Anda di halaman 1dari 58

UPAYA PENINGKATAN ANGKA PENEMUAN BTA + DI

PUSKESMAS BENDOSARI TAHUN 2016


Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

Pembimbing
dr. Sugeng Purnomo, M.Gizi

Disusun oleh :
Junia Astri Damayanti, S.Ked J510165016
Karsa Lugi Yuwono, S.Ked J510165026
Leny Widio Wati, S.Ked J510165006
Ligar Hervian, S.Ked J510165070
Vega Ramadhani Wiguna, S.Ked J510165069

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS BENDOSARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LAPORAN KEPANITERAAN IKM
UPAYA PENINGKATAN ANGKA PENEMUAN BTA + DI
PUSKESMAS BENDOSARI TAHUN 2016

Diajukan Oleh :

Junia Astri Damayanti, S.Ked J510165016


Karsa Lugi Yuwono, S.Ked J510165026
Leny Widio Wati, S.Ked J510165006
Ligar Hervian, S.Ked J510165070
Vega Ramadhani Wiguna, S.Ked J510165069

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Pada hari, .......................................................................................

Pembimbing
Nama : dr. Sugeng Purnomo, M.Gizi (.................................)

Penguji
Nama : dr. M. Shoim Dasuki,M.Kes (.................................)

Penguji
Nama : Bejo Raharjo, SKM, M.Kes (.................................)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 3
C. Tujuan ..................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 5
A. Tuberkulosis Paru ................................................................... 5
B. Strategi DOTS ......................................................................... 21
C. Indikator Nasional Penanggulangan Tuberkulosis ................ 22
D. Manajemen Puskesmas .......................................................... 31
E. Problem Solving Cycle ........................................................... 32
BAB III METODE PENCAPAIAN KEGIATAN ...................................... 37
A. Gambaran Umum Kecamatan Bendosari ............................... 37
B. Gambaran Manajemen Pencapaian TB Per Tahun 2016 ....... 40
BAB IV HASIL PEMBAHASAN .............................................................. 39
A. Identifikasi Masalah Pengendalian Tuberkulosis ................... 41
B. Analisis Penyebab Masalah .................................................... 42
C. Alternatif Pemecahan Masalah ............................................... 44
D. Analisis SWOT ........................................................................ 46
E. Rencana Pencegahan Masalah ................................................ 48
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 52
A. Kesimpulan ............................................................................. 52
B. Saran ........................................................................................ 52
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi menjadi perhatian dunia hingga saat ini. Diperkirakan 1/3 dari
penduduk dunia tanpa diketahui terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan
sekitar 95% penderita TB paru berada di negara berkembang, dimana 75% di
antaranya adalah usia produktif, TB paru biasanya mengenai usia dewasa muda
antara 15-44 tahun. Pasien TB paru dengan Bakteri Tahan Asam (BTA) positif
merupakan sumber utama penularan (Depkes, 2011).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013
terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014). Pada
tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB (WHO,
2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada pada wilayah
Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur
(17%) (WHO, 2013).
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus sebesar 660,000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Meskipun memiliki
beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara
High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan
pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus
TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213
diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk
TB BTA+ sebesar 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata
pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir sekitar
90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global

1
tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional
yang utama (WHO, 2014).
Prevalensi tuberkulosis per 100.000 penduduk Provinsi jawa Tengah
tahun 2012 sebesar 106,42. Tertinggi berada di kota Tegal (358,91 per 100.000
penduduk) dan terendah pada Kabupaten Magelang (44,04 per 100.000
penduduk) (Dinkes Jateng, 2013). Pencapaian Case Detection Rate (CDR) di
Jawa Tengah tahun 2008-2012 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar
70% (Depkes, 2006).
Di Sukoharjo, Penderita BTA kasus positif kasus baru sebanyak 272
kasus. Kambuh sebanyak 8 kasus, BTA negatif rongent positif 183 kasus, TB
anak sebanyak 61 Kasus, ekstra paru sebanyak 23 kasus, gagal sebanyak 5
kasus, dan default sebanyak 1 kasus. CDR tahun 2013 di kabupaten Sukoharjo
sebesar 25,3%, masih jauh dari target yang ditetapkan 52,5% (dinkes
Sukoharjo, 2014).
Berdasarkan hasil analisis pencapaian kegiatan UKM di puskesmas
Bendosari pada tahun 2016 hingga bulan Desember didapatkan jumlah
penemuan suspek selama 2016 sebesar 173 kasus dengan BTA (+) sebanyak 11
kasus, persentase yang didapatkan BTA (+) terhadap suspek hanya sebesar
6,36%. Untuk persentase penemuan suspek penderita tuberkulosis di
Puskesmas Bendosari sebanyak 26,09% atau kurang dari target yaitu 50%
(SPM Puskesmas Bendosari, 2016).
Penyebab utama meningkatnya masalah TB adalah kemiskinan pada
berbagai kelompok, seperti pada negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dengan disparitas yang terlalu lebar sehingga masyarakat masih
mnegalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang, dan pangan yang
buruk. Beban determinan social yang masih berat seperti angka pengangguran,
tingkat pendidikan yang rendah dan tingkat pendapatan yang rendah, yang
berakibat pada kerentanan masyarakat terhadap TB (Kemenkes, 2011).
TB adalah kasus kompleks yang bila ditangani dengan tepat bisa
disembuhkan, dan bila dibiarkan bisa berujung kematian. Sering terjadi under-
treatment atau over-diagnosis karena berbagai alasan. Misalnya orang yang tak

2
sadar bahwa ia sakit TB sehingga tidak berobat, lalai minum obat, dokter yang
paranoid dengan TB. Hal ini bisa menimbulkan permasalahan seperti rantai
penularan yang terus berlanjut dan kuman yang menjadi resisten terhadap obat
(TB-MDR, multi drugs resistance). Kasus infeksi oleh kuman yang resisten
akan menambah beban baik pasien maupun negara. Karena sulit, kasus TB-
MDR perlu 1,5 tahun pengobatan dengan biaya yang mahal (WHO, 2014).
Peran serta keluarga sangat berpengaruh terhadap proses kesembuhan
TBC. Keluarga dalam proses penyembuhan diharapkan juga memberikan
dukungan moral dengan tidak mengasingkan anggota keluarga yang menderita
penyakit TBC, mengawasi minum obat secara rutin dan teratur kerena 3
pengobatan TBC memerlukan waktu yang cukup lama 6-8 bulan dan
dikhawatirkan penderita akan bosan untuk mengkonsumsi obat dikarenakan
waktu yang cukup lama dan mengalami putus asa, sehingga dapat
mempengaruhi kesembuhan. Tersedianya biaya untuk pengobatan, lingkungan
yang bersih, penerangan yang cukup, ventilasi udara, nutrisi yang baik,
kemampuan keluarga merawat penderita TBC akan mempercepat kesembuhan
bagi klien yang menderita TBC. Mengingat banyaknya masalah dan penyebab
yang terjadi dalam keluarga yang mempunyai masalah TBC, Sehingga perlu
ditanggulangi dan dipecahkan bersama.
Berdasarkan hasil analisis pencapaian kegiatan UKM di puskesmas
Bendosari pada tahun 2016 hingga bulan Desember didapatkan persentase
penemuan suspek penderita tuberkulosis sebanyak 26,09% atau kurang dari
target yaitu 50%. Oleh karena itu kami tertarik untuk menganalisa dan
mengangkatnya dalam bentuk tugas ilmiah dengan judul Upaya Peningkatan
Angka BTA+ di Puskesmas Bendosari Tahun 2016.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan penguraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas,
didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana upaya dalam meningkatkan angka penemuan kasus BTA (+) di
Puskesmas Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo?

