Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

SCLERODERMA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Stase Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing :
dr. Ardyasih, Sp.PD

Diajukan Oleh :
Mira Candra Karuniawati
J510165010

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
CASE REPORT
Scleroderma

Oleh :
Mira Candra Karuniawati
J510165010

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada
hari..................tanggal..........................2016

2
Pembimbing :
dr. Ardyasih, Sp.PD (.............................................)

Dipresentasikan dihadapan :
dr. Ardyasih, Sp.PD (.............................................)

Disahkan Ka Program Profesi :


dr. Dona Dewi Nilawati (.............................................)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
2016

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sklerosis sistemik (skleroderma) ialah penyakit multisistem kronis,
penyebabnya belum diketahui. Sklerosis sistemik ditandai dengan kulit menebal akibat
penumpukan (akumulasi) jaringan ikat (konektif), disertai kelainan fungsi dan bentuk
organ viseral termasuk saluran cerna, paru, jantung dan ginjal. Prevalensi skleroderma
relatif rendah, anak-anak dan dewasa muda jarang terkena. Usia 30 sampai 50 tahun
merupakan usia terbanyak yang terkena penyakit ini. Pada usia kurang dari 16 tahun,
kejadiannya (insidens) sekitar 3% dari seluruh kasus skleroderma. Perempuan terkena 3
kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki. Patogenesis skleroderma sangat
kompleks, diduga karena faktor pencetus yang sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Faktor yang diduga berkaitan dengan penyakit ini antara lain ras kulit berwarna,
keadaan lingkungan, misalnya: debu silika, bahan kimia dan obat-obatan1.
Skleroderma dibagi dalam dua bentuk, bentuk pertama dinamakan skleroderma
sirkumskripta atau dengan nama lain morphea atau skleroderma lokalisata, dan
skleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik. Pada skleroderma sistemik terjadi
penebalan dan indurasi kulit yang difus dan diikuti dengan fibrosis serta terjadi obliterasi
pembuluh darah dari organ dalam. Tidak seperti pada sklerosis sistemik, gambaran klinis
morphea tidak dijumpai sklerodaktili, Raynaud phenomenon dan keterlibatan organ
dalam2.

4
BAB II
FOLLOW UP
A. IDENTITAS
1. Nama : Ny. S
2. Umur : 41 tahun
3. Alamat :Tlogorejo 2/8 Bulakan, Sukoharjo
4. Agama : Islam
5. Status : Menikah
6. No. RM : 255xxx
7. Penerimaan : IGD
8. Tanggal masuk : 2 Januari 2017
9. Tanggal pemeriksaan : 5 Januari 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Mual dan muntah 5x sebanyak 1 gelas aqua berisi makanan sejak minggu
malam
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien perempuan 41 tahun datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 2
Januari 207 diantarkan oleh keluarganya dengan keluhan mual dan muntah 5x
sebanyak 1 gelas aqua berisi makanan yang telah dimakannya, pusing berputar,
kaku pada muka, bahu, jari tangan dan kaki sejak minggu malam. Pasien
memilki riwayat satu tahun yang lalu timbul bercak putih pada daerah muka dan
punggung kedua tangannya dan sekitar jari-jari. Awalnya hanya dibiarkan oleh
pasien karena tidak mengganggu, namun semakin lama bercak-bercak tersebut
semakin meluas dan kedua tangan menjadi kaku sehingga jari-jarinya sulit untuk
ditekuk dan kaku biasanya dirasakan tiba-tiba. Keluhan ini dirasakan kian lama
mengganggu akitivitas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a) Riwayat Hipertensi : disangkal
b) Riwayat sakit jantung : disangkal
c) Riwayat penyakit asma : disangkal
d) Riwayat gastritis : disangkal
5
e) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
f) Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
g) Riwayat penyakit serupa : diakui
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a) Riwayat Sakit Serupa : disangkal
b) Riwayat Hipertensi : disangkal
c) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
d) Riwayat Sakit Jantung : disangkal
5. Anamnesis Sistem
a) Sistem cerebrospinal : lemas (+), pusing (+), gelisah (-)
b) Sistem cardiovaskular : sianosis (-) anemis (-)
c) Sistem respiratorius : Sesak (-)
d) Sistem genitourinarius : BAB dan BAK lancar
e) Sistem gastrointestinal : Nyeri perut (-), mual (+) muntah (+)
f) Sistem muskuloskeletal : Badan lemas (+), atrofi otot (-), nyeri (-)
g) Sistem integumentum : Pucat (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
a. Tekanan darah : 110/70 mmHg
b. Suhu : 36,7C
c. Nadi : 86x/menit
d. RR : 24x/menit
2. Status Generalis
a. Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
Nafas cuping hidung(-), edema palpebra (-), hipopigmentasi pada
wajah (+)
b. Leher : Retraksi supra sterna (-/-), deviasi trachea (-), peningkatan Jugular
Venous Pressure (-), pembesaran kelenjar limfe (-)

