Anda di halaman 1dari 13

SIRKULASI

Akeses intravascular
Pemberian obat via vena perifer versus vena sentral
Kanulasi vena periferlebih cepat, mudah dan aman. Setiap pemberian obat dari
vena perifer harus diikuti dengan pemberian cairan sekurangnya 20 mL. pemasaangan
akes vena sentral sebaiknya dilakukan hanya oleh orang yang sudah terlatih dan
kompeten dan proses pemasangan harus dilakukan dengan interupsi minimal pada
kompresi dada.

Jalur intraosseus
Bila akses intravena tidak bias didapat dalam 2 menit pertama resusitasi,
pertimbangkan untuk pemasangan akses intraosseus. Akses intraosseus biasanya
digunakan pada anak-anak karena sulitnya mendapatkan akses intravena, namun
teknik ini telah diaanggap sebagai jalur yang aman dan efektif untuk pemberian obat
dan cairan bagi orang dewasa juga.171-173 Daerah yang dapat diakses diantaranya
daerah tibia dan humerus.172 Pemberian obat-obat resusitasi melalui jalur ini akan
mencapai konsentrasi plasma yang adekuat.

Jalur trakea
Obat-obat resusitasi juga dapat diberikan melalui pipa trakea, namun
konsentrasi plasma obat yang diberikan melalui jalur ini sangat bervariasi dan secara
umum dianggap lebih rendah daripada peberian melalui jalur intravena dan
intraosseus, terutama adrenalin. Cairan intratrakeal dalam jumlah besar akan
mengganggu pertukaran gas. Karena akses IO yang lebih mudah dan kurang
efisiennya pemberian obat via jalur trakea, maka teknik ini tidak lagi
direkomendasikan.

Obat
Penggunaan adrenalin telah didiskusikan sebelumnya.
Obat antiaritmia
Sama halnya dengan vasopressor, bukti mengenai manfaat obat-obat anti
aritmia dalam penanganan henti jantung terbatas. Tidak ada obat anti aritmia yang
diberikan saat henti jantung pada manusia yang menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit, namun amiodaron disebutkan dapat
meningkatkan angka kelangsungan hidup hingga perawatan di rumah sakit setelah
VF/VT refrakter-shock. Tidak ada data mengenai penggunaan amiodarione untuk
VF?VT refrakte-shock bila yang digunakan adalah shock tunggal. Meskipun data
mengenai prognosis jangka panjang pada manusia terbatas, tapi tetap banyak yng
mendukung penggunaan oat anti aritmia untuk penanganan aritmia pada henti
jantung.
Amiodarone
Amiodaron adalah obat anti aritmia membrane-stabilising yang meningkatkan
durasi aksi potensial dan periode refrakter pada miokardium atrium dan ventrikel.
Selain itu, konduksi atrioventrikular juga diperlambat, dan efek yang sama juga
terjadi pada jalur aksesorius. Hipotensi yang terjadi setelah pemberian amiodarone
diduga tergantung pada kecepatan pemberian dan juga diduga terjadi lebih karena
efek pelarutnya (Polysorbate 80 dan benzyl alcohol), yang menyebabkan
pelepasan histamine dibandingkan karena efek obatnya senidri.176 Sediaan
amiodarone cair yang bebas dari efek samping itu saat ini telah disetujui
penggunaannya di Amerika Serikat.
Berdasarkan consensus para ahli, bila VF?VT menetap, beri 300 mg
amiodarone (setelah itu beri 20 mL NaCl 0,9% atau Dextrosa 5 %) 177 setelah shock
yang ketiga. Dosis selanjutnya, 150 mg, dapat diberikan bila terjadi VF/VT
rekuren atau refrakter, dan setelah itu diikuti denan pemberian infuse 900 mg
dalam 24 jam. Lidokain 1 mg/kg dapat digunakan sebagai alternative bila
amiodarone tida tersedia, tapi jangan berikan lidokain bila sebelumnya telah diberi
amiodarone.
Magnesium
Meskipun madnesium diketahui bermanfaar dalam kondisi hipomagnesemia,
namun manfaat penggunaannya secara rutin saat henti jantung tidak terbukti.
Penelitian pada orang dewasa di dalam dan luar rumah sakit tidak dapat
menunjukkan adanya peningkatan angka kembalinya sirkulasi spontan (Return of
Spontaneous Circulatin ROSC) bila magnesium diberikan secara rutin saat RKP.
Berikan dosis awal 2 g (=9 mmol, 4 mL magnesium sulfat 50%) secara IV untuk
VF refrakter bila terdapat kevurigaan hipomagnesemia (misalnya pasien yang
mengonsumsi diuretic yang tidak hemat potassium); dosis dapat diulang setelah
10-15 menit. Indikasi yang lain diantaranya:
Takiaritmia ventricular yang disertai kemungkinan hipomagnesemia
VT torsade de pointes
Keracunan digoksin