3
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui penemuan kasus BTA (+)di Puskesmas Kecamatan
Bendosari, Kabupaten Sukoharjo

2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui perencanaan penemuan kasus BTA (+) di Puskesmas
Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo
b) Mengetahui pelaksanaan penemuan kasus BTA (+) di Puskesmas
Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo
c) Mengetahui pengawasan penemuan kasus BTA (+) di Puskesmas
Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Mahasiswa

a) Memberikan informasi mengenai angka penemuan kasus Tuberkulosis


di Puskesmas Bendosari sepanjang tahun 2016.
b) Menambah wawasan tentang upaya peningkatan angka penemuan
kasus BTA (+) di puskesmas Bendosari.
2. Bagi Puskesmas Bendosari

a) Sebagai masukan dalam upaya untuk meningkatkan angka penemuan


kasus BTA (+) di Puskesmas Bendosari

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penularan TB umumnya terjadi melalui
droplet yang mengandung basil Mycobacterium tuberculosis. Gejala yang
akan muncul bila seseorang terinfeksi penyakit TB adalah batuk produktif
yang lebih dari 3 minggu, nyeri dada dan hemoptisis. Gejala sistemik yang
dapat dialami oleh penderita TB seperti demam, menggigil, keringat malam,
kelemahan, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan. Pengobatan
TB terdiri dari dua tahap yaitu tahap awal dan lanjutan (Kemenkes, 2011).

2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama
dikenal dan masih menjadi salah satu penyebab utama kematian di dunia.
Secara global tahun 2013 diperkirakan 9 juta jiwa menderita TB dan 1,5 juta
jiwa meninggal dunia. Data World Health Organization (WHO)
menyatakan wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan daerah
dengan jumlah kasus TB terbesar sebesar 56% dari total keseluruhan kasus.
Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan angka insidensi TB terbesar
dunia setelah India, Cina, Nigeria dan Pakistan. Pada tahun 2013 di
Indonesia ditemukan 196.310 kasus baru basil tahan asam positif (BTA
positif). Angka keberhasilan pengobatan pada tahun 2013 adalah 90,5% dan
telah mencapai standar yang ditetapkan WHO sebesar 85%.3 Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan prevalensi TB

5
berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah penduduk (Kemenkes,
2013).
3. Etiologi
Penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,
yang berbentuk batang, bersifat aerob dan tahan asam. Di Indonesia, TB
merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan negara
dengan penderita kelima terbanyak di dunia setelah India, Cina, Afrika
Selatan, dan Nigeria. Tuberkulosis paru menyerang 9,4 juta orang dan telah
membunuh 1,7 juta penduduk dunia setiap tahunnya (WHO, 2010).

4. Klasifikasi Tuberkulosis
Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan (PDPI, 2011) :
a. Berdasarkan letak anatomi penyakit
1) TB paru : kasus TB yang mengenai parenkim paru
2) TB ekstraparu : kasus TB yang mengenai organ lain selain paru.
Missal pleura, abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang
dan selaput otak.

b. Berdasarkan pemeriksaan dahak atau bakteriologi


1) TB paru BTA positif apabila :
a) 2 atau lebihpemeriksaan dahak BTA positif, atau
b) 1 hasil pemeriksaan BTA positif dan didukung hasil
pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB, atau
c) Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur
M. tuberculosis positif.
2) TB paru BTA negatif
a) Hasil pemeriksaan dahak BTA negatif tapi hasil kultur BTA
positif. Atau
b) Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah
yang belum memiliki fasilitas kultur M. tuberculosis

6
c) Foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan disertai salah
satu dari : hasil pemeriksaan HIV positif, atau jika HIV negatif
(atau tidak diketahui atu prevalensi rendah) tidak menunjukan
perbaikan setelah pemberian antibiotik spectrum luas (kecuali
antibiotik yang mempunyai efek terhadap TB)
3) Kasus bekas TB
a) Hasil pemeriksaan BTA negatif, kultur juga negatif (jika
ada), gambaran radiologi menunjukkan lesi TB yang tidak
aktif, atau foto serial (2 bulan) menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung

c. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Untuk mengetahuin resiko resistensi obat atau MDR. Perlu
dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT.
1) Pasien baru : pasien yang belum pernah mendapat pengobatan TB
sebelumnya atau sudah mendapat OAT < 1bulan. Pasien dengan
dahak BTA positif maupun negatif dengan lokasi anatomi
dimanapun.
2) Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya : pasien yang sudah
pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal 1 bulan,
dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
dimanapun
d. Status HIV
Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan
pengobatan.

5. Patogenesis
Perjalanan infeksi tuberculosis paru terjadi melalui 5 stage
(Wibisono, 2010):

7
a. Kuman TB masuk ke alveoli difagositosis oleh makrofag yang
umumnya dapat dihancurkan. Bila daya bunuh makrofag rendah,
kuman TB akan berproliferasi dalam sitoplasma makrofag dan
menyebabkan lisis. Pada stage ini belum ada pertumbuhan kuman.
b. Stage simbiosis, kuman tumbuh dalam non-activated macrophage yang
gagal mendestruksi kuman hingga makrofag hancur. Kemudian
makrofag lain akan memfagositosis kuman TB tersebut yang berada di
tempat radang. Lama kelamaan akan makin banyak kkuman TB dan
makrofag yang berkumpul di lesi.
c. Terjadi nekrosis kaseosa. Pada stage ini delayed type of hypersensitivity
merupakan respon imun yang mampu menghancurkan makrofag berisi
kuman. Respon ini terbentuk 4-8 minggu dari awal infeksi. Dalam
kaseosa, kuman ekstraseluler tidak bisa tumbuh, dikelilingi non-
activated macrophage, dan partly activated macrophage. Pertumbuhan
kuman terhenti, namun respon DTH menyebabkan perluasan sentral
kaseus dan progresifitas penyakit. Kuman TB masih hidup dalam
sentral kaseosa namun tidak dapat berkembangbiak karena keadaan
anoksia, penurunan pH dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan
ini kuman tidak sensitif terhadap terapi.
d. Respon imun cell mediated immunity (CMI) mengaktifkan makrofag
yang mampu memfagositosis dan menghancurkan kuman. Activated
macrophage menyelimuti tepi kaseous untuk mencegah terlepasnya
kuman. Jika CMI lemah, kuman akan dapat berkembang biak di
dalamnya dan selanjutnya dihanjurkan oleh respon imun DTH sehingga
nekrosis kaseosa menjadi semakin luas. Kuman TB yang terlepas akan
masuk dalam kelenjar limfe trakheobronkhial dan menyebar ke organ
lain.
e. Terjadi pencairan sentral kaseous dimana untuk pertama kalinya terjadi
multiplikasi kuman TB ekstraseluler yang dapat mencapai jumlah besar.
Dengan progresifitas penyakit terjadi perlunakan nekrosis kaseosa,
membentuk kavitas dan erosi dinsing bronkus. Kuman TB masuk ke

8
bronkus dan menyebar ke bagian paru lain dan jaringan sekitarnya.
(Wibisono, 2010).

6. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut
diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang
datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung (Depkes, 2007). Gejala klinis TB dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang
terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (PDPI, 2011).
a. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala
sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala
respiratorik terdiri dari :
1) Batuk produktif 2 minggu.
2) Batuk darah.
3) Sesak nafas.
4) Nyeri dada.
b. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang timbul dapat berupa :
1) Demam.
2) Keringat malam.
3) Anoreksia.

9
4) Berat badan menurun (PDPI, 2011).

7. Diagnosis Tb
a. Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
2) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
3) Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.

b. Diagnosis TB ekstra paru


1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
2) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif)
dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan
diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan

10
dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi,
patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Alur Diagnosis TB paru

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006)

11
8. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung
dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lainsuara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa,
kelainan pemeriksaan fisik tergantungdari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi cold abscess (PDPI, 2011).

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologik
1) Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal
dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (broncho alveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).
2) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-
turut atau dengan cara:

12
a) Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b) Dahak Pagi ( keesokan harinya )
c) Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6
cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.
Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada
gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan
pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering digelas objek
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl
0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada
dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan)
yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari
klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan
kertas saring melalui jasa pos.

3) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain
(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan
biakan.
a) Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan
Kinyoun Gabbett
b) Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
c) lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :
i.2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif

13
ii.1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali , kemudian
iii.bila 1 kali positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif
iv.bila 3 kali negatf Mikroskopik negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala
bronkhorst atau IUATLD

b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-
Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
1) Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
a) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
c) Bayangan bercak milier
d) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
2) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
a) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
b) Kalsifikasi atau fibrotik
c) Kompleks ranke
d) Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah


lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis
secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi
canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis.
Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan

14
kontaminasi. Pada pemeriksaan deteksi M.tuberculosis tersebut di atas,
bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru
sesuai dengan organ yang terlibat
2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Teknik ini merupakan
salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa
proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik
ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu
yang cukup lama.
b. Mycodot. Uji ini mendeteksi antibodi anti mikobakterial di dalam
tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan
(LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik.
Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM
dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit,
maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi
dengan mudah
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP). Uji ini merupakan salah
satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi d. ICT Uji
Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum.
Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tuberculosis. Ke 5
antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung
dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 30 l diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan
dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji

15
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan
minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,
para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi
kadar antibodi yang terdeteksi.

3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah
metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh
mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan
biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
5. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru
dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy
(TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening
dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi
dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada
tuberkulosis ekstra paru
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan
histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan
hasil berupa granuloma dengan perkejuan.

16
6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator
tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/
daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED
sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan tuberkulosis.
7. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB
di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini
akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang
didapat besar sekali atau bula.
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama
pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat
menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.

10. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru


Pengobatan TB bertujuan untuk ;
a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan
produktivitas.
b. Mencegah kematian.
c. Mencegah kekambuhan.
d. Mengurangi penularan.
e. Mencegah terjadinya resistensi obat (PDPI, 2011).

17
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO) (Depkes, 2007).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan


lanjutan.
a. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan (Depkes, 2007).
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan (Depkes, 2007). Universitas Sumatera Utara.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu :
1) Kategori I
a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat
lesi luas.
b) Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2
RHZE/6HE atau 2 RHZE/4R3H3.
2) Kategori II

18
a) TB paru kasus kambuh.
i.Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum
ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan
obat sesuai dengan hasil uji resistensi.
b) TB paru kasus gagal pengobatan
i. Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada
hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin).
ii. Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan
2 RHZES/ 1 RHZE.
iii. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
iv. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

c) TB Paru kasus putus berobat.


i.Berobat 4 bulan
BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau
ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran
radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
panyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).
BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama.
ii.Berobat 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).

19
Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif,
pengobatan diteruskan.
3) Kategori III
i. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat
lesi minimal.
ii. Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3.
4) Kategori IV
i.TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada
hasil uji resistensi, berikan RHZES.Bila telah ada hasil uji resistensi,
berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif
ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).
5) Kategori V
i. MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi
ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2011). Obat-obat
TB memiliki efek samping diantaranya :
a. Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akan
mengakibatkan mual, muntah, dan jaundice. Kadang dapat
menyebabkan kebas pada tungkai.
b. Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan
warna air mata, keringat, dan urine menjadi oranye.
c. Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan hepar dan gout.
d. Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan
gangguan penglihatan warna karena obat ini mempengaruhi
Nervus optikus.
e. Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan
pendengaran akibat kerusakan saraf telinga dalam (Jurnal
Tuberkulosis Indonesia, 2012).

6) Hasil Pengobatan
Merupakan hasil akhir dari pengobatan penderita TB paru
BTA positif dan negatif. Dikategorikan menjadi :

20
i. Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur
positif sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA
atau kultur negatif pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali
pemeriksaan sputum sebelumnya negatif dan pada foto toraks,
gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap sama/ perbaikan.
ii. Pengobatan lengkap merupakan pasien yang telah menyelesaikan
pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau
kultur pada akhir pengobatan.
iii. Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun
penyebabnya selama dalam pengobatan.
iv. Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif
pada bulan kelima atau lebih dalam pengobatan.
v. Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus
dalamwaktu dua bulan berturut-turut atau lebih.
vi. Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan
pelaporan berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui).

B. Strategi DOTS
Istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dapat diartikan
sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek. Setiap hari oleh
PMO (Pengawas Menelan Obat). Tujuannya mencapai angka kesembuhan
yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul
dan mencegah resistensi (Permatasari, 2005).
Strategi DOTS terdiri atas 5 komponen:
1. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang, dari tingkat
negara hingga daerah, terhadap program tuberkulosis nasional yang
permanen dan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan primer, dengan
pimpinan teknis dari suatu unit pusat.
2. Mikroskop merupakan komponen utama untuk mendiagnosis penyakit TB
melalui pemeriksaan dahak penderita tersangka TB.

21
3. Pengawas menelan obat (PMO) akan ikut mengawasi penderita minum
seluruh obatnya. Keberadaan PMO ini untuk memastikan penderita telah
benar minum obat dan bisa diharapkan akan sembuh pada saat akhir
pengobatan. PMO merupakan orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh
penderita maupun petugas kesehatan.
4. Pencatatan dan pelaporan merupakan bagian dari sistem surveillance
penyakit TB untuk mendeteksi kasus dan keberhasilan pengobatan.
5. Paduan obat jangka pendek yang benar termasuk dosis dan jangka waktu
pengobatan yang tepat, sangat penting dalam keberhasilan pengobatan
penderita. Kelangsungan persediaan obat jangka pendek harus selalu
terjamin.

C. Indikator Nasional Penanggulangan TB


Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB
digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional
ada 2 yaitu:
1. Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate/ CDR)
2. Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate/SR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indicator
Nasional tersebut di atas, yaitu:
1. Angka Penjaringan Suspek
2. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa
dahaknya
3. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
5. Angka Notifikasi Kasus (CNR)
6. Angka Konversi
7. Angka Kesembuhan
8. Angka Kesalahan Laboratorium

22
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan (marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-
syarat tertentu seperti:
1. Sahih (valid)
2. Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific)
3. Dapat dipercaya (realiable)
4. Dapat diukur (measureable)
5. Dapat dicapai (achievable)

Analisa dapat dilakukan dengan :


1. Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya
perbedaan.
2. Melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.

1.Cara Menghitung Dan Analisa Indikator


a. Angka Penjaringan Suspek
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000
penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan
untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu,
dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu
(triwulan/tahunan)
Rumus :

100%

Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek
(TB.06) UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya
rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat
dihitung.

23
a. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek
Adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara
seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu
dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan
kriteria suspek.
Rumus:

100%

Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % )
kemungkinan disebabkan :
Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria suspek, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ).
Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan :
Penjaringan terlalu ketat atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( positif palsu).

b. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru


Tercatat/diobati
Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara
semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan
prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh
pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
Rumus:
( + )
100%
( )
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh
lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan
prioritas
untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).

24
d.Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien
TB tercatat.

Rumus :
(< 15 )
100%

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan
ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila
angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

e.Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate/CDR)


Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan
dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan
ada dalam wilayah tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru
BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus:
. 07
100%

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan
perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan
jumlah penduduk.
Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis
Nasional minimal 70%.

f. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR)


Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan
dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu.
Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan
kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilaya```h tersebut.

25
Rumus :
( ) . 07
100%

Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend)
meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.

g. Angka Konversi (Conversion Rate)


Angka konversi adalah persentase pasien baru TB paru BTA positif
yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa
pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat
hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif

100%

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai
berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah
80%.

h. Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase
pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa
pengobatan, diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif
pengobatan ulang dengan tujuan:

26
1. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat
terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans
kekebalan obat.
2. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan
obat baris kedua (second-line drugs).
3. Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.

Cara menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif.



100%

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai
berobat dalam 9 - 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa
diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari
laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka
kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan
lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil
pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan pindah.
Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan
proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang
disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis.
Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan
TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 %
dalam beberapa tahun.
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh
lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan
tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah
resistensi obat.

