Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan ilmu Anti-Aging Medicine telah membawa harapan baru

untuk memperpanjang umur manusia dengan memperlambat proses penuaan dan

menjaga fungsi tubuh tetap optimal. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh para

dokter klinisi maupun peneliti untuk mengidentifikasi dan mencegah penyebab-

penyebab penuaan. Diharapkan proses penuaan dapat dicegah, diperlambat atau

bahkan dihentikan sama sekali dengan upaya-upaya mencegah faktor penyebab

terjadinya penuaan tersebut, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup

manusia.

Salah satu cara untuk mencegah penuaan ialah dengan menjalankan pola

hidup sehat, tetapi fakta di masyarakat menunjukkan bahwa 64% penyebab

kematian disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat (Sharkey, 2011). Perilaku

merokok merupakan salah satu pola hidup yang tidak sehat yang hingga saat ini

masih merupakan perilaku yang umum dapat diamati baik pada orang dewasa

maupun remaja. Bahkan belakangan ini merokok sudah menjangkau anak-anak

yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada tahun 2007, prevalensi

merokok usia 15 tahun ke atas adalah sebesar 34,2% yakni lebih dari 50 juta

orang dewasa, meningkat dari 31,5 % pada tahun 2001. Pada tahun 2002,

masyarakat Indonesia mengkonsumsi 182 milyar batang rokok, menduduki

peringkat ke 5 konsumsi rokok terbesar di dunia. Selain itu, berdasarkan jumlah

1
2

perokok, Indonesia adalah negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia

setelah China dan India (WHO, 2008).


Asap rokok mengandung berbagai jenis bahan kimia, sebagian besar

diantaranya bersifat toksik seperti nikotin, karbonmonoksida dan tar (Martin,

2008). Asap rokok ini mengandung lebih dari 1017 radikal bebas per gram dan

lebih dari 1015 radikal bebas di setiap hisapannya (Valavanidis dkk., 2009).

Radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok antara lain aldehida, epoxida,

peroxida, radikal peroksil, dan radikal lain dengan kandungan karbon dalam fase

gas (Arief, 2007). Selain itu rokok juga mengandung bahan-bahan yang bersifat

karsinogen dan mutagen seperti polonium, benzo--pyrene, dan dimethyl

benzo()anthracene. Senyawa toksik dalam rokok juga akan berinterkasi dengan

oksigen membentuk gas-gas beracun seperti NOx, CO dan SOx (Bindar, 2000).

Teori radikal bebas mengenai proses penuaan menjelaskan bahwa radikal

bebas merusak sel-sel tubuh manusia (Goldman dan Klatz, 2007). Radikal bebas

adalah senyawa atau atom yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbit

luarnya sehingga bersifat amat reaktif terhadap sel atau komponen sel sekitarnya.

Pembentukan radikal bebas berlangsung terus menerus di dalam sel sebagai

konsekuensi dari reaksi enzimatik dan non enzimatik (Droge, 2002). Selain itu

radikal bebas dapat pula berasal dari luar tubuh seperti sinar UVB, asap kendaraan

dan asap rokok. Bila produk radikal bebas melebihi kemampuan adaptasi dari

enzim antioksidan, maka terjadi suatu keadaan yang dikenal dengan stres oksidatif

(oxidative stress).
Dengan menghirup asap rokok yang merupakan sumber radikal bebas,

akan terjadi kerusakan oksidatif yang berujung pada kerusakan berbagai


3

makromolekul dalam sel yang berperan dalam pathogenesis penyakit degeneratif

(Winarsi, 2007). Reaksi peroksidasi lipid yang dipicu oleh radikal bebas dapat

menyebabkan kerusakan membran sel yang mengakibatkan munculnya berbagai

kondisi patologis (Woolf dkk., 2005). Akibat akhir dari reaksi peroksidasi lipid

tersebut yaitu terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang

bersifat toksik terhadap sel, antara lain berbagai aldehida seperti malondialdehid

dan bermacam-macam hidrokarbon (Ayala dkk., 2014).

Salah satu radikal bebas dalam asap rokok adalah Reactive Oxygen

Species (ROS). ROS merupakan salah satu radikal bebas yang paling umum

ditemukan dalam tubuh manusia. ROS sebagian berbentuk radikal seperti radikal

hidroksil ( OH), radikal peroksil ( OOH) dan ion superoksida (O2-). Di antara

senyawa radikal yang paling reaktif adalah senyawa hidroksil, sehingga paling

berbahaya. Tingginya ROS intraseluler dapat mengakibatkan kerusakan fungsi

selular melalui terjadinya mutasi DNA, cleavage of DNA dan agregasi

biomolekul melalui cross-linking reaction.


Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan

lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga target tersebut,

yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh

(Lobo dkk., 2010). Sebuah radikal bebas mengambil elektron dari membran lipid

sel, memulai serangan radikal bebas pada sel yang dikenal sebagai peroksidasi

lipid. Peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai yang diinisiasi oleh serangan

radikal bebas pada fosfolipid dan polyunsaturated fatty acid. Serangan ini dimulai

dari membran sel yang menghasilkan aldehid, keton dan hasil polimerasi yang

bereaksi dan merusak biomolekul, enzim dan asam nukleat yang dapat
4

menyebabkan penuaan (aging). Salah satu konversi oksidatif dari

polyunsaturated fatty acid adalah malondialdehid (MDA) atau lipid peroksida

(Gawel dkk., 2004). MDA juga ditemukan pada manusia sehat, yang

mengindikasikan bahwa radikal bebas juga diproduksi dalam metabolisme tubuh

normal (Pasupathi, 2009).


Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa perokok kronis memiliki

peningkatan risiko untuk penyakit arteri serebral dan koroner. Hal ini karena pada

perokok kronis terjadi stress oksidatif yang diakibatkan oleh superoksida dan

sejumlah besar spesies oksigen reaktif lainnya (ROS) yang berujung pada

akumulasi kerusakan oksidatif pada berbagai macam sel dalam tubuh salah

satunya adalah sel endotel (Tsuchiya dkk., 2002). Telah banyak diketahui

hubungan antara merokok dan penyakit pembuluh darah, dan telah diketahui

secara umum pula bahwa rokok akan merusak sel-sel endotel vaskular. Integritas

endotel sangat penting untuk fungsi homeostatis pembuluh darah dan untuk

menjaga keadaan nontrombotik dan nonatherogenic (Guo dkk., 2006).


Sel endotel arteri pada tikus yang terpapar asap rokok mensekresi lebih

banyak plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) yang mempermudah

munculnya trombosis. Disamping itu, pada arteri hewan yang terpapar asap rokok

ini terjadi peningkatan dari endotelin dan vasoconstructing growth factors yang

diproduksi oleh sel endotel, antara lain Angiotensin II. Sebaliknya faktor

vasodilatasi, seperti NO, prostacyclin dan endothelium hyperpolarising factor

menurun. Perubahan yang terjadi di pembuluh darah karena penuaan ini

memberikan suasana aktif baik secara enzimatis maupun metabolik terhadap

terjadinya penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis (Najjar dkk., 2005)


5

Nitric Oxide (NO), sebuah molekul kecil reaktif, merupakan bioregulator

penting dalam tubuh mamalia. NO telah dikenal sebagai biomessenger yang ada

di berbagai macam jenis organisme. NO diketahui merupakan regulator utama

otot polos. NO adalah salah satu faktor relaksasi tergantung endotel yang berperan

dalam relaksasi sel otot polos pembuluh darah. Penurunan bioavailabilitas NO

diakibatkan oleh disfungsi endotel pada pembuluh darah (Tousoulis dkk., 2012).

NO ternyata memiliki berbagai peran fisiologis yang melibatkan hampir semua

jaringan tubuh. Sebagai ringkasan, penelitian beberapa dekade terakhir telah

menunjukkan bahwa NO memiliki peran yang penting dalam proses fisiologis dan

patologis (Bescs dkk., 2012).

Pada manusia, NO digunakan untuk beberapa fungsi sinyal interseluler dan

intraseluler, seperti transmisi sinyal neuron, sitotoksik terhadap patogen dan

tumor, koordinasi irama jantung, dan pengaturan aktivitas respirasi seluler (Grove

dan Wang, 2000). NO dalam hubungannya dengan pembuluh darah dapat

menyebabkan relaksasi otot polos, sehingga berfungsi sebagai regulator aliran dan

tekanan darah dan mencegah agregasi dan adhesi platelet. NO juga membantu

transpor oksigen dengan melebarkan dinding pembuluh darah sehingga

mempermudah perpindahan gas ke jaringan dan sebaliknya (Idhayu, 2006)

Sel-sel endotel merupakan sel yang secara konstitutif mensintesis nitrit

oxide (NO) dari L-arginin oleh enzim endogen, NO synthase, untuk meregulasi

pembuluh darah, aliran darah lokal, dan perfusi jaringan. Konsentrasi NO yang

rendah dalam plasma merupakan gejala terjadinya disfungsi endotel dan sangat

terkait dengan kebiasaan merokok jangka panjang (Tsuchiya dkk., 2002). Kondisi
6

ini bisa mempercepat insufisiensi arteri koroner dan vasokonstriksi di banyak

jaringan yang berbeda.


NO merupakan vasodilator kuat yang menghambat perputaran matriks

ekstraselular dan dengan demikian dapat memodifikasi sifat mekanik dinding

arteri (Van Hove dkk., 2009). Penelitian melaporkan bahwa sekresi NO pada vena

saphena pada manusia yang tidak merokok secara signifikan lebih tinggi daripada

yang dari vena perokok berat (Rahman dan Laher, 2007). Dengan menggunakan

antagonis NO, NG-monomethyl-l-arginin, beberapa peneliti telah menemukan

penurunan kemampuan vasodilatasi pembuluh darah pada perokok (Vleeming

dkk., 2002). Dalam penelitian lain, pengukuran nitrit dari arteri femoral dan

karotis setelah paparan asap rokok jangka pendek dan jangka panjang

memberikan bukti bahwa rokok mengurangi bioavaibility NO. Selanjutnya, kadar

NO kembali normal setelah 3 minggu pasca penghentian paparan asap rokok (Guo

dkk., 2006).

Gangguan sekresi NO diduga terkait dengan berkurangnya sintesis atau

aktivitas endothelial NO synthase (eNOS) (Burnett, 2004). Belakangan diketahui,

baik peningkatan dan penurunan ekspresi mRNA eNOS telah dilaporkan

berhubungan dengan paparan asap rokok dalam berbagai model eksperimental.

Asap rokok telah terbukti menghambat kerja eNOS pada arteri pulmonalis

(Wagner dkk., 2007) dan pada penelitian lain menekan eNOS sebesar 52% pada

kultur sel endotel (Wang dkk., 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain

yang menyebutkan bahwa penghentian paparan asap rokok akan mengembalikan

ekspresi eNOS menjadi normal setelah 16 minggu (Guo dkk., 2006). Telah

dilaporkan bahwa asap rokok mengandung banyak sekali radikal bebas seperti
7

nitrogen oksida, hidrogen peroksida, hidrogen sianida, dan akrolein yang secara

langsung mempengaruhi ekspresi eNOS (Bindar, 2000; Guo dkk., 2006; Arief,

2007).

Nitric oxide dibentuk dari oksidasi L-Arginin bersama kofaktor NADPH

dan oksigen dengan katalisis enzim NOS. Konsentrasi fisiologis L-Arginine pada

orang sehat yang cukup untuk membentuk endotel NOS, yaitu sekitar 3 mol/L.

Oleh karena itu, L-Arginin disebut sebagai asam amino semi esensial karena tubuh

bisa memproduksi asam amino ini dalam jumlah yang mencukupi (Appleton,

2002). Beberapa penelitian menjelaskan efek biologis terkait suplementasi L-

Arginine terhadap peningkatan kadar NO (Bode-Bger dkk., 2007)

Proses penuaan dapat disebabkan oleh Pola hidup yang tidak sehat salah

satunya merokok, asap rokok dan berbagai zat kimia radikal bebas yang

terkandung dalam rokok masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan stress

oksidatif sehingga dapat menyebabkan berbagai kerusakan sel terutama dalam

penuruna jumlah endotel pembuluh darah, penurunan kadar nitric oxide dan

menyebabkan penyakit degeneratif lain yang dapat mempercepat proses penuaan.

Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi L-Arginine dapat membantu

mengobati orang dengan faktor risiko aterosklerosis, seperti hiperkolesterolemia,

hipertensi, kondisi penuaan yang semuanya berkaitan dengan penurunan

biosintesis NO (Loscalzo, 2003; Gokce, 2004; Stapleton dkk., 2010). Namun,

meskipun teori mengenai suplementasi L-Arginine yang dapat meningkatkan

vasodilatasi pembuluh darah akibat peningkatan produksi NO telah diterima

secara luas, mekanisme yang mendasari peningkatan produksi NO ini belum


8

banyak diketahui (Alvares dkk., 2011). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh

(Alvares dkk. 2012) membuktikan bahwa suplementasi L-Arginine akut tidak

meningkatkan kadar NO pada orang sehat. Berdasarkan latar belakang di atas,

dilakukan penelitian untuk melihat dampak pemberian L-Arginine oral terhadap

kadar NO serum dan jumlah endotel pada tikus yang diberi paparan asap rokok.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah sebagi berikut.

1. Apakah pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan kadar

Nitric Oxide (NO) pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar

yang dipapar asap rokok?

2. Apakah pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan jumlah

endotel aorta pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang

dipapar asap rokok.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk membuktikan efek proteksi dari L-Arginine terhadap stress oksidatif

yang diinduksi paparan asap rokok dimana hal tersebut dapat menimbulkan

kerusakan endotel pembuluh darah dan menurunkan kadar NO.

1.3.2 Tujuan Khusus


9

1 Untuk membuktikan bahwa pemberian L-Arginine oral dapat mencegah

penurunan kadar Nitric Oxide (NO) pada tikus (Rattus norvegicus) jantan

galur Wistar yang dipapar asap rokok.

