GAGAL NAFAS
Disusun oleh:
Baiq Febri Aryani (011.06.0001)
Pembimbing :
dr. I Nyoman Sudiarsana, Sp.An
1
PENDAHULUAN
Pernafasan merupakan fungsi yang berjalan secara otomatis tanpa dikendalikan oleh
kesadaran. Pusat pernafasan terletak dalam medulla oblongata dan pons bagian atas pada batang
otak mengendalikan rangsangan untuk menentukan irama pernafasan. Neuron didalam medulla
oblongata mengontrol pola siklus inspirasi dan ekspirasi. Impuls eksitatori ditransmisikan
kediafragma dan otot interkosta eksterna untuk berkontraksi dan memulai inspirasi. Dua daerah
lain dalam pusat pernafasan dibatang otak membantu modifikasi irama pernafasan, yaitu pusat
apnea untuk memperpanjang inspirasi dan pusat pnemotaksik untuk membatasi atau
mengendalikan lamanya inspirasi. Kedua pusat ini bekerja bersama mengendalikan kedalaman
pernafasan dalam merespons kebutuhan tubuh. Pernafasan terjadi bila udara bergerak mas
uk keluar paru pada saat inspirasi dan ekspirasi karena terdapat perbedaan antara tekanan
didalam paru (tekanan intrapulmonal) dan tekanan diluar (tekanan atmosfer). Tekanan atmosfer
pada tingkat permukaan air laut adalah 760 mmHg pada suhu, tekanan dan kekeringan standar.
Agar inspirasi dapat dimulai, pusat pernafasan mengirim rangsangan eksitatori kepada diafragma
dan otot interkosta eksterna untuk berkontraksi. Kontraksi diafragma memperpanjang rongga
thorax. Kontraksi otot interkosta eksterna memperlebar rongga thorax. Keadaan ini
menghasilkan perbedaan tekanan intrapulmonal turun menjadi 758 mmHg. Udara masuk
kedalam paru dari daerah tekanan eksternal yang lebih tinggi kedaerah tekanan internal yang
lebih rendah. Pada akhir inspirasi, otot mengalami relaksasi dan rongga thorax menjadi lebih
kecil. Keadaan ini meningkatkan tekanan intrapulmonal menjadi 762 mmHg yang melampaui
tekanan atmosfer. Akibatnya udara mengalir keluar paru dari daerah bertekanan internal tinggi
kedaerah bertekanan eksternal rendah. Bila dimana terjadi suatu keadaan klinis yaitu suatu
2
sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat, maka dapat terjadi
Tanda-tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien gagal nafas antara lain : Frekewensi
pernapasan > 30x/menit atau <10x/menit, nafas pendek atau cepat dan dangkal, cuping hidung,
menggunakan otot bantu pernafasan, adanya wheezing, ronchi pada auskultasi. Batuk terdengar
produktif tetapi secret tidak bisa dikeluarkan, pengembangan dada tidak simetris, ekspirasi
memanjang, mudah capek, sesak nafas saat beraktifitas, takhikardi atau bradikardi, tekanan darah
dapat meningkat atau menurun, pucat, akral dingin, sianosis pada kedua ekstremitas. Pada pasien
yang mengalami gagal nafas diperlukan tindakan pemasangan alat bantu nafas intubasi
endotrakeal dengan memasukan selang endotrakeal melalui mulut atau hidung kedalam trakea
atau tindakan prosedur trakeaostomi. Untuk membantu sistem respirasi diperlukan Ventilasi
mekanis atau Ventilator yaitu merupakan alat bantu pernafasan bertekanan positive atau negative
yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien sehingga mampu
mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama. (Iwan Purnawan,
Saryono, 2010). Ventilasi invasive mengacu pada penggunaan ventilasi melalui jalan nafas
Ventilasi invasive dibutuhkan apabila pasien tidak bisa bernafas sendiri atau karena pasien
tidak bisa mempertahankan kepatenan jalan nafasnya. Hal ini bisa disebabkan karena proses
penyakit seperti pneumonia, trauma dinding dada, pengaruh anestesi selama operasi, obat-
obatan, atau masalah neuromuskuler seperti cidera spinal bagian atas. Dampak pada pemasangan
alat bantu nafas tersebut adalah, bahwa selang menyebabkan rasa tidak nyaman, reflek batuk
ditekan karena penutupan glotis dihambat. Sekresi cenderung lebih mengental karena efek
penghangatan dan pelembaban saluran pernafasan atas telah dipintas. Reflek- reflek menelan
3
terdiri dari refleks glotis, refleks faring, dan refleks laring, tertekan karena tidak digunakan
dalam waktu lama, iritasi dan trauma mekanis akibat selang endotrakea atau trakeostomi. Untuk
mengetahui banyaknya produksi sekresi adalah : frekuensi pernafasan > 30 x/menit, suara nafas
ronchi, wheezing dan saturasi O2 < 85%, tidal volume < 8 cc/kgBB/menit. Kondisi dimana
pasien pneumonia, kesulitan dalam mengeluarkan sekresinya, dengan batuk efektif yang dapat
merangsang pengeluaran secret dari paru-paru, maka perawat perlu melakukan tindakan
fisioterapi dada dengan cara clapping atau perkusi, vibrasi dan suction.