27
i. Angka Keberhasilan Pengobatan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase
pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik
yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru
BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan
penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan
kategori 1.
( + )
100%

j. Angka Kesalahan Laboratorium


Pada saat ini Penanggulangan TB sedang dalam uji coba untuk
penerapan uji silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan metode Lot
Sampling Quality Assessment (LQAS) di beberapa propinsi. Untuk masa
yang akan datang akan diterapkan metode LQAS di seluruh UPK.
Metode LQAS
Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode ini digunakan oleh
propinsi propinsi uji coba.
Klasifikasi kesalahan
Betul : Tidak ada kesalahan
KH (Kesalahan Hitung) : Kesalahan kecil
NPR (Negatif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil
PPR (Positif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil
NPT (Negatif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar
PPT (Positif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar

Selain kesalahan besar dan kesalahan kecil, kesalahan juga dapat berupa
tidak memadainya kualitas sediaan, yaitu : terlalu tebal atau tipisnya
sediaan, pewarnaan, ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas spesimen.

28
Mengingat sistem penilaian yang berlaku sekarang berbeda dengan yang
terbaru, petugas pemeriksa slide harus mengikuti cara pembacaan dan
pelaporan sesuai buku Panduan bagi petugas laboratorium mikroskopis TB.
Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan
terdapat kesalahan bila :
1. Terdapat PPT atau NPT
2. Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil
dibanding periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-
rata semua UPK di kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil
terjadi beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.
3. Bila terdapat 3 NPR
Penampilan setiap laboratorium harus terus dimonitor sampai
diketemukan penyebab kesalahan. Setiap UPK agar dapat menilai dirinya
sendiri dengan memantau tren hasil interpretasi setiap triwulan.
Metode 100 % BTA Positif & 10 % BTA Negatif sebagian besar
propinsi masih menerapkan metode uji silang perhitungan sebagai berikut :

k. Error Rate
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan
laboratorium yang menyatakan persentase kesalahan pembacaan slide/
sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji
silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara
mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama.
Rumus :

100%

Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi
maksimal 5%.
Apabila error rate 5 % dan positif palsu serta negatif palsu
keduanya 5% berarti mutu pemeriksaan baik. Error rate ini menjadi

29
kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang (cross check) relatif
sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung pada masing-masing laboratorium
pemeriksa, di tingkat kabupaten/ kota.
Kabupaten / kota harus menganalisa berapa persen laboratorium
pemeriksa yang ada diwilayahnya melaksanakan cross check, disamping
menganalisa error rate per PRM/PPM/RS/BP4, supaya dapat mengetahui
kualitas pemeriksaan slide dahak secara mikroskopis langsung.

l. CDR (Case Detection Rate)


Angka penemuan kasus baru TB BTA positif (Case Detection Rate,
CDR) adalah persentase jumlah kasus baru BTA positif yang ditemukan dan
diobati dibagi dengan jumlah kasus baru TB yang diperkirakan pada suatu
populasi di suatu wilayah.

. 07
100%

Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru


BTA positif pada wilayah tersebut. Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA
positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru
BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate
Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
Faktor penyebab rendahnya CDR: (1) Kesulitan suspek kasus
mengeluarkan dahak, meskipun telah diberikan mukolitik-ekspektoran
(terutama pasien suspek TB yang telah diobati sebelumnya dengan obat
anti-tuberkulosis/ OAT yang tidak standar); (2) Program TB hanya
mengandalkan Passive Case Finding (PCF) untuk menjaring kasus TB; (3)
Penerapan estimasi prevalensi kasus BTA positif TB yang seragam di
seluruh Indonesia, yaitu 107 kasus/100,000 penduduk, untuk semua kota,
kabupaten dan kecamatan; (4) Penyebab lain, seperti penjaringan terlalu
longgar (terlalu sensitif), banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek

30
terjaring, dan kualitas dahak yang diperiksa kurang baik. Kesulitan dalam
memperoleh dahak untuk pemeriksaan diagnostik baik pada dewasa maupun
anak perlu segera diatasi. Perlu dicari prosedur alternatif pemeriksaan dahak
yang bisa dilakukan di tingkat primer.
(Pedoman Nasional TB, 2014)

D. Manajemen Puskesmas
Managemen yang dilakukan di Puskesmas Bendosari menggunakan
metode
P1, P2, dan P3, yaitu:
1. Perencanaan Tingkat Puskesmas
a. Kegiatan perencanaan tingkat Puskesmas meliputi penyusunan :
1) Rencana Usulan Kegiatan (RUK)
2) Rencana Pelaksanaan Kegiantan (RPK) atau Plan of Actions (POA)
tahunan
3) Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Tahunan
4) POA bulanan
Perencanaan dilakukan secara menyeluruh dengan memanfaatkan
seluruh jumlah anggaran, baik dari APBD, BOK, maupun sumber
anggaran lainnya.
b. Setelah RUK disetujui oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo,
Puskesmas menyusun RPK/POA tahunan pada awal tahun berjalan.
RPK/POA tahunan merupakan dokumen perencanaan Puskesmas yang
berisi rencana kegiatan untuk mencapai target yang akan dicapai selama 1
tahun di wilayah kerjanya.
c. RPK/POA tahunan dibahas pada forum Lokakarya Mini Puskesmas yang
dilaksanakan secara berkala untuk menghasilkan POA bulanan. Rencana
kegiatan pada POA bulanan dapat berbeda dengan rencana kegiatan pada
RPK/POA tahunan, karena disesuaikan dengan kebijakan dan atau kondisi /
permasalahan terkini yang terpanta melalui PWS (Pemantauan Wilayah
Setempat).

31
2. Penggerakan Pelaksanaan (P2) melalui Lokakarya Mini Puskesmas
a. Kegiatan Penggerakan Pelaksanaan (P2) dilakukan secara berkala melalui
Lokakarya Mini. Lokmin Puskesmas terdiri dari Lokmin Bulanan (lintas
program internal Puskesmas) dan Lokmin Tribulanan (lintas sektor).
b. Pada forum Lokmin Bulanan dilakukan pembahasan mengenai kebijakan
terkini dan hasil analisis PWS yang dilakukan lintas program. Hasil Lokmin
digunakan sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan bulan berikutnya,
yang dituangkan dalan POA bulanan.
c. Pelaksanaan Lokmin Tribulanan diselenggarakan setiap 3 bulan. Lokmin
Tribulanan melibatkan lintas sektor di wilayah kerja Puskesmas, seperti
kepala desa/lurah, camat, TP PKK, kader kesehatan, tokoh
masyarakat/agama, sektor pendidikan, sektor pertanian, dll.
3. Pengawasan Pengendalian Penilaian (P3)
a. Kepala Puskesmas dan atau Koordinator unit Puskesmas melakukan
pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kegiatan upaya kesehatan atau
administrasi pengelolaan keuangan di lapangan agar berjalan sesuai dengan
yang direncanakan, tertib administrasi termasuk untuk mengatasi hambatan
yang ditemui.
b. Pengawasan dan pengendalian dilakukan melelui kegiatan supervisi/
bimbingan teknis/pembinaan ke lapangan (Pustu, Poskesdes, Polindes,
UKBM dan tempat lain) pada saat kegiatan maupun di luar kegiatan yang
dilakukan di masyarakat.
c. Kegiatan dilakukan secara rutin harian/ bulanan/ tribulanan/ semesteran atau
sesuai kebutuhan program.
d. Untuk melakukan penilaian keberhasilah pencapaian program dan laporan
keuangan maka Puskesmas melakukan penilaian secara periodik yang dapat
terintegrasi dengan rapat Lokakarya Mini di Puskesmas.
e. Hasil penilaian berupa laporan secara periodik dikirimkan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten Sukoharjo dengan format yang disepakati.