Bikarbonat
Henti jantung mengakibatkan kombinasi asidosis respirasi dan metabolic karena
terhentinya pertukaran gas di paru-paru dan metabolism seluler menjadi anaerob.
Penanganan terbaik untuk academia pada henti jantung adalah kompresi dada dn
manfat tambahan lain didapatkan dari ventilasi. Saat henti jantung, nilai gas arteri
dapat menyesatkan dan hanya sedikit hubungannya dengan status asam-basa
jaringan;184 analisis darah dari vena sentral dapat memberikan perkiraan pH jaingan
yang lebih baik. Bikarbonat menyebabkan pembentukan karbondioksida yang
kemudian berdifusi ke sel dengan cepat. Efek bikarbonat diantaranya:
Mengeksaserbasi asidosis intraselular
Menyebabkan efek inotropik negative pada miokardium yang iskemik
Menyebabkan penimbunan sodium yang besar, yang aktif berosmosis pada
sirkulasi dan otak yang sudah terganggu
Menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen ke kiri (shift to the left)
yang nantinya menghalangi pelepasan oksigen ke jaringan
Pemberian sodium bikarbonat secara rutin pada henti jantung dan Resusitasi
Kardipulmoner (utamanya pada kasus henti jantung di ;uar rumah sakit), atau setelah
sirkulasi spontan kembali, tida direkomendasikan. Beri sodium bikarbonat (50
mmoL) bila henti jantung diduga akibat hiperkalemia atau overdosis antidepresan
trisiklik. Pemberian dosis ulang disesuaikan dengan keadaan klinis pasien dan hasil
analisis gas darah.

Kalsium
Kalsium memegang peran penting dalam mekanisme seluler yang
menyebabkan kontraksi miokardium. Tidak ada data yang menggambarkan adanya
manfaat kalsium pada kasus-kasus henti jantung. Konsentrasi plasma yang tinggi
dapat berbahaya nbagi miokardium yang iskemik dan dapat mengganggu proses
penyembuhan serebral. Pemberian kalsium saat resusitasi hanya bila terdapat indikasi
seperti pada henti jantung yang diakibtkan oleh hiperkalemia, hipokalsemia, dan obat
calcium channel blocker.
Dosis permulaan adalah 10 ML kalsium klorida 10$ (6,8 mmol Ca2+) dan dapat
diulangi bila perlu. Kalsium dapat menurunkan denyut jantung dan menyebabkan
aritmia. Pada henti jantung, kalsium dapat diberikan melalui injeksi intravena secara
cepat. Bila ada sirkulasi spontan, berikan secara pelan. Jangan berikan larutan
kalsium dan sodium bikarbonat secara bersamaan melalui rute yang sama.

RKP Mekanis
RKP manual standar dapat membuat perfusi koroner dan serebral paling baik
sebesar 30%.185 Beberapa teknik dan peraatan RKP dapat eningkatkan hemodinamik
atau angka kelangsungan hidup jangka pendek bila digunakan oleh petugas terlatih
pada kasus-kasus tertentu. Namun, keberhasilan setiap teknik dan peralatan
bergantung pada edukasi dan pelatihan semua petugas. Meskipun kompresi dada
manual kadang dilakukan dengan buruk,186-188 namun tidak ada alat yang secara
konsisten lebih baik daripada RKP manual.

Impedance Threshold Device (ITD)


ITD adalah sebuah katup yang membatasi jumlah udara yang masuk ke paru-
paru saat dada mengemabang (di antara 2 kompresi dada). Hal ini menurunkan
tekanan intratoraks dan meningkatkan aliran balik vena ke jantung. Sebuah
metaanalisa terbaru menunjukkan bahwa dengan penggunaan ITD ini kembalinya
sirkulasi spontan dan kelangsungan hidup jangka pendek meningkat tapi dalam hal
kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit atau keutuhan status neurologis tidak
meningkat secara signifikan bila digunakan pada kasus henti jantung di luar rumah
sakit.189 Karena tidak ada data yang menunjukkan bahwa ITD dapat meningkatkan
kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit, maka penggunaannya secara rutin
dalam penanganan serangan jantung tidak direkomendasikan.

