Anda di halaman 1dari 3

Perekonomian Aceh 2017

Oleh Said Achmad Kabiru Rafiie

MENARIK membaca dan menganalisis berbagai indikator ekonomi Aceh yang cenderung
negatif sebut saja penganguran Aceh berkisar pada angka 8% lebih dari angkatan kerja atau di
atas rata-rata Nasional pada kisaran 5%, angka kemiskinan di provinsi Aceh juga sangat kronis
mencapai angka 18% dari jumlah penduduk, angka ini juga di atas rata-rata tingkat kemiskinan
Nasional berkisar pada 10%.

Laju pertumbuhan ekonomi PDRB atas dasar harga konstan jauh lebih rendah dari perumbuhan
ekonomi secara nasional 1,65%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi secara Nasional pada kisaran
5-6%, indikator lainnya adalah tingkat pendapatan perkapita masyarakat Aceh berkisar Rp 26
juta/kapita yang berada dibawah rata-rata nasional Rp 42 juta per kapita. Hal ini mencerminkan
rendahnya daya beli masyarakat sehingga tidak salahnya apabila posisi perekonomian Aceh
berada dalam posisi mati suri.

Kondisi perekonomian yang sedang matisuri ini menjadi tantangan bagi para pemimpin di
Aceh untuk melaksanakan terobosan sebagai terapi kejut untuk menguatnya kembali urat nadi
perekonomian Aceh, sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru, pengurangan angka
kemiskinan, serta peningkatan tingkat pendapatan masyarakat.

Jika tidak ada halang merintang pada 15 Februari 2017, Aceh akan melaksanakan pemilihan
kepala daerah (pilkada) secara langsung untuk memilih gubernur dan bupati/wali kota secara
serentak. Tulisan ini tidak membahas secara spesifik mengenai Pilkada 2017 yang akan diikuti
oleh enam pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, serta puluhan kontentasi calon
bupati/wakil bupati dan calon wali kota/wali kota, namun dinamika perekonomian Aceh secara
global 2017 yang merupakan tahun politik.

Faktor kelemahan
Kelemahan perekonomian Aceh dapat dipetakan pada tiga kelemahan utama yaitu:

Pertama, tidak memiliki industri hilir yang mengolah bahan-baku menjadi bahan setengah jadi
dan bahan jadi. Aceh memiliki sumber daya alam mineral minyak bumi, gas, batubara, batu
mulia, emas, dan kekayaan dibidang perkebunan kelapa sawit, karet, pinang, kelapa, nilam, serta
hasil laut dan budidaya ikan air tawar. Namun sayangnya, tidak dibarengi dengan pembangunan
kawasan industri seperti kawasan industri Belawan, Sumatra Utara.

Hal ini mengakibatkan tidak ada nilai tambah produk yang dihasilkan di Aceh. Bahkan
sebaliknya nilai tambah produk dinikmati oleh provinsi lain seperti Sumatra Utara. Hal inilah
yang mengakibatkan rendahnya penyerapan tenaga kerja di provinsi Aceh dan tinggi
ketergantungan Aceh dengan provinsi Sumatra Utara.
Kedua, kurangnya sinkronisasi dalam pembangunan antara provinsi dan kabupaten serta antara
kabupaten dengan kabupaten lainnya. Hal ini terlihat dari pembangunan infrastruktur di Aceh
yang belum terkoordinir antarprovinsi dan kabupaten. Dana alokasi khusus dari pemerintah pusat
yang mencapai Rp 6-7 triliun setiap tahunnya, tidak fokus pada penguatan satu per satu
infrastruktur di Aceh, misalnya pembangunan pelabuhan yang merata di tiap-tiap kabupaten yang
semestinya digunakan untuk membangun pelabuhan peti kemas terbesar di Sumatera dengan
dana patungan.

Pembangunan pabrik pengolahan minyak goreng milik pemerintah daerah, pembagunan pabrik
ikan milik daerah, pembangunan pabrik pengolahan kopi, serta pabrik karet milik pemerintah
sehingga akan menciptakan banyak lapangan kerja. Kalau satu pabrik menciptakan 5 ribu
lapangan kerja maka dengan lima pabrik baru di aceh selama 5 tahun ke depan aka nada 25 ribu
lapangan kerja baru di Aceh.

