MAKALAH
KELOMPOK 4 :
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, taufik
serta hidayahnya penulis dapat menyelesaikan analisa yang berjudul Nasi papah, antara budaya
dan kesehatan tepat pada waktunya.
Analisa ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Antropologi Kesehatan
semester II Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut berpartisipasi
serta mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1 Ibu Mury Ririanty, S.KM., M.Kes., selaku dosen matakuliah Antropologi Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember, yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikiranya demi memberikan masukan kepada kami.
2 Kakak-kakak senior serta rekan-rekan kami semua, khususnya dari Fakultas Kesehatan
Masyarakat yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini.
3 Bapak dan ibu dirumah yang senantiasa mendoakan kami disini
4 Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu
Penulis berharap semoga analisa ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga
analisa ini dapat menambah pengetahuan kita.
Dalam penulisan analisa ini penulis menyadari bahwa analisa ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dari
para pembaca sekalian.
Jember, 15 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan........................................................................................ 1
Bab II Pembahasan....................................................................................... 2
2.1 Nasi Papah dari Sisi Budaya............................................................ 2
2.2 Nasi Papah dari Pandangan Kesehatan.......................................... 8
2.3 Peranan Tokoh Agama .................................................................. 9
Bab III Kesimpulan....................................................................................... 11
Daftar Pustaka............................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang kaya dengan beragam suku dan budaya, yaitu sekitar 300
suku bangsa. Setiap suku memiliki keunikan masing-masing. Diantara suku suku diatas, disini
kita akan membahas tentang Suku Sasak yang hidup di Pulau Lombok yang tinggal di dusun
Sade, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Sekitar 80% penduduk pulau ini diduduki oleh Suku
Sasak dan selebihnya adalah suku lainnya, seperti Suku Mbojo (Bima), Dompu, Samawa
(Sumbawa), Jawa dan Hindu (Bali Lombok). Suku Sasak adalah suku terbesar di Propinsi yang
berada di antara Bali dan Nusa Tenggara Timur. Suku Sasak masih dekat dengan suku bangsa
Bali, tetapi suku ini sebagian besar memeluk agama Islam.
Umumnya, kepala keluarga suku ini bekerja sebagai petani, sedangkan kaum wanitanya
memiliki sambilan sebagai penenun kain. Hasil Tenunan dipajang di teras rumah atau di gazebo
yang ada di sekitar rumah. Para wisatawan bisa berkeliling menyusuri lorong kecil dari rumah ke
rumah untuk melihat hasil tenun sambil melihat rumah adat suku Sasak yang disebut bale tani.
Keunikan dari rumah adat suku Sasak adalah lantai yang dibuat dari campuran tanah liat, kotoran
kerbau, dan kulit padi. Menurut mereka, campuran tersebut lebih kokoh dibandingkan semen
biasa dan memiliki arti tersendiri. Tanah menggambarkan dari mana manusia berasal. Sedangkan
kotoran kerbau menggambarkan kehidupan mereka sebagai petani yang sangat memerlukan
kerbau untuk membajak sawah. Budaya lain yang masih ada hingga sekarang salah satunya yaitu
Nasi Papah. Nasi papah yaitu nasi yang dilumatkan dengan mulut yang kemudian diberikan
kepada bayi dan itu sudah berlangsung secara turun temurun. Menurut penduduk Pulau Lombok,
nasi papah mempunyai pengaruh besar pada perkembangan tubuh dan kecerdasan anak serta
percaya bahwa bayi juga memerlukan makanan pendamping selain ASI. Dari Pemaparan diatas,
nampak jelas terlihat banyak sekali hal yang perlu kita ketahui secara mendalam tentang Suku
Sasak, sehingga dapat memperluas khasanah keilmuan dan untuk lebih memahami bahwa
indonesia mempunyai berbagai suku dan adat istiadat masing-masing sehingga kita mempunyai
bekal untuk manentukan sikap dan jalan apa yang paling tepat untuk menyikapinya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa adat istiadat maupun tradisi Suku Sasak
yang berkaitan dengan aspek kesehatan, diantaranya yaitu pemberian Nasi Papah Pakpak,
Pembangunan Rumah Adat Suku Sasak dan tradisi Suku Sasak saat persalinan.