RKP Lund University cardiac arrest system (LUCAS)


LUCAS adalah alat kompresi sternum yang digerakkan oleh gas dan
dihubungkan dengan suction cup untuk dekompresi aktif. Meskipun percobaan pada
binatang menunjukkan penggunaan RKP LUCAS dapat meningkatkan hemodinamik
190,192
dan kelangsungan hidup jangka pendek, namun belum ada penelitian pada
manusia yang membandingkan RKP LUCAS dan RKP standar.

RKP Load-distributing band (AutoPulse)


LDB adalah alat kompresi dada melingkar yang terdiri dari constricting band
(yang dijalankan secara pneumatic) dan backboard. Meskipun RKP LDB dapat
meningkatkan hemodinamik, 192-194 namun hasil penelitian berlawanan.195-196

Status terkini LUCAS dan Auto Pulse


Saat ini, sedang dilakukan 2 penelitian prospektif untuk mengevaluasi LDB
(Autopulse) dan LUCAS. Hasil penelitian ini sangat dinanti. Di rumah sakit, alat
mekanis telah digunakan secara efektif dalam membantu pasien yang menjalani
197,198
Intervensi Koroner Primer (IKP) dan CT Scan199 dan juga saat resusitasi yang
lama (misalnya hipotermia,200,201 keracunan, thrombolisis untuk emboli paru, transport
yang lama) dimana kelelahan penolong dapat mengganggu efektivitas kompresi dada.
Peran alat mekanis dalam segala situasi butuh evaluasi lebih lanjut sebelum
direkomendasikan penggunaannya secara luas.

PERAWATAN PASCA RESUSITASI


Sindrom pasca henti jantung
Kembalinya sirkulasi spontan (Return of Spontaneous Circulation ROSC)
hanya merupakan langkah awal dalam pemulihan setelah serangan jantung. Sindrom
pasca henti jantung yang terdiri atas cedera otak pasca henti jantung, disfungsi
miokardium pasca henti jantung, respon iskemia/reperfusi sistemik, dan patologi yang
persisten, biasanya mempersulit fase pasca resusitasi.202 Tingkat keparahan sindrom
ini akan bervariasi tergantung pada durasi dan penyebab henti jantung. Sindrom ini
dapat pula tidak terjadi bila henti jantung terjadi hanya sesaat. Cedera otak pasca
henti jantung biasanya bermanifestasi sebagai koma, kejang, mioklonus, disfungsi
neurokognitif, dan kematian otak. Cedera otak pasca henti jantung dapat disebabkan
oleh kegagalan mikrosirkulasi, ketidakseimbangan autoregulasi, hiperkarbia,
hiperoksia, pireksia, hiperglikemia, dan kejang. Disfungsi miokardium yang
signifikan sering terjadi setelah henti jantung namun biasanya akan sembuh dalam 2-
203-204
3 hari. Iskemia/reperfusi sistemik yang terjadi setelah resusitasi akan
mengaktifkan jaur imunologis dan koagulasi yang dapat menyebabkan gagal organ
multiple dan peningkatan risiko infeksi.205,206 Sindorm pasca henti jantung memiliki
banyak gejala yang sama dengan sepsis, diantaranya penurunan volume intravaskuler
dan vasodilatasi.207,208

Jalan nafas dan pernafasan


Baik hipoksemia maupun hiperkarbia, keduanya meningkatkan kemungkinan
timbulnya henti jantung lebih lanjut dan dapat menyebabkan cedera otak sekunder.
Beberapa penelitian pada hewan menunjukkan bahwa hiperoksemia menyebabkan
209
stres oksidatif dan membahayakan neuron pasca iskemik. Suatu penelitian registri
klinis mencatat bahwa hiperoksemia pasca resusitasi dikaitkan dengan keluaran yang
210
buruk, dibandingkan dengan normo-oksemia dan hipoksemia. Setelah saturasi
oksigen darah arteri dapat dipantau dengan baik (dengan analisis gas darah dan atau
pulse oxymetry), sebaiknya dilakukan titrasi oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen darah arteri pada kisaran 94-98%. Pertimbangkan intubasi endotrakeal, sedasi
dan ventilasi terkontrol pada setiap pasien dengan gangguan fungsi serebral. Tidak
terdapat data yang mendukung target PCO2 arteri tertentu setelah resusitasi henti
jantung, tapi sangat masuk akal untuk menyesuaikan ventilasi untuk mencapai
normokarbia dan untuk memonitor hal ini dapat digunakan PCO 2 end tidal dan anaisa
gas darah arteri.

