Anda di halaman 1dari 33

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan

fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan

dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan

dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat

tergantung kesehatan masing-masing individu (Pangkahila, 2007).

Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti Aging Medicine)

adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungdanengan aging

yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat

diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Goldman and Klatz, 2003).

Sebenarnya banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami

proses penuaan tetapi pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu teori wear dan tear dan teori program. Teori wear dan tear

meliputi kerusakan DNA, glycosilation (glikosilasi), proses imun, dan

neuroendocrine theory (Pangkahila, 2007).

Menurut Goldman dan Klatz (2003) ada 4 teori pokok dari aging, yaitu:

1. Teori wear dan tear

Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan

disalahgunakan (overuse dan abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal,

kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan
10

lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena

sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak

terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,

sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan

hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan

bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang

akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

3. Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram DNA, dimana kita dilahirkan

dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental

tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi

tua dan berapa lama kita hidup.

4. Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi

akumulasi kerusakan radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas

sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan.

Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik

elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh

karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal

bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut
11

sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel.

Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA,

lemak, dan protein. Usia yang bertambahnya menyebabkan akumulasi kerusakan

sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu

metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada

kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin,

suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis.

Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada

daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam

akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman and Klatz, 2003).

Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003),

adalah sebagai berikut:

a. Faktor lingkungan seperti pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-

bahan polutan dan kimia sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan

rumah tangga, serta pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari

berbagai penelitian ternyata suara bising akan mampu meningkatkan

kadar hormon prolaktin dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai

jaringan tubuh. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya

penyediaan air bersih akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk

meningkatkan kekebalan. Sinar matahari secara langsung yang dapat

mempercepat penuaan kulit, hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen

kulit (Pangkahila, 2007).


b. Faktor diet / makanan. Jumlah nutrisi yang tidak optimal, jenis, dan

kualitas makanan yang banyak menggunakan pengawet, pewarna, perasa


12

dari bahan kimia terlarang. Zat beracun dalam makanan dapat

menimbulkan kerusakan berbagai organ tubuh, antara lain organ hati.


c. Faktor genetik seseorang sangat ditentukan oleh genetik orang tuanya,

tetapi faktor genetik ternyata dapat berubah karena infeksi virus, radiasi,

dan zat racun dalam makanan / minuman / kulit yang diserap oleh tubuh.
d. Faktor psikis berupa stres ternyata mampu memacu proses apoptosis di

berbagai organ/jaringan tubuh.


e. Faktor organik secara umum meliputi: rendahnya kebugaran / fitness,

pola makan kurang sehat, penurunan GH (Growth Hormone) dan IGF-1

(Insulin Growth Factor-1), penurunan testosteron, penurunan melatonin

secara konstan setelah usia 30 tahun dan menyebabkan gangguan

circadian clock (ritme harian), selanjutnya kulit dan rambut akan

berkurang pigmentasinya dan terjadi pula gangguan tidur, peningkatan

prolaktin yang sejalan dengan perubahan emosi dan stres, perubahan

Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)

(Pangkahila, 2007).

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi

berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan

gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu:

1. Tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut,

daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun

dan sakit tulang.


2. Tanda psikis antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas,

mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi.

Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung
13

menampakkan perubahan fisik dan psikis seperti di atas.

Menurut Pangkahila (2007), proses penuaan berlangsung melalui tiga

tahap sebagai berikut:

1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun):

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,

yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan

radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh.

Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang

merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan

pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.

2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun):

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot

berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan

kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini

menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung pembuluh

darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan

pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi

kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang

mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas

mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti

kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner,

dan diabetes.

3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas):


14

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi

DHEA (dehydroepidanrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron,

estrogen, dan juga hormon tiroid. Kemampuan penyerapan bahan makanan juga

terjadi penurunan bahkan sampai menghilang. Densitas tulang menurun, massa

otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun sehingga mengakibatkan

ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan.

Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami

kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu

keharmonisan banyak pasangan.

Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu

harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa orang

yang tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses

penuaan. Lebih jauh lagi, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi

proses penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata

(Pangkahila, 2007).

2.2 Radikal Bebas

Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul

yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital

luarnya. Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut

oksidasi. Sementara proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang

dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat

mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel


15

yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural

(Winarsi, 2007). Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan adalah

kecenderungannya untuk menarik elektron. Itulah sebabnya, radikal bebas

digolongkan dalam oksidan. Namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas

(Suryohudoyo, 2000). Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan

senyawa oksidan non radikal.


Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu reaktivitas tinggi, karena

kecenderungannya menarik elektron dan dapat mengubah suatu melokul menjadi

suatu radikal. Berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas

tersebut mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila radikal baru

bertemu molekul lain akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga

akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Bila elektron yang berikatan dengan

radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya

karena ikatan digunakan bersamasama pada orbital luarnya. Umumnya senyawa

yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar seperti lipid, protein

dan DNA. Diantara senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan

senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi

(Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2007).

