagai kombinasi. Pendek kata, tekanan

parsial O2 dan CO2 dalam pembuluh darah arteri secara nyata mencerminkan jumlah total dari

efek semua faktor yang telah diuraikankan dimuka (Shapiro dan Peruzzi, 1994).

Pengaruh Ketidakseimbangan antara Ventilasi-Perfusi

Tekanan parsial O2 dan CO2 pada tiap alveolus ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi

(VA/Q) pada alveolus tersebut. Ketika rasio ventilasi-perfusi turun, tekanan parsial O 2 turun dan

tekanan parsial CO2 meningkat pada pembuluh darah yang meninggalkan alveolus dan se

sebaliknya jika rasio ventilasi-perfusi meningkat. Setiap keadaan/proses patologis yang

mengenai jalan nafas, parenkim paru, dan pembuluh darah paru akan menyebabkan

ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi dan akan menyebabkan area dengan rasio ventilasi-

perfusi abnormal (Papadakos, 2002).

6
Derajat kegagalan pertukaran gas tergantung pada nilai ventilasi-perfusi dan bentuk

distribusinya. Sangat penting disadari bahwa hipoksemia dan hiperkapnea berasal dari daerah

yang rasio ventilasi-perfusinya rendah. Bagian/area dengan rasio ventilasi-perfusi yang tinggi

tidak mempunyai pengaruh yang buruk pada tekanan gas darah arteri, namun akan meningkatkan

jumlah ventilasi yang sia-sia (efek dead space). Bagian paru dengan ventilasi-perfusi rendah

menyebabkan tekanan parsial O2 yang rendah di pembuluh vena pulmonalis. Bagian paru dengan

ventilasi-perfusi tinggi menyebabkan tekanan parsial O 2 yang tinggi pada pembuluh vena

pulmonalis, tetapi bagian paru dengan ventilasi-perfusi rendah dan tinggi tersebut tidak saling

menyeimbangkan satu dengan lainnya karena 2 alasan berikut: 1) Area dengan ventilasi-perfusi

yang rendah umumnya menerima lebih banyak aliran darah dari pada area dengan ventilasi-

perfusi tinggi, 2) karena kurva disosiasi haemoglobin tidak linier sehingga tekanan parsial O 2

yang lebih tinggi pada pembuluh darah di daerah ventilasi-perfusi tinggi tidak berarti bahwa

secara proposional akan meningkatkan saturasi haemoglobin dan O2 content dan oleh karena itu

hanya sedikit O2 tambahan ke pembuluh darah yang meninggalkan area dengan ventilasi-perfusi

tinggi tersebut. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa alveoli yang mengalami perfusi

tanpa ventilasi merupakan suatu unit shunting (gambar. 1 C) darah vena lewat unit ini tanpa

mengalami perubahan. Ini merupakan shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri dan

menyebabkan hipoksemia dengan bertambahnya darah vena ke darah arteri. Ventilasi-perfusi

mismatch biasanya tidak menyebabkan peningkatan tekanan parsial CO 2 karena stimuli

kemoreseptor meningkatkan menit ventilasi untuk mempertahankan tekanan parsial CO 2 dalam

range normal. Namun, peningkatan tekanan parsial CO2 akan terjadi jika peningkatan ventilasi

terbatas oleh karena depresi respirasi, disability neuromuskuler atau WOB (work of breathing)

yang berlebihan (Nemaa, 2003).

7
Pengaruh saturasi haemoglobin yang rendah dalam pembuluh kapiler (vena)

pulmoner.

Cardiac output yang rendah dan peningkatan metabolism jaringan merupakan penyebab

rendahnya saturasi haemoglobin. Saturasi haemoglobin normal dalam mixed venous yang

memperfusi kapiler paru adalah 75%. Saturasi haemoglobin yang rendah tidak mempengaruhi

oksigenasi dalam alveoli jika ada ventilasi yang adekuat. Namun, ventilation-perfusion mismatch

akan terjadi jika cardiac output rendah. Saturasi haemoglobin yang rendah menyebabkan arterial

hipoksemia melalui 3 mekanisme: pertama, darah yang meninggalkan area dengan ventilasi-

perfusi rendah akan menyebabkan darah mempunyai tekanan parsial O2 yang rendah karena

kesetimbangan tekanan parsial yang rendah (haemoglobin dengan saturasi yang rendah akan

melepas lebih banyak O2 sebelum menjadi tersaturasi, dengan demikian menurunkan tekanan

parsial dialveolus), kedua, efek dari unit shunting akan meluas akibat saturasi darah vena yang

rendah, dan ketiga, penurunan arterial O2 content selanjutnya akan menyebabkan penurunan

suplai O2 ke jaringan, jika konsumsi O2 jaringan tetap tidak berubah. Jadi jelas bahwa adanya

cardiac output yang rendah akan menyebabkan efek ventilasi perfusi rendah dan adanya area

shunting (Nemaa, 2003)

Evaluasi ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

Berat ringannya ketidakseimbangan ventilation-perfusion mungkin bisa diperkirakan dari

beberapa pengukuran yang berdasarkan persamaan gas alveolar ideal yang menggambarkan

campuran gas alveolar dengan tidak adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Tekanan parsial

O2 Alveolar (PAO2) dihitung dari persamaan modifikasi gas alveolar:

PAO2 = (PB PH2O) FIO2 PaCO2/R,

8
Dimana PB adalah tekanan barometer, PH2O merupakan tekanan uap air dalam alveoli, R adalah

respiratory quotient, and PaCO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam arteri.