32
E. Problem Solving Cycle
Problem Solving Cycle (siklus solusi masalah) merupakan proses mental
yang melibatkan penemuan masalah, analisis dan pemecahan masalah. Tujuan
utama dari pemecahan masalah adalah untuk mengatasi kendala dan mencari
kendala dan mencari solusi yang terbaik dalam menyelesaikan masalah.
Problem Solving adalah gabungan dari alat, ketrampilan, dan proses.
Disebut alat dikarenakan dapat membantu dalam memecahkan masalah mendesak
atau untuk mencapai tujuan, disebut skills karena dengan sekali mempelajarinya
maka dapat menggunakan berulang kali, disebut proses karena melibatkan
sejumlah langkah. Problem Solving Cycle merupakan proses yang terdiri atas
langkah-langkah berkesinambungan yang terdiri atas analisis situasi, perumusan
masalah secara spesifik, penentu prioritas masalah, penentuan tujuan, memilih
alternatif terbaik, menguraikan alternatif terbaik menjadi rencana operasional dan
melaksanakan rencana kegiatan serta mengevaluasi hasil kegiatan. Langkah-
langkah dalam Problem Solving Cycle yaitu:
1. Analisis Situasi
Tujuan Analisis Situasi
a. Memahami masalah kesehatan secara jelas dan spesifik
b. Mempermudah penentuan prioritas
c. Mempermudah penentuan alternatif masalah
Analisis situasi meliputi analisis masalah kesehatan dan faktor-faktor
yang mempengaruhi masalah kesehatan tersebut. Teori HL Blum telah
mengembangkan suatu kerangka konsep tentang hubungan antar-antar faktor
yang mempengaruhi derajat kesehatan. Teori HL Blum analisis situasi terdiri
dari analisis derajat ksehatan, analisis aspek kependudukan, analisis perilaku
kesehatan dan analisis lingkungan.
2. Identifikasi Masalah
Masalah merupakan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Cara
perumusan masalah yang baik adalah jika rumusan tersebut jelas menyatakan
adanya kesenjangan. Kesenjangan tersebut ditemukan secara kualitatif dan
dapat pula secara kuantitatif. Penentuan masalah dapat dengan cara

33
membandingkan dengan yang lain, monitor tanda-tanda kelemahan,
membandingkan capaian saat ini dengan tujuan atau dengan capaian
sebelumnya, checklist, brindstorming, dan dengan membuat daftar keluhan.
Penyebab masalah dapat dikenali dengan menggambarkan diagram sebab
akibat atau diagram tulang ikan. Diagram tulang ikan (diagram Ishikawa)
adalah alat yang digambarkan untuk menggembarkan penyebab-penyebab
suatu masalah secara rinci. Diagram ini memberikan gambaran umum suatu
masalah dan penyebabnya. Diagram tersebut memfasilitasi tim untuk
mengidentifikasi sebab masalah sebagai langkah awal untuk menentukan fokus
perbaikan, pengembangan ide pengumpulan data dan atau mengembangkan
alternatif solusi.
3. Prioritas Masalah
Penentuan prioritas masalah adalah suatu proses yang dilakukan oleh
sekelompok orang dengan menggunakan metode tertentu untuk menentukan
urutan masalah dari yang paling penting sampai kurang pentingmetode USG.
Langkah penentuan prioritas masalah ditentukan dari:
a. Menetapkan kriteria
b. Memberikan bobot masalah
c. Menentukan skoring tiap masalah
4. Alternatif Solusi
Alternatif solusi dapat diketahui dengan metode brainstorming.
Brainstorming merupakan teknik pengembangan ide dalam waktu yang singkat
yang digunakan untuk mengenali adanya masalah, baik yang telah terjadi
maupun yang potensial terjadi, menyusun daftar masalah, menyusun alternatif
pemecahan masalah, menetapkan kriteria untuk monitoring, mengembangkan
kreativitas, dan menggambarkan aspek-aspek yang perlu dianalisis dari suatu
pokok bahasan.
5. Pelaksanaan Solusi Terpilih
Solusi yang paling tepat dapat dipilih dengan menggunakan 2 cara yaitu
teknik skoring dan non skoring. Pada teknik skoring dilakukan dengan
memberikan nilai terhadap beberapa alternatif solusi yang menggunakan

34
ukuran (parameter). Pada teknik non skoring menggunakan alternatif solusi
didapatkan dari diskusi kelompok sehingga teknik ini disebut juga nominal
group technique (NGT).
Parameter scoring adalah:
a. Realitas
b. Dapat dikelola (managable)
c. Teknologi yang tersedia dalam melaksanakan solusi (technical feasibility)
d. Sumber daya yang tersedia yang dapat digunakan untuk melakukan solusi
(resources availaibility)
1) Scoring
Masing-masing ukuran tersebut diberi nilai berdasarkan justifikasi
kita, bila alternatif solusi tersebut realistis diberi nilai 5 paling tinggi dan
bila sangat kecil diberi nilai 1. Kemudian nilai-nilai tersebut
dijumlahkan. Alternatif solusi yang memperoleh nilai tertinggi (terbesar)
adalah yang diprioritaskan, masalah yang memperoleh nilai terbesar
kedua memperoleh prioritas kedua dan selanjutnya
2) Non Scoring
Memilih prioritas masalah memempergunakan berbagai parameter,
dilakukan bila tersedia data yang lengkap. Bila tidak tersedia data, maka
cara menetapkan prioritas masalah yang lazim digunakan adalah teknik
non scoring.
a) Delphi technique yaitu alternatif solusi didiskusikan oleh sekelompok
orang yang mempunyai keahlian yang sama. Melalui diskusi tersebut
akan menghasilkan solusi paling mungkin bagi pemecahan masalah
yang disepakati bersama.
b) Delberg technique yaitu menetapkan solusi paling mungkin melalui
diskusi kelompok namun peserta diskusi terdiri dari para peserta yang
tidak sama ahlinya maka sebelumnya dijelaskan dulu sehingga mereka
mempunyai persepsi yang sama terhadap alternatif solusi terhadap
masalah yang akan dibahas. Hasil diskusi ini adalah solusi paling
mungkin bagi pemecahan masalah yang disepakati bersama.

35
6. Langkah-langkah implementasi solusi
a. Menyusun POA (plan of action)
b. Efektifitas
c. Efisiensi
d. Produktifitas
7. Evaluasi solusi yang dilaksanakan:
a. Hasil yang dicapai sesuai dengan rencana (masalah terpecahkan)
b. Terdapat kesenjangan antara berbagai ketetapan dalam rencana dengan
hasil yang dicapai (tidak seluruh masalah besar teratasi)
c. Hasil yang dicapai lebih dari yang direncanakan (masalah lain ikut
terpecahkan)
d. Untuk mengetahui berbagai faktor yang mendukung serta menghambat
dari permasalahan cakupan penemuan kasus TB, dilakukan kajian secara
seksama dengan analisis SWOT dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1) Kekuatan
Yang dimaksud dengan kekuatan (strengh) adalah berbagai
kelebihan yang bersifat khas yang dimiliki oleh suatu organisasi, yang
apabila dimanfaatkan akan berperan besar tidak hanya dalam
memperlancar berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan oleh
organisasi tetapi juga dalam mencapai tujuan yang dimiliki oleh
organisasi.
2) Kelemahan
Yang dimaksud dengan kelemahan (weakness) adalah berbagai
kelemahan yang bersifat khas, yang dimiliki oleh suatu organisasi, yang
apabila dimanfaatkan akan berperan besar tidak hanya dalam
memperlancar berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan oleh
organisasi tetapi juga dalam mencapai tujuan yang dimiliki oleh
organisasi.
3) Kesempatan
Yang dimaksud dengan kesempatan (opportunity) adalah peluang
yang bersifat positif yang dihadapi oleh suatu organisasi yang apabila

36
dapat dimanfaatkan akan besar perannya dalam mencapai tujuan
organisasi.
4) Hambatan
Yang dimaksud dengan hambatan (threat) adalah kendala yang
bersifat negatif yang dihadapi oleh suatu organisasi yang apabila
berhasil diatasi akan besar perannya dalam mencapai tujuan organisasi
tersebut.