Sirkulasi
Telah diketahui secara luas bahwa pasien pasca henti jantung dengan STEMI
(ST Elevation Miocardial Infarction) harus menjalani angiografi koroner dini dan
intervensi koroner perkutan (PCI = percutaneous coronary intervention), namun
karena keluhan nyeri dada dan atau elevasi ST tidak selalu menunjukkan adanya
oklusi koroner akut,211 maka intervensi tersebut harus dipertimbangkan pada semua
55,211,212
pasien pasca henti jantung yang diduga menderita penyakit arteri koroner.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kombinasi hipotermia terapeutik dan PCI
mudah dan aman dilakukan untuk henti jantung yang disebabkan oleh infark miokard
akut. 212-216
Disfungsi miokard pasca henti jantung menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik, yang bermanifestasi sebagai hipotensi, indeks jantung rendah dan
203
aritmia. Jika penanganan dengan cairan dan obat-obatan vasoaktif tidak cukup
untuk memperbaiki sirkulasi, pertimbangkan untuk melakukan insersi intra-aortic
212,213
balloon pump. Karena tidak adanya data definitive, targetkan untuk mencapai
tekanan darah arterirata-rata untuk mendapatkan urine output yang adekuat (1 ml /kg
/jam) dan kadar laktat plasma yang normal atau menurun, dan pertimbangkan juga
untuk mencapat tekanan darah pasien yang biasanya (bila diketahui), penyebab henti
jantng dan tingkat keparahan disfungsi miokard. 202

Disabilitas (Optimalisasi penyembuhan neurologis)


Pengendalian kejang
Kejang atau mioklonus atau keduanya terjadi pada 5-15% pasien dewasa yang
mengalami sirkulasi spontan dan 10-40% dari pasien yang tetap koma. 217-220 Kejang
meningkatkan metabolisme otak hingga 3 kali lipat dan dapat menyebabkan cedera
otak: tangani denagn cepat dan efektif dengan benzodiazepin, fenitoin, valproate
sodium, propofol, atau barbiturat. Belum ada penelitian yang menganjurkan
pemberian obat antikonvulsan profilaksis setelah henti jantung pada orang dewasa.

Kontrol kadar glukosa


Terdapat hubungan yang kuat antara kadar glukosa darah tinggi setelah
221,222
resusitasi henti jantung dan keluaran neurologis yang buruk. Sebuah penelitian
acak skala besar terhadap kontrol glukosa intensif (4,5-6,0 mmol /liter) dibandingkan
kontrol glukosa konvensional (10 mmol /liter atau kurang) pada pasien ICU
memberikan hasil peningkatan 90-day mortality pada pasien-pasien yang ditangani
dengan kontrol glukosa intensif.223 Penelitian terbaru dan dua penelitian meta-analisis
lainnya terhadap kontrol glukosa secara ketat dibandingkan kontrol glukosa
konvensional pada pasien kritis menunjukkan tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan dalam hal mortalitas tetapi didapatkan bahwa kontrol glukosa yang ketat
224-226
dikaitkan dengan peningkatan resiko hipoglikemia yang signifikan.
Hipoglikemia berat dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada pasien kritis, 227 dan
pasien koma juga memiliki resiko hipoglikemia yang tidak terduga.

Kontrol suhu tubuh


Penanganan hiperpireksia.
Hipertermia (hiperpireksia) sering terjadi dalam 48 jam pertama setelah henti
jantung. 229 Beberapa penelitian melaporkan hubungan antara pireksia pasca henti
jantung dan keluaran yang buruk. 230-232 Meskipun efek kenaikan suhu terhadap
prognosis tidak dapat dibuktikan, namun tampaknya sangat bijaksana untuk
menangani hipertermia yang terjadi setelah henti jantung dengan pemberian
antipiretik atau pendinginan aktif.