c. Thorax
Paru
i. Inspeksi : simetris, tidak terdapat ketinggalan gerak.
ii. Palpasi : tidak terdapat ketinggalan gerak, fremitus normal.
iii. Perkusi : sonor
iv. Auskultasi : suara dasar vesikuler normal, tidak terdapat ronki
maupun wheezing.
Jantung
i. Inspeksi : iktus cordis tak tampak
ii. Palpasi : iktus cordis tak kuat angkat
iii. Perkusi : dalam batas normal
iv. Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, bising jantung (-)
6
d. Abdomen :
i. Inspeksi : sejajar dengan dada, simetris, hipopigmentasi seluruh
lapang pandang abdomen (+)
ii. Auskultasi : Peristaltik (+), bising usus (-)
iii. Perkusi : Timpani (+)
iv. Palpasi : Massa abnormal (-) berbenjol-benjol (-), supel (+), Ascites
(-), Nyeri tekan(-)
- Hati : Tak teraba membesar
- Limpa : Tak teraba membesar
e. Ekstremitas : Akral hangat, oedem (-/-), hipopigmentasi manus dextra et
sinistra, hipopigmentasi pedis dextra et sinistra (+)
f.

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan HasilPemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
2 Januari 2016
HEMATOLOGI
Paket Darah
Lengkap
Lekosit 19.3 103/uI 3.6 11.0
Eritrosit 4.39 106/uL 3.80 5.20
Hemoglobin 12.0 g/dL 11.7 15.5
Hematokrit 36.8 % 35 47
Index Eritrosit
MCV 83.8 fL 80 100
MCH 27.3 pg 26 34
MCHC 32.6 g/dL 32 37
Trombosit 169 103/uI 150 450

8
RDW-CV 17.5 % 11.5 14.5
PDW 13.1 fL
MPV 11.9 %
P-LCR 37.8 %
PCT 0.20 %
DIFF COUNT
NRBC 0.00 % 01
Neutrofil 79.1 % 53 75
Limfosit 10.4 % 25 40
Monosit 10.10 % 28
Eosinofil 0.00 % 2.00 4.00
Basofil 0.40 % 01
IG 1.30 %
Golongan Darah A
KIMIA KLINIK
GDS 97 mg/gL 70 120
Ureum 19.1 mg/gL 0 31
Creatinin 0.56 mg/gL 0.50 0.90
SGOT 67.57 U/L 0 30
SGPT 85.8 U/L 0 50
HBs Ag Non reaktif Non reaktif

2. EKG

9
Normal Sinus Rythm
E. DIAGNOSA KERJA
Skleroderma
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Fenomena Raynaud
2. Gouth arthritis
G. TERAPI
1. O2 3 lpm
2. Infus asering 20tpm
3. Injeksi ketorolac 30mg /8 jam

10
4. Injeksi ondancetron 4mg/8jam
5. Injeksi ranitidin 1 A/12 jam
6. Paracetamol tab 3x500mg
7. Sucralfat syr 3xI C
8. Diagit tab 3x1
9. Cek lab
10. EKG
11. Lapor dr. Sp.PD

H. FOLLOW UP
1. 5 Januari 2017

S/ Pasien mengeluhkan pusing hingga kaku pada leher, jari tangan dan kaki
kaku, mual (+), muntah (-), demam (-)
O/ TD : 100/60 RR : 24x / menit
Nadi : 88X/ menit Suhu : 36,5 C
A/Scleroderma
Chepalgia
P/infus KAEN 3B 20 tpm
Injeksi ceftriaxone 1gr/12 jam
Injeksi antalgin/12 jam
Injeksi omeprazole/24 jam
Betahistin tab 3xI
Diazepam tab 3x2mg
Dimenhidrinat tab 3xI
2. 6 Januari 2017