Cara pengukuran yang berbeda yang biasa digunakan dalam praktek klinik untuk

mengevaluasi ketidakseimbangan ventilasi perfusi yaitu:

1. Perbedaan tekanan parsial O2 alveolar-arterial (PAO2 PaO2),

2. Pengaruh Venous admixture atau shunting: Qva/Qt = (CcO2 CaO2)/(CcO2 CvO2)

Dimana Qva adalah venous admixture, Qt adalah cardiac output; CcO2, CaO2, dan CvO2 adalah

masing-masing kandungan O2 dalam pembuluh kapiler yang ideal (darah meninggalkan alveoli

dengan matching yang sempurna antara ventilasi-perfusi), kandungan O 2 dalam arteri dan

kandungan O2 dalam mixed venous blood. Perhitungan venous admixture pada 100% tekanan O2

inspirasi (FIO2=1) menghilangkan kontribusi unit ventilasi-perfusi rendah dan mengukur fraksi

shunting sesungguhnya (Qs/Qt).

3. Pengaruh dead space, yaitu volume udara inspirasi yang tidak ikut dalam pertukaran gas.

Vd/VT = PaCO2 PECO2/PaCO2

Dimana Vd adalah wasted ventilation; dead space, VT adalah volume tidal, PaCO2 dan PECO2

adalah tekanan parsial CO2 dalam arteria dan mixed exhaled gas. Sayangnya, kegunaan klinik

dari ketiga pengukuran tersebut sangat terbatas karena adanya fakta bahwa semua dipengaruhi

baik perubahan menit ventilasi maupun cardiac output terpisah dari ketidakseimbangan

ventilasi-perfusi (Nemaa, 2003).

DEFINISI

Gagal nafas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan

parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang tanpa atau dengan

9
tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan

istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan (Irwin dan Wilson, 2006)

KLASIFIKASI GAGAL NAFAS

Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe. Tipe I

merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III adalah gabungan

antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi (Nemaa, 2003).

Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri): Tekanan parsial O2

dalam arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas inspirasi; (2) ventilasi semenit;

(3) kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi O 2 dalam

Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi metabolism jaringan dan

cardiac output); (5) difusi melalui membrane alveolar; dan (6) ventilation-perfusion

matching.
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O 2 arteri yang abnormal

rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan

rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai

dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara

ruangan), peningkatan perbedaan PAO2 PaO2, venous admixture dan Vd/VT (Shapiro

dan Peruzzi, 1994).


Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi):
1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Oedem Pulmo
4. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
5. Fibrosis interstitial
6. Pneumonia
7. Pneumothorax

10
8. Emboli Paru
9. Hipertensi Pulmonal (Kreit dan Rogers, 1995)
Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia):
Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang
membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal nafas tipe II
dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory drive,
mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau hambatan
kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding dada. Gagal
nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO 2 arteri yang abnormal
(PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO 2 dan PaO2, oleh
karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah (Kreit dan Rogers, 1995)
Penyebab gagal nafas tipe II:
A. Kelainan yang mengenai central ventilatory drive
1. Infark atau perdarahan batang otak
2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak
3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.
B. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi
1. Myasthenia Gravis
2. Amyotrophic lateral sclerosis
3. Gullain-Barr syndrome
4. Spinal Cord injury
5. Multiple sclerosis
6. Paralisis residual (pelumpuh otot)
C. Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada
1. Muscular dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest (Kreit dan Rogers, 1995)
Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia
(penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas
alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO 2 PaO2, venous

11
admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe I
atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III (Nemaa, 2003).
Penyebab tersering gagal nafas tipe III:
1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)

2. Asthma

3. Chronic obstructive pulmonary disease (Kreit dan Rogers, 1995)

MEKANISME KOMPENSASI PADA GAGAL NAFAS

Respon terhadap hipoksemia tergantung pada kemampuan pasien untuk mengenali

adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan cardiac output dan ventilasi

semenit untuk memperbaiki situasi tersebut. Kemoreseptor perifer yang berlokasi di arkus aorta

dan bifurcation arteri carotis mengirim sinyal aferen ke otak (Nemaa, 2003).

