Audith M Turmudhi
(Dimuat pada Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi Prisma, No. 3, Tahun XX,
Jakarta: LP3ES, Maret 1991)
Problematika Global
Dewasa ini umat manusia dihadapkan pada berbagai masalah global
mondial yang luar biasa serius. Kondisi lingkungan hidup kita sudah sedemikian
gawat mengancam keselamatan seluruh umat manusia dengan jebolnya
lapisan ozon di atas kutub selatan, naiknya permukaan air laut, turunnya hujan
asam, memanasnya suhu udara dan mulai kacaunya iklim, dan lain-lain. Semua
itu tidak lain sebagai akibat ulah manusia sendiri, yakni oleh filsafat materialisme
dan ateisme yang menuntun pandangan masyarakat dunia, yang mendasari dan
menyemangati ilmu, teknologi, industri, praktik bisnis dan seluruh pola hubungan
eksploitatif, baik antar manusia maupun manusia dengan alam.
Peradaban kita dewasa ini digerakkan oleh jiwa dan semangat yang
penuh keserakarahan, kesombongan, egoisme, hedonisme dan ketidakpedulian
akan kebutuhan dan kesusahan sesama manusia, alam dan kehidupan di masa
depan. Disebutkan olah Erich Fromm, bahwa masyarakat moderen adalah
masyarakat yang acquisitive, yakni masyarakat yang berorientasi dan bermodus
eksistensi to have, penuh nafsu untuk memiliki lebih banyak dan lebih banyak
lagi, tak puas-puasnya. Dalam masyarakat demikian, mendemonstrasikan
kekuasaan dan kesuksesan material, merampas kesempatan dan hak-hak orang
lain, menjadi pola-pola perilaku umum. Filsafat dan sikap jiwa tersebut adalah
sumber dari pelbagai-bagai krisis: ekologi, sosial-budaya dan kemanusiaan.
Alhasil, dalam zaman yang oleh Tillich disebut sebagai the age of anxiety ini,
kebahagiaan makin jauh dari batin umat manusia. Padahal semangat yang sakit
itu menebar ke mana-mana, berpusar keras di seluruh atmosfer kehidupan, tak
terkecuali ke tengah-tengah masyarakat kita.
Dengan demikian problematika keindonesiaan saat ini, untuk sebagian
utamanya, dapat dilihat dalam perspektif problematika global umat manusia
sebagaimana diterangkan di atas. Marjinalisasi dan penggusuran masyarakat
kecil oleh kekuatan-kekuatan industrial, ketimpangan penguasaan sumber-
sumber ekonomi dan ketidakadilan dalam distribusi hasil-hasil pembangunan
sehingga terjadi keberlimpahan pada sekelompok anggota masyarakat di satu
pihak dan kemiskinan rakyat banyak di pihak lain, tidak terlepas dari globalisasi
semangat materialisme-individualisme. Kuatnya pemihakan kekuasaan pada
kepentingan industrial, dan lemahnya pembelaan pada kebutuhan rakyat-kecil-
banyak, yakni kaum tani, pedagang kecil, buruh, kaum pencari kerja yang
semua itu seakan-akan menjadi beyond help oleh sebab lemahnya kekuatan
sipil dalam mengontrol kebijakan-kebijakan penguasa, akibat belum cukup
dikembangkannya demokrasi politik di negeri ini adalah buah yang wajar dari
sistem ekonomi kapitalistik yang kita terapkan. Suatu sistem kapitalistik yang
bukan saja dalam dirinya tidak berintikan moralitas kemanusiaan dan
kebertuhanan, tetapi juga yang praktik-praktiknya belum cukup mengalami revisi
sehingga masih sarat mengidap ciri-ciri kapitalisme dekaden abad lalu. Dalam
istilah Yoshihara Kunio, kapitalisme kita adalah suatu ersatz capitalism, yaitu
bertumbuhkembangnya kaum kapitalis bukan melalui mekanisme wajar,
melainkan melalui patronase, perlindungan atau koneksi dengan kekuasaan.
---- &&&----