S/ Pasien mengeluhkan pusing dan kaku pada leher berkurang, jari tangan dan
kaki sulit digerakkan, mual (-), muntah (-), demam (-)
O/ TD : 100/70 RR : 24x / menit
Nadi : 84X/ menit Suhu : 36,5 C
A/Scleroderma
P/ infus KAEN 3B 20 tpm
Injeksi ceftriaxone 1gr/12 jam
Injeksi antalgin/12 jam
Injeksi omeprazole/24 jam
11
Betahistin tab 3xI
Diazepam tab 3x2mg
Dimenhidrinat tab 3xI
Tunggu hasil test ANA
3. 7 Januari 2017

S/ Pasien mengeluhkan pusing membaik, kaku jari tangan dan kaki membaik,
mual (-), muntah (-), demam (-)
O/ TD : 110/60 RR : 22x / menit
Nadi : 88X/ menit Suhu : 36,5 C
A/Skleroderma
P/ infus KAEN 3B 20 tpm
Injeksi ceftriaxone 1gr/12 jam
Injeksi antalgin/12 jam
Injeksi omeprazole/24 jam
Betahistin tab 3xI
Diazepam tab 3x2mg
Dimenhidrinat tab 3xI
BLPL
Diazepam tab 2mg 1x1
Cefadroxil caps 500mg 2x1
Metronidazol tab 2x1
Omeprazole tab 1x1

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Istilah skleroderma berasal dari kata Yunani, skleros (keras atau berindurasi) dan
derma (kulit). Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan
mengenai pembuluh darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma ditandai oleh
adanya fibrosis dan obliterasi pembuluh darah kulit, paru, pencernaan, ginjal dan jantung.
Penyakit ini bisa lokal dan sistemik. Yang sistemik sering bersifat progesif dan fatal.
Karakteristik kliniknya adalaah adanya indurasi dan penebalan kulit3.
Sklerosis merupakan penyakit jaringan ikat kronik progresif dengan etiologi yang
belum diketahui secara pasti. Skleroderma merupakan penyakit autoimun dengan ciri
sklerosis kulit sirkumsrip atau generalisata dan dibagi dalam dua bentuk; I. Skleroderma
sirkumskripta dan II, scleroderma difusa progresif4.
2. Klasifikasi
Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu :
1. Skleroderma Lokal
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized scleroderma),
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang
menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya tanpa keterlibatan
sistemik. Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras, yang sering kali mempunyai halo ungu disekitarnya.
Termasuk dalam kelompok ini adalah:

13
a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh mana
saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan.
b. Linear Sklerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma pada
kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan tulang
dibawahnya
c. Skleroderma en coup de sabre : Merupakan varian skleroderma linier, dimana
garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dana kelainan tulang5.
2. Sklerosis sistemik
Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai
dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal yang
luas terutama paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini
berhubungan dengan gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan
struktural dan fungsional yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang
progresif akibat dari proses fibrosis. Adanya gambaran skleroderma, membedakan sklerosis
sistemik dari penyakit jaringan ikat lain6.
a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas, muka
dan seluruh tubuh.
b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut
tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma CREST
(calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).
c. Sklerosis sitemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit
walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk
sklerosis sistemik.
d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome: Arthritis rheumatoid atau penyakit otot
inflamasi
3. Etiologi
Sklerosis sistemik adalah penyakit sporadic yang kejadiannya dipengaruhi oleh
umur, gender,dan etnis dengan prevalens rendah. Sebanayak 1,6% pasien SS mempunyai
keturunan pertama yang mengidap penyakit ini, dan risiko terjadinya penyakit autoimun lain
seperti lupus dan AR juga meningkat7.
14
Etiologi belum diketahui secara pasti4 diduga beberapa faktor dapat mempengaruhi
skleroderma antara lain:
a. Faktor Genetik
Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan hukum
Mendelian. Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan kekerapan yang berbeda. Sekitar
1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang menunjukkan pentingnya
faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus erythematosus (SLE)
dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan pertama pasien skleroderma.
Penelitian genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang
berhubungan dengan regulasi imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan
ikat. Hubungan yang lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan
skleroderma telah dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme
(ACE), endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte
chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha, IL-4,
dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth factors dan reseptornya (connective tissue
growth factor [CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-beta]) dan protein matriks
ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC)8.
b. Faktor Lingkungan
Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan pentingnya
faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama virus, paparan
toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat mencetuskan
skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan antibodi terhadap
human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I autoantibodies yang dapat
memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit. Hal ini terjadi melalui proses
mimikri molekuler antara hCMV dengan host. Penelitian lain menunjukkan implikasi infeksi
hCMV pada vaskulopati allograft pada transplantasi organ padat. Vaskulopati ini dicirikan
dengan pembentukan neointima vaskuler, proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif.
hCMV dapat secara langsung menginduksi produksi CTGF pada fibroblast yang terinfeksi
sehingga hipotesis tentang peran hCMV terhadap kejadian skleroderma adalah rasional.
Infeksi Human parvovirus B19 juga diperkirakan berhubungan dengan kejadian
Skleroderma6.
15
4. Epidomiologi
Skleroderma adalah penyakit sporadis dengan distribusi yang luas diseluruh dunia
dan menyerang semua ras. Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio
pada tahun 1973 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun.
Hubungan skleroderma dengan fenomena Raynaud pertama kali dilaporkan oleh Maurice
Raynaud pada tahun 1865. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa
penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1945 Goetz mengusulkan istilah
progressive systemic sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas baik di kulit maupun di
organ viscera8.
Prevalens penyakit skleroderma sistemik relatif rendah. Di Amerika insidens SS
adalah 9-19 kasus/1.000.000 penduduk/tahun dengan prevalens 286 kasus per 1.000.000
penduduk/tahun, dan lebih sering pada wanita2.
5. Patofisiologi
Pada awal penyakit terjadi infiltrasi dan akumulasi sel T serta monosit/makrofag
pada lesi di kulit, paru, atau organ lain yang akan mengaktifkan sitokin proinflamasi dan
juga mengaktifkan fibroblas. Pada kondisi fisiologis, fibroblas berperan dalam proses
perbaikan jaringan, namun pada skleroderma sistemik aktivasi fibroblas terus berlangsung
dan beramplifikasi sehingga menyebabkan remodeling dari matriks dan pembentukan
jaringan parut yang merupakan perubahan patologis jaringan pada skleroderma sistemik.
Autoantibodi yang spesifik dan sering didapatkan pada SS adalah anti-topoimerase 1 (scl-
70) dan anti-sentromer (ACA), sedangkan autoantibodi lain yang tidak spesifik, misalnya
antinuclear antibody (ANA), anti-nucleolar antibody (ANoA), anti Ro, anti ribonuclease
polymerase antibody (RNAP). Anti-topoimerase didapatkan pada 15-20% pasien SS, dengan
sensitifitas/spesifisitas 34%/99,4%, tidak pernah ditemukan pada populasi normal, terkait
dengan prognosis yang buruk dan kelainan kulit yang difus serta melibatkan paru2.
6. Manifestasi klinis
Gambaran klinis dapat merupakan sebuah bercak sklerotik atau plak soliter (tersering)
atau bercak-bercak multipel, sebagai morfea butata (terjarang) atau sebagai scleroderma
linear.
1. Morfea soliter (morfea en plaque)