Ketiga, rendahnya investasi karena citra sebagai daerah bekas konflik dan daerah rawan bencana
belum mampu dipulihkan. Investor merupakan orang yang rasional dalam melaksanakan
investasinya. Dengan masa lalu Aceh sebagai daerah konflik dan bencana, akan membuat para
investor berpikir seribu satu kali untuk menanamkan uangnya di Aceh. Hal ini perlu kerja sama
semua pihak untuk menyakinkan pihak investor tentang keamanan Aceh. Selain kelemahan
tersebut, Aceh merupakan provinsi yang kaya akan sumber daya alam, serta memiliki letak
geografis di gerbang Selat Malaka yang merupakan lalu lintas perdagangan tersibuk di dunia.
Kekuatan inilah yang harus dimaksimalkan dengan baik.

Politik merupakan hal yang dinamis di Aceh dan mungkin sedikit komplek, di mana dengan
kekhususannya Aceh memiliki sistem politik partai politik lokal. Kestabilan politik di Aceh
merupakan tantangan bagi perekonomian rakyat Aceh 2017. Pilkada damai akan menjadikan
Aceh yang makmur dan sejahtera, sebaliknya pilkada yang rusuh akan menjadikan Aceh mati
suri.

Selain itu tantangan sosial kemasyarakatan, terutama tingginya angka kemiskinan dan
pengangguran yang dapat menimbulkan konflik sosial dan gap sosial. Kembali ke isu masalah
perut yang belum kenyang yang mengancam perdamaian.

Tantangan lainnya yang akan mengakibatkan mati surinya perekonomian Aceh adalah
melemahnya perekonomian Indonesia akibat dari melesunya perekonomian global. Bank Dunia
melaporkan pertumbuhan ekonomi Cina yang stagnan 6,7% yang berakibat pada nilai ekpor
komoditi Indonesia dan juga tentunya provinsi Aceh.

Mencegah matisuri
Untuk mencegah perekonomian yang loyo di tahun politik 2017, ada beberapa langkah yang
disarankan kepada pemerintah yaitu:

Pertama, penguatan sektor pertanian dan perkebunan karena sebagian masyarakat Aceh
bermatapencarian sebagai petani. Karena itu, pemerintah daerah perlu memprioritaskan sektor
pertanian dan perkebunan dengan menghidupkan kembali koperasi unit desa (KUD) yang
dikelola secara profesional bekerja sama dengan pihak swasta.

Artinya, KUD menjadi bank-bank desa yang memiliki staf yang membantu petani mengurus
kredit, memasarkan, menyimpan, dan mengelola usaha pertanian dan perkebunannya. KUD
memiliki sistem kerja seperti unit bank yang tenaga kerja berasal dari kalangan profesional yang
dikontrak oleh pemerintah daerah.

Kedua, penguatan sektor industri, dengan dana otonomi khusus (otsus) digunakan untuk
membangun pabrik milik pemerintah seperti pabrik CPO, pabrik minyak goreng seperti halnya
Bank Aceh maka perusahaan ini akan menyerap tenaga kerja dan menciptakan keuntungan bagi
daerah. Contohnya pabrik CPO di dua lokasi Aceh Tamiang dan Nagan Raya, pabrik minyak
goreng di Aceh Utara, pabrik Ikan di Aceh Selatan, pelabuhan peti kemas di Aceh Besar.

Ketiga, sektor pariwisata dengan menjadikan Aceh sebagai pusat peradaban Islam Nusantara
sebagai daerah pertama masuknya Islam ke Indonesia dan juga ASEAN. Pemerintah daerah perlu
mempromosikan kelebihan Aceh dibandingkan dengan provinsi lainnya dari sektor pariwisata
religi dan kuliner halal. Dengan terbukanya masyarakat ASEAN makan ada 550 juta penduduk
ASEAN yang bebas berkunjung ke Aceh.

Dengan tiga terobosan ini akan mencegah perekonomian Aceh dari matisuri dan memacu urat
nadi perekonomian rakyat Aceh 2017. Selamat memasuki tahun baru semoga masyarakat Aceh
dapat tidur dengan perut kenyang dalam bumi Sultan Iskandar Muda yang bernafaskan pada
khasanah Islam, Serambi Mekkah. Damai dan sejahteralah Aceh lon sayang.

* Said Achmad Kabiru Rafiie, SE, MBA., dosen program studi Ilmu Manajemen Universitas
Teuku Umar (UTU) Meulaboh. Email: ayed_ips2@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai