Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wabah penyakit flu burung yang melanda dunia, telah menjadi perhatian banyak

pihak, baik masyarakat luas maupun badan kesehatan. Sejak wabah flu burung pertama

merebak sekitar tahun 90-an di Hongkong, flu burung menjadi penyakit pendemi (lintas batas

Negara). Thailand, Malaysia, China, Korea, Kamboja, dan Indonesia adalah sebagian besar

negara yang telah terjangkit penyakit flu burung (Handrayani,2002).

PBB telah mengisukan peringatan akan kembalinya wabah dari virus H5N1 atau flu

burung yang mulai menyebar melalui Cina dan Vietnam. Migrasinya unggas unggas liar

menjadi faktor dalam membawa dampak buruk dengan mendatangkan kembali virus H5N1

pada negara negara yang sudah dinyatakan bebas dari flu burung selama bertahun tahun.

PBB mengungkapkan baik dari jumlah ternak unggas dan populasi unggas menurun dari total

skala 4000 menjadi 302 di pertengahan tahun 2008, tetapi sebaliknya kasus virus flu burung

cenderung memuncak naik mendekati 800 kasus pada tahun 2010 2011. Meskipun

keberadaan virus sudah tereliminasi dari 63 negara di dunia, namun kenyataannya virus

H5N1 masih menghantui negara seperti Banglades, Cina, Mesir, Vietnam, India dan terkahir

Indonesia (WHO, 2011).

Berdasarkan data Kementerian Pertanian Indonesia, pada Januari 2011 terjadi 136

kasus flu burung dan terus meningkat pada Februari menjadi 156 kasus dan Maret sebanyak

307 kasus. Jumlah unggas yang mati selama Januari 2011 sebanyak 8.315 ekor, Februari

6.310 ekor dan Maret 17.471 ekor. Khusus bulan Maret, tiga provinsi yang paling banyak

terkena flu burung adalah Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Sebagai perbandingan, pada tahun

1
2010 lalu, pada Januari terjadi 284 kasus flu burung, Februari terjadi 362 kasus dan Maret

159 kasus flu burung. Sedangkan pada tahun 2009 Januari terdapat 195 kasus, Februari 331

kasus dan Maret 337 kasus (Depkes RI, 2009).

Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan mengumumkan dua kasus baru H5N1 yang telah

dikonfirmasi oleh Pusat Biomedis dan teknologi Dasar Kesehatan, Balitbangkes. Kasus

tersebut menimpa warga Kabupaten Bangli, Bali, dengan gejala yang sama yang telah

merenggut nyawa 2 warga Bangli pada bulan Oktober 2011. Merebaknya kasus flu burung

tahun ini didorong oleh adanya cuaca basah dan banjir yang membuat virus cepat

berkembang. Ditambah lagi, kemungkinan ada kendala akibat ketidaksempurnaan vaksinasi.

Selain itu, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana kasus flu burung lebih banyak

ditemukan di peternakan rumah tangga dimana ternak tidak dikandangkan, pada tahun ini

kasus flu burung lebih banyak ditemukan di sektor peternakan besar yang sudah

dikandangkan (Depkes RI, 2009)

Melihat angka peningkatan tersebut alangkah perlunya suatu metode untuk mencegah

peningkatan angka kejadian flu burung dalam masyarakat. Untuk itu sangat perlu diadakan

suatu penyuluhan tentang flu burung dan penanggulangannya sebagai upaya promotif dan

preventif bagi masyarakat yang terkena maupun yang belum.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan Flu Burung ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan Flu Burung.

BAB II
2
TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi

Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian Influenza) adalah suatu penyakit

menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Flu Burung

adalah penyakit influenza pada unggas, baik burung, bebek, ayam, serta beberapa binatang

yang lain seperti babi. Data lain menunjukkan penyakit ini bisa terdapat burung puyuh dan

burung onta. Penyakit ini menular dari burung ke burung, tetapi dapat juga menular ke

manusia. Penyakit ini dapat menular lewat udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari

kotoran atau sekreta burung atau unggas yang menderita influenza. Sampai saat ini belum

terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia. Penyakit ini terutama menyerang

peternak unggas. (wikipedia.org/wiki/ Flu _burung, 2007).

B. Etiologi

Penyebab flu burung adalah virus influenza, yang termasuk tipe A subtipe H5, H7 dan

H9. Virus flu burung atau avian influenza ini awalnya hanya ditemukan pada binatang seperti

burung, bebek dan ayam. Namun sejak 1997, virus ini mulai "terbang" ke manusia ( penyakit

zoonosis ). Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe

A H5N1.

Hasil studi menunjukkan bahwa unggas sakit (oleh influenza A H5N1) dapat

mengeluarkan virus dalam jumlah besar dalam kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan

hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22C dan lebih dari 30 hari pada 0C. Pada kotoran dan

tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama. Virus akan mati pada pemanasan

60C selama 30 menit atau 56C selama 3 jam dan dengan detergen, desinfektan misalnya

formalin, serta cairan mengandung iodin.

3
C. Epidemiologi
1. Sebaran kasus

Di Indonesia pada bulan Januari 2004 di laporkan adanya kasus kematian ayam ternak

yang luar biasa (terutama di Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan

Jawa Barat). Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh karena virus new castle, namun

konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung (Avian

influenza (AI)). Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di

Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%) dan yang paling tinggi jumlah

kematiannya adalah propinsi Jawa Barat (1.541.427 ekor). Berdasarkan data KEMENKES

RI, jumlah kasus Flu Burung di Indonesia sejak tahun 2005 sampai dengan Juni 2010 adalah

166 kasus dengan 137 kematian.

2. Kelompok Risiko Tinggi, Cara Penularan, Masa Inkubasi


a. Kelompok Risiko Tinggi

Kelompok yang perlu diwaspadai dan berisiko tinggi terinfeksi flu burung adalah :

4
- Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat, berbicara atau bersentuhan

dengan pasien suspek, probabel atau kasus H5N1 yang sudah konfirm.
- Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong,

mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, bangkai

unggas atau terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam

wilayah di mana infeksi dengan H5N1 pada hewan atau manusia telah dicurigai

atau dikonfirmasi dalam bulan terakhir.


- Mengkonsumsi produk ungags mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna

di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang

terinfeksi H5N1 dalam satu bulan terakhir.


- Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau ungags liar),

misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi H5N1.


- Memegang / menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai

mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.

b. Cara Penularan
Flu burung menular dari unggas ke unggas dan dari unggas kemanusia,

melalui air liur, lendir dari hidung dan feses. Penyakit ini dapat menular melalui

udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekret

burung/unggas yang menderita flu burung. Penularan dari unggas ke manusia juga

dapat terjadi jika bersinggungan langsung dengan unggas yang terinfeksi flu

burung, contohnya: pekerja di peternakan ayam, pemotong ayam dan penjamah

produk unggas lainnya. Media penularan ini dapat terjadi akibat transmisi

(perpindahan) unggas yang terkena virus H5N1 dari daerah yang sudah terkena ke

daerah yang belum terkena. Selain itu, terpaparnya manusia dengan penyakit ini,

selain karena kontaminasi langsung dengan unggas daya tahan tubuh juga

memegang peranan penting.