2.2.1 Tahapan terbentuknya Radikal Bebas


Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3 tahapan reaksi

(Winarsi, 2007) yaitu:


1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas.
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.
3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau

penangkap radikal, sehingga potensi propagasi rendah.


16

Reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron (elektron transfer).

Pengalihan ini tidak dapat sekaligus tetapi dalam empat tahapan, yang setiap

tahapan hanya melibatkan pengalihan satu elektron. Kendala yang mengharuskan

oksigen hanya dapat menerima satu elektron setiap tahap menyebabkan terjadinya

dua hal yaitu :


1. Kurangnya reaktif oksigen
2. Terjadinya senyawa senyawa oksigen reaktif seperti O 2 ( ion peroksida),

H2O2 ( hydrogen peroksida ) , OOH ( radikal peroksil)


Reaksireaksi di bawah ini merupakan pengalihan satu elektron senyawa-

senyawa oksigen. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut secara singkat

dapat sebagai berikut :


O2 + e- -------- O2 -
O2 + e- + H+ ------ OOH
O2 + 2e- + 2 H + ------- H2O2
O2 + 3 e- + 3H + -------- OH + H2O
O2 + 4 e- + 4H+ -------- 2 H2O

Dari reaksireaksi diatas terlihat bahwa ion superoksida, radikal peroksil,

hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang

kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen.

2.2.2 Peranan radikal bebas dalam proses penuaan


Saat usia muda terdapat keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan

antioksidan, seiring dengan pertambahan usia keseimbangan terganggu, oleh

karena berkurangnya cadangan antioksidan dan produksi berlebih dari radikal

bebas (Saxena and Lal, 2006). Senyawa oksigen reaktif diproduksi terus menerus

di dalam organisme aerobik sebagai hasil dari metabolisme energi normal. Target

utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta

unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga hal diatas yang paling rentan adalah

asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas dalam tubuh dapat merusak asam
17

tak jenuh ganda pada membran sel, yang mengakibatnya sel menjadi rapuh

(Pasupathi, 2009).
Berbagai kemungkinan bisa diakibatkan oleh kerja radikal bebas.radikal

bebas memiliki reaktivitas tinggi, sangat tidak stabil dan berumur singkat,

sehingga keberadaannya sulit dideteksi. Dengan reaktivitasnya yang tinggi,

radikal bebas akan segera menyerang komponen seluler yang berada di

sekelilingnya, baik berupa senyawa lipid, lipoprotein, (protein, karbohidrat, RNA

maupun DNA). Senyawa radikal bebas dapat merusak asam lemak tak jenuh

ganda pada membran sel, sehingga mengakibatkan dinding sel menjadi rapuh.

Senyawa ini juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem

informasi genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker, yang berakibat

lebih jauh adalah terjadinya kerusakan struktur dan fungsi sel.


Akibat ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal

bebas akan mengakibatkan kerusakan stres oksidatif (Arief, 2010). Pada keadaan

inilah perusakan tubuh terjadi oleh radikal bebas. Senyawa radikal mengoksidasi

dan menyerang komponen lipid membran, senyawa ini merusak tiga jenis

senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel seperti asam lemak

tak jenuh yang menyusun membran sel (fosfolipid), DNA (perangkat genetik) dan

protein (enzim, reseptor, antibodi) (Fouad, 2007).


Radikal bebas yang bereaksi dengan komponen biologis dalam tubuh akan

menghasilkan senyawa teroksidasi. Banyaknya senyawa teroksidasi dapat

digunakan sebagai indeks karakteristik stress oksidatif. Belleville-Nabet

melaporkan molekul DNA yang teroksidasi akan menyebabkan penuaan (aging)

dan kanker. Jika yang teroksidasi protein baik berupa enzim yang terinaktivasi

atau protein yang terpolarisasi, akan terjadi inflamasi (Winarsi, 2007)


18

Radikal bebas menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan

asam nukleat. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan senyawa oksigen reaktif

menghasilkan stress oksidatif, penyebab kanker, penuaan, artherosclerosis, cedera

iskemik, peradangan dan penyakit degeneratif (Parkinson dan Alzheimer)

(Pangkahila,2007).

2.3 Nitric Oxide (NO)

Nitric oxide (NO) adalah suatu radikal bebas yang merupakan mediator

penting pada proses fisiologi dan patologi tubuh. Struktur kimia Nitric oxide (NO)

digambarkan pada Gambar 2.1. Nitric oxide merupakan endothelium-derived

relaxing factor (EDRF), untuk relaksasi otot polos pembuluh darah,

mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah (Cerielo, 2008).