2 Untuk membuktikan bahwa pemberian L-Arginine oral dapat mencegah

penurunan jumlah endotel aorta pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur

Wistar yang dipapar asap rokok.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan terkait penyakit

pembuluh darah dan pengobatan yang diakibatkan oleh paparan asap rokok

khususnya dengan menggunakan L-Arginine.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai acuan bagi masyarakat untuk memahami manfaat L-Arginine bagi

pencegahan dan pengobatan terkait penyakit pembuluh darah terutama yang di

sebabkan oleh asap rokok.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan

fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan
10

dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan

dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat

tergantung kesehatan masing-masing individu (Pangkahila, 20011).

Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti Aging Medicine)

adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungdanengan aging

yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat

diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Goldman dan Klatz, 2003).

Sebenarnya banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami

proses penuaan tetapi pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu teori wear dan tear dan teori program. Teori wear dan tear

meliputi kerusakan DNA, glycosilation (glikosilasi), proses imun, dan

neuroendocrine theory (Pangkahila, 20011).

Menurut Goldman dan Klatz 2003 ada 4 teori pokok dari aging, yaitu:

1. Teori wear dan tear

Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan

disalahgunakan (overuse dan abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal,

kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan

lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena

sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak

terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,


11

sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan

hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan

bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang

akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

3. Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram DNA, dimana kita dilahirkan

dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental

tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi

tua dan berapa lama kita hidup.

4. Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi

akumulasi kerusakan radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas

sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan.

Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik

elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh

karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal

bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut

sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel.

Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA,

lemak, dan protein. Usia yang bertambahnya menyebabkan akumulasi kerusakan

sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu

metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada

kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin,
12

suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis.

Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada

daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam

akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman and Klatz, 2003).

Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003),

adalah sebagai berikut:

a. Faktor lingkungan seperti pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-

bahan polutan dan kimia sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan

rumah tangga, serta pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari

berbagai penelitian ternyata suara bising akan mampu meningkatkan

kadar hormon prolaktin dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai

jaringan tubuh. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya

penyediaan air bersih akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk

meningkatkan kekebalan. Sinar matahari secara langsung yang dapat

mempercepat penuaan kulit, hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen

kulit (Pangkahila, 20011).


13

b. Faktor diet / makanan. Jumlah nutrisi yang tidak optimal, jenis, dan

kualitas makanan yang banyak menggunakan pengawet, pewarna, perasa

dari bahan kimia terlarang. Zat beracun dalam makanan dapat

menimbulkan kerusakan berbagai organ tubuh, antara lain organ hati.


c. Faktor genetik seseorang sangat ditentukan oleh genetik orang tuanya,

tetapi faktor genetik ternyata dapat berubah karena infeksi virus, radiasi,

dan zat racun dalam makanan / minuman / kulit yang diserap oleh tubuh.
d. Faktor psikis berupa stres ternyata mampu memacu proses apoptosis di

berbagai organ/jaringan tubuh.


e. Faktor organik secara umum meliputi: rendahnya kebugaran / fitness,

pola makan kurang sehat, penurunan GH (Growth Hormone) dan IGF-1

(Insulin Growth Factor-1), penurunan testosteron, penurunan melatonin

secara konstan setelah usia 30 tahun dan menyebabkan gangguan

circadian clock (ritme harian), selanjutnya kulit dan rambut akan

berkurang pigmentasinya dan terjadi pula gangguan tidur, peningkatan

prolaktin yang sejalan dengan perubahan emosi dan stres, perubahan

Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)

(Pangkahila, 2007).

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi

berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan

gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu:

1. Tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut,

daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun

dan sakit tulang.


2. Tanda psikis antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas,
14

mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi.

Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung

menampakkan perubahan fisik dan psikis seperti di atas.

Menurut Pangkahila (20011), proses penuaan berlangsung melalui tiga

tahap sebagai berikut:

1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun):

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,

yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan

radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh.

Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang

merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan

pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.

2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun):

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot

berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan

kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini

menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung pembuluh

darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan

pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi

kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang

mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas

mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti

kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner,


15

dan diabetes.

3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas):

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi

DHEA (dehydroepidanrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron,

estrogen, dan juga hormon tiroid. Kemampuan penyerapan bahan makanan juga

terjadi penurunan bahkan sampai menghilang. Densitas tulang menurun, massa

otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun sehingga mengakibatkan

ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan.

Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami

kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu

keharmonisan banyak pasangan.

Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu

harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa orang

yang tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses

penuaan. Lebih jauh lagi, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi

proses penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata

(Pangkahila, 20011).

2.2 Radikal Bebas

Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul

yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital

luarnya. Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut

oksidasi. Sementara proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang


16

dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat

mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel

yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural

(Winarsi, 2007). Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan adalah

kecenderungannya untuk menarik elektron. Itulah sebabnya, radikal bebas

digolongkan dalam oksidan. Namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas

(Suryohudoyo, 2000). Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan

senyawa oksidan non radikal.


Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu reaktivitas tinggi, karena

kecenderungannya menarik elektron dan dapat mengubah suatu melokul menjadi

suatu radikal. Berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas

tersebut mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila radikal baru

bertemu molekul lain akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga

akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Bila elektron yang berikatan dengan

radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya

karena ikatan digunakan bersamasama pada orbital luarnya. Umumnya senyawa

yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar seperti lipid, protein

dan DNA. Diantara senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan

senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi

(Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2007).

2.2.1 Tahapan terbentuknya Radikal Bebas


Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3 tahapan reaksi

(Winarsi, 2007) yaitu:


1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas.
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.
17

3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau

penangkap radikal, sehingga potensi propagasi rendah.


Reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron (elektron transfer).

Pengalihan ini tidak dapat sekaligus tetapi dalam empat tahapan, yang setiap

tahapan hanya melibatkan pengalihan satu elektron. Kendala yang mengharuskan

oksigen hanya dapat menerima satu elektron setiap tahap menyebabkan terjadinya

dua hal yaitu :


1. Kurangnya reaktif oksigen
2. Terjadinya senyawa senyawa oksigen reaktif seperti O 2 ( ion peroksida),

H2O2 ( hydrogen peroksida ) , OOH ( radikal peroksil)


Reaksireaksi di bawah ini merupakan pengalihan satu elektron senyawa-

senyawa oksigen. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut secara singkat

dapat sebagai berikut :


O2 + e- -------- O2 -
O2 + e- + H+ ------ OOH
O2 + 2e- + 2 H + ------- H2O2
O2 + 3 e- + 3H + -------- OH + H2O
O2 + 4 e- + 4H+ -------- 2 H2O

Dari reaksireaksi diatas terlihat bahwa ion superoksida, radikal peroksil,

hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang

kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen.

2.2.2 Peranan radikal bebas dalam proses penuaan


Saat usia muda terdapat keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan

antioksidan, seiring dengan pertambahan usia keseimbangan terganggu, oleh

karena berkurangnya cadangan antioksidan dan produksi berlebih dari radikal

bebas (Saxena and Lal, 2006). Senyawa oksigen reaktif diproduksi terus menerus

di dalam organisme aerobik sebagai hasil dari metabolisme energi normal. Target

utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta
18

unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga hal di atas yang paling rentan

adalah asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas dalam tubuh dapat merusak

asam tak jenuh ganda pada membran sel, yang mengakibatnya sel menjadi rapuh

(Pasupathi, 2009).
Berbagai kemungkinan bisa diakibatkan oleh kerja radikal bebas.radikal

bebas memiliki reaktivitas tinggi, sangat tidak stabil dan berumur singkat,

sehingga keberadaannya sulit dideteksi. Dengan reaktivitasnya yang tinggi,

radikal bebas akan segera menyerang komponen seluler yang berada di

sekelilingnya, baik berupa senyawa lipid, lipoprotein, (protein, karbohidrat, RNA

maupun DNA). Senyawa radikal bebas dapat merusak asam lemak tak jenuh

ganda pada membran sel, sehingga mengakibatkan dinding sel menjadi rapuh.

Senyawa ini juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem

informasi genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker, yang berkibat

lebih jauh adalah terjadinya kerusakan struktur dan fungsi sel.


Akibat ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal

bebas akan mengakibatkan kerusakan stres oksidatif (Arief, 2010). Pada keadaan

inilah perusakan tubuh terjadi oleh radikal bebas. Senyawa radikal mengoksidasi

dan menyerang komponen lipid membran, senyawa ini merusak tiga jenis

senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel seperti asam lemak

tak jenuh yang menyusun membran sel (fosfolipid), DNA (perangkat genetik) dan

protein (enzim, reseptor, antibodi) (Fouad, 2007).


Radikal bebas yang bereaksi dengan komponen biologis dalam tubuh akan

menghasilkan senyawa teroksidasi. Banyaknya senyawa teroksidasi dapat

digunakan sebagai indeks karakteristik stress oksidatif. Belleville-Nabet

melaporkan molekul DNA yang teroksidasi akan menyebabkan penuaan (aging)


19

dan kanker. Jika yang teroksidasi protein baik berupa enzim yang terinaktivasi

atau protein yang terpolarisasi, akan terjadi inflamasi (Winarsi, 2007)


Radikal bebas menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan

asam nukleat. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan senyawa oksigen reaktif

menghasilkan stress oksidatif, penyebab kanker, penuaan, artherosclerosis, cedera

iskemik, peradangan dan penyakit degeneratif (Parkinson dan Alzheimer)

(Pangkahila,2007).

2.3 Endotelium

Lapisan terdalam dari tunika intima, terdiri dari selapis sel yang disebut sel

endotel. Sel ini berbentuk pipih, poligonal dengan ukuran sekitar 10 x 50 m dan

tebalnya 1-3 m, dengan sumbu panjang sel sejajar dengan aliran darah (Sandoo

et al., 2010). Sel ini berada disemua struktur pembuluh darah mulai dari jantung

sampai dengan kepiler dan berhubungan langsung dengan aliran darah (Guyton

dan Hall, 2012, Sandoo dkk., 2010).

Selain berfungsi sebagai pelindung selektif, endotel juga mempunyai

aktivitas metabolik dan sekretori. Usia biologik endotel dalam keadaan normal

sekitar 30 tahun dan setelah usia tersebut sel endotel akan terlepas dan

menghilang melalui proses apoptosis. Selanjutnya dengan bantuan sel endotel di

sekitarnya terjadilah regenerasi sel endotel baru (Wills dkk., 2002).

Sel endotel berfungsi untuk mengatur aliran darah yang dipompa oleh

jantung menuju ke seluruh tubuh, begitu juga sebaliknya (Sandoo dkk., 2010),
20

memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengadaptasikan dirinya, baik secara

jumlah maupun kemampuan mengatur untuk tujuan memenuhi kebutuhan lokal

(Pugsley dan Tabrizchi, 2000). Disamping itu sel ini, bilamana rusak akan mudah

diganti oleh adanya Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), hanya saja

diperlukan waktu untuk proses regenerasi tersebut (Arsic dkk., 2004). Kelebihan

inilah yang memberikannya kemampuan untuk memiliki fungsi yang berbeda-

beda sesuai dengan fungsi metabolik organ yang diembannya masing-masing

(Sandoo dkk, 2010). Secara umum sel endotel memiliki 3 (tiga) fungsi dasar,

yaitu: Pertama, endotel berfungsi sebagai garis pertahanan utama (barrier)

terhadap hampir semua elemen asing yang mencoba invasi ke dalam suatu organ;

kedua endotel berfungsi sebagai tempat metabolisme dan katabolisme senyawa-

senyawa tertentu; dan ketiga, sel ini berfungsi sebagai tempat sintesis berbagai

senyawa vasoaktif yang diperlukan dalam mempertahankan tonus pembuluh darah

(Pugsley dan Tabrizchi, 2000), yaitu antara lain sintesis berbagai mediator

inflamasi, mediator proliferasi sel-sel subendotel dan berbabagi faktor hemostasis

lainnya (Guyton, 2012; Libby dkk., 2002 Najjar dkk., 2005; Sandoo dkk., 2010).

Fungsi di atas disebabkan karena peran utama sel endotel adalah mengendalikan

sifat-sifat arteri seperti tonus vaskuler, permeabilitas vaskuler, angiogenesis dan

respon terhadap proses inflamasi (Najjar dkk., 2005)

Catharina (2001) mengemukakan bahwa endotel memegang peran penting

dalam proses protrombotik dan antitrombotik. Sel endotel utuh mempunyai tugas

utama mencegah perlekatan trombosit dan pembekuan darah, sedangkan aktivasi

terhadap endotel menyebabkan proses protrombotik terpicu dan bermuara pada


21

pembentukan molekul agregasi trombosit. Zat yang berperan dalam proses

protrombotik adalah vWF dan PAF, sedangkan zat yang berperan dalam proses

antitrombotik adalah PGI2, ADPase dan NO.

Sejalan dengan Miyata dkk. (2001), Wu dkk. (2003), dan Oppenheim

(2003) mengemukakan bahwa berbagai sitokin yang beredar dalam aliran darah

termasuk TNF-, IL-1, dan IL-6 merupakan zat yang dapat menyebabkan stres

pada sel endotel pembuluh darah. Respon sel yang mengalami stres berlangsung

dalam beberapa fase yaitu fase alarm, adaptation, dan exhaustion. Apabila fase

adaptation tidak terlampaui, maka sel endotel tidak mengalami gangguan.

Namun, jika sel endotel tidak mampu beradaptasi, maka proses akan berlanjut

menuju fase exhaustion yang bermuara pada kematian sel (Halstead, 2003).

2.4 Nitric Oxide (NO)

Nitric oxide (NO) adalah molekul signaling fundamental yang berfungsi

mengatur fungsi seluler, tetapi juga merupakan mediator kerusakan seluler dalam

berbagai kondisi. Nitric Oxide terlibat dalam jalur anti dan apoptotik bergantung

dari kondisi dan tipe sel. Dalam konsentrasi tinggi NO menginduk sikematian sel

saat cidera iskemi atau penyakit neurodegeneratif.fungsi sititoksis NO adalah

dalam bentuk peroksinitrit (ONOO-) yang dihasilkan dari reaksi difusi antara NO

dengan radikal bebas (Wiley,2007). Struktur kimia Nitric oxide (NO)

digambarkan pada Gambar 2.1. Nitric oxide merupakan endothelium-derived

relaxing factor (EDRF), untuk relaksasi otot polos pembuluh darah,

mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah (Cerielo, 2008).


