Akeses intravascular
Pemberian obat via vena perifer versus vena sentral
Kanulasi vena periferlebih cepat, mudah dan aman. Setiap pemberian obat dari
vena perifer harus diikuti dengan pemberian cairan sekurangnya 20 mL. pemasaangan
akes vena sentral sebaiknya dilakukan hanya oleh orang yang sudah terlatih dan
kompeten dan proses pemasangan harus dilakukan dengan interupsi minimal pada
kompresi dada.
Jalur intraosseus
Bila akses intravena tidak bias didapat dalam 2 menit pertama resusitasi,
pertimbangkan untuk pemasangan akses intraosseus. Akses intraosseus biasanya
digunakan pada anak-anak karena sulitnya mendapatkan akses intravena, namun
teknik ini telah diaanggap sebagai jalur yang aman dan efektif untuk pemberian obat
dan cairan bagi orang dewasa juga.171-173 Daerah yang dapat diakses diantaranya
daerah tibia dan humerus.172 Pemberian obat-obat resusitasi melalui jalur ini akan
mencapai konsentrasi plasma yang adekuat.
Jalur trakea
Obat-obat resusitasi juga dapat diberikan melalui pipa trakea, namun
konsentrasi plasma obat yang diberikan melalui jalur ini sangat bervariasi dan secara
umum dianggap lebih rendah daripada peberian melalui jalur intravena dan
intraosseus, terutama adrenalin. Cairan intratrakeal dalam jumlah besar akan
mengganggu pertukaran gas. Karena akses IO yang lebih mudah dan kurang
efisiennya pemberian obat via jalur trakea, maka teknik ini tidak lagi
direkomendasikan.
Obat
Penggunaan adrenalin telah didiskusikan sebelumnya.
Obat antiaritmia
Sama halnya dengan vasopressor, bukti mengenai manfaat obat-obat anti
aritmia dalam penanganan henti jantung terbatas. Tidak ada obat anti aritmia yang
diberikan saat henti jantung pada manusia yang menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit, namun amiodaron disebutkan dapat
meningkatkan angka kelangsungan hidup hingga perawatan di rumah sakit setelah
VF/VT refrakter-shock. Tidak ada data mengenai penggunaan amiodarione untuk
VF?VT refrakte-shock bila yang digunakan adalah shock tunggal. Meskipun data
mengenai prognosis jangka panjang pada manusia terbatas, tapi tetap banyak yng
mendukung penggunaan oat anti aritmia untuk penanganan aritmia pada henti
jantung.
Amiodarone
Amiodaron adalah obat anti aritmia membrane-stabilising yang meningkatkan
durasi aksi potensial dan periode refrakter pada miokardium atrium dan ventrikel.
Selain itu, konduksi atrioventrikular juga diperlambat, dan efek yang sama juga
terjadi pada jalur aksesorius. Hipotensi yang terjadi setelah pemberian amiodarone
diduga tergantung pada kecepatan pemberian dan juga diduga terjadi lebih karena
efek pelarutnya (Polysorbate 80 dan benzyl alcohol), yang menyebabkan
pelepasan histamine dibandingkan karena efek obatnya senidri.176 Sediaan
amiodarone cair yang bebas dari efek samping itu saat ini telah disetujui
penggunaannya di Amerika Serikat.
Berdasarkan consensus para ahli, bila VF?VT menetap, beri 300 mg
amiodarone (setelah itu beri 20 mL NaCl 0,9% atau Dextrosa 5 %) 177 setelah shock
yang ketiga. Dosis selanjutnya, 150 mg, dapat diberikan bila terjadi VF/VT
rekuren atau refrakter, dan setelah itu diikuti denan pemberian infuse 900 mg
dalam 24 jam. Lidokain 1 mg/kg dapat digunakan sebagai alternative bila
amiodarone tida tersedia, tapi jangan berikan lidokain bila sebelumnya telah diberi
amiodarone.
Magnesium
Meskipun madnesium diketahui bermanfaar dalam kondisi hipomagnesemia,
namun manfaat penggunaannya secara rutin saat henti jantung tidak terbukti.
Penelitian pada orang dewasa di dalam dan luar rumah sakit tidak dapat
menunjukkan adanya peningkatan angka kembalinya sirkulasi spontan (Return of
Spontaneous Circulatin ROSC) bila magnesium diberikan secara rutin saat RKP.
Berikan dosis awal 2 g (=9 mmol, 4 mL magnesium sulfat 50%) secara IV untuk
VF refrakter bila terdapat kevurigaan hipomagnesemia (misalnya pasien yang
mengonsumsi diuretic yang tidak hemat potassium); dosis dapat diulang setelah
10-15 menit. Indikasi yang lain diantaranya:
Takiaritmia ventricular yang disertai kemungkinan hipomagnesemia
VT torsade de pointes
Keracunan digoksin
Bikarbonat
Henti jantung mengakibatkan kombinasi asidosis respirasi dan metabolic karena
terhentinya pertukaran gas di paru-paru dan metabolism seluler menjadi anaerob.
Penanganan terbaik untuk academia pada henti jantung adalah kompresi dada dn
manfat tambahan lain didapatkan dari ventilasi. Saat henti jantung, nilai gas arteri
dapat menyesatkan dan hanya sedikit hubungannya dengan status asam-basa
jaringan;184 analisis darah dari vena sentral dapat memberikan perkiraan pH jaingan
yang lebih baik. Bikarbonat menyebabkan pembentukan karbondioksida yang
kemudian berdifusi ke sel dengan cepat. Efek bikarbonat diantaranya:
Mengeksaserbasi asidosis intraselular
Menyebabkan efek inotropik negative pada miokardium yang iskemik
Menyebabkan penimbunan sodium yang besar, yang aktif berosmosis pada
sirkulasi dan otak yang sudah terganggu
Menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen ke kiri (shift to the left)
yang nantinya menghalangi pelepasan oksigen ke jaringan
Pemberian sodium bikarbonat secara rutin pada henti jantung dan Resusitasi
Kardipulmoner (utamanya pada kasus henti jantung di ;uar rumah sakit), atau setelah
sirkulasi spontan kembali, tida direkomendasikan. Beri sodium bikarbonat (50
mmoL) bila henti jantung diduga akibat hiperkalemia atau overdosis antidepresan
trisiklik. Pemberian dosis ulang disesuaikan dengan keadaan klinis pasien dan hasil
analisis gas darah.
Kalsium
Kalsium memegang peran penting dalam mekanisme seluler yang
menyebabkan kontraksi miokardium. Tidak ada data yang menggambarkan adanya
manfaat kalsium pada kasus-kasus henti jantung. Konsentrasi plasma yang tinggi
dapat berbahaya nbagi miokardium yang iskemik dan dapat mengganggu proses
penyembuhan serebral. Pemberian kalsium saat resusitasi hanya bila terdapat indikasi
seperti pada henti jantung yang diakibtkan oleh hiperkalemia, hipokalsemia, dan obat
calcium channel blocker.
Dosis permulaan adalah 10 ML kalsium klorida 10$ (6,8 mmol Ca2+) dan dapat
diulangi bila perlu. Kalsium dapat menurunkan denyut jantung dan menyebabkan
aritmia. Pada henti jantung, kalsium dapat diberikan melalui injeksi intravena secara
cepat. Bila ada sirkulasi spontan, berikan secara pelan. Jangan berikan larutan
kalsium dan sodium bikarbonat secara bersamaan melalui rute yang sama.
RKP Mekanis
RKP manual standar dapat membuat perfusi koroner dan serebral paling baik
sebesar 30%.185 Beberapa teknik dan peraatan RKP dapat eningkatkan hemodinamik
atau angka kelangsungan hidup jangka pendek bila digunakan oleh petugas terlatih
pada kasus-kasus tertentu. Namun, keberhasilan setiap teknik dan peralatan
bergantung pada edukasi dan pelatihan semua petugas. Meskipun kompresi dada
manual kadang dilakukan dengan buruk,186-188 namun tidak ada alat yang secara
konsisten lebih baik daripada RKP manual.
Sirkulasi
Telah diketahui secara luas bahwa pasien pasca henti jantung dengan STEMI
(ST Elevation Miocardial Infarction) harus menjalani angiografi koroner dini dan
intervensi koroner perkutan (PCI = percutaneous coronary intervention), namun
karena keluhan nyeri dada dan atau elevasi ST tidak selalu menunjukkan adanya
oklusi koroner akut,211 maka intervensi tersebut harus dipertimbangkan pada semua
55,211,212
pasien pasca henti jantung yang diduga menderita penyakit arteri koroner.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kombinasi hipotermia terapeutik dan PCI
mudah dan aman dilakukan untuk henti jantung yang disebabkan oleh infark miokard
akut. 212-216
Disfungsi miokard pasca henti jantung menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik, yang bermanifestasi sebagai hipotensi, indeks jantung rendah dan
203
aritmia. Jika penanganan dengan cairan dan obat-obatan vasoaktif tidak cukup
untuk memperbaiki sirkulasi, pertimbangkan untuk melakukan insersi intra-aortic
212,213
balloon pump. Karena tidak adanya data definitive, targetkan untuk mencapai
tekanan darah arterirata-rata untuk mendapatkan urine output yang adekuat (1 ml /kg
/jam) dan kadar laktat plasma yang normal atau menurun, dan pertimbangkan juga
untuk mencapat tekanan darah pasien yang biasanya (bila diketahui), penyebab henti
jantng dan tingkat keparahan disfungsi miokard. 202
Hipotermia terapeutik.
Data pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa hipotermia ringan bersifat
neuroprotektif dan dapat memperbaiki keluaran setelah periode hipoksik-iskemik
233,234
serebral yang global. Suhu dingin menekan banyak jalur sehingga dapat
menunda kematian sel, termasuk apoptosis (kematian sel terprogram). Hipotermia
menurunkan tingkat metabolisme oksigen otak sebesar 6% untuk setiap
235
penurunan suhu 1 C dan hal ini dapat menurunkan pelepasan asam amino
eksitatorik dan radikal bebas. 233 Hipotermia dapat menghalangi paparan eksitoksin
(konsentrasi kalsium dan glutamat yang tinggi) dan mengurangi respon inflamasi
yang berkaitan dengan sindrom pasca henti jantung.
Semua penelitian terhadap hipotermia terapeutik pasca henti jantung melibatkan
pasien yang dalam keadaan koma. Terdapat bukti yang cukup baik yang
mendukung induksi hipotermia pada penderita koma setelah henti jantung akibat
VF yang terjadi di luar rumah sakit. Salah satu penelitian acak dan pseudo acak 237
menunjukkan adanya perbaikan keluaran neurologis saat keluar rumah sakit atau
dalam 6 bulan pada pasien koma setelah henti jantung akibat VF yang terjadi di
luar rumah sakit. Pendinginan dimulai dalam waktu beberapa menit sampai
beberapa jam setelah sirkulasi spontan dicapai dengan kisaran suhu 32-34 C
dipertahankan selama 12-24 jam. Ekstrapolasi data ini untuk tipe henti jantung
lainnya (mis, ritme jantung awal lainnya, henti jantung yang terjadi di rumah sakit,
pasien pediatrik) tampaknya masuk akal tapi didukung oleh data yang didapatkan
dari percobaan non-acak.212,238,241
Pelaksanaan hipotermia terapeutik dibagi menjadi tiga fase: induksi,
242
pemeliharaan, dan penghangatan kembali. Data yang diperoleh dari penelitian
terhadap hewan menunjukkan bahwa pendinginan segera setelah sirkulasi spontan
243
kembali menghasilkan keluaran yang lebih baik. Teknik pendinginan eksternal
dan/atau internal dapat digunakan untuk memulai pendinginan. Infus 30 ml /kg
cairan NaCl 0,9% yang bersuhu 4 C atau larutan Hartmann dapat menurunkan
suhu inti tubuh sekitar 1,5 C. Metode lain yang dapat digunakan untuk
menginduksi dan atau mempertahankan hipotermia meliputi: ice packs sederhana
dan atau handuk basah, selimut atau bantalan pendingin, selimut bersirkulasi air
atau udara, bantalan bersirkulasi air yang dilapisi gel, intravascular heat
exchanger, dan bypass kardiopulmoner.
Pada tahap pemeliharaan, dipilih metode pendinginan dengan monitoring suhu
efektif untuk menghindari fluktuasi suhu. Hal ini dapat dicapai dengan perangkat
pendinginan eksternal atau internal yang mencakup umpan balik temperatur secara
kontinyu untuk mencapai suhu target yang ditetapkan. Konsentrasi elektrolit
plasma, volume intravaskular yang efektif dan tingkat metabolisme dapat berubah
dengan cepat selama tahap penghangatan kembali, seperti yang terjadi selama
tahap pendinginan. Dengan demikian, penghangatan kembali harus dicapai secara
perlahan: tingkat yang optimal belum diketahui, tetapi konsensus saat ini
240
menyatakan agar penghangatan dilakukan sekitar 0,25-0,5 C per jam. Efek
fisiologis hipotermia harus ditangani dengan baik.242
PROGNOSIS
Dua-pertiga dari pasien pasca henti jantung di luar rumah sakit yang kemudian
244
dirawat di ICU meninggal karena cedera neurologis. Seperempat dari pasien pasca
henti jantung di dalam rumah sakit yang juga kemudian dirawat di ICU meninggal
karena cedera neurologis. Diperlukan suatu metode untuk memprediksi keluaran
neurologis yang dapat diterapkan pada setiap pasien segera setelah sirkulasi spontan
tercapai. Sejumlah penelitian berfokus pada prediksi keluaran jangka panjang yang
buruk (kondisi vegetatif atau kematian), berdasarkan temuan klinis atau tes yang
menunjukkan adanya cedera otak ireversibel, sehingga memungkinkan dokter untuk
membatasi perawatan atau menghentikan melepaskan alat penunjang organ.
Penggunaan tes prognostik ini harus memiliki spesifisitas 100% atau tidak ada positif
palsu, misalnya tidak ada pasien yang memiliki keluaran jangka panjang baik padahal
sudah diperediki bahwa keluarannya akan buruk.
Pemeriksaan klinis
Tidak ada tanda-tanda neurologis klinis yang andal untuk memprediksi keluaran
yang buruk (Kategori Kinerja Cerebral [CCP= Cerebral Performance Category] 3
atau 4, atau kematian) pada saat kurang dari 24 jam setelah henti jantung. Pada pasien
dewasa yang mengalami koma setelah henti jantung, dan yang belum diterapi dengan
hipotermia serta yang tidak memiliki faktor penyerta (seperti hipotensi, obat-obat
sedatif atau relaksan otot), hilangnya refleks cahaya pupil dan refleks kornea setelah
220
> 72 jam, dapat dipercaya untuk memprediksi keluaran yang buruk. Hilangnya
245,246
refleks vestibulo-okular pada > 24 jam dan skor GCS motorik 2 atau kurang
220
setelah > 72 jam kurang dapat dipercaya. Tanda-tanda klinis lainnya, seperti
mioklonus, tidak dianjurkan untuk memprediksi keluaran yang buruk. Adanya status
219,220,247,249
mioklonus pada orang dewasa sangat terkait dengan keluaran yang buruk,
tapi pada beberapa kaus (jarang) dapat mengalami penyembuhan neurologis yang
baik.
Penanda Biokimia
Penanda serum (misalnya Enolase neuron spesifik, protein S100) atau Liquor
serebrospinalis saja tida cukup untuk memprediksi keluaran yang buruk pada pasien
koma setelah henti jantung dengan atau tanpa hipotermia terapeutik.
Pemeriksaan Neurofisiologi
Tidak ada pemeriksaan neurofisiologi yang dapat memprediksi keluaran pasien
koma dengan tepat dalam 24 jam pertama setelah henti jantung. Jika somatosensory
evoked potential (SSEP) diukur setelah 24 jam, pada pasien koma pasca henti jantung
yang tidak ditangani dengan hipotermia terapeutik, tidak adanya respon N20 kortikal
bilateral terhadap rangsangan saraf median dapat diperkirakan keluaran yang buruk
(kematian atau CPC 3 atau 4).250 Sangat sedikit rumah sakit di Inggris yang punya
peralatan SSEP.
Pemeriksaan Radiologis
Banyak pemeriksaan radiologi (Magnetic Resonance Imaging [MRI],
Computed Tomography [CT], Single Photon Emission Computed Tomography
[SPECT], angiografi serebral, Doppler transkranial, kedokteran nuklir, Near Infra-
Red Spectroscopy [NIRS] ) telah diteliti untuk mengetahui kegunaannya dalam
251
memprediksi keluaran pasien dewasa yang bertahan hidup setelah henti jantung.
Namun belum ada penelitian yang mendukung penggunaan pemeriksaan radiologis
untuk memprediksi keluaran pasien pasca henti jantung yang koma.