BAB II
PEMBAHASAN
Suku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, Nusa Tenggara Barat,
Indonesia. Sebagai penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana
terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab
tersebut, suku Sasak disebut Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi. Jika saat kitab tersebut dikarang
suku Sasak telah mempunyai sistem budaya yang mapan, maka kemampuannya untuk tetap eksis
sampai saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan melestarikan
tradisinya. Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan Sasak adalah bentuk bangunan rumah
adatnya.
Rumah mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai tempat
individu dan keluarganya berlindung secara jasmani dan memenuhi kebutuhan spiritualnya. Oleh
karena itulah, jika kita memperhatikan bangunan rumah adat secara seksama, maka kita akan
menemukan bahwa rumah adat dibangun berdasarkan nilai estetika dan local wisdom
masyarakatnya, seperti halnya rumah tradisional suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Orang Sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan
juga tempat penyelenggaraan ritual adat dan ritual keagamaan.
Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek).Lantainya
dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat
dan kotoran kerbau membuat lantaitanah mengeras, sekeras semen. Pengetahuan membuat lantai
dengan caratersebut diwarisi dari nenek moyang mereka.
Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat Sasak
didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu
tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat daribambu. Rumah adat suku Sasak hanya
memiliki satu pintu berukuransempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profanduniawi)
secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan
berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang
merupakan manifestasi darikeyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk), epen
bale(penunggu rumah), dan sebaginya.
Perubahan pengetahuanmasyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya
faktor-faktoreksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan
perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya
seperti arsitektur, tata ruang, danpolanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang
dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.
Untuk menjaga lestarinya rumah adat mereka dari gilasan arsitektur modern,para orang
tua biasanya mengatakan kepada anak-anaknya yang hendakmembangun rumah dengan
ungkapan: Kalau mau tetap tinggal di sini,buatlah rumah seperti model dan bahan bangunan
yang sudah ada. Kalau ingin membangun rumah permanen seperti rumah-rumah di kampung-
kampunglain pada umumnya, silakan keluar dari kampung ini. Demikianlah cara orang Sasak
menjaga eksistensi rumah adat mereka, yaitu dengan cara melembagakan dan mentransmisikan
pengetahuan dan nilai-nilai yangterkandung di dalamnya.
Rumah-rumah tersebut dibangun dengan bahan-bahan alami, pilarnya dari bambu atau
kayu yang ditutup dengan dinding anyaman bambu, atapnya dari rumbia, dan lantainya
dari tanah yang dipadatkan dengan campuran getah pohon, abu jerami dan kotoran kerbau.
Penggunaan kotoran kerbau, sekilas mungkin terkesan jorok, akan tetapi faktanya justru
membuat lantai rumah-rumah suku Sasak lebih keras dan membuat udara dalam ruangan
menjadi lebih hangat kala musim hujan. campuran kotoran sapi atau kerbau tersebut juga
diyakini dapat menjaga lantai agar tidak mudah lembab dan retak.
Menjelang masa-masa kelahiran, bagi seorang ibu yang hamil pertama kali, orang Sasak
menggelar upacara adat baretes. Dalam upacara ini dilaksanakan selamatan kecil dengan
mengundang tetangga dekat. Di sela-sela selamatan dibacakan lontar yang berisi kisah tentang
seorang perempuan yang bernama Juarsah di hadapan perempuan yang hamil, sambil dililitkan
sebuah benang ke perutnya. Saat cerita sampai kepada bagian kelahiran Juarsah, benang tersebut
diputus lalu perempuan yang sedang hamil tersebut dimandikan di halaman rumahnya.
Kelahiran seorang bayi dalam konsep orang Sasak tidak hanya berhubungan dengan
kesehatan sang ibu, makanan sang ibu di mana itu berhubungan dengan asupan gizi, kasih
sayang dari suami, dan doa kedua orangtuanya. Akan tetapi, lebih dari itu semua, kelahiran juga
sangat berkaitan dengan perilaku sang ibu saat hamil.
Misalnya, jika seorang perempuan Sasak hendak melahirkan, maka sang suami akan
sibuk mencari belian bayi (dukun bayi) yang dianggap mengetahui seluk beluk perempuan yang
akan melahirkan. Apabila perempuan tersebut mengalami kesukaran dalam proses kelahiran
bayinya, maka menurut belian hal itu disebabkan oleh perilaku kasar perempuan tersebut
terhadap orangtuanya (ibunya) atau kepada suaminya. Dalam kondisi seperti ini, biasanya belian
menyarankan agar perempuan tersebut meminum air bekas cuci tangan orangtuanya (ibunya) dan
suaminya. Bahkan, di beberapa desa di Lombok, perempuan tersebut disuruh meminum air bekas
mencuci kemaluan suaminya. Selain cara itu, belian menasehatkan agar perempuan yang akan
melahirkan tersebut diinjak ubun-ubunnya oleh suaminya. Cara-cara ini dilakukan untuk
mempercepat kelahiran jabang bayi. Ketika jabang bayi telah lahir, maka orang Sasak
menganggap bayi tersebut lahir tidak sendirian, akan tetapi berdua, mereka menyebutnya dengan
adi dan kaka. Adi adalah bayinya sendiri sedangkan kaka adalah ari-ari yang masih menempel
di pusar jabang bayi. Oleh karena itu, saat kelahiran, ari-ari dirawat dan dihormati seperti halnya
jabang bayi. Ari-ari dicuci sampai bersih seakan memandikan orang yang sudah mati, kemudian
dimasukkan ke dalam periuk atau tempurung kelapa setengah tua, lalu dikubur di halaman
rumah. Sebagai tanda dibuatlah gundukan tanah pada kuburan tersebut dan diletakkan lekesan
(sepah sirih) di dekat gundukan tersebut. Lekesan dianggap sebagai simbol doa agar jabang bayi
kelak berumur panjang.
Berbeda dengan kebiasaan di atas, di beberapa desa di Lombok, ari-ari tidak dikubur
dalam tanah, akan tetapi diletakkan di atas tiang bambu yang ada di pekarangan rumah atau
kebun. Ari-ari sebelumnya di masukkan ke dalam tempurung kelapa lalu direkatkan kembali
dengan adonan tanah liat dan dibungkus dengan kain putih.
Setelah lahir, bayi tersebut harus terus dijaga, diperingati dan dihormati hingga bayi
kurang lebih berumur setahun, dengan menyelenggarakan upacara adat atau selamatan.
Tujuannya agar bayi tetap dalam keadaan sehat dan selamat dari gangguan dari roh-roh jahat.
Pada saat jabang bayi berusia tujuh hari, orang Sasak menggelar upacara adat molang
mali, yaitu mengoleskan tepah sirih ke dada dan dahi sang ibu dan bayinya, yang dilakukan oleh
belian bayi. Orang Sasak juga meyakini bahwa ketika bayi berusia tujuh hari, maka pusarnya
telah gugur. Usia tersebut juga dianggap sebagai usia yang tepat untuk memberi nama pada
jabang bayi. Pusar bayi yang gugur biasanya akan dibungkus dengan kain putih lalu disimpan di
dalam rumah.
Pada beberapa desa di Lombok, saat perayaan upacara molang mali, biasanya juga
dianggap sebagai waktu yang tepat untuk pertama kali jabang bayi boleh keluar dari rumah dan
menjejakkan kakinya di tanah. Jika jabang bayi tersebut berjenis kelamin perempuan, maka
kakinya akan dijejakkan di tempat menenun. Adapun jika bayinya laki-laki maka kakinya akan
dijejakkan di tempat yang ada alat pertaniannya. Penjejakkan kaki dilakukan sebanyak tujuh kali.
Bayi yang lahir juga dipahami orang Sasak sebagai amanat Tuhan agar bayi tersebut dibersihkan
dan dididik sesuai dengan ajaran agama dan perintah Tuhan. Oleh karena itu, sebagai simbol
pembersihan, orang Sasak menggelar upacara ngurisang (potong rambut). Rambut bayi yang
dibawa sejak lahir dianggap orang Sasak sebagai bulu panas yang akan berpengaruh buruk pada
sifat bayi, untuk itu harus dihilangkan.