FISIOLOGI RESPIRASI
Pertukaran gas antara lingkungan dan pembuluh darah kapiler paru merupakan respirasi
eksterna. Unit fungsional paru terdiri dari alveolus dengan anyaman kapilernya. Banyak faktor
yang mempengaruhi pertukaran udara dari lingkungan ke alveoli (ventilasi) dan pasokan darah
ke kapiler paru (perfusi). Hukum Henry menyebutkan bahwa ketika larutan terpapar dengan gas
atmosfer, kesetimbangan parsial gas mengikuti antara molekul gas terlarut dalam larutan dan
molekul gas di atmosfer. Konsekuensinya, tekanan parsial O 2 dan CO2 yang meninggalkan
kapiler paru (darah vena paru) adalah sama dengan tekanan parsial O 2 dan CO2 yang masuk ke
alveoli setelah tercapai kesetimbangan. Pada keadaan setimbang, tekanan parsial O 2 dan CO2
dihasilkan dari kesetimbangan dinamik antara deliveri O2 ke alveolus dan ekstraksi O2 dari
alveolus, dan deliveri CO2 ke alveolus dan CO2 yang dibuang/dikeluarkan (Shapiro dan Peruzzi,
1994).
(ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan parsial O2 pada udara inspirasi; FIO2). Pada
umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan peningkatan tekanan O2 inspirasi dan
peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2 dari alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas
4
haemoglobin darah yang memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh
darah kapiler paru dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan (cardiac output) dan ekstraksi O2
oleh jaringan (metabolism). Pada umumnya, saturasi Hb yang lebih rendah terdapat dalam darah
yang diperfusi ke kapiler paru sebagai akibat cardiac output yang rendah dan atau peningkatan
metabolism jaringan, ekstraksi O2 yang tinggi di alveoli dan kesetimbangan tekanan parsial O 2
yang rendah. Dengan cara yang sama, kuantitas Hb absolut dalam sirkulasi darah paru juga akan
meningkatkan atau menurunkan ekstraksi O2, meskipun faktor ini kadang kurang begitu penting.
Tekanan parsial O2 dalam alveolus lebih lanjut dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dalam
pembuluh kapiler paru. Seperti telah disebutkan sebelumnya tekanan parsial CO 2 dalam alveolus
karena kesetimbangan dinamik antara CO2 yang diangkut ke dalam alveolus dan CO2 yang
keluar dari alveolus. Jumlah dan tekanan parsial CO2 dalam alveolus meningkat dengan
meningkatnya metabolism jaringan dan dengan adanya cardiac output yang rendah (CO2 yang
dihasilkan dalam jaringan diangkut dalam jumlah yang sedikit dalam darah vena) (Shapiro dan
Peruzzi, 1994).
Ventilasi dan perfusi lebih lanjut dipengaruhi oleh adanya variasi dalam distribusi
ventilasi dan perfusi. Faktor penentu utama dalam distribusi aliran darah pulmoner adalah
cardiac output, tekanan arteri pulmonalis, gravitasi, postur dan interaksi tekanan arteri
pulmonalis dengan tekanan jalan nafas dan tekanan vena pulmonalis. Secara umum, perfusi lebih
banyak di basal paru dibanding dengan di apeks dan perbedaan ini meningkat dengan penurunan
cardiac output, hipotensi dan dengan aplikasi pemberian ventilasi tekanan positif. Distribusi
regional dan perubahan TPP selama inspirasi. Pada umumnya volume alveolar lebih besar di
daerah apeks dibanding dengan daerah basal dan ventilasi lebih banyak di daerah apeks dari pada
5
di basal. Secara teori, pertukaran gas yang paling efesien akan terjadi jika perbandingan (match)
yang sempurna antara ventilasi dan perfusi dalam tiap unit fungsional paru. Tekanan parsial O 2
dan CO2 yang terdapat dalam alveolus dimana terdapat pembuluh kapiler yang melewatinya,
utamanya ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi pada alveolus tersebut (West ,1977).
Menurut West (1977) dan Nemaa (2003) unit fungsional tersebut dapat berada dalam
salah satu dari 4 hubungan absolut berikut: (Gambar. 1): (1) Unit normal dimana ventilasi dan
perfusi keduanya matched; (2) Unit dead space dimana alveolus terventilasi normal tetapi tidak
ada aliran darah pada kapiler.; (3) Unit shunting dimana alveolus tidak terventilasi tetapi ada
aliran darah normal melalui kapiler; dan (4) Unit silent dimana alveoli tidak terventilasi dan tidak
ada perfusi juga. Kompleknya hubungan ventilasi-perfusi (VA/Q) utamanya disebabkan oleh
karena luasnya spektrum diantara unit dead space sampai dengan unit shunting.
Paru-paru terdiri dari jutaan alveoli dengan anyaman kapilernya. Pada keadaan sehat dan
sakit hubungan ventilasi-perfusi dapat berada dalam berbagai kombinasi. Pendek kata, tekanan
parsial O2 dan CO2 dalam pembuluh darah arteri secara nyata mencerminkan jumlah total dari
efek semua faktor yang telah diuraikankan dimuka (Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Tekanan parsial O2 dan CO2 pada tiap alveolus ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi
(VA/Q) pada alveolus tersebut. Ketika rasio ventilasi-perfusi turun, tekanan parsial O 2 turun dan
tekanan parsial CO2 meningkat pada pembuluh darah yang meninggalkan alveolus dan se
mengenai jalan nafas, parenkim paru, dan pembuluh darah paru akan menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi dan akan menyebabkan area dengan rasio ventilasi-
6
Derajat kegagalan pertukaran gas tergantung pada nilai ventilasi-perfusi dan bentuk
distribusinya. Sangat penting disadari bahwa hipoksemia dan hiperkapnea berasal dari daerah
yang rasio ventilasi-perfusinya rendah. Bagian/area dengan rasio ventilasi-perfusi yang tinggi
tidak mempunyai pengaruh yang buruk pada tekanan gas darah arteri, namun akan meningkatkan
jumlah ventilasi yang sia-sia (efek dead space). Bagian paru dengan ventilasi-perfusi rendah
menyebabkan tekanan parsial O2 yang rendah di pembuluh vena pulmonalis. Bagian paru dengan
ventilasi-perfusi tinggi menyebabkan tekanan parsial O 2 yang tinggi pada pembuluh vena
pulmonalis, tetapi bagian paru dengan ventilasi-perfusi rendah dan tinggi tersebut tidak saling
menyeimbangkan satu dengan lainnya karena 2 alasan berikut: 1) Area dengan ventilasi-perfusi
yang rendah umumnya menerima lebih banyak aliran darah dari pada area dengan ventilasi-
perfusi tinggi, 2) karena kurva disosiasi haemoglobin tidak linier sehingga tekanan parsial O 2
yang lebih tinggi pada pembuluh darah di daerah ventilasi-perfusi tinggi tidak berarti bahwa
secara proposional akan meningkatkan saturasi haemoglobin dan O2 content dan oleh karena itu
hanya sedikit O2 tambahan ke pembuluh darah yang meninggalkan area dengan ventilasi-perfusi
tinggi tersebut. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa alveoli yang mengalami perfusi
tanpa ventilasi merupakan suatu unit shunting (gambar. 1 C) darah vena lewat unit ini tanpa
mengalami perubahan. Ini merupakan shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri dan
range normal. Namun, peningkatan tekanan parsial CO2 akan terjadi jika peningkatan ventilasi
terbatas oleh karena depresi respirasi, disability neuromuskuler atau WOB (work of breathing)
7
Pengaruh saturasi haemoglobin yang rendah dalam pembuluh kapiler (vena)
pulmoner.