22

Gambar 2.1 Molekul Nitric oxide (NO) (Hala et al., 2011)

Nitric oxide disintesis oleh NOS yang mengubah L-Arginine menjadi L-

Citrulline dan NO. Tiga isoform mayor NOS yaitu neuronal NOS (nNOS),

endothelial NOS (eNOS), dan inducible NOS (iNOS). Endothelial NOS dan

nNOS berperan penting pada kondisi normal. Kedua isoform ini terdapat didalam

sel dan secara cepat diaktivasi oleh Ca2+ dan calmodulin intrasel dan

menghasilkan NO dalam jumlah yang kecil. Di dalam jaringan, NO dibentuk oleh

L-arginine oleh enzim endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dengan kofaktor

NADPH, oksigen (O2), dan tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L-citrulline

serta nitrat dan nitrit sebagai metabolit antara (R&D Systems, 2000; Lundberg dan

Weitzberg, 2005). NO yang tidak digunakan akan dioksidasi menjadi nitrit.

Apabila NO diperlukan kembali, nitrit dalam jaringan akan direduksi menjadi NO

dikatalisis oleh enzim xanthine oxidase (XO) (Lundberg dan Weitzberg, 2005).

Neuronal NOS mempunyai fungsi pada neurotrasmiter, sedangkan eNOS berperan

pada relaksasi otot polos pembuluh darah. Inducible NOS tidak diekspresikan

pada kondisi normal tetapi diinduksi oleh sitokin dan atau endotoksin selama
23

proses inflamasi dan menghasilkan jumlah NO yang berlebihan dalam jangka

waktu yang lama (Hala dkk., 2011; Zhang dkk., 2011).

Gambar 2.2 Skema Proses Sintesis Nitric oxide (NO) (Dash, 2015)

Dalam serum, waktu paruh NO sangat singkat karena cepat dipakai oleh

sel endotel pembuluh darah sebagai vasodilator. Waktu paruh nitrit lebih pendek

daripada nitrat karena nitrat dapat direduksi menjadi nitrit kemudian cepat

direduksi menjadi NO pada keadaan hipoksia. Kadar nitrat, nitrit dan NO dalam

serum berbanding lurus dengan waktu paruhnya. NO yang disekresi oleh sel

endotel dengan cepat dioksidasi membentuk nitrit, kemudian berikatan dengan

hemoglobin membentuk nitrat. Kadar nitrat dan nitrit relatif stabil di dalam darah,

sehingga total kadar nitrit dan nitrat serum (NOx) dipakai sebagai indikator

sintesis NO tubuh (Lundberg dan Weitzberg, 2005).

Tabel 2.1

Waktu Paruh NO dan Produknya


24

(Lundberg dan Weitzberg, 2005)

Pemeriksaan kadar NO secara langsung sangat sulit dilakukan, karena

senyawa NO berupa gas, bersifat polar, dan memiliki waktu paruh yang sangat

singkat. Senyawa nitrat dan nitrit merupakan metabolit antara NO yang memiliki

waktu paruh yang lebih lama sehingga relatif stabil. Beberapa metoda

pemeriksaan kadar NO yang sering dilakukan antara lain metoda oksidasi

hemoglobin, chemiluminescent, reaksi Griess, dan konversi arginin-sitrulin.

Metoda pemeriksaan tersebut hanya menggambarkan bioavailabilitas NO tubuh,

sedangkan bioaktivitas NO dapat diketahui dari perubahan ekspresi gen enzim

eNOS yang mengkatalisis arginin menjadi NO (Tarpey dan Fridovich, 2001).

2.4.1 Peran NO dalam pembuluh darah

Selama beberapa dekade , telah terbukti bahwa nitrat oksida tidak hanya

berperan dalam mengontrol tonus vasomotor melainkan juga berperan dalam

homeostasis pembuluh darah dan syaraf serta proses imunologik. Nitrat oksida

endogen diproduksi melalui perubahan asam amino L-arginine menjadi L-

citrulline oleh enzim NO-synthase (NOS). Saat ini beberapa isoform dari NOS

telah berhasil dipurifikasi dan diklon sebagai : NOS-type I (yang diisolasi dari

otak/neuronal NOS) dan NOS-type III (yang diisolasi dari sel endotel/endothelial
25

NOS) yang disebut juga constitutive-NOS (cNOS). Kedua isoform ini diatur oleh

Ca2+-calmodulin dan NADPH, flavin adenine dinucleotide/mononucleotide

(FAD/FMN), serta tetrahydrobiopterin (HB4) sebagai kofaktor. Neuronal-NOS

(NOS type I) berperan penting dalam proses transmisi syaraf, kontrol homeostasis

pembuluh darah dan dalam proses pembelajaran dan memori (Aldmiz-Echevarra

dan Andrade, 2012; Tousoulis dkk., 2012).

Didalam sistem syaraf tepi, NOS berhubungan dengan jalur syaraf

nonadrenergic noncholinergic (NANC). Endothelial-NOS (NOS type III) berperan

penting dalam mengontrol tonus pembuluh darah sebagai respons terhadap

berbagai rangsangan, seperti rangsangan mekanik (shear stress), receptor

dependent (asetil kholin) dan reseptor independen (calcium ionophore). Nitrat

Oksida yang dihasilkan oleh NOS type III didalam endotel akan berdifusi

kedalam otot polos pembuluh darah yang akan mengaktifkan enzim guanylate

cyclase. Bersamaan dengan peningkatan cyclic GMP, akan terjadi relaksasi dari

otot polos pembuluh darah. Jadi hasil akhir dari peningkatan Nitrat Oksida akan

terjadi vasodilatasi (Aldmiz-Echevarra dan Andrade, 2012; Tousoulis dkk.,

2012).
26

Gambar 2.3 Mekanisme Vasodilatasi NO di dalam Pembuluh Darah


(Aldmiz-Echevarra dan Andrade, 2012)

Sel endotel memproduksi nitrat oksida (NO) yang akan berdiffusi kedalam

sel-sel otot polos pembulah darah dan mengaktivasi enzim soluble guanylate

cyclase (sGC) yang memproduksi cyclic GMP dari prekursornya GTP. Cyclic

GMP akan merangsang relaksasi otot sehingga akan terjadi vasodilatasi. NOS

type III juga berperan dalam pencegahan aggregasi platelet yang abnormal. NOS

type II dan IV (yang diisolasi dari makrofag) bersifat independen terhadap Ca ++-

calmodulin dan disebut juga "inducible-NOS", karena aktivasinya hanya terjadi

pada saat makrofag menimbulkan efek sitotoksik sebagai respons terhadap sitokin

(misal dalam keadaan sepsis) (Aldmiz-Echevarra dan Andrade, 2012; Tousoulis

dkk., 2012).

Setelah diketahui bahwa NO memiliki peran sebagai neurotransmitter

non-adrenergik dan non-kolinergik (NANC) pada sistem saraf parasimpatis

postganglionik, menginervasi berbagai otot polos termasuk corpus cavernosum


27

(CC) penis. Sarah ini disebut "nitrergic" atau "nitroxidergic". Meskipun sel

endotel sinusoidal korpus kavernosum juga memproduksi dan mensekresikan NO

dalam menanggapi rangsangan kimia dan fisik, NO neurogenik juga memiliki

peran dalam ereksi penis. NO dari saraf dan mungkin endotel memainkan peran

penting dalam memulai dan mempertahankan tekanan intracavernous, vasodilatasi

penis, dan ereksi penis yang bergantung pada GMP siklik disintesis dengan

aktivasi soluble guanylyl cyclase. Vasodilatasi pembuluh darah yang menyuplai

corpus cavernosum berakibat pada meningkatnya aliran darah dan fungsi ereksi

(Cartledge dkk., 2001; Toda dkk., 2005).

2.4.2 Patologi kelainan pembuluh darah diperantarai NO akibat stress

oksidatif yang dipicu radikal bebas

Apabila bioaktivitas NO dalam sel endotel pembuluh darah menurun

akibat rendahnya bioavailabilitas NO, menimbulkan gangguan endothelium

dependent vasorelaxation sebagai disfungsi endotel. Rendahnya bioavailabilitas

NO disebabkan berkurangnya pembentukan enzim eNOS, XO dan oksigen serta

rendahnya asupan nitrat anorganik. Walaupun sintesis NO normal, namun

bioaktivitasnya dapat berkurang akibat tingginya oksidasi NO oleh radikal

superoksida yang berakibat menurunnya efek vasodilator endogen (Deanfield et

al., 2007). Peningkatan jumlah radikal bebas dan penurunan bioavailabilitas NO

memperberat disfungsi endotel. Selain itu, menurunnya pembentukan NO tubuh

berhubungan dengan rendahnya asupan bahan makanan sumber NO. Bahan

makanan sumber NO mengandung antioksidan yang dapat meredam efek radikal


28

bebas, sehingga bioavailabilitas NO dapat dipertahankan (Lundberg dan

Weitzberg, 2005).

Perubahan ekspresi eNOS dapat mengakibatkan gangguan sintesis NO.

Aktivitas eNOS tergantung dari protein kinase Akt pada residu serin 1177 dan

defosforilasi treonin 495. Beberapa inhibitor eNOS endogen, seperti asymmetric

dimethyl arginine (ADMA), L-mono methyl arginine (LNMA) dan defisiensi

kofaktor tetrahydrobiopterin (BH4) dapat mengubah aktivitas eNOS. Apabila

tidak tersedia arginin atau BH4, eNOS dapat menjadi uncoupled dan

menghasilkan radikal superoksida dan radikal hidrogen peroksida. Radikal

superoksida bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit yang dapat

mengoksidasi BH4 sehingga BH4 menurun. Dalam keadaan defisiensi BH4,

eNOS dapat meningkatkan stres oksidatif dan disfungsi endotel (Endemann,

2004).

Stres oksidatif merupakan pemicu aktivasi disfungsi endotel, yang ditandai

dengan penurunan kadar NO. Endotel mempunyai banyak fungsi penting antara

lain mengatur tekanan darah melalui pelepasan bahan vasokonstriktor dan

vasodilator, mengatur fungsi antikoagulan, antiplatelet dan fibrinolisis (Granger

dkk., 2001).

Beberapa mekanisme yang mungkin terjadi pada stres oksidatif

menyebabkan disfungsi endotel yaitu menurunnya vasodilator NO akibat ROS,

terbentuknya produk peroksidasi lipid yang berperan sebagai vasokonstriktor,

berkurangnya BH4 yang merupakan kofaktor penting untuk sintesa NO,

menyebabkan kerusakan sel endotel serta kerusakan pada sel otot polos pembuluh
29

darah, peningkatan konsentrasi kalsium bebas dalam sel dan peningkatan

permeabilitas endotel (Grossman, 2008). Penurunan bioavailabilitas BH4

mengakibatkan penurunan aktivitas eNOS yang memicu peningkatan

pembentukan radikal peroksinitrit (Grassi dkk., 2005).

2.5 Rokok

2.5.1 Definisi rokok

Rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau

bahan lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotina tabacum, Nicotina rustica

dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau

tanpa bahan tambahan (Tendra, 2003). Pendapat lainnya menyatakan bahwa

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran antara 70-120 mm dengan diameter

sekitar 10 mm yang berisi daun tembakau yang telah dicacah (Martin, 2008).

Rokok terdiri dari gabungan bahan kimia yang sangat kompleks yaitu

bahan kimia non-spesifik dari pembakaran bahan-bahan organik dan bahan kimia

yang spesifik dari pembakaran tembakau (Fowles dan Bates, 2000). Rokok

dibentuk dari unsur karbon (C), hydrogen (H), Oksigen (O), nitrogen(N) dan

sulfur (S), sehingga jika diformulasikan secara kimia rokok yaitu sebagai

CvHwOtNySz (Bindar, 2000).

Asap rokok yang diisap oleh perokok mengandung asap utama dan asap

sampingan yaitu asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar dan diisap oleh

orang yang ada disekitar perokok (Anonim, 2000). Asap rokok utama

(mainstream cigarette smoke) terdiri dari 8% fase tar dan 92% fase gas. Asap
30

rokok fase tar ini mengandung nikotin, tar dan lebih dari 1017 radikal bebas di

dalamnya. Di dalam ruangan lingkungan perokok, udara terdiri dari 85% asap

rokok sampingan (sidestream cigarette smoke) dan 15% mainstream cigarette

smoke (Valavanidis dkk., 2009).

2.5.2 Radikal bebas dalam rokok

Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut

oksidasi. Sementara proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang

dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat

mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel

yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural


Oksidan dalam pengertian ilmu kimia adalah senyawa penerima elektron

(electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menarik elektron. Sebaliknya

radikal bebas adalah atom molekul (kumpulan atom) yang memiliki elektron yang

tidak berpasangan atau unpaired electron. Sifat radikal bebas yang mirip dengan

oksidan adalah kecenderungannya untuk menarik elektron. Itulah sebabnya,

radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun tidak setiap oksidan adalah

radikal bebas ( Suryohudoyo,2000)


Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber yaitu: proses

fisiologis, proses peradangan, dan yang berasal dari luar tubuh seperti polutan,

obat-obatan, dan asap rokok. Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu

senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak

berpasangan pada orbital luarnya. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan

dengan senyawa oksidan non radikal. Radikal bebas memiliki dua sifat utama,
31

yaitu reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron; dan dapat

mengubah suatu melokul menjadi suatu radikal.


Berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas tersebut

mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila radikal baru bertemu

molekul lain akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan

terjadi reaksi berantai (chain reaction). Bila elektron yang berikatan dengan

radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya

karena ikatan digunakan bersamasama pada orbital luarnya. Umumnya senyawa

yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar seperti lipid, protein

dan DNA. Diantara senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan

senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi.

Radikal bebas menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan

asam nukleat. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan senyawa oksigen reaktif

menghasilkan stress oksidatif, penyebab kanker, penuaan, artherosclerosis, cedera

iskemik, peradangan dan penyakit degeneratif (Parkinson dan Alzheimer)

(Pangkahila, 2007).

Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh

kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat

merusak membran sel, protein dan DNA yang berakibat fatal bagi kelangsungan

hidup sel/ jaringan. Bila terjadi dalam waktu yang berkepanjangan akan terjadi

penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang

menyebabkan sel/jaringan kehilangan fungsinya dan mati. Penumpukan hasil

kerusakan tadi akan bertambah dengan bertambahnya umur, merupakan penyebab

utama proses penuaaan (Bagiada, 2001)


32

Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, secara potensial dapat

menyebabkan kerusakan. Radikal bebas terbentuk sebagai hasil metabolisme

aerobik normal, namun dapat juga diproduksi dalam jumlah banyak pada keadaan

patofisiologis.

Rokok mengandung oksidan atau radikal bebas yang sangat tinggi. Asap

rokok ini mengandung lebih dari 1017 radikal bebas per gram dan lebih dari 1015

radikal bebas setiap hisapannya (Valavanidis dkk., 2009). Radikal bebas yang

terkandung dalam asap rokok antara lain aldehida, epoxida, peroxida, nitrit

oksida, radikal peroksil, dan radikal yang mengandung karbon ada dalam fase gas

(Arief, 2007). Berdasarkan studi laboratorium terhadap kandungan radikal bebas

dari asap rokok dengan menggunakan electron spin resonance Leybold Heracus

didapatkan hasil rokok jenis kretek mengandung radikal oksigen, oksigen singlet,

karbondioksida dan Mn2O2 (Muthmainnah dkk, 2014).

Proses pembakaran rokok tidaklah berbeda dengan proses pembakaran

bahan-bahan padat lainnya. Rokok yang terbuat dari daun tembakau kering, kertas

dan zat perasa, dapat dibentuk dari unsur Carbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O),

Nitrogen (N) dan Sulfur (S) serta unsur-unsur lain yang berjumlah kecil. Rokok

secara keseluruhan dapat diformulasikan secara kimia yaitu sebagai

(CvHwOtNySzSi) (Bindar, 2000).

Dua reaksi yang mungkin terjadi dalam proses merokok adalah: Pertama,

reaksi rokok dengan oksigen membentuk senyawa-senyawa seperti CO2, H2O,

NOx, SOx, dan CO. Reaksi ini disebut reaksi pembakaran yang terjadi pada

temperatur tinggi yaitu diatas 800C. Reaksi ini terjadi pada bagian ujung atau
33

permukaan rokok yang kontak dengan udara. Skema reaksi kimia yang terjadi

digambarkan seperti di bawah ini.

CvHwOtNySzSi + O2 -> CO2+ NOx+ H2O + SOx + SiO2 (abu)


(pada suhu 800C)

Reaksi yang kedua adalah reaksi pemecahan struktur kimia rokok menjadi

senyawa kimia lainnya. Reaksi ini terjadi akibat pemanasan dan ketiadaan

oksigen. Reaksi ini lebih dikenal dengan pirolisa. Pirolisa berlangsung pada

temperatur yang lebih rendah dari 800C. Sehingga rentang terjadinya pirolisa

pada bagian dalam rokok berada pada area temperatur 400-800C. Ciri khas reaksi

ini adalah menghasilkan ribuan senyawa kimia yang strukturnya komplek. Bagan

reaksinya seperti di bawah ini.

CvHwOtNySzSi -> 3000-an senyawa kimia lainnya + panas produk


(pada suhu 400-800C)

Walaupun reaksi pirolisa tidak dominan dalam proses merokok, tetapi

banyak senyawa yang dihasilkan tergolong pada senyawa kimia yang beracun

yang mempunyai kemampuan berdifusi dalam darah. Proses difusi akan

berlangsung terus selagi terdapat perbedaan konsentrasi. Tidak perlu disangkal

lagi bahwa titik bahaya merokok ada pada pirolisa rokok. Sebenarnya produk

pirolisa ini bisa terbakar bila produk melewati temperatur yang tinggi dan cukup

akan Oksigen. Hal ini tidak terjadi dalam proses merokok karena proses hirup dan

gas produk pada area temperatur 400- 800C langsung mengalir ke arah mulut

yang bertemperatur sekitar 37C (Bindar, 2000).

Selain reaksi kimia, juga terjadi proses penguapan uap air dan nikotin yang

berlangsung pada temperatur antara 100-400C. Nikotin yang menguap pada


34

daerah temperatur di atas tidak dapat kesempatan untuk melalui temperatur tinggi

dan tidak melalui proses pembakaran. Terkondensasinya uap nikotin dalam gas

tergantung pada temperatur, konsentrasi uap nikotin dalam gas dan geometri

saluran yang dilewati gas (Bindar, 2000; Wang, 2000).

Pada temperatur dibawah 100C nikotin sudah mengkondensasi, sehingga

sebelum gas memasuki mulut, kondensasi nikotin telah terjadi. Berdasarkan

keseimbangan, tidak semua nikotin dalam gas terkondensasi sebelum memasuki

mulut sehingga nantinya gas yang masuk dalam paru-paru masih mengandung

nikotin. Sesampai di paru-paru, nikotin akan mengalami keseimbangan baru, dan

akan terjadi kondensasi lagi (Bindar, 2000).

Radikal aldehid dalam rokok menyebabkan sekresi dari sitokin proinflamasi

oleh sel-sel saluran alveolar dan merangsang aktivasi sel radang akut seperti

neutrofil dan eosinofil (Toorn dkk., 2013). Radikal karbonmonoksida

menyebabkan kerusakan jaringan dilihat dari peningkatan produk peroksidasi

lipid dan degradasi protein matrik ekstraseluler (Vaart dkk., 2004). Radikal dalam

fase tar dapat mengikat molekul DNA dan mengakibatkan mutasi yang berujung

pada pathogenesis penyakit kanker (Martin, 2008).

Asap rokok banyak mengandung radikal bebas baik pada komponen tar

maupun komponen gas. Selain itu, komponen tar juga mengandung ion besi yang

dapat mengkatalisa pembentukan radikal peroksil dan hidrogen peroksida

(Valavanidis dkk., 2009). Semiquinon dan hidroquinon pada tar juga dapat

melepaskan ion besi dan protein feritin sehingga lebih banyak ion besi yang bebas

(Ghio dkk., 2008). Radikal bebas yang berasal dan asap rokok masuk ke dalam
35

paru melalui saluran nafas, kemudian dibawa oleh aliran darah menuju ke jantung

dan diedarkan ke seluruh tubuh (Ghio dkk., 2008; Valavanidis dkk., 2009).

Radikal bebas menyerang membran plasma yang terdiri dari komponen

lipid dan komponen protein. Komponen lipid akan mengalami peroksidasi dengan

cara menarik atom H+ dari rantai samping PUFA, menghasilkan radikal karbon.

Kemudian radikal karbon akan bereaksi dengan oksigen menjadi radikal peroksil,

inilah yang menyerang ulang rantai samping PUFA menghasilkan radikal karbon

baru dan peroksida lipid (Ayala dkk., 2014). Reaksi ini akan berlangsung terus

secara berantai dan berakhir bila bertemu dengan radikal bebas lain atau dengan

antioksidan. Komponen protein yang berfungsi sebagai kanal ion, pompa ion,

reseptor, enzim, pembangkit energi, akan teroksidasi pada bagian yang

mempunyai gugus sulfhidril menjadi ikatan disulfida, yang akan menyebabkan

ikatan silang (cross link) antar molekul protein, menyebabkan degradasi

depolimerisasi protein, dan sifat protein menjadi kaku dan mudah putus, sehingga

protein membran akan kehilangan berbagai fungsinya. Keadaan tersebut akan

menyebabkan kanal ion terbuka, maka diduga kuat Ca2+ ekstra seluler yang

mempunyai konsentrasi lebih tinggi dari sitosol akan masuk ke dalam sel,

sehingga Ca2+ di dalam sitosol akan meningkat (Burlando dkk., 2001; Selvam,

2002; Kaplan dkk., 2003).

Radikal bebas masuk ke dalam sel, akan merusak komponen-komponen int

raseluler seperti sitosekleton, organella, protein non membran, molekul ades,

enzim-enzim dan DNA. Radikal bebas akan menyerang komponen enzim

terutama ATPase yang tersusun dari rangkaian asam amino yang mengandung
36

gugus sulfhidril, sehingga ATPase menjadi inaktif, maka fungsinya sebagai

pengendalian Ca2+ sitosol akan terganggu. Dengan terganggunya peran regulasi

Ca2+ maka akan terjadi peningkatan Ca2+ di dalam sitosol (Kaplan dkk., 2003;

Megala dan Geetha, 2010).

Kerusakan sel yang mekanismenya didasari oleh kerusakan membran sel

adalah nekrosis. Pada pemaparan asap rokok kapasitas proteksi antioksidan juga

tertekan. Senyawa aldehid dalam asap rokok dapat menekan SOD yang berfungsi

sebagai antioksidan enzimatik. Selain itu, pada perokok terdapat penurunan kadar

vitamin C. Hal ini akan semakin memperparah nekrosis sel hepar akibat radikal

bebas (Ruiz dkk., 2010; Bhandary dkk., 2013).

2.5.3 Hubungan antara rokok dan kadar Nitric Oxide (NO)

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa perokok kronis memiliki

peningkatan risiko untuk penyakit arteri serebral dan koroner. Hal ini karena pada

perokok kronis terjadi stress oksidatif yang diakibatkan oleh superoksida dan

sejumlah besar spesies oksigen reaktif lainnya (ROS) yang berujung pada

akumulasi kerusakan oksidatif pada berbagai macam sel dalam tubuh salah

satunya adalah sel endotel (Benjamin, 2011; Selim dkk., 2013). Sel-sel endotel

merupakan sel yang secara konstitutif mensintesis nitrit oxide (NO) dari l-arginin

oleh enzim endogen, NO synthase, untuk meregulasi pembuluh darah, aliran

darah lokal, dan perfusi jaringan. Konsentrasi NO yang rendah dalam plasma

merupakan gejala terjadinya disfungsi endotel dan sangat terkait dengan kebiasaan
37

merokok jangka panjang (Tsuchiya et al., 2002). Kondisi ini bisa mempercepat

insufisiensi arteri koroner dan vasokonstriksi di banyak jaringan yang berbeda.


NO berperan dalam mengaktifkan reseptor soluble guanylate cyclase

(sGC) pada otot polos pembuluh darah, yang menghasilkan pembentukan cyclic

guanosine monophosphate (cGMP). Hal ini mengaktifkan berbagai jalur sinyal

dan efek fungsional yang meliputi vasodilatasi pembuluh darah. Aktivitas

NADPH oksidase (Nox1 dan Nox2) akan menghasilkan superoksida (O2-) dan

aktivitas NOX4 akan menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), ROS kemudian

dapat berpartisipasi dalam jalur sinyal, tetapi juga dapat menyebabkan cedera

selular. O2- adalah scavenger NO yang mengurangi bioavailabilitas NO dengan

membentuk peroxynitrite (ONOO-) yang juga dapat menyebabkan cedera selular.

H2O2 dapat bereaksi dengan logam berat untuk membentuk senyawa hidroksil

yang sangat reaktif dan bersifat radikal (OH-) (De Silva dan Faraci, 2013).

Cigarette
38

Gambar 2.4 Modifikasi Interaksi antara Reactive Oxygen Species (ROS) dan
Nitric Oxide (De Silva dan Faraci, 2013)

Telah banyak diketahui hubungan antara merokok dan penyakit pembuluh

darah, dan telah diketahui secara umum pula bahwa rokok akan merusak sel-sel

endotel vaskular. Integritas endotel sangat penting untuk fungsi homeostatis

pembuluh darah dan untuk menjaga keadaan nontrombotik dan nonatherogenic

(Guo dkk., 2006). NO merupakan vasodilator kuat yang menghambat perputaran

matriks ekstraselular dan dengan demikian dapat memodifikasi sifat mekanik

dinding arteri (Van Hove dkk., 2009). Rahman dan Laher (2007) melaporkan

bahwa sekresi NO pada vena saphena pada manusia yang tidak merokok secara

signifikan lebih tinggi daripada yang dari vena perokok berat. Dengan

menggunakan antagonis NO, NG-monomethyl-l-arginin, beberapa peneliti telah

menemukan penurunan kemampuan vasodilatasi pembuluh darah pada perokok

(Vleeming dkk., 2002). Dalam penelitian lain, pengukuran nitrit dari arteri

femoral dan karotis setelah paparan asap rokok jangka pendek dan jangka panjang

memberikan bukti bahwa rokok mengurangi bioavaibility NO. Selanjutnya, kadar

NO kembali normal setelah 3 minggu pasca penghentian paparan asap rokok (Guo

dkk., 2006).

Gangguan sekresi NO diduga terkait dengan berkurangnya sintesis atau

aktivitas endothelial NO synthase (eNOS) (Burnett, 2004). Belakangan diketahui,

baik peningkatan dan penurunan ekspresi mRNA eNOS telah dilaporkan

berhubungan dengan paparan asap rokok dalam berbagai model eksperimental.


39

Asap rokok telah terbukti menghambat kerja eNOS pada arteri pulmonalis

(Wagner dkk., 2007) dan pada penelitian lain menekan eNOS sebesar 52% pada

kultur sel endotel (Wang dkk., 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain

yang menyebutkan bahwa penghentian paparan asap rokok akan mengembalikan

ekspresi eNOS menjadi normal setelah 16 minggu (Guo dkk, 2006). Telah

dilaporkan bahwa asap rokok mengandung banyak sekali radikal bebas seperti

nitrogen oksida, hidrogen peroksida, hidrogen sianida, dan akrolein yang secara

langsung mempengaruhi ekspresi eNOS (Bindar, 2000; Guo dkk., 2006; Arief,

2007).

2.6 L-Arginine

Arginine merupakan salah satu jenis asam amino yang dikelompokkan

bersama histidine dan lisin secara biokimiawi. Arginine merupakan asam amino

semi-esensial yang artinya tubuh dapat memproduksi asam amino ini dalam

jumlah kecil, sehingga asupan dari luar masih diperlukan (Garrett dan Grisham,

2012).

Gambar 2.5 Struktur Kimia L-Arginine


(https://commons.wikimedia.org/wiki/File:L-arginine_ethyl_ester.png)
40

L-Arginine (2-amino-5-guanidinovaleric acid) merupakan asam amino

dasar yang terdapat dalam cairan fisiologis tubuh (Wu dkk., 2009). L-Arginine

banyak terdapat dalam seafood, jus semangka, kacang-kacangan, biji, alga,

daging, konsentrat proteinasi, dan isolaso protein kedelai, namun rendah dalam

susu yang berasal dari mamalia. Survei menunjukkan bahwa konsumsi harian

orang dewasa di America (US) sebesar 4,4 gram/hari dan sebanyak 25% dari

seluruh orang mengkonsumsi dalam jumlah <2,6 gram/hari, yang merupakan

konsumsi arginin dibawah kadar optimal (Wu dkk., 2009).

Gambar 2.6
Metabolisme L-Arginine (Ricciardolo dkk., 2004)
41

Di dalam tubuh, L-arginine diangkut ke dalam sel melalui jalur cationic

amino acid transport (CAT) dan dapat dimetabolisme oleh dua kelompok enzim.

Nitric oxide synthase (NOS) mengkonversi L-arginine menjadi Nitric Oxide (NO)

dan L-citrulline dalam dua langkah dengan NG-hydroxy-l-arginine sebagai

senyawa antara. L-citrulline dapat dikonversi oleh argininosuccinate menjadi L-

arginine. NOS konstitutif akan diaktifkan dengan meningkatnya konsentrasi Ca2+

intraseluler. Arginase akan memetabolisme L-arginine menjadi L-ornithine.

Lipopolisakarida (LPS) dan beberapa sitokin berperan dalam meningkatkan

transportasi L-arginine dan memicu aktivitas arginase. NG-hydroxy-l-arginine

dapat menurunkan aktivitas arginase. Sedangkan NO dapat mengikat kelompok

thiol dan membentuk S-nitrosothiol (R-SNO) (Ricciardolo dkk., 2004).

Arginine dibutuhkan dalam berbagai proses fisiologi tubuh termasuk

modulasi sistem imun, penyembuhan luka, sekresi hormone, tonus vaskuler, dan

fungsi endotel. Arginine juga merupakan precursor dari prolin, sehingga kadar

arginin yang cukup diperlukan untuk membantu proses deposisi kolagen,

angiogenesis, dan kontraksi luka. Arginine memiliki peran dalam meningkatkan

sistem kekebalan tubuh, dan merangsang kesembuhan luka baik pada individu

sehat maupun sakit. Pada kondisi stress psikologis, kebutuhan metabolisme

arginin meningkat, sehingga pemberian arginin pada terapi penyembuhan luka

menunjukkan hasil yang lebih baik (Guo dan DiPietro, 2010).

L-Arginine merupakan salah satu substansi yang meregulasi sintesis Nitric

Oxide (NO), produksi antibodi dan perkembangan sel B, ekspresi reseptor sel T

yang menyebabkan L-Arginine penting dalam sistem kekebalan bawaan (innate


42

immune system) dan sistem kekebalan dapatan (adaptive immune system). L-

Arginine merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh nitrit

oksida sintase (Nitric Oxide Synthase/ NOS). NO merupakan molekul pengirim

sinyal terhadap setiap jenis sel yang meregulasi jalur metabolisme, sehingga perlu

dilakukan penelitian terhadap nutrisi arginin. Kekurangan L-Arginine dalam diet

akan menyebabkan gangguan sistesis NO pada mamalia (Wu dkk., 2009; Lewis

dan Langkamp-Henken, 2000).

2.7 Hewan Coba Tikus

Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang

dipelihara. Tikus merupakan hewan laboraorium yang sering digunakan dalam

berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara,

cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia,

karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan

Kirkwood, 2010). Klasifikasi ilmiah tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar adalah

sebagai berikut (Russel dkk., 2008):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae
43

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

2.7.1. Penggunaan tikus

Pada percobaan ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) karena tikus

jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai mecam penelitian. Tikus

jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat

hidup hingga usia 4 tahun (Kusumawati, 2004). Ciri khas tikus galur Wistar yaitu

kepala besar dan ekor pendek.

Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan daripada

mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih jarang

berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu

tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat

tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu rata-

rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Rat Behaviour

dan Biology, 2012).

Tabel 2.2

Data Biologi Tikus


44

No. Kondisi Biologi Jumlah


1. Berat badan: -jantan 300-400 g
-betina 250-300 g
2. Lama hidup 2,5- 3 tahun
3. Temperatur tubuh 37,50 C
4. Kebutuhan: -air 8-11 ml/100g BB
-makanan 5g/100g BB
5. Pubertas 50-60 hari
6. Lama kehamilan 21-23 hari
7. Tekanan darah: -sistolik 84-184 mmHg
-diastolik 58-145 mmHg
8. Frekuensi: -jantung 330-480/menit
-respirasi 66-114/menit
9. Tidal Volume 0,6-1,25mm
(Russel dkk., 2008)

2.7.2. Pemantauan keselamatan tikus

Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu

kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang

lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu,

mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur

menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan

pertukaran udara di dalam kandang harus baik (Ngatidjan, 2006). Setiap hari

kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih

ketika merawat tikus, memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan

turun, sukar bernapas ataupun mencret.


BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Perilaku merokok merupakan salah satu pola hidup yang tidak sehat

yang hingga saat ini masih merupakan perilaku yang umum dapat diamati

baik pada orang dewasa maupun remaja. Asap rokok mengandung berbagai

jenis bahan kimia, sebagian besar diantaranya bersifat toksik seperti nikotin,

karbonmonoksida dan tar. Asap rokok ini mengandung lebih dari 10 17 radikal

bebas per gram dan lebih dari 1015 radikal bebas setiap hisapannya. Radikal

bebas yang terkandung dalam asap rokok antara lain aldehida, epoxida,

peroxida, nitrit oksida, radikal peroksil, dan radikal lain dengan kandungan

karbon dalam fase gas.


Nitric Oxide (NO), sebuah molekul kecil reaktif, merupakan

bioregulator dan biomessenger yang ada di berbagai macam jenis organisme.

NO diketahui merupakan regulator utama otot polos. NO adalah salah satu

faktor yang berperan dalam relaksasi sel otot polos pembuluh darah.

Penurunan bioavailabilitas NO diakibatkan oleh disfungsi endotel pada

pembuluh darah. Merokok menurunkan aktivitas NO secara langsung dan tak

langsung. Merokok menurunkan produksi NO dengan menurunkan kadar

BH4 (tetrahidrobioprotein). Penurunan bioavailabilitas BH4 mengakibatkan

uncoupling pada eNOS (endothelial Nitrit Oxide Syntase). Selain itu stress

oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas pada asap rokok dapat secara

45
46

langsung merusak sel endotel yang secara konstitutif mensintesis nitrit oxide

(NO).

Nitric oxide dibentuk dari oksidasi L-Arginin bersama kofaktor

NADPH dan oksigen dengan katalisis enzim NO synthase (NOS).

Suplementasi L-arginine dapat membantu mengobati orang dengan faktor

risiko aterosklerosis, seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes

mellitus, gagal ginjal, hyperhomocysteinemia, merokok, dan kondisi

penuaan-yang semuanya yang berkaitan dengan penurunan biosintesis NO.

Hal ini karena L-Arginine yang merupakan bahan baku pembentukan NO

dapat mencegah penurunan produksi NO yang dimediasi oleh NOS.


47

3.2 Konsep Penelitian

L-Arginine

Faktor Internal Faktor Eksternal

- Usia - Pola makan


- Genetik - Gaya hidup
- Radikal bebas - Aktivitas fisik
- hormonal - Obat-obatan atau zat kimia

Tikus wistar yang di papar


asap rokok

Kadar NO

jumlah endotel aorta

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

Keterangan skema

------ Tidak diteliti

Diteliti
48

3.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagi berikut.

1. Pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan kadar Nitric

Oxide (NO) pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang

dipapar asap rokok

2. Pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan jumlah endotel

aorta pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang dipapar

asap rokok
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, dengan menggunakan

completely randomized post test only control group design (Federer, 2008). Pada

kelompok subyek penelitian dilakukan alokasi sampel secara random sehingga

didapatkan 2 kelompok. Satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberikan

paparan asap rokok + placebo (P0) dan kelompok lainnya adalah kelompok

paparan asap rokok + perlakuan L-Arginine dosis 9 mmol/kgBB (P1) (Morita et

al., 2014).

P0 0
1
R RA
P
S P1
02

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

Keterangan:

P = Populasi

S = Sampel

R = Randomisasi

O1 = Hasil pemeriksaan kadar NO kelompok kontrol (P0)

O2 = Hasil pemeriksaan kadar NO kelompok kontrol (P1)

49
50

perlakuan

P0 = Perlakuan kelompok kontrol (paparan asap rokok + aquabides)

P1 = Perlakuan kelompok perlakuan (paparan asap rokok + L-Arginine dosis

9 mmol/kgBB)

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana Bali. Dilanjutkan dengan analisis darah di

bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.

2.Waktu penelitian

a. Tahap Persiapan yaitu, melakukan penelitian pendahuluan selama 2

bulan

b. Penelitian dilaksanakan selama 2,5 bulan dengan rincian sebagai

berikut:

7 hari adaptasi

14 hari untuk perlakuan pemberian L arginine dan paparan asap

rokok

14 hari untuk pemeriksaan kadar nitric oxide dan jumlah sel

endotel aorta

1 bulan analisis data dan penyusunan laporan.


51

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi target dalam penelitian eksperimental ini adalah seluruh tikus strain

Wistar jantan. Populasi terjangkau adalah tikus yang berumur 2,5-3 bulan dengan

berat badan 200 gram.

4.3.2 Kriteria sampel

Pada penelitian ini diambil sampel dari tikus yang memenuhi kriteria inklusi,

dengan ketentuan sebagai berikut.

4.3.2.1 Kriteria inklusi

Kriteria Inklusi yang ditetapkan sebagai sampel adalah sebagai berikut.

Tikus wistar jantan


Umur 2,5 - 3 bulan
Berat badan 200 gram
Sehat (aktif dan tidak menunjukkan abnormalitas anatomi)

4.3.2.2 Kriteria drop out

Kriteria drop out yang ditetapkan adalah sebagai berikut.

Tikus yang tidak mau makan selama penelitian berlangsung.


Tikus sakit selama penelitian
Tikus yang mati selama penelitian dilakukan

4.3.3 Besar sampel

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada rumus

Federer (2008) sebagai berikut:

( n 1 ) ( t 1 ) > 15

Keterangan :
52

n = jumlah sampel

t = jumlah kelompok perlakuan

Dalam penelitian ini terdapat 2 kelompok perlakuan ( t=2 ), maka

jumlahsample yang diperlakukan :

( n 1 ) ( 2 1 ) > 15

( n 1 ) 1 > 15

n > 15 + 1

n = 16

Berdasarkan hasil tersebut, jumlah sampel yang digunakan untuk setiap

perlakuan adalah 16 ekor. Pada penelitian ini terdapat 2 kelompok perlakuan,

sehingga diperlukan sampel sebanyak 32 ekor tikus. Untuk mengantisipasi

terjadinya drop out pada sampel, maka dalam penelitian jumlah sampel ditambah

10%. Dengan demikian jumlah sampel masing-masing kelompok adalah 36 ekor

tikus.

4.3.4 Teknik pengambilan sampel

Semua sampel yang memenuhi kriteria penelitian (yang memenuhi kriteria

eligibilitas) dimasukkan dalam sampel peneltian. Teknik penentuan sampel

dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Dari populasi tikus putih galur wistar diadakan pemilihan sampel

berdasarkan kriteria inklusi.


b. Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat, diambil secara random

untuk mendapatkan jumlah sampel.


53

c. Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi 2 kelompok

secara random yaitu kelompok kontrol (P0), kelompok perlakuan 1 (P1),

masing-masing kelompok dengan jumlah sampel yaitu 18 ekor tikus.

4.4 Variabel

Variabel-variabel penelitian yang akan diukur adalah variabel bebas dan

variabel tergantung sebagai berikut.

Variabel Bebas : Suplementasi L-Arginine oral


Variabel Tergantung : Kadar Nitric Oxide (NO) serum, jumlah endotel aorta
Variabel Kendali : Jenis tikus yang digunakan, umur tikus, berat badan

tikus, jenis kelamin tikus, nutrisi, kondisi lingkungan

(suhu, kelembaban, cahaya), kesehatan tikus,

makanan dan minuman, paparan asap rokok /zat kimia

4.4.1 Hubungan antar variabel

VARIABEL TERGANTUNG
VARIABEL BEBAS
Tikus Wistar
L-Arginine Kadar Nitric Oxide (NO)
Jumlah endotel aorta

VARIABEL KENDALI
Jenis/strain tikus
Jenis kelamin, umur, berat badan
Suhu, kelembaban, nutrisi, kandang,
paparan asap rokok /zat kimia

Gambar 4.2. Hubungan Antar Variabel


54

4.4.2 Definisi operasional variabel

1. Paparan asap rokok diberikan dengan menggunakan pompa dalam kandang

yang tertutup berukuran 70x40x30 cm dengan ventilasi berukuran 20x10 cm,

sebanyak 1 batang rokok kretek (rokok Djisamsoe) tanpa filter dalam waktu

30 menit setiap hari selama 14 hari.


2. L-Arginine adalah sediaan asam amino dalam bentuk serbuk yang diberikan

pada penelitian ini adalah L-arginine dari perusahaan GMC yang sudah di

analisis di laboratorium analitik universitas udayana ( lampiran 2 ) diberikan

satu kali sehari dengan dosis 9 mmol/kg berat badan tikus yang dilarutkan

dalam 0,25 ml aquabidest steril secara oral menggunakan sonde lambung.

Pemberian obat oral pada tikus kelompok perlakuan (P1) secara oral dengan

menggunakan sonde dilakukan satu jam sebelum tikus diberi paparan asap

rokok. .
3. Nitric oxide adalah endothelial derived relaxing factor (EDRF) yang

disintesa dan dilepaskan oleh sel endotel, merupakan vasodilator kuat, dimana

pelepasannya dirangsang oleh bradikinin. Dalam jumlah yang kecil

dikeluarkan secara alamiah dari pembuluh darah untuk kontriksi (

Cantor,2005). Kadar NO diukur dengan metode Elisa, menggunakan reagen

Griess I dan II (Assay Design) Total Nitric Oxide Assay Kit. dan satuan NO

dinyatakan dalam mmole/L. Pemeriksaan dikerjakan di Bagian Histologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana .


4. Jumlah endotel, endotel adalah lapisan terdalam dari tunika intima yang

terdiri dari selapis sel, sel ini berbentuk pipih, poligonal dengan sumbu

panjang sel sejajar dengan aliran darah. Pada penelitian ini aorta yangdi ambil
55

dari tikus dibuat sediaan untuk melihat endotel dengan pembesaran 400x.

Pemeriksaan dikerjakan diBagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana.

4.5 Bahan Penelitian dan Hewan Coba

4.5.1 Bahan penelitian

L-Arginine produksi GMC

Makanan mencit berupa pellet dan air minum

Ketamin

Sarung tangan

Masker

Kapas

Metil alkohol 70%

Aquabidest

Total Nitric Oxide Assay Kit

4.5.2 Hewan percobaan

Dalam penelitian ini digunakan tikus Wistar yang berunur 2,5 - 3 bulan yang

diperkirakan mencapai usia dewasa, berat badan antara 200-250 gram. Tikus

dipelihara di kandang tikus Laboratorium Animal Unit Universitas Udayana

Denpasar dengan persyaratan sesuai dengan penelitian eksperimental, yaitu tikus

ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari tempat (kotak) berbahan plastik

dengan ukuran 50 cm x 35 cm x 20 cm yang beralaskan sekam padi dan ditutup


56

dengan anyaman kawat. Kandang tikus ditempatkan di ruangan yang berventilasi

dengan suhu kamar (udara alami).

4.6 Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan adalah :

Kandang mencit yang di dalamnya terdapat sekam dan botol minum

Smoking Pump

Timbangan digital merk TANITA

Spuit 1cc untuk injeksi ekstrak ke lambung

Tabung EDTA

Sonde tusuk lambung

Kamera digital untuk dokumentasi

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Pemilihan dan pemeliharaan hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan yang

sehat sebanyak 36 ekor. Tikus kemudian dibagi secara random menjadi 2

kelompok, dengan masing-masing kelompok berjumlah 18 tikus. Kandang yang

digunakan untuk pemeliharaan tikus adalah kandang yang tidak mudah

rusakKandang yang digunakan adalah kandang yang mudah terlihat dari luar serta

tahan gigitan, sehingga hewan tidak mudah lepas. Makanan yang diberikan adalah

yang memenuhi syarat, serta lingkungan yang sehat (Ngatidjan, 2006).


57

4.7.2 Prosedur perlakuan

1. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan sebanyak 36 ekor, sehat, berumur 2-

2,5 bulan dengan berat badan 200 gram.


2. Sebelum penelitian dimulai, tikus diadaptasi selama 1 minggu di tempat

penelitian untuk penyesuaian dengan lingkungan. Satu kandang berisi dua

ekor tikus. Kandang dibersihkan setiap hari.


3. Sampel tikus yang berjumlah 36 ekor kemudian dibagi atas 2 kelompok

secara random di mana kelompok pertama (kelompok kontrol/P0) diberikan

perlakuan paparan asap rokok + aquabidest, dan kelompok kedua (kelompok

perlakuan 1/P1) diberikan perlakuan paparan asap rokok + L-Arginine

dengan dosis 9 mmol/kgBB secara oral (Morita et al., 2014)


4. Setelah 14 hari perlakuan, keseluruhan kelompok tikus dilakukan

pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar Nitric Oxide (NO) sesudah

perlakuan (posttest).
5. Selama penelitian, hewan coba diberikan makanan dan minuman secara

teratur, kebersihan dan kenyamanan kandang dijaga.

4.7.3 Prosedur Pengambilan Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan satu kali yaitu sesudah perlakuan.

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui Canthus Medialis Sinus Orbitalis

yaitu sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuite 3 cc setelah sebelumnya

dilakukan desinfeksi pada tempat pengambilan. Selanjutnya darah ditampung

dalam vacutainer, disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, dan

didapatkan sebanyak 1 mL serum selanjutnya dimasukkan dalam tabung untuk

segera diperiksa. Prosedur pemeriksaan laboratorium menggunakan kit


58

pemeriksaan Colorimetric Griess dan pembacaan absorbance 520-560 nm

menggunakan Elisa reader. Sampel darah akan diberikan label sesuai dengan

nomor randomisasi blok masing-masing dari kedua kelompok yaitu kelompok

plasebo dan kelompok L arginine 9 mmol . Pengambilan sampel darah dilakukan

oleh petugas laboratorium, kemudian sampel darah yang telah berisi plasma

dimasukkan ke dalam kotak styrofoam yang berisi es kering (dry ice) untuk segera

dibawa ke UPT Laboratorium Analitik Universitas Udayana dan disimpan pada

suhu -80 oC hingga dilakukan pemeriksaan.

4.7.4 Prosedur pemeriksaan kadar NO

Serum atau plasma sebanyak 50 ul ditambahkan 50 ul larutan

Sulfanilamide (1% sulfanilamide dalam 5% phosphoric Acid), kemudian

diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang (lindungi dari cahaya). Selanjutnya

masukkan larutan NED (0.1% N-1-napthylethylenediamine dihydrochloride in

water) sebanyak 50 ul dan inkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Kemudian

diukur absorbansi pada panjang gelombang 532 nm dalam 30 menit (setelah 30

menit warna yang terbentuk akan memudar). Larutan standar menggunakan

larutan nitrite (0,1 M sodium nitrite dalam air) dan perhitungan konsentrasi NO

dalam sampel dengan cara menggunakan perhitungan dari absorbance kurva

standard menggunakan larutan nitrit.

4.7.5 Prosedur pemeriksaan endotel


59

Pengambilan sampel aorta sebelumnya tikus dieutanasia dan dilakukan

desinfeksi pada tempat pengambilan. Selanjutnya dilakukan pembedahan pada

punggung tikus sampai terlihat aorta, kemudian aorta di potong dan ditampung

dalam wadah urin 10cc yang telah berisi formalin buffer fosfat 10%, sediaan ini di

rendam selama 24 jam.

Pembuatan sediaan histologis dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap

fiksasi, dehidrasi, clearing dan embeding. Tahap fiksasi artinya aorta hasil biopsi

direndam dalam formalin bufer fospat 10% selama 24 jam kemudian dilakukan

triming bagian jaringan yang akan diambil. Selanjutnya jaringan tersebut

direndam dengan alkohol bertingkat (tahap dehidrasi) direndam berturut turut

50%, 70%, 90%, 96% dan 100% masing masing 2 kali selama 2 jam. Selanjutnya

masuk ke tahap clearing dengan memasukkan jaringan ke clearing agent (xylene)

selama 24 jam sampai transparan. Tahap embeding diawali dengan proses

infiltrasi sebanyak 2 kali selama masing-masing 1 jam dengan parafin murni

(Histoplast) cair (suhu 60o C) kemudian jaringan ditanam ke dalam parafin cair

dan dibiarkan membentuk blok yang memakan waktu selama satu hari agar

mudah diiris dengan mikrotom.

Pemotongan menggunakan mikrotom rotari (Jung Histocut Leica 820),

tebal 5 mikro meter untuk selanjutnya dilakukan penempelan pada gelas obyek,

lalu diinkubasi pada suhu 60o C selama 2 jam. Khusus untuk slide yang dicat

dengan immunohistokimia, menggunakan object glass yang sudah dilapisi daya

rekat seperti Poly-Lysine atau yang sejenis.


60

Pewarnaan dengan Hematoxylin Eosin

Sebelum dilakukan pengecatan, slide melalui proses deparafinisasi dan

rehidrasi meliputi perendaman dalam larutan xylene 2 x 5 menit, etanol 100%

selama 2 menit, etanol 96% 2 x 2 menit, etanol 70% selama 2 menit dan aquadest

selama 2 menit. Dilakukan pewarnaan dengan Hematoxylin Gill selama selama 5

menit. Tahap selanjutnya dilakukan perendaman dengan air kran selama 5 menit.

Selanjutnya sediaan direndam dalam larutan Eosin 1% selama 15 detik kemudian

direndam dalam Aquabidest selama 15 detik. Dehidrasi dalam etanol 70% selama

10 detik, etanol 96% 2x 10 detik, etanol 100% selama 10 detik dan xylene 2 x 2

menit, keringkan selama 2 jam dalam suhu ruang, lalu mounting pada medium

berbasis xylene (DPX).

Analisis Pewarnaan Hematoxylin Eosin

Pengamatan dilakukan dengan metode analisis digital. Sediaan dengan

pembesaran 400 kali menggunakan mikroskop Olympus CX41 (Japan), difoto

dengan kamera Optilab Pro (Miconos, Indonesia). Masing masing preparat difoto

sebanyak 3 kali dengan menggunakan format JPEG menggunakan perangkat

lunak Optilab Viewer 1.0 (Miconos, Indonesia).


61

4.8 Alur Penelitian

36 ekor tikus jantan sehat diadaptasi selama 7 hari

Dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan

P1 P1 (paparan asap rokok + L-


(paparan asap rokok + Arginine dosis 9mmol/kgBB)
aquabides)

Perlakuan selama 14 hari

Pemeriksaan Kadar NO posttest

Pemeriksaan jumlah endotel aorta

p
62

Gambar 4.3. Alur Penelitian


4.9 Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis menggunakan program

khusus analisis statistik komputer dengan langkah-langkah sebagai berikut :


1. Analisis deskriptif.
Semua data terlebih dahulu dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif

dilakukan sebagai dasar untuk statistik analisis (uji hipotesis) untuk

mengetahui karakteristik data. Analisis deskriptif dilakukan dengan program

SPSS. Pemilihan penyajian data dan uji hipotesis tergantung normal tidak

nya distribusi.
2. Uji Normalitas
Digunakan uji dengan Shapiro-wilk Test, data berdistribusi normal dengan

p>0,05.

3. Uji homogenitas

Dilakukan dengan Lavenes Test. Varian data bersifat homogen dengan

p>0,05.

4. Uji komparasi

Karena data berdistribusi normal p>0,05 maka uji komparabilitas digunakan

uji statistik parametrik dengan Independent Sample T-Test pada taraf

kemaknaan = 0,05 digunakan untuk antar kelompok.

BAB V

HASIL PENELITIAN

63
64

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan

completely randomized post test only control group design yang menggunakan 36

ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, dewasa (berumur 2,5-3 bulan) sebagai

sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing berjumlah 18

ekor tikus, yaitu kelompok kontrol P0 (paparan asap rokok + aquabides) dan

kelompok perlakuan (paparan asap rokok + L-Arginine dosis 9mmol/kgBB).

Hasil penelitian ini kemudian dianalisis dan disajikan menggunakan analisis

deskriptif, normalitas data, homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek

perlakuan.

5.1 Analisis Deskriptif

Hasil analisis deskriptif kadar Nitric Oxide berupa rerata, simpangan baku,

median, nilai minimum dan nilai maksimum pada masing-masing kelompok

disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1
Hasil Analisis Deskriptif Data Nitric Oxide

Kelompok Rerata (M) SB Median Min Maks

Kelompok P0 822,4639 119,47448 795,8050 623,61 1035,75

Kelompok P1 1233,0322 128,01963 1258,7500 984,93 1430,95

Hasil analisis deskriptif jumlah sel endotel berupa rerata, simpangan baku,

median, nilai minimum dan nilai maksimum pada masing-masing kelompok

disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2
65

Hasil Analisis Deskriptif Data Jumlah Sel Endotel

Kelompok Rerata SB Median Min Maks

Kelompok P0 3,3889 1,57675 3,3300 0,67 6,33

Kelompok P1 8,8506 1,16810 8,6650 7,00 11,00

5.2 Uji Normalitas Data

Kadar Nitric Oxide pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya

dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa data

berdistribusi normal (p>0,05), yang disajikan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3
Hasil Uji Normalitas Data Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok

Kelompok Subjek n P Keterangan

Kelompok P0 18 0,529 Normal

Kelompok P1 18 0,365 Normal


n = jumlah sampel, p = signifikansi

Jumlah sel endotel pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya

dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa data

berdistribusi normal (p>0,05), yang disajikan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4
Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Sel Endotel Antar Kelompok
66

Kelompok Subjek n p Keterangan

Kelompok P0 18 0,655 Normal

Kelompok P1 18 0,645 Normal


n = jumlah sampel, p = signifikansi

5.3 Uji Homogenitas Data antar Kelompok

Kadar Nitric Oxide dan jumlah sel endotel pada masing-masing kelompok

diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levenes test. Hasil menunjukkan

bahwa varian data homogen (p>0,05), data disajikan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5
Hasil Uji Homogenitas Variabel Penelitian Antar Kelompok

Variabel Penelitian n p Keterangan

Kadar Nitric Oxide 36 0,945 Homogen

Jumlah sel Endotel 36 0,443 Homogen

n = jumlah sampel p = signifikansi

5.4 Uji Komparabilitas

5.4.1 Uji Komparabilitas Kadar Nitric Oxide

Analisis komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar

Nitric Oxide antar kelompok perlakuan sesudah diberikan perlakuan berupa

paparan asap rokok + aquabides (P0) dan paparan asap rokok + L-Arginine dosis

9 mmol/kgBB (P1) selama 14 hari. Hasil analisis kemaknaan diuji dengan uji

Independent sample T test pada Tabel 5.6.


67

Tabel 5.6
Rerata Kadar Nitric Oxide antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan

Rerata Kadar
Kelompok Subjek n SB t P
Nitric Oxide (M)
Kelompok P0 18 822,4639 119,47448
-9,947 0,000
Kelompok P1 18 1233,0322 128,01963
n = jumlah sampel; SB = Simpangan Baku; t = distribusi t hitung; p = signifikansi

Tabel 5.6 menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide kelompok yang diberi

L-Arginine dosis 9 mmol/kgBB P1 sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari

memiliki rerata kadar Nitric Oxide yang lebih tinggi (p<0,01) dibandingkan

dengan kelompok kontrol P0.