Upacara adat ngurisang biasanya dilakukan dengan mengundang tetangga, handai tolan,
dan orang-orang yang pandai mengaji untuk mengadakan selamatan dengan membaca serakalan
atau barzanji (syair-syair yang mengagungkan Nabi Muhammad SAW). Saat serakalan atau
barzanji dilantunkan, bayi digendong oleh bapaknya kemudian diajak berkeliling menghadap
para hadirin dan secara simbolik seluruh hadirin satu per satu memotong sedikit rambut bayi
tersebut.
Pengaruh Sosial
Pengetahuan orang Sasak tentang kelahiran bayi ini memiliki pengaruh terhadap kehidupan
sosial mereka, antara lain:
Solidaritas sosial. Upacara adat yang diselenggarakan mengiringi kelahiran bayi orang
Sasak dihadiri para tetangga dan handai tolan. Selain bertujuan untuk menyaksikan peristiwa
penting tersebut, secara sosial upacara tersebut berpengaruh terhadap menguatnya solidaritas
sosial orang Sasak, baik sebagai keluarga maupun masyarakat. Dalam konteks ini, maka
penyelenggaraan upacara adat patut untuk diapresiasi sebagai kebudayaan yang tidak selamanya
menyimpang dari ajaran agama.
Status sosial. Berbagai upacara adat yang melibatkan banyak orang, secara sosial
berpengaruh terhadap status sosial orangtua bayi. Sebagai orangtua yang dapat
menyelenggarakan upacara bagi anaknya, maka status sosialnya akan berbeda dengan orangtua
yang tidak dapat menyelenggarakannya, apalagi upacara tersebut diselenggarakan dengan
mewah. Dalam sistem sosial orang Sasak, biasanya orangtua yang demikian akan dipandang
sebagai orang yang kaya dan taat kepada ajaran adat atau agama. Efeknya mereka akan
diperlakukan berbeda dalam aktifitas-aktifitas sosial, misalnya akan dijadikan panitia dalam
perhelatan upacara adat atau agama.
Menghargai dan menghormati manusia. Pengetahuan tentang kelahiran ini secara sosial
juga tampak jelas sekali mengajarkan masyarakat Sasak untuk menghargai manusia. Hal ini
tampak dari upacara adat dan hal-hal yang harus dilakukan ketika bayi tersebut lahir. Kelahiran
adalah awal kehidupan manusia, untuk itu harus dihormati dan dihargai. Menghormati dan
menghargai manusia secara tidak langsung juga menghormati kehidupan itu sendiri.
Menghargai dan menghormati perempuan. Secara sosial pengetahuan ini juga
mengajarkan masyarakat untuk menghargai dan menghormati kaum perempuan. Perempuan
dengan kodratnya melahirkan, telah sabar dan kuat mengandung bayi hingga melahirkannya.
Proses kelahiran yang menegangkan membutuhkan keberanian seorang perempuan, untuk itu
sosoknya harus dihargai dan dihormati dengan kasih sayang dan penjagaan dari seorang suami.
Angka kematian bayi di NTB tinggi salah satunya yaitu karena budaya mereka dalam
konsep kelahiran dimana sang suami harus mencari belian (dukun beranak) ketika menjelang
kelahiran anaknya untuk membantu istrinya dalam proses melahirkan. Seperti yang kita ketahui
bahwa dukun beranak tidak memiliki pengetahuan medis yang ilmiah, sehingga dalam
menangani proses kelahiran mereka menggunakan metode-metode yang sering tidak masuk akal
bahkan berbahaya. Beberapa contoh yang telah disebutkan tersebut jelas dapat berdampak
negatif terhadap ibu dan janin dalam kandungannya.
Dengan adanya beberapa budaya yang dilakukan suku Sasak tersebut jelas terpapar
bahwa besar sekali kemungkinan bayi untuk mati dalam janin ibunya, karena masuknya bakteri-
bakteri kedalam janin yang dapat mengganggu kondisi bayi dengan melakukan hal-hal yang
tidak dibutuhkan dalam prosesi kelahiran seperti meminum air bekas cucian tangan orang tua
ataupun air bekas cucian kemaluan suaminya. Atau dengan salah satu cara mereka yaitu sang
suami dianjurkan untuk menginjak ubun-ubun istrinya. Dalam pernyataan ini belum didapatkan
referensi yang tepat apakah hanya sekedar menyentuh atau benar-benar menginjak. Dengan
perlakuan itu juga sudah sangat jelas akan menimbulkan dampak berbahaya bagi sang ibu dan
janinnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi kenaikan AKB (Kenaikan angka kematian bayi).