Hipotermia terapeutik.
Data pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa hipotermia ringan bersifat
neuroprotektif dan dapat memperbaiki keluaran setelah periode hipoksik-iskemik
233,234
serebral yang global. Suhu dingin menekan banyak jalur sehingga dapat
menunda kematian sel, termasuk apoptosis (kematian sel terprogram). Hipotermia
menurunkan tingkat metabolisme oksigen otak sebesar 6% untuk setiap
235
penurunan suhu 1 C dan hal ini dapat menurunkan pelepasan asam amino
eksitatorik dan radikal bebas. 233 Hipotermia dapat menghalangi paparan eksitoksin
(konsentrasi kalsium dan glutamat yang tinggi) dan mengurangi respon inflamasi
yang berkaitan dengan sindrom pasca henti jantung.
Semua penelitian terhadap hipotermia terapeutik pasca henti jantung melibatkan
pasien yang dalam keadaan koma. Terdapat bukti yang cukup baik yang
mendukung induksi hipotermia pada penderita koma setelah henti jantung akibat
VF yang terjadi di luar rumah sakit. Salah satu penelitian acak dan pseudo acak 237
menunjukkan adanya perbaikan keluaran neurologis saat keluar rumah sakit atau
dalam 6 bulan pada pasien koma setelah henti jantung akibat VF yang terjadi di
luar rumah sakit. Pendinginan dimulai dalam waktu beberapa menit sampai
beberapa jam setelah sirkulasi spontan dicapai dengan kisaran suhu 32-34 C
dipertahankan selama 12-24 jam. Ekstrapolasi data ini untuk tipe henti jantung
lainnya (mis, ritme jantung awal lainnya, henti jantung yang terjadi di rumah sakit,
pasien pediatrik) tampaknya masuk akal tapi didukung oleh data yang didapatkan
dari percobaan non-acak.212,238,241
Pelaksanaan hipotermia terapeutik dibagi menjadi tiga fase: induksi,
242
pemeliharaan, dan penghangatan kembali. Data yang diperoleh dari penelitian
terhadap hewan menunjukkan bahwa pendinginan segera setelah sirkulasi spontan
243
kembali menghasilkan keluaran yang lebih baik. Teknik pendinginan eksternal
dan/atau internal dapat digunakan untuk memulai pendinginan. Infus 30 ml /kg
cairan NaCl 0,9% yang bersuhu 4 C atau larutan Hartmann dapat menurunkan
suhu inti tubuh sekitar 1,5 C. Metode lain yang dapat digunakan untuk
menginduksi dan atau mempertahankan hipotermia meliputi: ice packs sederhana
dan atau handuk basah, selimut atau bantalan pendingin, selimut bersirkulasi air
atau udara, bantalan bersirkulasi air yang dilapisi gel, intravascular heat
exchanger, dan bypass kardiopulmoner.
Pada tahap pemeliharaan, dipilih metode pendinginan dengan monitoring suhu
efektif untuk menghindari fluktuasi suhu. Hal ini dapat dicapai dengan perangkat
pendinginan eksternal atau internal yang mencakup umpan balik temperatur secara
kontinyu untuk mencapai suhu target yang ditetapkan. Konsentrasi elektrolit
plasma, volume intravaskular yang efektif dan tingkat metabolisme dapat berubah
dengan cepat selama tahap penghangatan kembali, seperti yang terjadi selama
tahap pendinginan. Dengan demikian, penghangatan kembali harus dicapai secara
perlahan: tingkat yang optimal belum diketahui, tetapi konsensus saat ini
240
menyatakan agar penghangatan dilakukan sekitar 0,25-0,5 C per jam. Efek
fisiologis hipotermia harus ditangani dengan baik.242

PROGNOSIS
Dua-pertiga dari pasien pasca henti jantung di luar rumah sakit yang kemudian
244
dirawat di ICU meninggal karena cedera neurologis. Seperempat dari pasien pasca
henti jantung di dalam rumah sakit yang juga kemudian dirawat di ICU meninggal
karena cedera neurologis. Diperlukan suatu metode untuk memprediksi keluaran
neurologis yang dapat diterapkan pada setiap pasien segera setelah sirkulasi spontan
tercapai. Sejumlah penelitian berfokus pada prediksi keluaran jangka panjang yang
buruk (kondisi vegetatif atau kematian), berdasarkan temuan klinis atau tes yang
menunjukkan adanya cedera otak ireversibel, sehingga memungkinkan dokter untuk
membatasi perawatan atau menghentikan melepaskan alat penunjang organ.
Penggunaan tes prognostik ini harus memiliki spesifisitas 100% atau tidak ada positif
palsu, misalnya tidak ada pasien yang memiliki keluaran jangka panjang baik padahal
sudah diperediki bahwa keluarannya akan buruk.