Gambar 5.1

Rerata Kadar NO (M) Setelah perlakuan

5.4.2 Uji Komparabilitas Jumlah Sel Endotel


68

Analisis komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar

jumlah sel endotel antar kelompok perlakuan sesudah diberikan perlakuan berupa

paparan asap rokok + aquabides (P0) dan paparan asap rokok + L-Arginine dosis

9 mmol/kgBB (P1) selama 14 hari. Hasil analisis kemaknaan diuji dengan uji

Independent sample T test pada Tabel 5.7.

Tabel 5.7
Rerata Kadar Nitric Oxide antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan

Kelompok Subjek n Rerata Jumlah Sel SB t P


Endotel
Kelompok P0 18 3,3889 1,57675
-11,809 0,000
Kelompok P1 18 8,8506 1,16810
n = jumlah sampel; SB = Simpangan Baku; t = distribusi t hitung; p = signifikansi

Tabel 5.7 menunjukkan rerata jumlah sel endotel kelompok yang diberi L-

Arginine dosis 9 mmol/kgBB P1 sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari

memiliki rerata jumlah sel endotel ya lebih tinggi (p<0,01) dibandingkan dengan

kelompok kontrol P0.


69

Gambar 5.2

Rerata Jumlah Endotel Setelah perlakuan


70

5.4.2 Hasil Histologi Endotel Aorta

Gambar 5.1

Kelompok kontrol ( P0 ) asap rokok + Aquabides dengan pembesaran 400x

Gambar 5.1

kelompok kontrol ( P0 ) asap rokok + L- arginin 9 mmol/kgbb dengan


pembesaran 400x
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Subyek Penelitian

Untuk menguji efek pemberian L-Arginin terhadap kadar Nitric Oxide dan

jumlah sel endotel setelah paparan asap rokok, maka dilakukan penelitian

eksperimental dengan rancangan completely randomized posttest only control

group design, menggunaka tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dan sehat,

penelitian ini menggunakan tikus karena fisiologi pembuluh darah tikus wistar

hampir sama dengan manusia.

Pemilihan jenis kelamin jantan agar tidak dipengaruhi kehamilan dan

hormonal karena bisa mempengaruhi hasil penelitian. Usia tikus dipilih tikus

dewasa 2,5 3 bulan sebab memiliki persamaan dengan manusia dewasa muda

dan belum mengalami proses penuaan.

Penelitian dilakukan selama 14 hari, berdasarkan penelitian pendahuluan,

pemberian oral L arginine 9 mmol/ kgbb selama 14 mampu mencegah penurunan

Nitric oxide dan jumlah sel endotel aorta setelah paparan asap rokok .

6.2 Pengaruh Paparan Asap Rokok terhadap Kadar Nitric Oxide dan Jumlah
Sel Endotel

Rokok mengandung banyak sekali radikal bebas yang dapat menyebabkan

stress oksidatif yang berujung pada akumulasi kerusakan pada berbagai macam

sel dalam tubuh salah satunya adalah sel endotel (Benjamin, 2011; Selim dkk.,

71
72

2013). Bukti yang menunjukkan kerusakan awal vaskular dan disfungsi endotel

yang diinduksi perilaku merokok berasal dari berbagai studi klinis dengan

menganalisis fungsi endotel menggunakan berbagai teknik (Widlansky dkk.,

2003). Gangguan fibrinolisis dalam plasma pada perokok kronis dapat

mempengaruhi fungsi endotel. Pada prinsipnya, fluktuasi kadar senyawa di dalam

tubuh bisa terdeteksi sebagai indeks kerusakan endothelial akibat merokok.

Beberapa studi telah mengidentifikasi penanda spesifik dan terukur dari disfungsi

endotel, termasuk soluble adhesion molecules, von Willebrand factor (vWF) dan

thrombomodulin (Constans dan Conri, 2006).

Telah banyak diketahui hubungan antara merokok dan penyakit pembuluh

darah, dan telah diketahui secara umum pula bahwa rokok akan merusak sel-sel

endotel vaskular. Integritas endotel sangat penting untuk fungsi homeostatis

pembuluh darah dan untuk menjaga keadaan nontrombotik dan nonatherogenic

(Guo dkk., 2006). NO merupakan vasodilator kuat yang menghambat perputaran

matriks ekstraselular dan dengan demikian dapat memodifikasi sifat mekanik

dinding arteri (Van Hove dkk, 2009). Rahman dan Laher (2007) melaporkan

bahwa sekresi NO pada vena saphena pada manusia yang tidak merokok secara

signifikan lebih tinggi daripada yang dari vena perokok berat. Dengan

menggunakan antagonis NO, NG-monomethyl-l-arginin, beberapa peneliti telah

menemukan penurunan kemampuan vasodilatasi pembuluh darah pada perokok

(Vleeming dkk., 2002). Dalam penelitian lain, pengukuran nitrit dari arteri

femoral dan karotis setelah paparan asap rokok jangka pendek dan jangka panjang

memberikan bukti bahwa rokok mengurangi bioavaibility NO. Selanjutnya, kadar


73

NO kembali normal setelah 3 minggu pasca penghentian paparan asap rokok (Guo

dkk., 2006).

Gangguan sekresi NO diduga terkait dengan berkurangnya sintesis atau

aktivitas endothelial NO synthase (eNOS) (Burnett, 2004). Belakangan diketahui,

baik peningkatan dan penurunan ekspresi mRNA eNOS telah dilaporkan

berhubungan dengan paparan asap rokok dalam berbagai model eksperimental.

Asap rokok telah terbukti menghambat kerja eNOS pada arteri pulmonalis

(Wagner dkk., 2007) dan pada penelitian lain menekan eNOS sebesar 52% pada

kultur sel endotel (Wang dkk., 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain

yang menyebutkan bahwa penghentian paparan asap rokok akan mengembalikan

ekspresi eNOS menjadi normal setelah 16 minggu (Guo dkk., 2006). Telah

dilaporkan bahwa asap rokok mengandung banyak sekali radikal bebas seperti

nitrogen oksida, hidrogen peroksida, hidrogen sianida, dan akrolein yang secara

langsung mempengaruhi ekspresi eNOS (Bindar, 2000; Guo dkk, 2006; Arief,

2007).

6.3 Pengaruh L-Arginin Terhadap Kadar Nitric Oxide dan Jumlah Sel
Endotel

Pada penelitian ini ditemukan sel endotel pada kelompok kontrol lebih

sedikit secara bermakna dibandingkan dengan endotel aorta pada kelompok

kontrol, tetapi dalam penelitian ini tidak mampu menjelaskan apakah perbedaan

jumlah endotel ini adalah karena tergangunya disfungsi endotel ataw tidak.

Secara teoritis asap rokok yang mengandung radikal bebas yang dapat

menyebabkan stress oksidatif yang berujung pada akumulasi kerusakan sel pada
74

berbagai macam sel dalam tubuh salah satunya adalah sel endotel

( Benyamin,2011; Selim dkk.,2013)

Radikal bebas salam asap rokok O2- bertemu dengan NO ,maka

mengurangi bioavailabilitas NO dengan membentuk peroxynitrite (ONOO-) yang

juga dapat menyebabkan cedera selular (De Silva dan Faraci, 2013).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberian L-Arginin 9 mmol/kgbb

secara oral selama 14 hari pada tikus wistar yang diberi paparan asap rokok dapat

mencegah penurunan Nitric oxide dan penurunan jumlah sel endotel, hal ini

disebabkan karena L-Arginine merupakan salah satu substansi yang meregulasi

sintesis Nitric Oxide (NO). L-Arginine merupakan prekursor dalam sintesis NO

yang dilakukan oleh nitrit oksida sintase (Nitric Oxide Synthase/ NOS). Dengan

meningkatnya prekursor atau bahan baku pembentukan NO maka laju produksi

NO akan meningkat. Selain itu penurunan jumlah endotel pembuluh darah akibat

paparan asap rokok diakibatkan oleh berkurangnya kadar NO, dengan

menyediakan prekursor sintesis NO, kadar NO meningkat dan penurunan jumlah

endotel aorta dapat dicegah.

Kekurangan L-Arginine dalam diet telah terbukti dapat menyebabkan

gangguan sistesis NO pada mamalia (Wu dkk., 2009; Lewis dan Langkamp-

Henken, 2000).

Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian sebelumnya yang

menyatakan bahwa pemberian singkat L-Arginin oral dengan dosis 1.5 g/10 kg

BB/hari selama 1 minggu pada pasien dengan hipertensi pulmonum primer dapat

meningkkan produksi NO (Nagaya dkk., 2001). Penelitian lain menyebutkan


75

bahwa suplementasi arginine pada pakan selama 14 hari dapat meningkatkan

konsentrasi BH4 dan produksi NO pada sel-sel endotel baik pada tikus sehat dan

tikus yang diinduksi diabetes dan nondiabetes (p<0,01) (Kohli dkk., 2004)

6.4 Kelemahan Penelitian

Penurunan kadar NO tidak hanya disebabkan oleh paparan asap rokok,

terdapat beberapa faktor lain seperti tingginya konsumsi garam dan obat-obat

golongan katekolamin, tingginya intake asam folat dan vitamin B12, dan

rendahnya kadar estrogen.


Pada penelitian ini tidak diperiksa ekspresi disfungsi sel endotel,untuk melihat

kerusakan fungsi endotel akibat penurunan NO, sehingga perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut.


BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan sebagai berikut:


1. Pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan kadar Nitric

Oxide (NO) pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang

dipapar asap rokok.


2. Pemberian L-Arginine oral dapat mencegah penurunan jumlah sel

endotel pada tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar yang

dipapar asap rokok.

7.2 Saran

Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membuktikan efek pemberian L-

arginine terhadap penurunan kadar NO yang diakibatkan oleh faktor selain

paparan asap rokok.


2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemeriksaan ekspresi

disfungsi sel endotel.

76
DAFTAR PUSTAKA

Aldmiz-Echevarra, L., Andrade, F. 2012. Asymmetric dimethylarginine,


endothelial dysfunction and renal disease. Int J Mol Sci. 13(9):11288-311.
Alvares, T.S., Conte-Junior, C.A., Silva, J.T., Paschoalin, V.M.F. 2012. Acute L-
Arginine supplementation does not increase nitric oxide production in
healthy subjects. Nutrition & Metabolism. 9:54.
Alvares, T.S., Meirelles, C.M., Bhambhani, Y.N., Paschoalin, V.M., Gomes, P.S.
2011. L-arginine as a Potential Ergogenic Aid in Healthy Subjects. Sports
Med. 41(3):233248.
Appleton, J. 2002. Arginine: Clinical potential of a semi-essential amino. Altern
Med Rev. 7(6):512522.
Arief, S. 2007. Radikal Bebas. Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR. Surabaya.
Available at: http://www.sribd.com/doc/49918891/radikal-bebas. Accesed
August 21, 2015.
Arsic, N., Zacchigna, S., Zentilin, L., Ramirez-Correa, G., Pattarini, L., Salvi, A.,
Sinagra, G., Giacca, M. 2004. Vascular endothelial growth factor stimulates
skeletal muscle regeneration in vivo. Mol Ther. 10(5):844-54.
Ayala, A., Muoz, M.F., Argelles, S. 2014. Lipid Peroxidation: Production,
Metabolism, and Signaling Mechanisms of Malondialdehyde and 4-
Hydroxy-2-Nonenal. Oxidative Medicine and Cellular Longevity. 2014:
360438.
Bagiada, N.A. 2001. Proses Penuaan dan Penanggulangannya. Denpasar:
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Hal: 22 .
Bauer, V., Sotnkov, R. 2010. Nitric oxide--the endothelium-derived relaxing
factor and its role in endothelial functions. Gen Physiol Biophys. 29(4):319-
40.
Benjamin, R.M. 2011. Exposure to Tobacco Smoke Causes Immediate Damage: A
Report of the Surgeon General. Public Health Reports. 126(2):158-159.
Bescs, R., Sureda, A., Tur, J.A., Pons, A. 2012. The effect of nitric-oxide-related
supplements on human performance. Sports Med. 42(2):99-117.

77
78

Bhandary, B., Marahatta, A., Kim, H.R., Chae, H.J. 2013. An Involvement of
Oxidative Stress in Endoplasmic Reticulum Stress and Its Associated
Diseases. International Journal of Molecular Sciences. 14(1):434-456.
Bindar, Y. 2000. Ekonomi, Rokok dan Konsekuensinya. Available from:
http://www.angelfire.com/il/Nalapralaya/rokok.htm. Accessed August 28,
2015.
Bode-Bger, S.M., Scalera, F., Ignarro, L.J. 2007. The L-arginine paradox:
importance of the L-arginine/asymmetrical dimethylarginine ratio.
PharmacolTher. 114(3):295306.
Burlando, B., Panfoli, I., Viarengo, A., Marchi, B. 2001. Free radical-dependent
Ca2+ signaling: role of Ca2+-induced Ca2+ release. Antioxid Redox Signal.
3(3):525-30.
Burnett, A.L. 2004. Novel nitric oxide signaling mechanisms regulate the erectile
response. International Journal of Impotence Research 16, S15S19.
Cartledge, J., Minhas, S., Eardley, I. 2001. The role of nitric oxide in penile
erection. Expert Opin Pharmacother. 2(1):95-107.
Catharina. 2001. Pathogenesis of Dengue Hemorrhagic Fever and Dengue Syok
Syndrome. In: Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia: The Role of
Cytokines in Plasma Leakage, Coagulation, and Fibrinolysis. Nijmegen
University Press. Dinsdag. 15-23.
Cerielo, A. 2008. Possible Role of Oxidative Stress in The Pathogenesis of
Hypertension. Diabetes Care. 31(2): S181-S184.
Constans, J., Conri, C. 2006. Circulating markers of endothelial function in
cardiovascular disease. Clin Chim Acta, 368: 3347
Dash, P. 2015. Synthesis of Nitric Oxide. Avilable from:
http://www.reading.ac.uk/nitricoxide/intro/no/synthesis.htm. Accessed Oct
23, 2015
De Silva, T.M., Faraci, F.M. 2013. Effects of angiotensin II on the cerebral
circulation: role of oxidative stress.Front Physiol. 3:484.
Deanfield, J.E., Halcox, J.P., dan Rabelink, T.J. 2007. Endothelial Fuction and
Dysfunction : Testing and Clinical Relevance. Circulation. 115: 1285-95.
Droge, W. 2002. Free Radicals in the Physiological Control of Cell Function.
Physiol Rev 82: 47-95.
Erdman, J.W., Balentine, D., Arab, L., Beecher, G., Dwyer, J.T., Folts, J., Harnly,
J., Hollman, P., Keen, C.L., Mazza, G., Messina, M., Scalbert, A., Vita, J.,
79