16
Lesi terdiri atas sebuah bercak sklerotik yang numuler atau sebesar telapak tangan.
Bercak biasanya berbentuk bulat, berbatas jelas, dan berkilat seperti lilin. Warna
bercak merah kebiruan, kadang seperti gading dengan halo ungu (violaceus iliaring).
Hal tersebut berarti lesi masih inflamatorik (aktif). Bagian tengah bercak berwarna
putih seperti gading. Di dalam lesi rambut berkurang, begitu juga respon keringat
menurun. Bercak atau plak tersebut keras atau berindurasi, tetapi tidak melekat erat
pada jaringan di bawahnya.
2. Morfea gutata
Bentuk ini sangat jarang. Lesi terdiri atas bercak kecil dan bula yang atrofi.
Disekitarnya terdapat halo ungu kebiru-biruan. Beberapa lesi berkelompok, lokalisasi
biasanya di dada atau leher.
3. Scleroderma linear
Lesi soliter dan unilateral. Biasanya lesi di kepala, dahi, esktremitas. Pada lesi
terdapat atrofi dan depresi. Berbeda dengan morfea biasa, yang terletak superficial,
maka scleroderma linear menyerang lapisan kulit dalam. Bila penyakit mulai pada
decade pertama atau kedua, maka seringkali disertai deformitas. Yang dapat dijumpai
ialah hemiatrofi dari sebuah ekstremitas atau muka, kontraktur di muka atau anomaly
columna vertebra.
4. Morfea segmental
Bentuk ini dapat berlokalisasi di muka dan menyebabakan hemiatrofi. Bila berada di
sebuah atau lebih dari satu ekstremitas, disamping ada indurasi, ada pulaatrofi pada
lemak subkutis dan otot. Akibatnya ialah kontraktor otot dan tendon, serta ankilosis
pada sendi tangan dan kaki
5. Morfea generalisata
Bentuk tersebut merupakan bentuk kombinasi dari empat bentuk diatas. Morfea
tersebar luas disertai atrofi otot-otot, sehingga timbul disabilitas. Lokalisasi terutama
di badan bagian atas, abdomen, bokong, dan tungkai. Semua bentuk morfea dalam 3
sampai 5 bulan menjadi inaktif. Bahkan kemudia dapat menghilang dalam beberapa
tahun, kecuali morfea linear , yang biasanya makin menular4.
Pada skleroderma sistemik biasanya dimulai dengan keluhan seperti fenomena
Raynaud yang kronik, pitting edema pada tangan dan jari-jari. Sepertiga pasien pertama kali
mengeluh adanya sakit dan kaku pada jari-jari dan lutut. Pada beberapa kasus, keluhan
pertama adalah poliartritis aktif yang sering berpindah. Dalam kasus lain, terdapata arthritis
jari-jari yang erosif dan berat. Pada pemeriksaan sinar X ditemukan :
17
1. Resorpsi jari-jari
2. Kalsifikasi subkutan
3. Ruangan persendian menyempit
4. Erosi fokal tulang-tulang tertentu
Kelinan kulit mendahului kelainan alat-alat dalam beberapa tahun sebelumnya.
Penyakit lebih lanjut akan meluas ke anggota gerak atas, badan, muka, dan akhirnya anggota
gerak bawah. Pada fase dini pitting edema yang ringan, tidak sakit berlangsung beberapa
bulan, kemudian kulit menjadi kasar. Sebelumnya kulit terasa indurasi, kaku, kemudian
atrofi, keras dan melekat dengan struktur di bawahnya. Kulit pada muka menjadi seperti
topeng tanpa ekspresi, kehilangan garis-garis muka, penipisan dari bibir dan penyempitan
pembukaan mulut (mikrostomia)5.
6. Diagnosis
Diagnosis adanya Scleroderma bisa sangat sulit, terutama dalam tahap awal. Banyak
gejalanya yang termasuk umum, atau mungkin tumpang tindih dengan penyakit lain,
terutama penyakit jaringan ikat autoimun lainnya seperti penyakit seperti rheumatoid artritis
dan lupus (SLE). Gejala yang berbeda dapat berkembang pada beberapa tahap selama waktu
yang sangat lama dan beberapa orang dengan Scleroderma mempunyai gejala dan efek yang
sama persis. Sementara Scleroderma sering dapat diduga dari gejala yang lebih terlihat mata,
tidak ada tes tunggal yang dapat membuktikan keberadaannya. Diagnosis biasanya dibuat
oleh dokter Anda melalui kombinasi berikut: sejarah medis, termasuk gejala masa lalu dan
sekarang, pemeriksaan fisik secara menyeluruh, dan hasil dari berbagai tes-tes laboratorium
dan studi lainnya. Dalam membuat diagnosis, adalah penting untuk tidak hanya untuk
mengkonfirmasi adanya Scleroderma, tetapi juga untuk menentukan luas dan tingkat
keparahan, terutama yang berkaitan dengan keterlibatan organ internal. Sementara
skleroderma sering dapat diduga dari gejala yang dapat dilihat oleh mata, tidak ada tes
tunggal yang dapat mendiagnosis skleroderma 9. Perbedaan pemeriksaan laboratorium
dibawah ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan pemeriksaan laboratorium9
Limited Patients Diffuse Patients
Anti-nuclear antibody 98% tes positif 98% tes positif
Anti-centromere antibody 41% tes positif 3% tes positif
Anti-scl-70 antibody 16% tes positif 29% tes positif

7. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
18
a. Pemeriksaan Autoantibodi
Autoantibodi yang paling umum ditemukan adalah antinuclear antibody (ANA) yaitu
sebesar 46 - 80% dari seluruh pasien, biasanya dengan susunan homogenous
immunofluorescence. Bila meluas, 36 - 53% kasus memiliki anti-single stranded DNA
dan/atau antibody antihiston. Umumnya, pasien dengan morfea generalisata memiliki
antibodi positif dengan frekuensi yang lebih tinggi dibanding jenis morfea lainnya, dan
autoantibodi berhubungan dengan presentasi klinis yang lebih berat, jumlah lesi yang lebih
banyak, lesi yang lebih sklerotik, dan durasi klinis yang lebih lama5.
Pada 95% pasien sklerosis sistemik didapatkan antibody antinuclear. ANA spesifik
terhadap DNA topoisomerase I (anti topoisomerase, anti Scl-70) didapatkan 20 30% dan
separuhnya terdapat pada pasien sklerosis sistemik difusa. ANA spesifik yang lain adalah
DNA Histon kompleks, Anti PM-Scl dan anti RNA Polimerase I,II dan III
b. Pemeriksaan Darah Lengkap
Eosinofilia darah ditemukan pada 6 50% pasien morfea. Kadar eosinofilia
berhubungan dengan aktivitas penyakit. Penurunan kadar eosinofilia dapat
bersamaaan dengan penurunan aktivitas dari lesi kutaneus dan rasio
sedimentasi eritrosit meningkat 25%.
c. Pemeriksaan Imunoglobulin
Imunoglobulin yang meningkat, khususnya kadar serum imunoglobulin G,
dihubungkan dengan penyakit yang aktif dan lebih luas dan kontraktur sendi.
Faktor rheumatoid positif ditemukan pada 26% pasien8.
2. Pemeriksaan Fungsi Ginjal dan Jantung
3. Pemeriksaan Radiologis
4. Uji Fungsi Paru
5. Pemeriksaan histopatologi
a. Gambaran Histopatologi Morfea
Pada lesi dini dapat tidak memiliki perubahan histologi yang spesifik.
Terdapat vakuolisasi dan penghancuran sel endothelial dengan reduplikasi
lamina basalis, khususnya pada lesi dengan indurasi yang terlihat sebagai tepi
persegi (squared-off edge) pada spesimen biopsi. Infiltrat peradangan
superfisial dan dalam kadang-kadang dapat terlihat. Pada lesi yang sangat
19
dini terdapat infiltrat peradangan di dermis dalam dan jaringan subkutaneus.
Juga dapat terlihat limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan sel mast
b. Gambaran Histopatologi Skleroderm Sistemik
Pada stadium dini gambarannya sama dengan morfea. Pada stadium lanjut
terlihat menghilangnya unit pilosebasea, kelenjar keringat dan salurannya.
Dengan mikroskop elektron serat kolagen yang imatur ukurannya antara
100-400 A sedangakan yang normal ukurannya antara 700-800 A. Semua
pembuluh darah dari semua ukuran terkena. Pada fase dini hanyalah terjadi
pelebaran kapiler dan pembuluh limfe, kemudia proliferasi intima dan
mungkin perklengketan komplit. Perubahan tersebut mungkin juga terjadi
pada pembuluh darah otot5.
8. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Umum
a. Memberitahu pasien bahwa pada morfea adalah penyakit yang tidak
berbahaya pada kebanyakan kasus. Penyuluhan dan dukungan psikologis
memegang peran yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien
skleroderma, karena perjalanan penyakit ini lama dan progresif
b. Menjelaskan pada pasien bahwa lesi morfea pada persendian yang membatasi
range of motion (ROM) pasien dapat dipulihkan dengan rehabilitasi
c. Memberitahu pasien bahwa perhatian khusus diberikan pada lesi morfea pada
ekstremitas bawah karena pada pasien pediatrik dapat menyebabkan
diskrepansi panjang kaki. Keterlibatan fasial dan konstriksi ekstremitas yang
meluas juga membutuhkan follow-up yang lebih
d. Bila terdapat fenomena Raynaud, menghindari merokok dan udara dingin
serta menjaga tubuh tetap dalam keadaan hangat biasanya cukup efektif
mengatasi fenomena Raynaud yang ringan dan sedang
e. Merawat kulit sangat penting diperhatikan, terutama apabila sudah timbul
ulkus8.
2) Penatalaksanaan Khusus
a. Penatalaksanaan Skleroderma Lokalisata/Morfea
Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi inaktif secara
spontan dan pada kasus yang lebih berat dapat menyebabkan fibrosis atau
sklerosis ireversibel dari kulit dan jaringan subkutan. Pengobatan ditujukan
20
pada komponen peradangan, pelepasan sitokin, dan aktivasi dan deposit
kolagen. Banyak terapi yang telah digunakan pada pengobatan morfea
dengan keberhasilan yang bervariasi. Beberapa terapi morfea antara lain
adalah fototerapi dengan sinar UVA dengan psoralen atau narrow band UVB,
derivat vitamin D, immunomodulator seperti metotreksat dengan atau tanpa
kortikosteroid, mikofenolat mofetil, siklosporin, takrolimus topikal, atau
imiquimod topikal, dan dapat diberikan antimikroba seperti
hidroksiklorokuin5.
Dari suatu systemic review, dilaporkan bahwa fototerapi, metotreksat atau
kortikosteroid sistemik, calcipotriene, dan takrolimus topikal telah didukung
oleh bukti klinis untuk efektivitasnya dalam terapi morfea. Sedangkan
kortikosteroid topikal, calcipotriol oral atau topikal, D-penicillamine,
interferon gamma, dan antimalarial masih belum didukung oleh bukti klinis
yang cukup, sehingga masih membutuhkan penelitian lebih lanjut4.
Pada bentuk lokal dapat dilakukan operasi bedah plastik atau injeksi
triamsinolon acetonid intralesi, dengan dosis 1 mg/lokasi suntikan, maksimal
10 lokasi suntik. Pengobatan topikal dengan salep kortikosteroid
(triamsinolon, betametason dll) dapat mencegah meluasnya lesi. Perlu juga
diberikan emolien dan sunscreen. Fototerapi juga dapat digunakan untuk
pengobatan. Beberapa studi telah menunjukkan perkembangan pada
mayoritas pasien morfea menggunakan psoralen dan sinar ultraviolet A
(PUVA), broad band ultraviolet A (UVA-1), atau fototerapi UVA. Pendekatan
praktis untuk cakupan yang terbatas dengan satu atau sedikit lesi morfea,
dapat menggunakan pengobatan topikal seperti calcipotriene, tacrolimus,
retinoids, atau tidak menggunakan pengobatan sama sekali. Pendekatan pada
lesi wajah menggunakan hydroxychloroquine dan mungkin metotreksat
dalam kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg) dari kortikosteroid
sistemik. Pada cakupan yang lebih luas, dapat digunakan fototerapi. Jika
pendekatan tersebut tidak berhasil, atau jika terdapat keterlibatan subkutaneus
yang banyak, pengobatan yang bermanfaat adalah metotreksat5.
b. Penatalaksanaan Skleroderma/Sklerosis Sistemik

