Antropologi Budaya
MENGENANG permainan rakyat yang biasa dimainkan saat masih kecil atau ketika masih di
kampung dulu mungkin merupakan kenangan yang mengesankan sekaligus lucu. Walaupun,
beberapa permainan yang pernah dimainkan tersebut sudah sangat jarangkalau tidak mau
dikatakan tidak adayang bisa ditemukan dan dimainkan oleh anak-anak saat ini. Kemajaun
teknologi dan informasi, yang menciptakan mainan-mainan modernplastik, elektronik, dan
games onlinetelah mengubur masa-masa indah itu.
Reaksi yang pertama adalah masyarakat yang menilai positif dengan berbagai macam jenis
permainan tersebut. Reaksi ini mucul dari mereka yang beranggapan bahwa berbagai macam
jenis permainan baru pada anak-anak memberikan dampak positif terhadap kehidupan anak-
anak. Reaksi lainnya adalah masyararakat yang menilai negatif. Walaupun menurut penulis
yang betul-betul menilai negatif bisa dikatakan tidak ada dan lebih tepat dikatakan
kekhawatiran, reaksi seperti ini lebih disebabkan oleh alasan ekonomis. Reaksi ketiga adalah
yang bersifat netral. Pada umumnya masyarakat Indonesia bersifat seperti ini. Reaksi ini
disebabkan karena adanya pandangan bahwa pada dasarnya setiap orang sudah mampu
menentukan pilihan yang paling baik bagi diri dan keluarganya.
Dalam era globalisasi ini muncul pula pertanyaan, relevankan apabila permainan rakyat digali
kembali dalam kaitannya dengan semakin dominannya permainan baru dalam kehidupan
anak? Sementara itu parmainan modern yang telah meransek jauh dalam kehidupan bermain
anak-anak, selain berakibat menjauhkan anak-anak dari hubungan perkawanan yang personal
ke impersonal. Juga menyebabkan menipisnya orientasi wawasan anak komunalistik ke
induvidualistik. Sementara itu disadari pula sebagian ilmuan sosial dan humaniora tentang
adanya peran yang tidak kecil dari permainan rakyat dihadirkan dan perkenalan kembali
lewat penelitian-penilitian, dan kajian-kajian ilmiah.
Berbagai permainan anak sebagai gejala sosial-budaya telah lama menjadi perhatian ilmuwan
sosial. Menurut Ahimsa-Putra dalam tulisan ini, dari beberapa literatur asing yang diamati,
setidaknya ada empat perpektif yang pernah digunakan untuk memahami dan menjelaskan
fenomena permainan anak. Keempat perspektif seperti: 1) perspektif fungsional: bermain
sebagai persiapan menjadi orang dewasa, 2) permainan: bermain (play) sebagai
permainan (game), 3) psikologi: bermain sebagai wujud kecemasan dan kemarahan, dan 4)
adaptasi: bermain sebagai peningkatan kemampuan beradaptasi.
Perspektif fungsional: Bermain Sebagai Persiapan Menjadi Orang Dewasa. Perspekti ini,
anak-anak diasumsikan melakukan permainan-permainan yang menyerupai apa yang
dilakukan orang dewasa, dengan kata lain bisa disebut dengan persiapan menjadi orang
dewasa. Pandangan fungsional ini dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, ahli
antropologi pelopor teori fungsionalisme. Berbagai permainan anak, misalnya: pasaran,
dokter-dokteran,sekolah-sekolah dan sebagainya, yang biasa disebut role play (main
peran), merupakan contoh dari permainan anak-anak yang mempunyai fungsi mempersiapkan
anak-anak untuk memainkan peran yang sebenarnya ketika mereka dewasa nanti.
Jika dilihat dari sudut pandang ini, kegiatan bermain merupakan kegiatan yang bersifat
fungsional untuk proses enkulturasi dan sosialisasi anak-anak. Enkulturasi dimaksudkan
sebagai proses penanaman nilai-nilai, atau proses menjadikan nilai-nilai yang dianut suatu
masyarakat diterima, dipahami, diyakini kebenarannya dan kemudian dijadikan pembimbing
perilaku atau bertindak oleh warga suatu masyarakat, sedang sosialisasi adalah proses
mengenalkan dan membiasakan anak pada berbagai induvidu lain, berbagai kedudukan sosial
dan peran, berbagai kategori sosial, kelompok dan golongan, serta nilai, norma, dan aturan
yang berlaku dalam berinteraksi dengan induvidu dan kelompok tersebut.
Perspektif Permainan: Bermain (play) Sebagai Permainan (game). Perspektif ini banyak
dipergunakan oleh ahli folkor di akhir abad 19. Hasil yang dicapai lebih banyak bersifat
deksripsif, yaitu mengambarkan jenis-jenis permainan yang ada dengan berbagai macam
peralatannya, sedang proses-proses sosial dari permainan itu sendiri tidak dimuculkan.
Mereka umumnya beranggapan bahwa game (permainan) adalah wujud yang paling jelas
dari play. Jadi perhatian para ahli lebih diarahkan pada kegiatan bermain yang terstuktur,
seperti yang biasa dilihat dalam permainan.
Dari sudut pandang semacam ini para ahli kemudian melakukan berbagai studi perbandingan
untuk mengetahui hubungannya dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan di masa
lampau. Dengan asumsi-asumsi yang sedikit-banyak etnosentris, atau Eropasentris, para ahli
sering kali memandang permainan ini sebagai sisa-sisa dari kegiatan orang dewasa pada
masyarakat-masyarakat primitif di masa lampau.
Perspektif Psikologis: bermain Sebagai Wujud Kecemasan dan Kemarahan. Perspektif ini
memandang kegiatan bermain anak-anak sebagai fenomena seperti tes proyektif (projective
test), yang dapat memperlihatkan kecerdasan-kecerdasan mereka serta sifat-sifat galak
mereka yang diduga bersumber pola-pola pengasuh anak dalam suatu kebudayaan.
Perspektif ini digunakan oleh Robert dan Sutton-Smith (1963). Dua ahli ini mengembangkan
hipotesis yang menjelaskan hubungan-hubungan antara jenis permainan, dengan variable pola
asuh anak dan variable budaya lainnya. Keterlibatan induvidu dalam permainan ini pada
akhirnya akan membuat dia mampu mewujudkan perilaku-perilaku yang mempunyai nilai
fungsional dan berguna dalam kebudayaannya (Schwartzman, 1976: 296). Ahli lain yang
melakukan penelitian dalam jalur ini adalah R.R Eifermann, yang mencoba mengetahui
perbedaan antara sifat-sifat anak di desa dengan anak-anak di kota dengan memperhatikan
permainan permainan yang merkea mainkan.