Pemeriksaan klinis
Tidak ada tanda-tanda neurologis klinis yang andal untuk memprediksi keluaran
yang buruk (Kategori Kinerja Cerebral [CCP= Cerebral Performance Category] 3
atau 4, atau kematian) pada saat kurang dari 24 jam setelah henti jantung. Pada pasien
dewasa yang mengalami koma setelah henti jantung, dan yang belum diterapi dengan
hipotermia serta yang tidak memiliki faktor penyerta (seperti hipotensi, obat-obat
sedatif atau relaksan otot), hilangnya refleks cahaya pupil dan refleks kornea setelah
220
> 72 jam, dapat dipercaya untuk memprediksi keluaran yang buruk. Hilangnya
245,246
refleks vestibulo-okular pada > 24 jam dan skor GCS motorik 2 atau kurang
220
setelah > 72 jam kurang dapat dipercaya. Tanda-tanda klinis lainnya, seperti
mioklonus, tidak dianjurkan untuk memprediksi keluaran yang buruk. Adanya status
219,220,247,249
mioklonus pada orang dewasa sangat terkait dengan keluaran yang buruk,
tapi pada beberapa kaus (jarang) dapat mengalami penyembuhan neurologis yang
baik.

Penanda Biokimia
Penanda serum (misalnya Enolase neuron spesifik, protein S100) atau Liquor
serebrospinalis saja tida cukup untuk memprediksi keluaran yang buruk pada pasien
koma setelah henti jantung dengan atau tanpa hipotermia terapeutik.

Pemeriksaan Neurofisiologi
Tidak ada pemeriksaan neurofisiologi yang dapat memprediksi keluaran pasien
koma dengan tepat dalam 24 jam pertama setelah henti jantung. Jika somatosensory
evoked potential (SSEP) diukur setelah 24 jam, pada pasien koma pasca henti jantung
yang tidak ditangani dengan hipotermia terapeutik, tidak adanya respon N20 kortikal
bilateral terhadap rangsangan saraf median dapat diperkirakan keluaran yang buruk
(kematian atau CPC 3 atau 4).250 Sangat sedikit rumah sakit di Inggris yang punya
peralatan SSEP.

Pemeriksaan Radiologis
Banyak pemeriksaan radiologi (Magnetic Resonance Imaging [MRI],
Computed Tomography [CT], Single Photon Emission Computed Tomography
[SPECT], angiografi serebral, Doppler transkranial, kedokteran nuklir, Near Infra-
Red Spectroscopy [NIRS] ) telah diteliti untuk mengetahui kegunaannya dalam
251
memprediksi keluaran pasien dewasa yang bertahan hidup setelah henti jantung.
Namun belum ada penelitian yang mendukung penggunaan pemeriksaan radiologis
untuk memprediksi keluaran pasien pasca henti jantung yang koma.

Dampak hipotermia terapeutik pada perkiraan prognosis


Tidak ada bukti yang adekuat untuk merekomendasikan suatu cara tertentu
utntuk memprediksi keluaran yang buruk pada pasien pasca henti jantung yang
ditangani dengan hipotermia terapeutik. Tidak ada tanda-tanda neurologis,
pemeriksaan neurofisiologi, biomarker, atau pemeriksaan radiologi yang dapat
dipercaya dalam memprediksi keluaran neurologis dalam 24 jam pertama pasca henti
jantung. Lat yang mungkin dapat dipercaya dlam memprediksi keluaran buruk pada
pasien yang ditangani dengan hipotermia terapeutik diantaranya absennya puncak
N20 bilateral pada SSEP setelah 24 jam pasca henti jantung dan tidak adanya refleks
247,252
kornea dan pupil dalam waktu 3 hari atau lebih pasca henti jantung. Karena
terbatasnya bukti, maka keputusan pembatasan perawatn tidak boleh diambil hanya
berdasarkan pada satu alat prediksi prognosis saja.
Donasi organ
Pasien pasca henti jantung yang tidak bertahan hidup menggambarkan
kesempatan untuk donasi organ,baik setelah kematian otak253 maupun sebagai donor
non-heart-beating.254

Pusat perawatan henti jantung


Terdapat angka kelangsungan hidup yang bervariasi antar rumah sakit yang
merawat pasien setelah reusitasi pasca henti jantung.255-258 Terdapat bukti tidak
langsung bahwa system perawatan kardiologi regional dapat meningkatkan keluaran
setelah STEMI.251 Dari data-data ini dapat disimpulkan bahwa pusat henti jantung dan
system perawatan dapat efektif tapi bukti langsung masih ditunggi. 259-261

Anda mungkin juga menyukai