37
BAB III
METODE PENERAPAN KEGIATAN

A. Gambaran Umum Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo


1. Letak Geografis
Puskesmas Bendosari terletak di Kecamatan Bendosari Kabupaten
Sukoharjo, dengan luas wilayah Kecamatan Bendosari adalah
409,216,920 km, terdiri dari 14 Desa/Kelurahan serta 45 kebayanan.
Adapun batas wilayah kecamatan Bendosari adalah sebagai berikut :
Batas sebelah Utara : Kecamatan Mojolaban dan Polokarto
Batas sebelah Barat : Kecamatan Sukoharjo
Batas sebelah Selatan : Kecamatan Nguter
Batas sebelah Timur : Kec. Jumapolo Kab. Karanganyar
2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Bendosari adalah 63.078 jiwa
dengan jumlah penduduk terbesar adalah desa Jombor 8.375 jiwa
sedangkan jumlah penduduk terkecil desa Mojorejo 2.157 jiwa.
Jumlah rumah tangga (KK) di Kecamatan Bendosari tahun 2016
sebanyak 17.821 KK.
Sedangkan komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan adalah
sebagai berikut :
Tabel 1. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan Kecamatan
Bendosari Tahun 2016
Tingkat pendidikan Perempuan Laki-Laki
Tidak sekolah 0 0
TK/RA/BA 729 641
SD/MI 2483 2643
SLTP/MTs 652 760
SLTA/SMU/SMK 1732 1082
Tamatan Akademi/PT Tidak ada data

38
3. Struktur Organisasi

39
4. Jumlah Tenaga Kesehatan
Pegawai Puskesmas sejumlah 84 orang, dengan rincian sebagai berikut :
a. Pegawai tetap (PNS) : 66 orang

b. Pegawai tidak tetap (PTT) : 10 orang

c. CPNS :-

d. Tenaga harian : 8 orang

e. Tenaga magang :-

5. Visi
Menjadi pusat pelayanan kesehatan berprestasi dan menjadi pilihan utama
masyarakat.
6. Misi
a. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan
terjangkau
b. Meningkatkan pelayanan gizi, kesehatan ibu dan anak, serta lansia
c. Mengembangkan sumber daya secara profesional
d. Mengoptimalkan fungsi berjenjang dan jaringan puskesmas
e. Mendayagunakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sesuai
standar
f. Menggalang kemitraan dengan masyarakat dan lintas sektoral yang
berhubungan dengan bidang kesehatan
g. Mendorong kemandirian hidup sehat sebagai upaya pencegahan
pengendalian penyakit

7. Sumber Dana
Sumber dana berasal dari APBD, APBD Provinsi Jawa Tengah,
APBN

40
B. Gambaran Manajemen Pencapaian TB Per Tahun 2016
Data yang didapatkan dari Puskesmas Bendosari sampai pada tahun 2016
didapatkan laporan jumlah kasus dan angka penemuan kasus TB baru BTA +
pada tahun 2016 didapatkan :
Tabel 2. Jumlah kasus dan angka penemuan kasus TB baru BTA + di puskesmas Bendosari pada
tahun 2016
SUSPEK TB PARU
BTA (+) % BTA (+)
No DESA TERHADAP
SUSPEK
L P JUML L P JUML L P JUML
1 JOMBOR 3 8 11 1 0 1 9,09
2 TORIYO 11 9 20 0 0 0 0
3 MULUR 17 14 31 0 0 0 0
4 JAGAN 9 6 15 0 1 1 6,67
5 MANISHARJO 4 6 10 1 1 2 20
6 CABEYAN 2 1 3 0 0 0 0
7 PUHGOGOR 6 6 12 1 0 1 8,33
8 PALUHOMBO 1 3 4 0 0 0 0
9 BENDOSARI 4 4 8 0 1 1 12,5
10 MOJOREJO 4 2 6 0 0 0 0
11 MERTAN 10 10 20 1 1 2 10
12 SUGIHAN 6 11 17 0 0 0 0
13 SIDOREJO 1 5 6 0 0 0 0
14 GENTAN 6 4 10 1 2 3 30
JUMLAH 84 89 173 5 6 11 6,36

Dari data yang ada dapat disimpulkan bahwa angka penemuan kasus TB
baru BTA + pada tahun 2016 jauh dari yang ditargetkan yaitu 50% atau 11 orang
dari target 46 orang . Upaya untuk menemukan kasus baru TB BTA + seperti
pemantauan penderita dengan gejala klinis TB di desa-desa sangat diperlukan.

41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Kegiatan Pengendalian Penyakit TB


1. Identifikasi Masalah di Puskesmas Bendosari
Data yang didapatkan dari Puskesmas Bendosari tahun
2016, didapatkan laporan cakupan hasil kegiatan sebagai berikut:

No Program Target Pencapaian

1. Kunjungan Ibu Hamil (K4) 95% 90,54%

2. Kunjungan neonatal KN1 100% 98,53%

3. Pelayanan Kesehatan Remaja 50% 48,86%

4. Penemuan Pasien Baru BTA 50% 26,09%


positif
5. Penemuan penderita diare 100% 68,88%

6. IR DBD <20/100.000 33/100.000

7. Inspeksi Rumah Sehat 80% 63,25%

Data yang dikumpulkan dari Puskesmas Bendosari didapatkan


jumlah penemuan kasus TB pada tahun 2014-2017, dapat dilihat pada
tabel berikut:

No Tahun Target BTA+ % BTA +

2017 BTA (+) = 0


1 46 0 Ro. (+) = 5
(Hingga April 2017)

2 2016 46 11 26,09 %

3 2015 46 18 39,13 %

4 2014 56 12 21,43 %

(Sumber: Data UKM Puskesmas Bendosari, 2014-2017)

42
Dari perhitungan diatas, didapatkan % BTA terhadap suspek di
Puskesmas Bendosari pada tahun 2016 adalah 6,36 %.Angka tersebut
masih jauh dari target yang diharapkan yaitu 50%.

2. Penentuan Prioritas Masalah


Untuk menentukan prioritas masalah menggunakan kriteria
matriks berdasarkan dari tingkat urgensi (U), tingkat
perkembangan (G), dan tingkat keseriusan (S).

Penemuan
Masalah Pelayanan Penemuan Inspeksi
Kunjungan pasien IR
Kunjungan kesehatan penderita rumah
neonatal baru BTA DBD
Kriteria Ibu Hamil remaja diare sehat
KN1 +

Urgensi 5 4 3 5 4 5 3
Keseriusan 3 4 3 5 3 4 4
Perkembangan 4 4 2 5 4 4 4
U+S+G 12 12 8 15 11 13 11
Keterangan :
Masing-masing kriteria ditetapkan dengan nilai 1-5. Nilai semakin besar
jika tingkat urgensinya sangat mendesak, atau tingkat perkembangan dan tingkat
keseriusan semakin memprihatinkan apabila tidak diatasi.
Setelah dilakukan matrikulasi masalah di atas dapat ditentukan bahwa
prioritas masalah yang akan di susun alternatif pemecahan masalahnya adalah
mengenai penemuan kasus TB yang masih rendah dibawah target yang sudah
ditentukan.

B. Analisis Penyebab Masalah


Berdasarkan teori Blum, bahwa derajat kesehatan seseorang dipengaruhi
oleh 4 faktor, yaitu prilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan underlying
disease. Maka untuk mendapatkan alternatif pemecahan masalah perlu dilihat
sumber-sumber permasalahan dari faktor-faktor penunjang kesehatan tersebut
dalam diagram tulang ikan sebagai berikut :

43
Material Money Man
Ketidakseimbangan jumlah petugas
Kurangnya TB dengan wilayah kerja Puskesmas
anggaran untuk
Sarana dan Kurangnya komunikasi antara
program TB
prasarana petugas kesehatan yang terkait
yang Kerjasama lintas sektor kurang
kurang Banyaknya
program yang Kurangnya perekrutan petugas
terdapat dalam Penemuan
kesehatan dan kader
Puskesmas kasus BTA
Sosial, ekonomi, pendidikan (+) di
sedangkan dana
yang rendah Puskesmas
dari pemerintah
tidak mencukupi Bendosari

Ruangan tunggu Puskesmas


tidak memenuhi kriteria
Kurang terjaringnya pasien baru TB
karena pelatihan kader kurang

Tidak tersedia ruang yang


memadai di Puskesmas

Method Enviroment

42
Material
Sarana dan prasarana yang kurang di Puskesmas Bendosari.
Kurangnya sarana dan prasarana akan mempersulit aktivitas yang akan
dilakukan oleh petugas kesehatan yang berperan dalam penemuan kasus
TB BTA (+). Salah satu sarana dan prasarana tersebut adalah alat
transportasi bagi kader untuk menuju ke kediaman penderita suspek TB.