Williamson, G., dan Burrowes, J. 2007. Flavonoids and Heart Health:


Proceedings of the ILSI North America Flavonoids Workshop, May 31-June
1, Wahington, DC. J Nutr. 137: 718S-737S.
Federer, W. 2008. Statistics and Society : Data Collection and Interpretation
second ed. New York : Marcel Dekker.
Gawe, S., Wardas, M., Niedworok, E., and Wardas, P. 2004. Malondialdehyde
(MDA) as a lipid peroxidation marker. Wiad Lek. 57(9-10): 453-5.
Ghio, A.J., Hilborn, E.D., Stonehuerner, J.G., Dailey, L.A., Carter, J.D., Richards,
J.H., Crissman, K.M., Foronjy, R.F., Uyeminami, D.L., Pinkerton, K.E.
2008. Particulate matter in cigarette smoke alters iron homeostasis to
produce a biological effect. Am J Respir Crit Care Med. 178(11):1130-8.
Gokce, N. 2004. L-arginine and hypertension. J Nutr. 134(10 Suppl):2807S-
2811S
Goldman, Klatz. 2007. The New Anti-Aging Revolution: Stopping the Clock for a
Younger, Sexier you!. Advantage Quest. Malaysia.
Granger, J.P., Alexander, B.T., Llinas, M.T., Bennet, W.A., dan Khalil, R.A. 2001.
Pathophysiology of Hypertension During Preeclampsia Linking Placental
Ischemia With Endothelial Dysfunction. Hypertension. 38 (2): 718-722.
Grassi, D., Necozione, S., Lippi, C., Croce, G., Valeri, L., Pasqualetti, P., Desideri,
G., Blumberg, J.B., dan Ferri, C. 2005. Cocoa reduces Blood Pressure and
Insulin Resistance and Improves Endothelium-Dependent Vasodilation in
Hypertensives. Hypertension. 46: 398-405.
Grossman, E. 2008. Does Increased Oxidative Stress Cause Hypertension?
Diabetes Care. 31(2): S185S189.
Groves, J.T., Wang, C.C. 2000. Nitric oxide synthase: models and mechanisms.
Curr Opin Chem Biol. 4(6):687-95.
Guo, X., Oldham, M.J., Kleinman, M.T., Phalen, R.F., Kassab, G.S. 2006. Effect
of cigarette smoking on nitric oxide, structural, and mechanical properties of
mouse arteries. American Journal of Physiology - Heart and Circulatory
Physiology 291(5): 2354-2361
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2012. Pocket Companion to Guyton and Hall Textbook of
Medical Physiology. US : Saunders Elsevier
Hala, O., El-Mesallamy., Kareem, A. R., and Ingy, M.H. 2011. Role of Oxidative
Stress, Inflamation and Endothelial Disfunction in the Pathogenesis of
Diabetic Retinopathy. The IIOAB Journal. 2: 91-97
80

Halstead, S.B. 2003. Neutralization and Antibody-dependent Enhancement of


Dengue Viruses. Adv. Virus Res. 60:421467.
Iadecola, C. 2005. Rescuing troubled vessels in Alzheimer disease. Nature
Medicine 11, 923 924
Idhayu, A.T. 2006. Pengaruh pemberian polifenol teh hijau terhadap sekresi nitrit
oksida (NO) sel fagosit (skripsi). Semarang. Universitas Diponegoro.
Kaplan, P., Babusikova, E., Lehotsky, J., Dobrota, D. 2003. Free radical-induced
protein modification and inhibition of Ca2+-ATPase of cardiac sarcoplasmic
reticulum. Mol Cell Biochem. 248(1-2):41-7.
Kohli, R., Meininger, C.J., Haynes, T.E., Yan, W., Self, J.T., Wu G. 2004. Dietary
L-arginine supplementation enhances endothelial nitric oxide synthesis in
streptozotocin-induced diabetic rats. J Nutr. 134(3):600-8.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Lewis, B., Langkamp-Henken, B. 2000. Arginine enhances In vivo immune
responses in young, adult and aged mice. J Nutr.130(7):1827-30.
Lobo, V., Patil, A., Phatak, A., Chandra, N. 2010. Free radicals, antioxidants and
functional foods: Impact on human health. Pharmacognosy Reviews.
4(8):118-126.
Loscalzo, J. 2003. Adverse Effects of Supplemental l-Arginine in Atherosclerosis.
Consequences of Methylation Stress in a Complex Catabolism?.
Arteriosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology. 23: 3-5
Lundberg, J.O., Weitzberg, E. 2005. NO Generation From Nitrite and Its Role in
Vascular Control. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 25:915-22
Martin, T. 2008. The effect of Smoking on Human Health. Available from:
http://quitsmoking.about.com. Accessed August 21, 2015.
Megala, J., Geetha, A. 2010. Free radical-scavenging and H+, K+-ATPase
inhibition activities of Pithecellobium dulce. Food Chemistry. 121(4): 1120
1128.
Miyata. 2001. Spesific Association of Set of Molecular Chaperons Including Hsp
90 and Cdc 37 with MOK. The Journal of Biologycal Chemistry. 276:
21841-21848.
Morita, M., Hayashi, T., Ochiai, M., Maeda, M., Yamaguchi, T,, Ina, K., Kuzuya
M. 2014. Oral supplementation with a combination of L-citrulline and L-
81

arginine rapidly increases plasma L-arginine concentration and enhances


NO bioavailability.Biochem Biophys Res Commun. 454(1):53-7.
Muthmainnah, Syarifah, U., Mulyono, A. 2014. Analisis Fisis Membran Biofilter
Asap Jurnal Neutrino Rokok Berbahan Biji Kurma Untuk Menangkap
Radikal Bebas. Vol. 7, No. 1, pp: 40-48
Nagaya, N., Uematsu, M., Oya, H., Sato, N., Sakamaki, F., Kyotani, S., Ueno, K.,
Nakanishi, N., Yamagishi, M., and Miyatake, K. 2001. Short-term Oral
Administration of l-Arginine Improves Hemodynamics and Exercise
Capacity in Patients with Precapillary Pulmonary Hypertension. American
Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 163(4): 887-891.
Najjar, S.S., Scuteri, A., Lakatta, E.G., Arterial aging: is it an immutable
cardiovascular risk factor? Hypertension. 2005;46(3): 454462.
Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Metode Uji Toksisitas.
Hal: 86-135.
Oppenheim. 2003. Cytokines. In: Medical Immunology. San Fansisco. 10: 48-166.
Pangkahila, W. 20011. Anti Aging Tetap Muda dan Sehat, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Pasupathi, P. 2009. Glutathione, glutathione-dependent enzymes and antioxidant
status in gastric carcinoma patients. Journal of Applied Biomedicine, vol. 7,
No.2, p 101-109.
Pugsley, M.K., Tabrizchi, R. 2000. The vascular system: An overview of structure
and function. J Pharmacol Toxicol Methods. 44:33340.
R&D Systems, 2000. Nitric Oxide Synthases. Available from :
http://rndsystems.com/mini_review_detail_objectname_MR00_NOS.aspx.
Accessed November 12, 2015
Rahman, M.M., Laher, I. 2007. Structural and functional alteration of blood
vessels caused by cigarette smoking: an overview of molecular mechanisms.
Curr Vasc Pharmacol. 5(4):276-92.
Rat Behaviour and Biology. 2012. How old is a rat in human years ?. Available
at: http://www.ratbehavior.org/RatYears.htm. Accessed November 3, 2015
Ricciardolo, F.L., Sterk, P.J., Gaston, B., Folkerts, G. 2004. Nitric oxide in health
and disease of the respiratory system. Physiol Rev. 84(3):731-65.
Ruiz, A., Matute, C., Alberdi, E. 2010. Intracellular Ca 2+ release through
ryanodine receptors contributes to AMPA receptor-mediated mitochondrial
82

dysfunction and ER stress in oligodendrocytes. Cell Death & Disease.


1(7):e54-.
Russel, J.C., Towns, D.R., Clout, M.N. 2008. Review of rat invasion biology.
Science &Technical Publishing, Department of Conservation, New Zealand,
p. 20.
Sandoo, A., van Zanten, J.J.C., Metsios, G.S., Carroll, D., Kitas, G.D. 2010 The
Endothelium and Its Role in Regulating Vascular Tone. The Open
Cardiovascular Medicine Journal.; 4: 302-312.
Saxena, R., Lal, A.M. 2006. Effect of Aging on antioxidant enzyme status and
lipid peroxidation. J Indian Acad Geriatr. 2(2):53-6.
Selim, G.M., Elia, R.Z., El Bohey, A.S., El Meniawy, K.A. 2013. Effect of shisha
vs. cigarette smoking on endothelial function by brachial artery duplex
ultrasonography: an observational study. Anadolu Kardiyol Derg. 13(8):759-
65.
Selvam, R. 2002. Calcium oxalate stone disease: role of lipid peroxidation and
antioxidants. Urol Res. 30(1):35-47.
Sharkey, B.J. 2011. Kebugaran dan Kesehatan (Fitness and Health).
Diterjemahkan oleh Eri Desmarini Nasution. Pt Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Stapleton, P.A., Goodwill, A.G., James, M.E., Brock, R.W., Frisbee, J.C. 2010.
Hypercholesterolemia and microvascular dysfunction: interventional
strategies. J Inflamm (Lond). 18;7:54.
Su, Y., Han, W., Giraldo, C., De-Li, Y., Block, E.R. 1998. Effect of cigarette
smoke extract on nitric oxide synthase in pulmonary artery endothelial cells.
Am J Respir Cell Mol Biol 19: 819825
Suryohudoyo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta : CV.
Infomedika. p. 31-46.
Tarpey, M.M., dan Fridovich I. 2001. Method of Detection of Vascular Reactive
Species : Nitric Oxide, Superoxide, Hydrogen Peroxide, and Peroxynitrite.
Circ Res. 89: 224-36.
Tendra, H. 2003. Merokok dan Kesehatan. Surabaya.
Toda, N., Ayajiki, K., Okamura, T. 2005. Nitric oxide and penile erectile function.
Pharmacol Ther. 106(2):233-66.
83

Tousoulis, D., Kampoli, A.M., Tentolouris, C., Papageorgiou, N., Stefanadis, C.


2012. The role of nitric oxide on endothelial function. Curr Vasc
Pharmacol. 10(1):4-18.
Trachtman, H., Futterweit, S., Garg, P., Reddy, K., Singhal, P.C. 1996. Nitric
oxide simulates the activity of a 712-kDa neutral matrix metalloproteinase
in cultured rat mesangial cells. Biochem Biophys Res Commun 218: 704
708.
Tsuchiya, M., Asada, A., Kasahara, E., Sato, E.F., Shindo, M., Inoue, M. 2002.
Smoking a Single Cigarette Rapidly Reduces Combined Concentrations of
Nitrate and Nitrite and Concentrations of Antioxidants in Plasma.
Circulation.105:1155-1157
Valavanidis, A., Vlachogianni, T., Fiotakis, K. 2009. Tobacco Smoke:
Involvement of Reactive Oxygen Species and Stable Free Radic,als in
Mechanisms of Oxidative Damage, Carcinogenesis and Synergistic Effects
with Other Respirable Particles. International Journal of Environmental
Research and Public Health. 6(2):445-462.
Valko, M., Leibfritz, D., Moncol, J., Cronin, M.T., Mazur, M., Telser, J. 2007.
Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and human
disease. Int J Biochem Cell Biol. 39(1):44-84.
Van Hove, C., Van der Donckt, C., Herman, A., Bult, H., Fransen, P. 2009.
Vasodilator efficacy of nitric oxide depends on mechanisms of intracellular
calcium mobilization in mouse aortic smooth muscle cells. British Journal
of Pharmacology. 158(3):920-930.
Vleeming, W., Rambali, B., Opperhuizen, A. 2002. The role of nitric oxide in
cigarette smoking and nicotine addiction. Nicotine Tob Res. 4(3):341-8.
Wagner, L., Laczy, B., Tamask, M., Mazk, I., Mark, L., Molnr, G.A., Wagner,
Z., Mohs, M., Cseh, J., Fekete, A., Wittmann, I. 2007. Cigarette smoke-
induced alterations in endothelial nitric oxide synthase phosphorylation: role
of protein kinase C. Endothelium. 14(45): 245-55
Wang, H., Ye, Y., Zhu, M., Cho, C. 2000. Increased interleukin-8 expression by
cigarette smoke extract in endothelial Cells. Environ Toxicol Pharmacol 9:
1923.
WHO. 2008. Report on the Global Tobacco Epidemic. World Health Organization.
Geneva
Widlansky, M.E., Gokce, N., Keaney, J.F Jr., Vita, J.A. 2003. The clinical
implications of endothelial dysfunction. J Am Coll Cardiol. 42:11491160
84

Wills, O., Stephens, A. 2002. Coagulation Abnormalities in Dengue Hemorrhagic


Fever: Serial Investigations in 167 Vietnamese Children with Dengue Shock
Syndrome. Clin. Infect. Dis. 35:277285.
Winarsi, H. 2007. Produk Oksidasi pada Senyawa Lipid. Antioksidan Alami dan
Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius. p. 50-59.
Woolf, N., Wotherspoon, A., Young, M. 2005. The Liver, Billiary System and
Exocrine Pancreas. Essentials of Pathologythology. Pennsylvania: Elsevier
Saunders.
Wu, G., Bazer, F.W., Davis, T.A. 2009 Arginine metabolism and nutrition in
growth, health and disease. Amino acids. 37(1):153-168.
Wu, L.L. 2003. Evaluation of Protective Efficacy and Immune Mechanisms of
Using A Non-structural Protein NS1 in DNA Vaccine Against Dengue Virus
in Mice. Vaccine. 21:39193929.
Zhang, W., Liu, H., Rojas, M., Caldwell, R.W., and Caldwell, R.B. 2011.
Antiinflammatory Therapy for DiabeticRetinopathy.Immunotherap, vol
3(5), pp.609-628.

Anda mungkin juga menyukai