5
Semakin baik daya tahan tubuh seseorang, semakin kecil kemungkinan

terkena penyakit ini, begitu pula sebaliknya. Selain daya tahan tubuh, pola makan dan

pola hidup yang bersih dan sehat juga mendukung dalam pencegahan keterpaparan

penyakit ini meskipun dari data resmi menunjukkan, tak ada produk olahan dari

daging ayam yang masuk dari Vietnam dan Thailand sebagai wilayah yang paling

parah terkena dampak flu burung yang menunjukkan tidak adanya pengaruh pola

makan. Bibit penyakit flu burung yang ditemukan di Jatim dan beberapa daerah di

Indonesia itu akan berbahaya apabila menempel atau melakukan assortan kepada

bebek dan babi. Di Daerah Mijosari, Kabupaten Mojokerto-Jatim, telah ditemukan

beberapa kematian pada bebek akibat terserang penyakit flu burung. Saat ini tim

dokter hewan UNAIR sedang meneliti dengan mengambil sampel lima bebek yang

mati itu.

Penyakit flu burung memiliki mata rantai penularan dari ayam, bebek, ke babi,

baru kemudian menular kepada manusia. Penularannya kepada manusia lebih cepat

apabila melalui babi karena ketika penyakit itu masuk ke tubuh babi, virus bisa

berubah menjadi ganas atau melemah.

c. Masa Inkubasi

Masa inkubasi rata-rata adalah 3 hari (1-7 hari). Masa penularan pada manusia

adalah 1 hari sebelum, sampai 3-5 hari setelah gejala timbul dan pada anak dapat

sampai 21 hari.

D. Manisfestasi Klinis Flu Burung


1. Tanda dan Gejala pada unggas

6
Gejala pada unggas yang sakit cukup bervariasi, mulai dari gejala ringan (nyaris

tanpa gejala), sampai sangat berat. Hal ini tergantung dari keganasan virus, lingkungan,

dan keadaan unggas sendiri. Gejala yang timbul seperti jengger berwarna biru, kepala

bengkak, sekitar mata bengkak, demam, diare, dan tidak mau makan. Dapat terjadi

gangguan pernafasan berupa batuk dan bersin. Gejala awal dapat berupa gangguan

reproduksi berupa penurunan produksi telur. Gangguan sistem saraf dalam bentuk

depresi. Pada beberapa kasus, unggas mati tanpa gejala. Kematian dapat terjadi 24 jam

setelah timbul gejala. Pada kalkun, kematian dapat terjadi dalam 2 sampai 3 hari.

2. Tanda dan Gejala pada manusia

Gejala flu burung pada dasarnya adalah sama dengan flu biasa lainnya, hanya

cenderung lebih sering dan cepat menjadi parah. Masa inkubasi antara mulai tertular

dan timbul gejala adalah sekitar 3 hari; sementara itu masa infeksius pada manusia

adalah 1 hari sebelum, sampai 3-5 hari sesudah gejala timbul pada anak dapat sampai

21 hari.

Gejalanya suhu > 38oC, demam, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri

otot dan sendi, sampai infeksi selaput mata (conjunctivitis). Bila keadaan memburuk,

dapat terjadi severe respiratory distress yang ditandai dengan sesak nafas hebat,

rendahnya kadar oksigen darah serta meningkatnya kadar CO2.

E. Patofisiologi Dan Pencegahan


1. Patofisiologi
Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili Orthomyxoviridae.

Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar

11 jenis protein. Virus influenza mempunyai selubung/simpai yang terdiri dari kompleks

protein dan karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk

menempel pada reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel.
7
Terdapat 2 jenis spikes yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung

neuraminidase (NA), yang terletak dibagian terluar dari virion. Virus influenza

mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari (i) protein nukleokapsid (NP) (ii).

Hemaglutinin (HA), (iii). Neuraminidase (NA), dan protein matriks (MP).

Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus

influenza A, B, dan C. Virus Influenza A sangat penting dalam bidang kesehatan karena

sangat patogen baik bagi manusia, dan binatang, yang menyebabkan angka kesakitan dan

kematian yang tinggi, di seluruh dunia. Virus influenza A ini dapat menyebabkan pandemi

karena mudahnya mereka bermutasi, baik berupa antigenic drift ataupun antigenic shift

sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih patotegen. Pada virus influenza tipe A

dapat terjadi perubahan besar pada komposisi antigeniknya yang disebut antigenic shift

atau terjadi perubahan kecil komposisi antigenik yang disebut antigenic drift. Perubahan

perubahan inilah yang bisa menyebabkan epidemi atau bahkan pandemi. ). Virus influenza

B adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C, jarang

ditemukan walaupun dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan binatang. Jenis virus

influenza B dan C jarang sekali atau tidak menyebabkan wabah pandemis. Terdapat 15

jenis subtipe HA dan 9 jenis subtipe NA. Dari berbagai penelitan seroprevalensi secara

epidemiologis menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus influenza A telah menyebabkan

wabah pandemi antara lain H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918),

H3N8 (1900), dan H2N2 (1889). Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel

hospes setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di

permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan

mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan

menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk

virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya.
8
Beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata

avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring dan di dalam sel

gastrointestinal .Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan

tinja pasien (WHO,2005).

Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa

masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza

A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung

sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya.-2,6-Gal), sehingga secara

teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor

spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi

reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1.

Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus

dapat membuat varian-varian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke

manusia .- 2,6-galactose (SA -2,3- Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor

yang ada pada manusia. Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA -2,3-

galactose (SA Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada manusia

dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu burung, mereka dapat

mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis unggas yang terdiri

dari oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid

Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari

kotoran unggas yang sakit. Penularan juga bisa terjadi melalui air minum dan pasokan

makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu burung. Di peternakan

unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui peralatan, kandang, pakaian

ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu burung (H5N1) juga pekerja peternakan

itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di peternakan, secara berurutan dari yang kurang
9
berisiko sampai yang paling berisiko adalah melalui pergerakan unggas yang terinfeksi

,kontak langsung selama perjalanan unggas ke tempat pemotongan ,lingkungan sekitar

(tetangga) dalam radius 1 km, kereta/lori yang ,digunakan untuk mengangkut makanan,

minuman unggas dan lain-lain ,kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat.

Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia

kontak dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan atau

benda-benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung virus

H5N1. Orang yang berisiko tinggi tertular flu burung adalah pekerja di peternakan ayam

,pemotong ayam ,orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu

burung orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung ,populasi dalam

radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung. Pada dasarnya

sampai saat ini, H5N1 tidak mudah untuk menginfeksi manusia dan apabila seseorang

terinfeksi, akan sulit virus itu menulari orang lain. Pada kenyataannya, penularan manusia

ke manusia, terbatas, tidak efisien dan tidak berkelanjutan. (Radji, 2006)

Penyakit dimulai dari infeksi virus pada sel epitel saluran napas. Virus ini kemudian

bereplikasi sangat cepat hingga menyebabkan lisis sel epitel dan terjadi deskuamasi

lapisan epitel saluran napas.Pada tahap infeksi awal, respons imun innate akan

menghambat replikasi virus. Apabila kemudian terjadi re-eksposure, respons imun adaptif

yang bersifat antigen spesific mengembangkan memori imunologis yang akan

memberikan respons yang lebih cepat. Replikasi virus akan merangsang pembentukan

proinflammatory cytokine termasuk IL-1, IL-6 dan TNF-Alfa yang kemudian masuk ke

sirkulasi sistemik dan pada gilirannya menyebabkan gejala sistemik seperti demam,

malaise, myalgia dll. Pada umumnya influenza merupakan penyakit yang self limiting dan

virus terbatas pada saluran napas. Pada keadaan tertentu seperti kondisi sistem imun yang

menurun virus dapat lolos masuk sirkulasi darah dan ke organ tubuh lain. Bila
10
strain/subtipe virus baru yang menginfeksi maka situasi akan berbeda. Imunitas terhadap

virus subtipe baru yang sama sekali belum terbentuk dapat menyebabkan keadaan klinis

yang lebih berat. Sistem imunitas belum memiliki immunological memory terhadap virus

baru. Apalagi bila virus subtipe baru ini memiliki tingkat virulensi atau patogenisitas yang

sangat tinggi seperti virus H5N1. Tipe virus yang berbeda akan menyebabkan respons

imun dan gejala klinis yang mungkin berbeda. Diketahui bahwa pada infeksi oleh virus

influenza A H5N1 terjadi pembentukan sitokin yang berlebihan (cytokine storm) untuk

menekan replikasi virus, tetapi justru hal ini yang menyebabkan kerusakan jaringan paru

yang luas dan berat. Terjadi pneumonia virus berupa pneumonitis intertitial.

Proses berlanjut dengan terjadinya eksudasi dan edema intraalveolar, mobilisasi sel

sel radang dan juga eritrosit dari kapiler sekitar, pembentukan membran hyalin dan juga

fibroblast. Sel radang akan memproduksi banyak sel mediator peradangan. Secara klinis

keadaan ini dikenal dengan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Difusi oksigen

terganggu, terjadi hipoksia/anoksia yang dapat merusak organ lain. Proses ini biasanya

terjadi secara cepat dan penderita dapat meninggal dalam waktu singkat karena proses

yang ireversibel (Emedicine,2009).

WOC

unggas kotoran udara


Virus H5N1

Masuk ke tubuh manusia (sel gastrointestinal,


sel epitel saluran nafas)

Spikes virion menempel dengan


reseptor spesifik sel

Menyusup ke sitoplasma sel

Mengintegrasikan materi genetiknya


ke dalam inti sel hospes

11
Virus bereplikasi Terbentuk strain/subtipe
virus baru
Sel epitel lisis
Patogrenisitas sangat tinggi
Deskuamasi lapisan epitel
Kerusakan jaringan paru yang
Terbentuk proinflammatory cytokine luas dan berat
(IL-1, IL-6, dan TNF-Alfa)
Pneumonia intertitial
Masuk ke sirkulasi sistemik
Gangguan
Suplai oksigen tidak adekuat
pemenuhan
Terjadi gejala sistemik
nutrisi
Dyspnea
kurang dari
kebutuhan
Demam Malaise Myalgia
Eksudasi edema intraalveolar
Infeksi Intoleran Nyeri
Mobilisasi sel-sel radang dan eritrosit
aktivitas
Intervensi: Pembentukan membran hialin dan fibroblas
Pantau TTV
Ceagah penyebaran Sel radang memproduksi banyak sel mediator peradangan
infeksi ARDS Difusi oksigen terganggu
Intervensi: Fibrosis paru Hipoksia
Evaluasi respon klien
Berikan lingkungan tenang Bersihan
Bantu klien memilih posisi yang Gangguan
2. Pencegahan jalan nafas pertukaran gas
nyaman
tidak efektif
Pengendalian adalah aspek yang sangat penting dalam pencegahan transmisi
Intervensi: Intervensi: Intervensi:
Pantau TTV Tentukan karakteristik nyeri Catat adanya sianosis
walaupun belum ada TTV
Pantau bukti sahih adanya penularan dari manusia ke manusia yang
Kaji frekuensi pernafasan, Hitung
Tentukan karakteristik nyeri
Kolaborasi pemberian analgesik Kolaborasi pemberian jumlah sputum
berkelanjutan. Pencegahan
mukolitik transmisi dilakukan dengan melakukan perawatan isolasi

dan perawatan pengendalian infeksi secara ketat menggunakan alat perlindungan

personal dan metode kewaspadaan isolasi yang baik. Selain kewaspadaan standar (cuci

tangan, sarung tangan, penggunaan bahan dekontaminan/desinfektan) perlu dilakukan

pula kewaspadaan berdasar transmisi sesuai cara penularan (kontak, droplet dan

airborne). Penanganan limbah juga bagian yang sangat penting untuk pencegahan

penularan. Adapun pencegahannya baik pada hewan ataupun pada manuasia :

a. Pada Unggas
1. Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung
12
2. Vaksinasi pada unggas yang sehat

b. Pada Manusia :
1. Kelompok berisiko tinggi ( pekerja peternakan dan pedagang)

a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.

b. Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinsfeksi flu burung.

c. Menggunakan alat pelindung diri. (contoh : masker dan pakaian kerja).

d. Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja.

e. Membersihkan kotoran unggas setiap hari.

2. Masyarakat umum
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan istirahat

cukup.

b. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu :

- Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya)

- Memasak daging ayam sampai dengan suhu 800C selama 1 menit dan pada

telur sampai dengan suhu 640C selama 4,5 menit

F. Evaluasi Diagnostik
1. Pemeriksaan penunjang
a. Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk H5.

Antibodi akan muncul karena usaha dari tubuh untuk melindungi dirinya

dari virus yang masuk. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi

13
antibodi spesifik virus influenza A yang terbentuk di dalam tubuh adalah uji

penghambatan hemaglutinasi (hemaglutination inhibition-HI), uji fiksasi

komplemen (complement fixation test), dan enzyme-linked immunosorbent

assay (ELISA). Antigen pada penderita dengan infeksi virus influenza A dapat

diperiksa dengan metode ELISA. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan

serologi berasal dari serum darah penderita. Saat ini telah tersedia uji cepat dalam

bentuk kit yang dapat dengan cepat memberikan hasil, tetapi kurang akurat. Hasil

akan diperoleh dalam waktu lebih kurang 1-2 jam. Karena hasil yang didapat

kurang akurat dan tidak dapat menentukan subtipe dari virus influenza A yang

menginfeksi, kita harus melakukan pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan tepat

untuk memastikan virus H5N1 sebagai penyebabnya.

b. Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1.

Cara pemeriksaan dengan mengisolasi virus adalah yang paling baik,

dalam arti sangat menentukan. Akan tetapi pemeriksaan ini memerlukan peralatan

dan teknik yang canggih selain tenaga ahli yang andal, sehingga tidak dipakai

secara rutin sebagai uji dalam laboratorium.


Bahan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk isolasi virus adalah

berasal dari usap tenggorok dan hidung atau sputum/riak pada penderita dewasa

dengan pneumonia. Isolasi virus dilakukan dengan cara menanam bahan yang

akan diperiksa pada biakan jaringan atau telur ayam yang berembrio, kemudian

diperiksa subtipe virus influenza A yang telah diisolasi tersebut


c. Uji Serologi.
Metode pemeriksaan ini dilakukan untuk memberikan hasil yang akurat

mengenai penyebab flu burung, yakni H5N1, dan sebagai penegasan/konfirmasi

setelah dilakukannya pemeriksaan serologi. Terdapat beberapa macam metode

yang telah dikembangkan untuk mendeteksi RNA virus influenza A.

14
Diagnosis molekuler ini mempunyai beberapa keunggulan, seperti sensitif,

karena dapat mendeteksi komponen virus (RNA spesifik H5) dalam jumlah

sedikit; mampu membedakan materi genetis dengan tingkat deferensiasi yang

lebih tinggi; memberikan hasil dalam waktu yang relatif cepat.

Pemeriksaan lain dilakukan untuk tujuan mengarahkan diagnostik ke arah

kemungkinan flu burung dan menentukan berat ringannya derajat penyakit . Pemeriksaan

yang dilakukan adalah :

- Pemeriksaan Hematologi

Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya

ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni.

- Pemeriksaan Kimia darah

Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase,Analisis Gas

Darah. Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan

ureum dan kreatinin, peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah dapat normal atau

abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang

ditemukan.

- Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka flu

burung. Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia.

Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk kasus dengan

gejala klinik flu burung tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah diagnostik dini.

- Pemeriksaan Post Mortem

Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung tertegakkan, dianjurkan

untuk mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (necropsi), spesimen

dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.

15
2. Derajat Penyakit

Pasien yang telah dikonfirmasi sebagai kasus flu burung dapat dikategorikan menjadi:

Derajat 1 : Pasien tanpa pneumonia

Derajat 2 : Pasien dengan pneumonia ringan tanpa gagal napas

Derajat 3 : pasien dengan pneumonia berat dan gagal napas

Derajat 4 : Pasien dengan pneumonia berat dan ARDS atau dengan kegagalan organ

ganda (multiple organfailure).

3. Diagnosis Banding

Diagnosis banding disesuaikan dengan tanda dan gejala yang ditemukan. Penyakit

dengan gejala hampir serupa yang sering ditemukan antara lain:

- Demam Dengue

- Infeksi paru yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur

- Demam Typhoid

- HIV dengan infeksi sekunder

- Tuberkulosis Paru

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis

banding tergantung indikasi, antara lain:

- Dengue blot : IgM, IgG untuk menyingkirkan diagnosis demam dengue

- Biakan sputum dahak, darah dan urin.

- Biakan Salmonella, uji Widal untuk menyingkirkan diagnosis demam tifoid.

- Pemeriksaan anti HIV .

- Pemeriksaan dahak mikroskopik Basil Tahan Asam (BTA) dan biakan

mikobakterium, untuk menyingkirkan TB paru.

4. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan :

16
1. Anamnesis tentang gejala yang diderita oleh penderita dan adanya riwayat kontak

atau adanya faktor risiko, seperti kematian unggas secara mendadak, atau unggas

sakit di peternakan/dipelihara di rumah, atau kontak dengan pasien yang

didiagnosis avian influenza (H5N1), atau melakukan perjalanan ke daerah endemis

avian influenza 7 hari sebelum timbulnya gejala .


2. Pemeriksaan fisik: suhu tubuh > 38 C, napas cepat dan hiperemi farings (farings

kemerahan).
3. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) diperoleh leukopenia, limfopenia,

trombositopenia ringan sampai sedang dan kadar aminotransferase yang meningkat

sedikit atau sedang, kadar kreatinin juga meningkat.


4. Pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit diperlukan untuk mengetahui status

oksigenasi pasien, keseimbangan asam-basa dan kadar elektrolit pasien.


5. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya avian influenza H5N1 a.l.

dengan Immunofluorescence assay, Enzyme Immunoassay, Polymerase Chain

Reaction (PCR) dan Real-time PCR assay, Biakan Virus. Dari hasil pemeriksaan

ini dapat ditentukan status pasien apakah termasuk curiga (suspect), mungkin

(probable) atau pasti (confirmed).


6. Pada pemeriksaan radiologi dengan melakukan X-foto toraks didapatkan gambaran

infiltrat yang tersebar atau terlokalisasi pada paru. Hal ini menunjukkan adanya

proses infeksi oleh karena virus atau bakteri di paru-paru atau yang dikenal dengan

pneumonia. Gambaran hasil radiologi tersebut dapat menjadi indikator

memburuknya penyakit avian influenza.


G. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosis keperawatan yang mungkin timbul pada pasien flu burung :

1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum, penurunan

energi, dan kelemahan

2. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan kapasitas pembawa O2 darah dan hipoksia

3. Penyebaran infeksi b.d proses penyakit

17
4. Intoleran aktifitas b.d kelemahan, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2

5. Nyeri b.d inflamasi parenkim paru, batuk menetap

6. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d dyspnea dan suplai

oksigen tidak adekuat

Intervensi Keperawatan

1. Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum, penurunan
energi,dan kelemahan

Tujuan : Jalan napas kembali efektif


Kriteria hasil : Frekuensi napas dalam batas normal (1620 x/mnt)

Intervensi Rasional
Kaji frekuensi / kedalaman pernapasan & Takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan
gerakan dada dada tidak simetris karena ketidaknyamanan
gerakan dinding dada.
Auskultasi area paru, catat adanya ronki, Penurunan aliran udara terjadi pada area
mengi, dan krekels. konsolidasi dengan cairan
Observasi & catat batuk yang berlebihan, Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan
peningkatan frekusensi napas, sekret yang napas secara alami
berlebihan.
Penghisapan sesuai dengan indikasi Merangsang batuk atau pembersihan secara
alami
Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/ hari Cairan yang hangat memobilisasi dan
mengeluarkan sekret
Bantu dengan menggunakan nebulizer. Memudahkan pengenceran dan pembuangan
sekret
Berikan obat sesuai indikasi: Mukolitik, Obat untuk menurunkan spasme bronkus
ekspektoran, bronkodilator, analgesik. dengan mobilisasi sekret

18
2. Dx : Gangguan pertukaran gas b.d gangguan kapasitas pembawa O2 darah dan
hipoksia

Tujuan : Menunjukkan perbaikan ventilasi


Kriteria hasil : Pertukaran gas normal

Intervensi Rasional
Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan Manifestasi distress pernapasan tergantung
bernapas pada derajat keterlibatan paru dan status
kesehatan umum
Observasi warna kulit, membran mukosa Sianosis kuku menunjukkan vasokonstriksi,
dan kuku, catat adanya sianosis sianosis membran mukosa menunjukkan
hipoksemia sistemik
Awasi suhu tubuh, bantu tindakan Demam tinggi sangat meningkatkan
kenyamanan untuk menurunkan demam kebutuhan metabolik dan O2
Observasi penyimpangan kondisi, catat Syok dan edema paru adalah penyebab umum
hipotensi, banyaknya jumlah sputum kematian pada pneumonia
perubahan tingkat kesadaran.
Berikan terapi O2 dengan benar Mempertahankan PaO2 diatas 60 mmHg

Awasi AGD dan Saturasi Oksigen dengan Mengevaluasi proses penyakit dan
pulse Oksimeter memudahkan terapi paru

3. Dx : Penyebaran infeksi b.d proses penyakit

19
Tujuan : untuk Pencegahan penularan infeksi
Kriteria hasil : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial dan komplikasi proses
penyakit

Intervensi Rasional
Pantau ketat tanda-tanda vital, khususnya Selama periode waktu ini potensial
pada awal terapi komplikasi fatal dapat terjadi
Anjurkan pasien memperhatikan pengeluaran Perubahan karakteristik sputum menunjukan
sputum dan melaporkan perbaikan pneumonia
perubahan warna, jumlah dan bau sputum atau terjadinya infeksi skunder
Cegah penyebaran infeksi dari pasien lain, Organisme yang mudah menular dapat
keluarga dan petugas kesehatan ditularkan melalui kontak langsung.
dengan mencuci tangan secara konsisten Teknik mencuci tangan penting dalam
sebelum dan sesudah kontak dengan mengurangi transian lapisan luar kulit dan
pasien serta menggunakan APD menurunkan penyebaran / tambahan infeksi
Kolaborasi pemberian anti mikrobakterial Obat ini digunakan untuk membunuh
kebanyakan mikrobial pneumonia

4. Dx : Intoleran aktifitas b.d kelemahan, ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan O2
Tujuan : Peningkatan aktivitas
Kriteria hasil : Menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas

Intervensi Rasional
Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, Menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien
catat laporan dispnea, peningkatan
kelemahan
Berikan lingkungan tenang dan batasi Menurunkan stress dan rangsangan
pengunjung selama fase akut sesuai berlebihan, meningkatkan istirahat
Indikasi

Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk Tirah baring dipertahan kan untuk
istirahat/ tidur menurunkan kebutuhan metabolik,
menghemat energi untuk menyembuhan
Bantu perawatan diri yang tidak dapat Meminimalkan kelelahan dan membantu
dilakukan pasien keseimbangan suplai dan kebutuhan O2

20
5. Dx : Nyeri b.d inflamasi parenkim paru, batuk menetap

Tujuan : Nyeri dapat terkontrol


Kriteria hasil : menyatakan nyeri dapat hilang atau terkontrol

Intervensi Rasional
Tentukan karakteristik nyeri misalnya tajam, Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa
konstan, ditusuk. Selidiki perubahan derajat pada pneumonia
karakter/ lokasi / intensitas nyeri
Pantau tanda-tanda vital Perubahan frekuensi jantung/TD menunjukan
bahwa pasien mengalami
Nyeri
Kolaborasi pemberian analgesik dan antitusif Obat ini dapat digunakan untuk menekan
batuk nonproduktif atau menurunkan mukosa
berlebihan, meningkatkan kenyamanan

6. Dx : Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d dyspnea dan
suplai oksigen tidak adekuat
Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi selama perawatan
Kriteria hasil: Menunjukkan peningkatan berat badan dan nafsu makan

Intervensi Rasional
Auskultasi bising usus Bising usus mungkin menurun bila proses
infeksi berat
Berikan makanan porsi kecil dengan Meningkatkan masukan meskipun nafsu
frekuensi sering makan lambat untuk kembali
Sajikan makanan dalam keadaan hangat Mengurangi rasa mual
Berikan perawatan mulut Menghilang rasa tidak enak dan bau mulut
Timbang berat badan setiap Hari Mengetahui perkembanganm status nutrisi

H. Penatalaksanaan Medis Dan Keperawatan


1. Penatalaksanaan Keperawatan

Pada dasarnya penatalaksanaan flu burung (AI) sama dengan influenza yang

disebabkan oleh virus yang patogen pada manusia. Penatalaksanaan keperawatan

pasien flu burung (AI) pada dasarnya sama dengan penatalaksanaan keperawatan

pasien pneumonia. Di dalam buku ini difokuskan pada asuhan keperawatan pasien flu

21
burung tanpa alat bantu pernapasan yang dirawat di ruang isolasi dan pasien flu burung

dengan alat bantu pernapasan yang dirawat di ruang ICU.

Asuhan keperawatan dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan mulai

dari pengkajian sampai evaluasi dilengkapi dengan rencana pasien pulang (discharge

planning). Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada pasien flu burung antara

lain Bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum, penurunan

energi, dan kelemahan, Gangguan pertukaran gas b.d gangguan kapasitas pembawa O2

darah dan hipoksia, Penyebaran infeksi b.d proses penyakit, Intoleran aktifitas b.d

kelemahan, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O 2, Nyeri b.d inflamasi

parenkim paru, batuk menetap, Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh b.d dyspnea dan suplai oksigen tidak adekuat.

Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan masalah/diagnosis

keperawatan yang ditegakkan antara lain manajemen cairan, manajemen asam basa,

dan manajemen ventilasi mekanik dengan menerapkan prinsip pencegahan dan

pengendalian infeksi (terlampir). Evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan

tindakan keperawatan pada pasien flu burung.

2. Penatalaksanaan Medis

Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah istirahat, peningkataan daya

tahan tubuh, pengobatan antiviral, pengobatan antibiotic, perawatan respirasi, anti

inflamasi, imunomodulators. Untuk penatalaksanaan umum dapat dilakukan pelayanan

di fasilitas kesehatan non rujukan dan di rumah sakit rujukan flu burung. Untuk

pelayanan di fasilitas kesehatan non rujukan flu burung diantaranya adalah :

Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak,

sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan flu burung.


Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir.

22
Mengenai antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni pada 48 jam

pertama. Adapun pilihan obat :


1. Penghambat M2 (amantadine and rimantadine). : a. Amantadin (symadine), b.

Rimantidin (flu madine). Dengan dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5

hari.
2. Penghambatan neuramidase (WHO) : a. Zanamivir (relenza), b. Oseltamivir (tami

flu). Dengan dosis 2x75 mg selama 1 minggu.

Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut :

Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg 5 hari, simptomatik dan

antibiotik jika ada indikasi.


Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg selama 5 hari,

antibiotic spectrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika

perlu seperti pada kasus pneumonia berat, ARDS. Respiratory care di ICU sesuai

indikasi.

Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi, digunakan Oseltamivir dengan

dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu). Seperti penyakit

virus lainnya, sebenarnya penyakit ini belum ada obat yang efektif. Penderita hanya akan

diberi obat untuk meredakan gejala yang menyertai penyakit flu itu, seperti demam, batuk

atau pusing. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat telah

merekomendasikan 4 (empat) jenis obat antiviral untuk pengobatan dan pencegahan

influenza A.

Jenis obat tersebut diantaranya adalah M2 inhibitors (amantadin dan rimantadin) dan

neuraminidase inhibitors (oseltamivir dan zanamivir). Keempat obat ini dapat digunakan

yang biasa kita kenal (seasonal influenza). Akan tetapi, tidak semua obat antivirus ini

dapat digunakan untuk mengobati penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus

influenza A subtipe H5N1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli,

virus H5N1 sudah resisten terhadap amantadin dan rimantadin.


23
Oseltamivir yang diberikan secara oral dan zanamivir secara inhalasi (dihirup) efektif

melawan virus H5N1. Selain digunakan dalam pengobatan, oseltamivir juga dapat

dimanfaatkan sebagai profilaksis atau pencegahan terhadap penyakit flu burung.

a. OSELTAMIVIR FOSFAT

Bentuk sediaan oseltamivir adalah kapsul (75 mg) dan suspensi (12 mg/mL).

- INDIKASI

Infeksi influenza

Pengobatan : pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi yang

disebabkan oleh infeksi influenza pada pasien yang berusia lebih dari 1 tahun yang

sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2 (dua) hari.

Profilaksis : untuk profilaksis influenza pada dewasa dan anak yang lebih dari 13

tahun. Oseltamivir tidak digunakan sebagai pengganti vaksinasi.

- DOSIS DAN PENGGUNAAN

Oseltamivir dapat digunakan tanpa memperhatikan makanan. Jika digunakan

bersamaaan dengan makanan, toleransi dapat meningkat.

Pengobatan influenza :

Dewasa dan Anak lebih dari 13 tahun : dosis oral yang direkomendasikan adalah 75

mg dua kali sehari selama 5 hari. Pengobatan dimulai setelah timbul gejala influenza

dalam dua hari.

Anak anak : dosis oral suspensi yang direkomendasikan untuk anak di atas 1 tahun

dan dewasa yang tidak dapat menelan kapsul adalah sebagai berikut:

DOSIS SUSPENSI ORAL OSELTAMIVIR


Berat Badan (kg) Dosis yang direkomendasikan Volume
untuk 5 hari
24
< 15 30 mg dua kali sehari 2,5 mL (1/2 sdt)
>15 - 23 45 mg dua kali sehari 3,8 mL (3/4 sdt)
>23 - 40 60 mg dua kali sehari 5 mL (1 sdt)
>40 75 mg dua kali sehari 6,2 mL (1 1/4 sdt)

Profilaksis Influenza :

Dosis oseltamivir oral yang direkomendasikan untuk profilaksis influenza pada

dewasa dan anak di atas 13 tahun yang telah mengalami kontak langsung dengan individu

yang terinfeksi adalah 75 mg sekali sehari, sekurang-kurangnya selama 7 hari. Terapi

sebaiknya dimulai setelah 2 hari terpajan. Dosis yang direkomendasikan untuk profilaksis

selama terjadi wabah influenza adalah 75 mg sekali sehari. .

- KONTRA INDIKASI

Oseltamivir dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap komponen

yang ada di dalam produk.

- EFEK SAMPING

Efek samping yang terjadi pada sekitar 3 % pasien adalah sakit perut, batuk, diare,

sakit kepala, mual dan muntah.

b. ZANAMIVIR 10

Bentuk sediaan zanamivir adalah serbuk inhalasi dalam bentuk blister 5 mg.

- INDIKASI

Infeksi influenza

Pengobatan : pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi

yang disebabkan oleh infeksi virus influenza A dan B pada pasien dewasa dan anak

lebih dari 7 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2 (dua) hari.

Zanamivir tidak direkomendasikan untuk pasien yang mengalami penyakit kerusakan

saluran pernapasan seperti asma atau penyakit kerusakan paru-paru kronik (COPD).

- DOSIS DAN PENGGUNAAN

25
Zanamivir digunakan untuk saluran pernapasan melalui inhalasi oral dengan

menggunakan alat diskhaler yang disertakan bersama obat. Pasien harus diberi

penjelasan tentang cara penggunaan obat, jika mungkin disertai demonstrasi cara

pemakaian obat. Jika zanamivir diresepkan untuk anak-anak, pemakaiannya harus

dalam pengawasan dan instruksi orang dewasa. Orang dewasa yang dimaksud disini

adalah orang dewasa yang telah diberi penjelasan tentang cara pemakaian obat.

Dosis zanamivir yang direkomendasikan untuk perawatan influenza pada

pasien yang berusia lebih dari 7 tahun dan lebih adalah 2 inhalasi (per inhalasi adalah

5 mg blister, jadi dosis total adalah 10 mg) dua kali sehari (jarak pemakaian 12 jam),

selama 5 hari. Dua dosis ini harus digunakan pada pengobatan awal, jika mungkin

jarak pemberian adalah 2 jam. Pada hari berikutnya, jarak pemberian adalah 12 jam

(misalnya pada malam dan siang hari), waktu pemberian ini hendaknya sama setiap

hari. Tidak ada data tentang keefektifan dari pengobatan dengan zanamivir jika

dimulai lebih dari dua hari setelah timbul tanda atau gejala. Pasien yang

menggunakan bronkodilator bersamaan dengan zanamivir, harus menggunakan

bronkodilator terlebih dahulu.

- KONTRA INDIKASI

Zanamivir dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap

komponen yang ada di dalam produk.

- EFEK SAMPING

Efek samping yang terjadi pada sekitar 3 % pasien adalah diare, gangguan

hidung, mual, sinusitis, infeksi telinga, hidung dan tenggorokan.

Hasil laboratorium : terjadi peningkatan enzim liver, CPK, lymfopenia, neutropenia.

Hasil yang diperoleh antara pemberian zanamivir dan plasebo menunjukkan hasil

yang mirip.

26
c. Obat Obat Penunjang
Analgesik-antipiretik, antibiotik, vitamin, kortikosteroid, simpatomimetik, cairan

elektrolit dan nutrisi.

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Uraian Kasus
Nyonya A 2 hari yang lalu mengonsumsi daging ayam yang dibeli di pasar. Saat ini

mengeluh sesak dan demam tinggi dengan suhu 399 C. Kepala terasa pusing dan juga

mengalami batuk. Produksi sputum banyak. Dilakukan pemeriksaan lab leukosit 17.000, Hb:

12mg%/dl.
B. Pengkajian
1. Identitas klien

Nama : Ny.A

Jenis kelamin : Perempuan

2. Riwayat kesehatan
a.Keluhan utama

Pasien mengeluh sesak dan demam tinggi serta kepala terasa pusing dan juga

mengalami batuk

b. Riwayat peyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas dan demam tinggi dengan suhu 399 C .

Kepala terasa pusing dan juga mengalami batuk.

3. Pola nutrisi
Nyonya A 2 hari yang lalu mengonsumsi daging ayam
27
4. Pemeriksaan fisik
Suhu : 38.5oC
Leukosit : 17.000
Hb : 12mg%/dl
C. Analisa data

Data Subjektif:

1. 2 hari yang lalu mengonsumsi daging ayam


2. Pasien mengeluh sesak
3. Kepala terasa pusing
Data Objektif:
1. Demam tinggi dengan suhu 399 C
2. Batuk
3. Produksi sputum banyak
4. Lab leukosit 17.000, Hb: 12mg%/dl

No Data Etiologi Masalah Keperawatan

1 DS: Virus H5N1 Bersihan jalan nafas


1. Pasien mengeluh sesak tidak efektif
Masuk ke paru-paru
DO:

1. Batuk Kerusakan jar. paru


2. Produksi sputum banyak yang luas dan berat

Sputum kental
dan banyak

Bersihan jalan
nafas tidak efektif

28
2 DS: Virus H5N1 Gangguan perfusi

1. Pasien mengeluh sesak jaringan


Masuk ke paru-paru
2. Kepala terasa pusing

DO: Kerusakan jar. paru


yang luas dan berat
1. Batuk
2. Produksi sputum Suplai oksigen
banyak tidak adekuat