DIAGNOSIS
Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Diagnosis pasti gagal nafas akut adalah pemeriksaan analisa gas darah, tetapi kadang-
kadang diagnosa sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja misalnya apnoe, dalam
hal ini tidak perlu menunggu hasil AGD. Adapun Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat
nafas adalah:
o Apnoe
o Batuk berdahak
o Sianosis
o Sesak nafas/dispnoe
o Perubahan pola nafas:
o Frekuensi menurun (bradipnea) atau meningkat (takhipnea)
o Adanya retraksi dinding dada
o Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
o Pernafasan yang paradoksal
o Gerakan dinding dada yang tidak simetris
o Kelelahan
o Suara nafas menurun atau hilang, adanya suara tambahan seperti stridor, ronkhi atau
wheezing
o Takikardia/bradikardia
o Hipertensi/hipotensi

12
o Gangguan irama jantung
o Gangguan kesadaran akibat hipoksia atau hiperkarbia (Muhardi, 1989)
Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty)
o Kriteria gagal nafas akut menurut Shapiro bila:
o Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,
o Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.
Kriteri Gagal Nafas menurut Petty.
o Kriteria gagal nafas menurut Petty adalah:
o Acute Respiratory failure:
o PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2
o Acute Ventilatory Failure:
o PaCO2 > 50 mmHg (Wirjoatmodjo, 2000)
PENATALAKSANAAN GAGAL NAFAS:

Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan

kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.

Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik

Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk

memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Penatalaksanaan Gagal Nafas secara suportif/nonspesifik

1. Atasi Hipoksemia: Terapi Oksigen

2. Atasi Hiperkarbia: Perbaiki ventilasi

a. Perbaiki jalan nafas

b. Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag

c. Ventilasi Mekanik

3. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan

ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan

13
bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan

telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga

tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural.

Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator (Muhardi,

1989).

Atasi Hipoksemia

Terapi Oksigen

Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2

sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut

kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak

terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan

PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar

membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan

harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan

menghindari toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien

dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika

tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus

diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan.

Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan

meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco

dan Pellegrino, 2003)

14
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem

arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang

digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan

aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak

meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran

menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,

diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan

dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen

arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask

menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk

mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK

dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan

memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing

diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat

mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total

kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah

pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal

(Sue dan Bongard, 2003).

Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi

Jalan napas (Airway)

Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat

pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya

obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal

15
tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami

(Sue dan Bongard, 2003).

Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan

respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya

resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi

obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi

ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi

fibreoptik (Sue dan Bongard, 2003).

Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan

pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik

dengan jalan napas artifisial.

DAFTAR PUSTAKA

Brusasco V. Pellegrino R, 2003. Oxygen in the Rehabilitation of Patients with COPD. America
Journal Respiratory Critical Care Med; 168: 1021-2
Chen H-I, Kuo CS. 1989. Relationship between respiratory muscle function and age, sex and
other factors. J Appl Physiol Vol 66: 943.
Chevrolet JC, Deleamont P. 1991. Repeated vital capacity measurement as predictive parameter
for mechanical ventilation need and weaning success in the Guillain Barre syndrome.
Am Rev Respir Dis, Vol144: 814.

16
Gottesman E and McCool FD. 1997 Ultrasound evaluation of the paralysed diaphragm. Am J
Respir Crit Care Med, Vol 155: 1570.
Irwin RS and Mark M. 2006. A Physiologic Approach To Managing Respiratory Failure. Manual
Of Intensive Care Medicine, 4th Edition; 251-4
Kreit JW and Rogers RM. 1995. Approach to the patient with respiratory failure. In Shoemaker,
Ayres, Grenvik, Holbrook (Ed) Textbook of Critical Care. WB Saunders, Philadelphia,Pp
680-7.
Muhardi, OET. 1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensif Care Unit, Bagian Anestesi dan Terapi
Intensif FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, Hal 1-9
Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-6.
Papadakos PJ. 2002. Perioperative evaluation of pulmonary disease and function. In Murray MJ,
Coursin DB, Pearl RG, Prough DS (Ed) Critical Care Medicine. Lippincot-Williams and
Wilkins, Philadelphia, Pp. 374-84.
Price & Wilson. 2005. Gagal Napas : Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. EGC; Edisi 6;
Bab 41; 824-37
Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro BA and Peruzzi WT
(Ed) Clinical Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore, Pp. 13-24.
Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care Diagnosis and
Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89
Tobin MJ and Laghi F. 1998. Monitoring of the control of breathing. In principles and practice
of intensive care monitoring. Tobin MJ (Ed). New York, McGraw-Hill, Pp. 415-64.
West JB.1977.Ventilation-perfusion relationships. Am Rev Respir Dis Vol 116: 919-25.
Whitelaw WA, Derenne JP. 1993. Airway occlusion pressure. J Appl Physiol Vol 74: 1475.
Wijoatmodjo, K. 2000 Gawat Nafas Akut: Modul Dasar anestesiologi dan Reanimasi, DIKTI,
DEPNAS, 2000, Hal. 26-34

17

Anda mungkin juga menyukai