Man
Ketidakseimbangan jumlah petugas TB dengan wilayah kerja
Puskesmas. Hal ini dibuktikan oleh jumlah Wilayah kerja di Bendosari
yang banyak dan jumlah petugas TB hanya 4 orang. Jumlah ini membuat
petugas TB tidak maksimal dalam menemukan TB BTA (+).
Faktor manusia yang lain adalah kurangnya komunikasi antara
petugas kesehatan yang terkait. Hal ini dibuktikan dengan petugas TB
tidak dapat mengetahui jumlah suspek TB baru di luar Daerah yang biasa
mereka kunjungi karena tidak ada media penghubung.
Kurangnya perekrutan petugas kesehatan dan kader. Hal ini
membuat jumlah petugas kesehatan di bagian TB tidak meningkat.
Kekurangan tersebut diakibatkan oleh sosial, ekonomi dan pendidikan
yang kurang dari masyarakat yang di tuju oleh Puskesmas. Sehingga,
minat untuk menjadi petugas TB berkurang.

Money
Kurangnya anggaran untuk program TB. Hal ini terjadi karena
program di Puskesmas bertambah banyak. Akibatnya, pembagian dana
untuk program lama menjadi berkurang.

Method
Kurang terjaringnya pasien baru TB karena kurangnya pelatihan
kader. Kader kurang mengetahui gejala khas dari penjaringan suspek

43
sehingga menghasilkan kasus TB BTA (+). Hal ini diakibatkan oleh
pelatihan yang diberikan belum maksimal.

Enviroment
Ruangan tunggu Puskesmas tidak memenuhi kriteria. Puskesmas
Bendosari, memiliki ruangan pemeriksaan khusus untuk pasien TB.
Ruangan tersebut terdapat di samping ruang tunggu pasien. Ruang tunggu
pasien tidah memiliki batas yang jelas untuk penderita penyakit TB,
sehingga penderita TB dapat menularkan penyakitnya kepada pasien lain.

C. Alternatif Prioritas Pemecahan Masalah


Setelah diperoleh daftar penyebab masalah paling mungkin, langkah
selanjutnya adalah membuat alternative prioritas pemecahan masalah. Hal
ini didapatkan melalui diskusi :

Daftar Alternatif Prioritas Pemecahan Masalah


Masalah Alternatif Pemecahan Masalah

1. Komunikasi yang kurang, 1. Mengadakan penyuluhan-penyuluhan


Kerjasama yang kurang antara ataupun pertemuan-pertemuan antara
tenaga kesehatan baik bidan tenaga kesehatan, kader, maupun langsung
desa, mantri, praktek dokter dengan masyarakat untuk memberi
swasta yang mana jarang informasi mengenai TB. Target pengiriman
mengirim pasien suspek untuk suspek di desa dibuat target dan dievaluasi.
pemeriksaan BTA. 2. Meningkatkan kerjasama antara kader
dengan puskesmas dengan cara
mengadakan pertemuan berkala agar
komunikasi dapat berjalan sehingga
program dapat terlaksana secara optimal.
3. Advokasi kepala puskesmas untuk
membuat komitmen peningkatan suspek

44
Masalah Alternatif Pemecahan Masalah

TB.
2. Terlalu banyak penduduk, 1. Menambah jumlah tenaga ahli dan melatih
terlalu banyak desa, sementara kader TB di bidang P2PL terutama pada
tenaga ahli yang mengurus penyakit TB untuk meningkatkan angka
penjaringan TB hanya 4 orang. penemuan kasus.
2. Lebih melibatkan peran serta tokoh
masyarakat dan organisasi masyarakat
setempat untuk ikut secara aktif dalam
program P2PL
3. Meningkatkan promosi kesehatan pada
masyarakat menegnai penanggulangan TB.
3. Pengetahuan pasien tentang 1. Mengoptimalkan program system
penyakit TB juga masih sangat informasi TB terpadu dan sosialisasi atau
kurang contohnya pasien yang penyuluhan kepada masyarakat tentang
batuk lama jarang memeriksa penanggulangan TB.
kesehatannya karena dianggap 2. Pemasangan baliho, spanduk di tempat-
cuma batuk biasa. Ataupun tempat umum, serta pembagian leaflet pada
pasien malu untuk seluruh masyarakat.
memeriksakan penyakitnya. 3. Bekerjasama dengan pihak media masa
seperti radio, surat kabar atau siaran
televisi dalam penanggulangan TB.

45
D. Analisa SWOT

SW Kekuatan (S) Kelemahan (W)


1. Ada tenaga profesional 1. Kurangnya SDM yang
2. Adanya fasilitas turun ke masyarakat
OT penunjang puskesmas karena tugas ganda
(laboratorium)
3. Tersedianya dana
(APBDII, BOK)
4. Terjangkaunya
pelayanan kesehatan
(pustu/puling)
Peluang (O) Strategi SO Strategi WO
1. Adanya 1. Meningkatkan 1. Optimalkan tenaga yang
kerjasama kerjasama dengan ada sesuai dengan tugas
dengan RS/DPS pokok
RS/DPS 2. Terus memberikan 2. Melaporkan temuan BTA+
pembekalan dan dari dokter praktek swasta
2. Banyakny pelatihan bagi para ke Puskesmas
a kader kader 3. Meningkatkan kualitas
kesehatan 3. Penggunaan dana secara kerjasama dengan kader
diwilayah optimal dengan promosi lewat
puskesmas penyuluhan pencegahan
3. Tingkat TB.
ekonomi 4. Meningkatkan peran serta
dan sosial kader dalam mendukung
masyaraka P2PL khususnya TB.
t yang
rendah
dimana
masih ada
rumah
yang tidak
sehat

Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT


1. Kurangnya 1. Melakukan survey 1. Lebih melibatkan peran
kesadaran sejauh mana serta tokoh masyarakat
untuk pengetahuan masyarakat dan organisasi masyarakat

46
memeriksakan tentang TB setempat untuk ikut secara
diri bila sakit 2. Meningkatkan kegiatan- aktif dalam program P2PL
2. Adanya udaya kegiatan promosi 2. Memperbaiki perencanaan
malu untuk kesehatan dan strategi program
memeriksakan 3. Pendekatan secara penyuluhan
penyakitnya, personal melalui kader- 3. Meningkatkan komunikasi
khususnya TB kader desa agar dapat dan koordinasi yang jelas
memberi penyuluhan dengan pelayanan
pada saat ada kegiatan- kesehatan swasta di
kegiatan masyarakat wilayah binaaan
(misal rapat karang puskesmas Bendosari.
taruna, rapat PKK, rapat 4. Adanya penyuluhan rutin
RT, dsb)
4. Meningkatkan
penyuluhan-tentang
pencegahan TB

Untuk meningkatkan program pada tahun mendatang Puskesmas


Bendosari dapat melakukan :
a. Penambahan dan pelatihan kader TB untuk meningkatkan penemuan
suspek TB.
b. Pemberian reward untuk petugas TB dan Kader TB
c. Puskesmas meningkatkan komunikasi dan koordinasi yang jelas antara
jejaring internal dan eksternal tenaga kesehatan di lingkungan puskesmas
Bendosari.
d. Advokasi kepala puskesmas untuk membuat komitmen peningkatan
suspek TB.
e. Mengusulkan kepada minlok puskesmas mengenai mekanisme penemuan
kasus TB atau mekanisme kerja penemuan suspek TB.
f. Diberlakukan target pengiriman suspek di setiap desa dibuat capaian
kemudian dievaluasi.
g. Mengoptimalkan program system informasi TB terpadu.
h. Sosialisasi ke masyarakat penanggulangan TB baik melalui penjaringan
maupun melalui bidan desa.