21
Terapi untuk skleroderma/sklerosis sistemik diberikan berdasarkan organ
yang terkena. Berbagai obat, misalnya siklosporin A, metotreksat,
siklosfamid, mikofenolat mofetil, D-Penicillamine telah digunakan untuk
skleroderma. Tatalaksana utama untuk kulit adalah terapi dan latihan fisik
secara teratur untuk mempertahankan sirkulasi, mobilitas sendi, serta
kekuatan otot untuk meningkatkan kualitas hidup. Pengerasan kulit dapat
membaik dengan pemberian kortikosteroid topikal, calcineurin inhibitor
topikal, pelembab, atau drainase saluran limfe5.
Pada bentuk yang sistemik dapat digunakan kortikosteroid secara oral
berupa prednison dosis awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahan-lahan
hingga dosis maintenance 2,5 5 mg/hr. Bisa diberikan juga vitamin E 200
IU per hari selama 3-6 bulan, dan fototerapi UVA-1 atau PUVA (Gabrielli,
2009). Radiasi UVA-1 dapat menghambat fibrosis dan proses inflamasi, serta
mengurangi luas kulit yang sklerotik4.
Apabila ditemukan fenomena Raynaud yang berat, misalnya disertai
dengan ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas sehari-hari, dapat
dicoba penggunaan vasodilator seperti nifedipin, prazosin, atau nitrogliserin
topikal. Penggunaan nifedipin lepas lambat menunjukkan hasil yang baik
dengan efek hipotensif yang tidak terlalu besar8.