Cardiac output yang rendah dan peningkatan metabolism jaringan merupakan penyebab
rendahnya saturasi haemoglobin. Saturasi haemoglobin normal dalam mixed venous yang
memperfusi kapiler paru adalah 75%. Saturasi haemoglobin yang rendah tidak mempengaruhi
oksigenasi dalam alveoli jika ada ventilasi yang adekuat. Namun, ventilation-perfusion mismatch
akan terjadi jika cardiac output rendah. Saturasi haemoglobin yang rendah menyebabkan arterial
hipoksemia melalui 3 mekanisme: pertama, darah yang meninggalkan area dengan ventilasi-
perfusi rendah akan menyebabkan darah mempunyai tekanan parsial O2 yang rendah karena
kesetimbangan tekanan parsial yang rendah (haemoglobin dengan saturasi yang rendah akan
melepas lebih banyak O2 sebelum menjadi tersaturasi, dengan demikian menurunkan tekanan
parsial dialveolus), kedua, efek dari unit shunting akan meluas akibat saturasi darah vena yang
rendah, dan ketiga, penurunan arterial O2 content selanjutnya akan menyebabkan penurunan
suplai O2 ke jaringan, jika konsumsi O2 jaringan tetap tidak berubah. Jadi jelas bahwa adanya
cardiac output yang rendah akan menyebabkan efek ventilasi perfusi rendah dan adanya area
beberapa pengukuran yang berdasarkan persamaan gas alveolar ideal yang menggambarkan
campuran gas alveolar dengan tidak adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Tekanan parsial
8
Dimana PB adalah tekanan barometer, PH2O merupakan tekanan uap air dalam alveoli, R adalah
respiratory quotient, and PaCO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam arteri.
Cara pengukuran yang berbeda yang biasa digunakan dalam praktek klinik untuk
Dimana Qva adalah venous admixture, Qt adalah cardiac output; CcO2, CaO2, dan CvO2 adalah
masing-masing kandungan O2 dalam pembuluh kapiler yang ideal (darah meninggalkan alveoli
dengan matching yang sempurna antara ventilasi-perfusi), kandungan O 2 dalam arteri dan
kandungan O2 dalam mixed venous blood. Perhitungan venous admixture pada 100% tekanan O2
inspirasi (FIO2=1) menghilangkan kontribusi unit ventilasi-perfusi rendah dan mengukur fraksi
3. Pengaruh dead space, yaitu volume udara inspirasi yang tidak ikut dalam pertukaran gas.
Dimana Vd adalah wasted ventilation; dead space, VT adalah volume tidal, PaCO2 dan PECO2
adalah tekanan parsial CO2 dalam arteria dan mixed exhaled gas. Sayangnya, kegunaan klinik
dari ketiga pengukuran tersebut sangat terbatas karena adanya fakta bahwa semua dipengaruhi
baik perubahan menit ventilasi maupun cardiac output terpisah dari ketidakseimbangan
DEFINISI
Gagal nafas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang tanpa atau dengan
9
tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan
istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan (Irwin dan Wilson, 2006)
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe. Tipe I
merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III adalah gabungan
dalam arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas inspirasi; (2) ventilasi semenit;
(3) kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi O 2 dalam
Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi metabolism jaringan dan
cardiac output); (5) difusi melalui membrane alveolar; dan (6) ventilation-perfusion
matching.
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O 2 arteri yang abnormal
rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan
rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai
dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara
ruangan), peningkatan perbedaan PAO2 PaO2, venous admixture dan Vd/VT (Shapiro
10
8. Emboli Paru
9. Hipertensi Pulmonal (Kreit dan Rogers, 1995)
Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia):
Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang
membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal nafas tipe II
dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory drive,
mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau hambatan
kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding dada. Gagal
nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO 2 arteri yang abnormal
(PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO 2 dan PaO2, oleh
karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah (Kreit dan Rogers, 1995)
Penyebab gagal nafas tipe II:
A. Kelainan yang mengenai central ventilatory drive
1. Infark atau perdarahan batang otak
2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak
3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.
B. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi
1. Myasthenia Gravis
2. Amyotrophic lateral sclerosis
3. Gullain-Barr syndrome
4. Spinal Cord injury
5. Multiple sclerosis
6. Paralisis residual (pelumpuh otot)
C. Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada
1. Muscular dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest (Kreit dan Rogers, 1995)
Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia
(penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas
alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO 2 PaO2, venous
11
admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe I
atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III (Nemaa, 2003).