47
i. Penggunaan dana yang ada di Puskesmas secara optimal.
j. Lebih melibatkan peran serta tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat
setempat untuk ikut secara aktif dalam program P2PL
k. Melakukan survei sejauh mana pemahaman masyarakat tentang TB dan
pencegahannya serta meningkatkan kegiatan-kegiatan promosi kesehatan.

E. Rencana Pemecahan Masalah


Berikut martikulasi alternatif pemecahan masalah dari kegiatan
P2PL yang dilakukan oleh Puskesmas Bendosari.

No Daftar Pemecahan Masalah Efektivitas Efisiensi


Jumla
M I V (C)MxI MxIxV
C
1 Advokasi kepala puskesmas 4 3 2 3 8
untuk membuat komitmen
peningkatan suspek TB.
2 Pelatihan kader TB untuk 4 4 3 2 24
menemukan dan merujuk suspek
TB.
3 Peningkatan komunikasi antara 4 3 3 2 18
DPS kader, puskesmas,
perangkat Desa, Pokja Desa dan
masyarakat agar program
penanggulan TB dapat
terlaksana secara optimal.
4 sosialisasi atau penyuluhan 4 4 2 2 16
kepada masyarakat dan lintas
sektor tentang penanggulangan
TB.

Kriteria efektivitas :
1. M = Magnitude (besarnya masalah yang dapat deselesaikan)
2. I = Importancy (pentingnya jalan keluar)
3. V = Vulnerability (sensitivitas jalan keluar)
Kriteria penilaian efektifitas :
1 = tidak efektif
2 = agak efektif

48
3 = cukup efektif
4 = efektif
5 = paling efektif

Kriteria efisiensi :
C = Efficiency Cost (semakin besarbiaya yang diperlukan semakin tidak
efisien)
Berdasarkan kriteria matriks di atas, maka urutan pemecahan masalah
adalah sebagai berikut:
1. Pelatihan kader TB untuk menemukan dan merujuk suspek TB dan TB BTA
(+).
2. Peningkatan komunikasi DPS, kader, puskesmas, perangkat Desa, Pokja
Desa dan masyarakat agar program penanggulan TB dapat terlaksana secara
optimal.
3. Sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat dan lintas sektor tentang
penanggulangan TB.
4. Advokasi kepala puskesmas untuk membuat komitmen peningkatan suspek
TB

49
Waktu
No Kegiatan Tujuan Sasaran dan Metode Biaya Target
Tempat
1. Simulasi dengan - Pembentukan Kader Tahun - Ceramah BOK untuk Meningka
alat peraga kader TB TB 2017, - Tanya jawab biaya tnya
mengenai - Meningkatkan Aula - Diskusi transport angka
penemuan dan ketrampilan puskesmas - Demonstrasi kader : 15 x penemuan
prosedur merujuk dan Bendosari - Simulasi . 10.000 = kasus TB
pengetahuan
pasien suspek TB. 150.000 paru
kader TB
untuk Snack menjadi
menemukan 15x5000 = 50%
dan merujuk 75.000
suspek TB Makan siang
- Meningkatkan 15 x 10.000=
angka 150.000
penemuan Fotokopi
suspek TB ATK
15x5000 =
75.000

Jumlah =
450.000
2. Membentuk - Mengurangi Kader Pertemuan - Membentuk -
KOSABI terjadinya DO TB rutin grup chat pengetahu
(Komunitas Sadar - Penderita dan Seluruh setiap dengan an kader,
TB) keluarga taat desa bulan bantuan perangkat
pengobatan sekecama aplikasi desa,
WhatsApp
- Terdeteksinya tan pokja desa
- Membentuk
suspect TB Bendosar Komunitas mengenai
baru i, Sadar Tbc TB dan
perangka - Tanya jawab pemantaua
t desa, - Diskusi n
Pokja penderita
desa , Susp. Tb
Dokter meningkat
Praktek 30%
Swasta -
(DPS) pelaporan
temuan
BTA+ dari
DPS ke
Puskesmas
meningkat
sampai
50%

50
3. Mengunjungi - Meningkatka Masyara Balai desa - Penjaringan Printout -
masyarakat secara n angka kat desa desa suspek Materi Masyaraka
door to door penemuan Bendosar Bendosari, - Simulasi 850 x 2000 = t mengerti
suspek TB i Juli 2017 menarik dan 2.250.000 tentang
- Meningkatka alat peraga TB paru
n penemuan - Tanya jawab
Snack -
penderita TB - Penyebaran
BTA (+) brosur dan 50x5000 = Menguran
penempatan 250.000 gi risiko
leaflet pada penularan
ruamah yang Jumlah ; -
dikunjungi 3.000.000 Penjaringa
n suspect
TB

51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Perencanaan dan pelaksanaan pengendalian penyakit TB di Puskesmas
Bendosari belum berjalan secara efektif, dilihat dari angka penemuan suspek
TB BTA + yang belum mencapai target.
2. Pengawasan, pengendalian, dan Penilaian pengendalian penyakit TB di
Puskesmas Bendosari belum berjalan dengan baik, karena kurangnya
kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri ke puskesmas.
3. Prioritas masalah penyakit TB di Puskesmas Bendosari adalah tingkat
kesadaran masyarakat yang rendah mengenai penyakit TB, belum optimalnya
penyuluhan yang diberikan pada masyarakat, dan kurangnya komunikasi dan
kerjasama antara puskesmas, lintas program, perangkat desa, kader, dan
masyarakat untuk menanggulangi TB
4. Alternatif pemecahan masalah pengendalian penyakit TB di Puskesmas
Bendosari dapat dilaksanakan adalah dengan (1) Pelatihan kader TB untuk
menemukan dan merujuk suspek TB dan TB BTA (+). (2) Peningkatan
komunikasi kader, puskesmas, perangkat Desa, Pokja Desa dan masyarakat
agar program penanggulan TB dapat terlaksana secara optimal. (3)
Penyuluhan kepada masyarakat dan lintas sektor tentang penanggulangan TB.

B. Saran
1. Meningkatkan pengetahuan petugas dan masyarakat tentang Tuberkulosis
2. Menggalakkan program DOTS.
3. Pendataan suspek TBC maupun penderita TBC yang rutin sehingga dapat
digunakan menjadi salah satu bahan evaluasi program.
4. Kerjasama yang kokoh antar lintas program antara Puskesmas, Rumah
Sakit, dokter Spesialis Paru serta warga masyarakat untuk mewujudkan
tercapainya keberhasilan peningkatan angka penemuan kasus
Tuberkulosis.

52
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. (2007).


Jakarta: Depkes.
Departemen Kesehatan RI. Strategi Nasional Pengendalian TB. (2011). Jakarta:
Depkes. Hlm 1-5
Jurnal Tuberkulosis Indonesia Vol. 8 Maret 2012. ISSN 1891-5118
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan
tuberkulosis.Jakarta:Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan lingkungan; 2014
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Strategi Nasional Pengendalian TB di
Indonesia 2010-2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan.2011
PDPI. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.
Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2016.
Manajemen Puskesmas. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
Wibisono, M. J., Winariani., Hariadi, S., 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR RSUD DR. Soetomo
World Health Organization. Global tuberculosis control: 2010. Geneva: World
Health Organization.
World Health Organization. Global Tuberculosis Report. 2013. World Health
Organization 20 Avenue Appia, 1211Geneva27, Switzerland.
World Health Organization.Tuberculosis Country Profiles.Available from:
http://www.who.int/tb/country/data/profiles/en . 2014. hlm 4-7

53

Anda mungkin juga menyukai