Hipoksia

Gangguan
perfusi
jaringan
3 DS: Virus H5N1 Infeksi

2 hari yang lalu Masuk ke sel


mengonsumsi daging ayam gastrointestinal

DO:
Virus bereplikasi
1. Demam tinggi dengan
suhu 399 C Sel-sel disekitarnya
2. Leukosit 17.000 terinfeksi

Masuk ke sirkulasi
sistemik

Terjadi gejala sistemik

Demam

Infeksi

D. WOC
Kontak dengan hewan atau mengonsumsi hewan yang terinfeksi virus H5N1
29
Infeksi virus H5N1

Masuk ke sel gastrointestinal

Spikes virion menempel dengan


reseptor spesifik sel

Menyusup ke sitoplasma sel

Mengintegrasikan materi genetiknya


ke dalam inti sel hospes

Virus bereplikasi

Terbentuk virion-virion baru

Sel-sel disekitarnya terinfeksi Masuk ke paru-paru

Masuk ke sirkulasi sistemik Kerusakan jar. paru yang luas dan berat

Terjadi gejala sistemik


Suplai oksigen Obstruksi saluran
tidak adekuat pernapasan
Tanda-tanda:
Klien demam tinggi dengan Hipoksia
Tanda-tanda:
suhu 399 C, leukosit 17.000 Suplai O2 ke otak Pasien mengeluh sesak,
Infeksi
batuk produksi sputum
banyak
Tanda-tanda:
Pasien mengeluh sesak,
Intervensi: Kepala terasa pusing Intervensi:
- Ukur TTV - Kaji kepatenan jalan
- Pantau input dan napas
Gangguan - Auskultasi bunyi paru
output Perfusi - Posisikan pasien
Jaringan (fowler/semifowler)
-

Intervensi: Bersihan
- Ukur TTV
jalan nafas
- Pantau tingkat
kesadaran tidak efektif

E. Asuhan keperawatan

30
No Diagnosa Tujuan/ Intervensi Rasional
keperawatan Kriteria Hasil
1 Bersihan TJ : 1. Kaji frekuensi, 1. Takipnea,
jalan nafas Jalan nafas kedalaman pernapasan
tidak efektif kembali efektif pernapasan & gerakan dangkal dan
berhubungan KH: dada gerakan dada tidak
dengan - Frekuensi simetris karena
peningkatan napas dalam ketidaknyamanan
produksi batas normal gerakan dinding
sputum (1620 x/mnt) dada
- Bunyi napas 2. Auskultasi area paru, 2. Penurunan aliran
vesikuler catat adanya ronki, udara terjadi pada
- Bernapas tidak mengi, dan krekels. area konsolidasi
menggunaka dengan cairan
alat bantu
napas 3. Observasi & catat 3. Batuk adalah
- Tidak ada batuk yang mekanisme
sputum berlebihan, pembersihan jalan
- Batuk (-) peningkatan napas secara alami
frekusensi napas,
sekret yang
berlebihan.
4. Penghisapan sesuai 4. Merangsang batuk
dengan indikasi atau pembersihan
secara alami

5. Berikan cairan 5. Cairan yang hangat


memobilisasi
sedikitnya 2500 ml/
dan
hari
mengeluarkan
6. Berikan obat sesuai sekret
6. Obat untuk
indikasi: mukolitik,
ekspektoran, menurunkn spasme
bronkodilator, bronkus dengan
mobilisasi sekret
analgesik.
2 Gangguan TJ : 1. Kaji frekuensi, 1. Manifestasi distress
perfusi Perfusi jaringan kedalaman dan pernapasan
jaringan kembali efektif kemudahan bernapas tergantung pada
berhubungan KH : derajat keterlibatan
gangguan - Sesak paru dan status
suplai berkurang, kesehatan umum
oksigen frekuensi
2. Sianosis kuku
napas dalam 2. Observasi warna
31
batas normal kulit, membran menunjukkan
(1620 x/mnt) mukosa dan kuku, vasokonstriksi,
catat adanya sianosis sianosis membrane
- Oksigenasi
mukosa
jaringan
menunjukkan
dengan AGD
hipoksemia sistemik
dalam rentang
normal 3. Demam tinggi
3. Awasi suhu tubuh,
sangat
- Pusing bantu tindakan
meningkatkan
berkurang atau kenyamanan untuk
kebutuhan metabolic
hilang menurunkan demam
dan O2

4. Mempertahankan
PaO2 diatas 60
4. Berikan terapi O2
mmHg
dengan benar

32
3. Risiko tinggi TJ: 1. Pantau tanda vital 1. Selama periode
penularan Pencegahan dengan ketat waktu ini potensial
infeksi penularan khusunya selama komplikasi fatal
infeksi awal terapi dapat terjadi

2. Anjurkan pasien 2. Perubahan


KH:
memperhatikan karakteristik sputum
- Tidak terdapat
pengeluaran secret menunjukan
tanda tanda
( msl, meningkatkan perbaikan atau
penularan
pengeluaran daripada terjadinya infeksi
infeksi dari
menelan ) dan sekunder
pasien ke
melaporkan
pasien lain,
perubahan warna ,
keluarga dan
bau , dan jumlah
petugas
secret
kesehata
- Mencapai 3. Dorong tekhnik 3. Organisme yang
waktu mencuci tangan yang mudah menular
perbaikan baik. dapat ditularkan
infeksi melalui kontak
berulang tanpa langsung. Teknik
komplikasi mencuci tangan
penting dalam
mengurangi transian
lapisan luar kulit dan
menurunkan
penyebaran
tambahan infeksi

4. Ubah posisi dengan 4. Meningkatan


sering. pengeluaran dan
pembersihan infeksi

5. Batasi pengunjung 5. Menurunkan


sesuai indikasi. pemajanan terhadap

33
pathogen infeksi lain

6. Lakukan tekhnik
isolasi pencegahan
6. Tekhnik isolasi
sesuai individual
mungkin diperlukan
untuk mencegah
penyebaran /
melindungi pasien
dari proses infeksi
lain

F. Health Education
34
1. Menempatkan pasien pada ruangan isolasi yang mencegah penularan kepada orang
lain
2. Kenakan perlengkapan keamaanan ketika harus melakukan kontak dengan penderita
flu burung, diantaranya dengan selalu menggunakan masker, sarung tangan, pakaian
khusus, bila perlu penutup kepala dan juga kaca mata
3. Cucilah segala perlengkapan yang digunakan setelah melakukan kontak dengan
penderita flu burung. Cucilah dengan menggunakan zat antiseptik dan sabun, serta
cucilah di bawah air yang mengalir
4. Untuk membawa penderita flu burung ke rumah sakit, pasanglah masker pada pasien
serta selimuti menggunakan selimut bersih dan pastikan para pengantar mengenakan
perlengkapan standar.

G. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari ini, diharapkan mahasiswa dapat memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan flu burung dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan, SK Menkes 1371/Menkes/ SK/IX/2005 tentang Pedoman


Penanggulangan Flu Burung (Avian Influenza) Pada Manusia.
World Health Organization (WHO), WHO Current Phase of Pandemic Alert,
http://www.who.gov diakses pada tanggal 6 Januari 2007

35
Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention,
CDC Recommends against the Use of Amantadine and Rimantadine for the Treatment or
Prophylaxis of Influenza in the United States during the 200506
World Health Organization (WHO), http://www.who.gov/guidelines for investigation of
human cases of avian influenza A (H5N1),diakses pada tanggal 20 Januari 2007.
Pusat Informasi Penyakit Infeksi Flu Burung (Standar Prosedur); Prosedur Tetap
Penanganan Penderita Flu Burung di RSPI Prof Sulianti Saroso, 2006
Surat Edaran Dirjen Pengendalian Penyakiit dan Penyehataan Lingkungan tentang Definisi
Kasus Flu Burung. Januari 2007
Pusat Penanggulangan Krisis, Departemen Kesehatan, 3 kasus baru pasien flu burung, 2
orang meninggal http://www.ppk.depkes.goi.id/ diakses tanggal 20 Februari 2007.
The Writing Commitee of the World Health Organization (WHO) Consultation on Human
Influenza A/H5. Avian Influenza A (H5N1) Infections in Humans. N Engl J Med 2005.

Lampiran

Step I:

Terminologi (Kata Sulit) :

gastrointestinal merupakan suatu saluran pencernaan yang panjangnya sekitar 9 meter

mulai dari mulut sampai anus meliputi, orofaring, esofagus, lambung, usus halus, dan

usus besar.
Sitoplasma adalah bagian sel yang terbungkus membran sel. Pada sel eukariota,

sitoplasma adalah bagian non-nukleus dari protoplasma. Pada sitoplasma terdapat


36
sitoskeleton, berbagaiorganel dan vesikuli, serta sitosol yang berupa cairan tempat

organel melayang-layang didalamnya. Sitosol mengisi ruang sel yang tidak ditempati

organel dan vesikula dan menjaditempat banyak reaksi biokimiawi serta perantara

transfer bahan dari luar sel ke organel atau intisel.


Hospes merupakan jasad yang mengandung hospes
Deskuamasi adalah pelepasan elemen epitel, terutama kulit, dalam bentuk sisik atau

lembaran halus
Dyspnea atau sesak nafas merupakan perasaan subjektif dimana seseorang merasa

kekurang udara untuk bernafas


Eksudasi adalah akumulasi cairan akibat proses inflamasi di dalam rongga serosa

ditandai perubahan permeabilitas membran pada permukaan pleura


fibroblas adalah sel yang mensintesis matriks ekstraseluler dan kolagen kerangka

struktural,untuk jaringan hewan dan memainkan peran penting dalam penyembuhan

luka.
membran hialin adalah suatu keadaan dimana kantung udara ( alveoli ) pada paru-

paru bayi tidak dapat terbuka karena tinggu nya teganggan permukaan akibat

kekurangan surfaktan.
mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan

guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara

memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian


Fibrosis adalah pembentukan struktur seperti skar yang halus yang menyebabkan

jaringan mengeras dan mengurangi aliran cairan melalui jaringan-jaringan.


Hipoksia Hipoksia adalah suatu keadaan di saat tubuh sangat kekurangan oksigen

sehingga sel gagal melakukan metabolisme secara efektif


Leukopenia juga dikenal dengan leukocytopenia adalah penurunan jumlah sela darah

putih ( leukosit ) ditemukan dalam darah, yang menempatkan individu pada

peningkatan resiko infeksi


Limfopenia adalah pengurungan, relatif atau absolut, jumlah limfosit dalam sirkulasi

darah

37
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditandai oleh adanya

penurunan jumlah trombosit dalam darah perifer.


Step II:
1. Apakah memakan daging ayam atau unggas dapat menularkan penyakit flu burung ?
2. Apa yang harus dilakukan untuk melindungi peternakan pada saat tidak terjadi wabah

penyakit ?
3. Berapa lama masa inkubasinya dan apabila mengenai manusia berapa lama masa

infeksiusnya?

Step III:
1. Tidak,asalkan makan daging dan telur telah dimasak dengan baik. Virus flu burung

tidak menular dari makanan. Daging unggas harus dimasak sampai dengan suhu

kurang lebih 80oC selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu kurang lebih

64o C selama 4,5 menit ( telur sampai matang ).


2. Yang harus dilakukan adalah:
Jagalah agar ternak unggas dalam kondisi baik
Jagalah ternak unggas agar selalu berada dalam lingkungan yang terlindung,

Periksalah barang-barang yang masuk ke peternakan


Persiapkan diri anda untuk menjaga peternakan bebas dari penyakit,
Jagalah agar ternak unggas dalam kondisi baik.
Jagalah ternak agar selalu berada di lingkungan yang terlindung.
Jagalah ternak agar selalu berada di lingkungan yang terlindung.
3. Lama masa inkubasi dan lama masa infekuensinya adalah
masa inkubasinya sangat singkat yaitu 1-10 hari,
meskipun belum terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia, masa

infeksiusnya ( masa dimana penderita avian influeza H5N1 diperkirankan

mampu menularkan virus ) adalah 1 hari sebelum tampak gejalanya dan 3-5

hari setelah tampak gejalanya dengan maksimum 7 hari.

38
MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN FLU BURUNG

Disusun Oleh: Kelompok

JENDRI DARMANTO

LINDA MAIRIYANI PURBA

WAHYU PUTRI HANDAYANI

LENNY DYANNA

Dosen Pembimbing: SITI RAHMALIA HD, MNS

PROGRAM B.2013
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2014

KATA PENGANTAR

39
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Siti Rahmalia MD, MNS selaku dosen

pembimbing yang telah membimbing dalam menyelesaikan makalah ini. Serta kepada pihak

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih ada kekurangan

baik dari isi materi maupun penyusunan kalimat. Namun demikian, perbaikan

merupakan hal yang berlanjut sehingga kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah

ini sangat penulis harapkan.

Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada pembaca dan teman-teman

sekalian yang telah membaca dan mempelajari makalah ini.

Pekanbaru, April 2014

Penulis

DAFTAR ISI

40
KATA PENGANTAR.................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I.............................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2

C. Tujuan ........................................................................................................................ 2

BAB II

TINJAUAN TEORITIS................................................................................................ 3

A. Definisi Flu Burung .................................................................................................. 3

B. Etiologi Flu Burung ................................................................................................... 3

C. Epidemiologi.............................................................................................................. 4

D.Manifestasi Klinis Flu Burung ................................................................................... 6

E. Patofisiologi dan Pencegahan..................................................................................... 7

D. Evaluasi Diagnostik................................................................................................... 13

E. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan....................................................................... 16

F. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan.................................................................. 20

H. Seven Jump................................................................................................................ 26

BAB III........................................................................................................................... 29

TINJAUAN KASUS...................................................................................................... 29

A. Uraian Kasus ............................................................................................................. 29

B. Pengkajian ................................................................................................................. 29

C. Analisa Data .............................................................................................................. 30

D. WOC Sesuai Kasus ................................................................................................... 32

E. Asuhan Keperawatan ................................................................................................. 33

G. Health Education (HE), leaflet .................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
41
42

Anda mungkin juga menyukai