Penyebab tersering gagal nafas tipe III:
1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan cardiac output dan ventilasi
semenit untuk memperbaiki situasi tersebut. Kemoreseptor perifer yang berlokasi di arkus aorta
dan bifurcation arteri carotis mengirim sinyal aferen ke otak (Nemaa, 2003).
DIAGNOSIS
Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Diagnosis pasti gagal nafas akut adalah pemeriksaan analisa gas darah, tetapi kadang-
kadang diagnosa sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja misalnya apnoe, dalam
hal ini tidak perlu menunggu hasil AGD. Adapun Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat
nafas adalah:
o Apnoe
o Batuk berdahak
o Sianosis
o Sesak nafas/dispnoe
o Perubahan pola nafas:
o Frekuensi menurun (bradipnea) atau meningkat (takhipnea)
o Adanya retraksi dinding dada
o Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
o Pernafasan yang paradoksal
o Gerakan dinding dada yang tidak simetris
o Kelelahan
o Suara nafas menurun atau hilang, adanya suara tambahan seperti stridor, ronkhi atau
wheezing
o Takikardia/bradikardia
o Hipertensi/hipotensi
12
o Gangguan irama jantung
o Gangguan kesadaran akibat hipoksia atau hiperkarbia (Muhardi, 1989)
Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty)
o Kriteria gagal nafas akut menurut Shapiro bila:
o Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,
o Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.
Kriteri Gagal Nafas menurut Petty.
o Kriteria gagal nafas menurut Petty adalah:
o Acute Respiratory failure:
o PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2
o Acute Ventilatory Failure:
o PaCO2 > 50 mmHg (Wirjoatmodjo, 2000)
PENATALAKSANAAN GAGAL NAFAS:
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk
c. Ventilasi Mekanik
3. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan
ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan
13
bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan
telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga
tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural.
1989).
Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut
kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak
terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan
harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien
dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika
tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus
diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan.
Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco
14
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem
arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang
digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan
dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask
menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK
dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing
diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total
kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah
pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat
pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal
15
tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan
respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya
resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi
ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan
pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Brusasco V. Pellegrino R, 2003. Oxygen in the Rehabilitation of Patients with COPD. America
Journal Respiratory Critical Care Med; 168: 1021-2
Chen H-I, Kuo CS. 1989. Relationship between respiratory muscle function and age, sex and
other factors. J Appl Physiol Vol 66: 943.
Chevrolet JC, Deleamont P. 1991. Repeated vital capacity measurement as predictive parameter
for mechanical ventilation need and weaning success in the Guillain Barre syndrome.
Am Rev Respir Dis, Vol144: 814.
16
Gottesman E and McCool FD. 1997 Ultrasound evaluation of the paralysed diaphragm. Am J
Respir Crit Care Med, Vol 155: 1570.
Irwin RS and Mark M. 2006. A Physiologic Approach To Managing Respiratory Failure. Manual
Of Intensive Care Medicine, 4th Edition; 251-4
Kreit JW and Rogers RM. 1995. Approach to the patient with respiratory failure. In Shoemaker,
Ayres, Grenvik, Holbrook (Ed) Textbook of Critical Care. WB Saunders, Philadelphia,Pp
680-7.
Muhardi, OET. 1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensif Care Unit, Bagian Anestesi dan Terapi
Intensif FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, Hal 1-9
Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-6.
Papadakos PJ. 2002. Perioperative evaluation of pulmonary disease and function. In Murray MJ,
Coursin DB, Pearl RG, Prough DS (Ed) Critical Care Medicine. Lippincot-Williams and
Wilkins, Philadelphia, Pp. 374-84.
Price & Wilson. 2005. Gagal Napas : Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. EGC; Edisi 6;
Bab 41; 824-37
Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro BA and Peruzzi WT
(Ed) Clinical Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore, Pp. 13-24.
Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care Diagnosis and
Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89
Tobin MJ and Laghi F. 1998. Monitoring of the control of breathing. In principles and practice
of intensive care monitoring. Tobin MJ (Ed). New York, McGraw-Hill, Pp. 415-64.
West JB.1977.Ventilation-perfusion relationships. Am Rev Respir Dis Vol 116: 919-25.
Whitelaw WA, Derenne JP. 1993. Airway occlusion pressure. J Appl Physiol Vol 74: 1475.
Wijoatmodjo, K. 2000 Gawat Nafas Akut: Modul Dasar anestesiologi dan Reanimasi, DIKTI,
DEPNAS, 2000, Hal. 26-34
17