22
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien perempuan 41 tahun datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 2


Januari 207 diantarkan oleh keluarganya dengan keluhan mual dan muntah 5x
sebanyak 1 gelas aqua berisi makanan yang telah dimakannya, pusing berputar, kaku
pada muka, bahu, jari tangan dan kaki sejak minggu malam. Untuk menegakkan
diagnosis, dilakukan anamnesis pasien bahwa pasien memilki riwayat satu tahun
yang lalu timbul bercak putih pada daerah muka dan punggung kedua tangannya dan
sekitar jari-jari. Awalnya hanya dibiarkan oleh pasien karena tidak mengganggu,
namun semakin lama bercak-bercak tersebut semakin meluas dan kedua tangan
menjadi kaku sehingga jari-jarinya sulit untuk ditekuk. Kaku dirasakan secara tiba-
tiba. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan hipopigmentasi pada wajah, punggung
tangan, perut, juga punggung kaki. Juga terdapat kaku pada leher, jari tangan dan
kaki.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit 19,3 10 3uL, SGOT 67,57
U/L, SGPT 85,8 U/L. Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang lain berupa test
antinuclear antibody (ANA) namun hasilnya belum ada saat pasien diperbolehkan
pulang. Berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang maka ditegakkan diagnosis pada pasien ini berupa skleroderma.
Penatalaksanaan pasien ini diberikan Injeksi ceftriaxone 1gr/12 jam, Injeksi
antalgin 1 A/12 jam, Injeksi omeprazole/24 jam, Betahistin tab 3x1, dimenhidrinat
tab 3x1, diazepam tab 3x2mg.

23
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosai, J. 2004. Skin Dermatoes. In: Rosai J, editor. Rosai and Ackermans Surgical
Pathology. 9th ed. Philadelphia. Mc Graw-Hill; hal. 111-112
2. Yuliandari, Cok Istri KK., dan Gede, Kambayana., 2016. Seorang Pasien yang
Menderita Sklerosis Sistemik Konkomitan dengan Artritis. SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Volume 47 hal. 42-47
3. Danukusumo, Julianto. 2010. Skleroderma, Lupus Eritematosus, dan
Dermatomiositis dalam: Harahap Marwali, editor. Buku Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
Hipokrates. hal. 185-188
4. Djuanda, Suria. 2010. Penyakit Jaringan Konektif dalam Djuanda Adhi, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
hal. 268-270
5. Vincent F, Christina, EK., 2008. Morphea. In: Klause W, Lowell AG, Stephen IK,
Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. hal. 543-6.
6. Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T., 2009. Scleroderma. The New England Journal
of Medicine. Massachusetts Medical Society. Page 1989-2003
7. Varga, J., 2008. Systemic Sclerosis. Dalam: Klippel J, Stone J, Crofford L, White P.
Primer on the Rheumatic Diseases. Edisi ke-13. New York: Springer Science
Business Media, LLC;. h. 351-8.
8. Setiyohadi, B., 2006. Sklerosis Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. hal. 2620-2628
9. Scleroderma Australia, 2010. Memahami & Penatalaksanaan Scleroderma. Hal. 8-10.

24

Anda mungkin juga menyukai