Salah satunya faktor kebudayaan, dimana faktor kebudayaan ini sangat berpengaruh terhadap
perubahan perilaku seseorang. Pernyataan diatas mengenai angka kematian bayi di NTB
merupakan faktor kebudayaan dalam unsur kepercayaan, namun banyak lagi faktor kebudayaan
selain unsur kepercayaan, diantaranya :
1. Ekonomi : Penduduk Indonesia juga dililit oleh permasalahan yang berkaitan dengan
kemiskinan dan masalah-masalah sosial yang lain. Jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan
yang tinggi, dan persebaran yang timpang dan tingginya angka kemiskinan yang semua ini
merupakan beban pembangunan. Seperti halnya wilayah NTB yang masih memiliki ekonomi
rendah.
2. Ilmu Pengetahuan : Tingginya AKB erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai kesehatan reproduksi dan pemeriksaan selama kehamilan. Hal ini tercermin dari masih
rendahnya pertolongan persalinan yang dibantu tenaga kesehatan (46%). Meskipun pelayanan
bidan sudah mencakup seluruh desa, persalinan yang ditolong oleh bidan masih rendah. Di
wilayah NTB dengan kondisi ekonomi rendah maka ilmu pengetahuanpun akan kurang dalam
masyarakat.
3. Teknologi : Unsur teknologi erat kaitannya dengan unsur ekonomi dan ilmu pengetahuan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa semakin rendah tingkat ekonomi maka
mempengaruhi dimana tempat ibu bersalin. Seperti di wilayah NTB yang sangat kurang
dijangkau pemerintah maka masyarakat pun masih memilih untuk pergi bersalin dengan dukun
beranak akibat kurangnya teknologi, jikalau ada butuh biaya yang mahal.
4. Organisasi sosial : Kedudukan organisasi social seperti LSM dan lembaga social lainnya
sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai informasi penting
yang berkaitan dengan gizi ibu hamil maupun asupan gizi yang seimbang bagi bayi maupun
balita. Salah satu program Depkes, seperti desa siaga harus melibatkan lembaga ketahanan
masyarakat desa (LKMD).
5. Bahasa : Dalam unsur bahasa erat kaitannya dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud
disini kaitannya dengan kasus AKB yakni komunikasi antara pemerintah dengan lembaga-
lembaga sosial, maupun dengan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Suku Sasak adalah sukubangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa
Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku
Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya.
Dari berbagai macam budaya atau tradisi yang dimiliki oleh Suku Sasak beberapa
berkaitan dengan aspek kesehatan, diantaranya pembangunan rumah yang lantainya terbuat dari
campuran kotoran kerbau, pemberian nasi papah untuk bayi yang semestinya masih diberikan
ASI eksklusif dan konsep melahirkan suku sasak yang terbilang berbahaya karena jika
perempuan yang hendak melahirkan mengalami kesulitan maka sang Belian (dukun)
menganjurkan perempuan tersebut meminum air bekas cucian tangan ibu atau suaminya, bahkan
juga air bekas cucian kemaluan suaminya. Beberapa kebudayaan tersebut apabila terus
dilestarikan maka akan menimbulkan berbagai dampak negative dan berbahaya bagi
kelangsungan kondisi kesehatan suku tersebut.
Daftar Pustaka
http://www.ask.com/web?qsrc=2417&o=15185&l=dis&q=nasi+papah.budaya+lombok
(19.05 20-05-2013)
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak (21.54 23-05-2013)
Foster. G. M, Andersen B.G. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak ( 18.44 24-05-2013)
http://www.indonesia.travel/id/destination/478/lombok/article/112/desa-sade-sasak-lombok-dan-
tata-cara-hidup-mereka-yang-patut-anda-simak (14.09 23-05-2013)