Gambar 2.1 Molekul Nitric oxide (NO) (Hala et al., 2011)


19

Nitric oxide disintesis oleh NOS yang merngubah L-Arginine menjadi L-

Citrulline dan NO. Tiga isoform mayor NOS yaitu neuronal NOS (nNOS),

endothelial NOS (eNOS), dan inducible NOS (iNOS). Endothelial NOS dan

nNOS berperan penting pada kondisi normal. Kedua isoform ini terdapat didalam

sel dan secara cepat diaktivasi oleh Ca2+ dan calmodulin intrasel dan

menghasilkan NO dalam jumlah yang kecil. Di dalam jaringan, NO dibentuk oleh

L-arginine oleh enzim endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dengan kofaktor

NADPH, oksigen (O2), dan tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L-citrulline

serta nitrat dan nitrit sebagai metabolit antara (R&D Systems, 2000; Lundberg dan

Weitzberg, 2005). NO yang tidak digunakan akan dioksidasi menjadi nitrit.

Apabila NO diperlukan kembali, nitrit dalam jaringan akan direduksi menjadi NO

dikatalisis oleh enzim xanthine oxidase (XO) (Lundberg dan Weitzberg, 2005).

Neuronal NOS mempunyai fungsi pada neurotrasmiter, sedangkan eNOS berperan

pada relaksasi otot polos pembuluh darah. Inducible NOS tidak diekspresikan

pada kondisi normal tetapi diinduksi oleh sitokin dan atau endotoksin selama

proses inflamasi dan menghasilkan jumlah NO yang berlebihan dalam jangka

waktu yang lama (Hala et al., 2011; Zhang et al., 2011).


20

Gambar 2.2 Skema Proses Sintesis Nitric oxide (NO)


(http://www.reading.ac.uk/nitricoxide/intro/no/synthesis.htm)

Dalam serum, waktu paruh NO sangat singkat karena cepat dipakai oleh

sel endotel pembuluh darah sebagai vasodilator. Waktu paruh nitrit lebih pendek

daripada nitrat karena nitrat dapat direduksi menjadi nitrit kemudian cepat

direduksi menjadi NO pada keadaan hipoksia. Kadar nitrat, nitrit dan NO dalam

serum berbanding lurus dengan waktu paruhnya. NO yang disekresi oleh sel

endotel dengan cepat dioksidasi membentuk nitrit, kemudian berikatan dengan

hemoglobin membentuk nitrat. Kadar nitrat dan nitrit relatif stabil di dalam darah,

sehingga total kadar nitrit dan nitrat serum (NOx) dipakai sebagai indikator

sintesis NO tubuh (Lundberg dan Weitzberg, 2005).

Tabel 2.1 Waktu Paruh NO dan Produknya

(Lundberg dan Weitzberg, 2005)

Pemeriksaan kadar NO secara langsung sangat sulit dilakukan, karena

senyawa NO berupa gas, bersifat polar, dan memiliki waktu paruh yang sangat

singkat. Senyawa nitrat dan nitrit merupakan metabolit antara NO yang memiliki

waktu paruh yang lebih lama sehingga relatif stabil. Beberapa metoda

pemeriksaan kadar NO yang sering dilakukan antara lain metoda oksidasi


21

hemoglobin, chemiluminescent, reaksi Griess, dan konversi arginin-sitrulin.

Metoda pemeriksaan tersebut hanya menggambarkan bioavailabilitas NO tubuh,

sedangkan bioaktivitas NO dapat diketahui dari perubahan ekspresi gen enzim

eNOS yang mengkatalisis arginin menjadi NO (Tarpey dan Fridovich, 2001).

2.3.1 Peran NO dalam pembuluh darah

Selama beberapa dekade , telah terbukti bahwa nitrat oksida tidak hanya

berperan dalam mengontrol tonus vasomotor melainkan juga berperan dalam

homeostasis pembuluh darah dan syaraf serta proses imunologik. Nitrat oksida

endogen diproduksi melalui perubahan asam amino L-arginine menjadi L-

citrulline oleh enzim NO-synthase (NOS). Saat ini beberapa isoform dari NOS

telah berhasil dipurifikasi dan diklon sebagai : NOS-type I (yang diisolasi dari

otak/neuronal NOS) dan NOS-type III (yang diisolasi dari sel endotel/endothelial

NOS) yang disebut juga constitutive-NOS (cNOS). Kedua isoform ini diatur oleh

Ca2+-calmodulin dan NADPH, flavin adenine dinucleotide/mononucleotide

(FAD/FMN), serta tetrahydrobiopterin (HB4) sebagai kofaktor. Neuronal-NOS

(NOS type I) berperan penting dalam proses transmisi syaraf, kontrol homeostasis

pembuluh darah dan dalam proses pembelajaran dan memori (Bauer and

Sotnkov, 2010; Aldmiz-Echevarra and Andrade, 2012; Tousoulis et al., 2012).

Didalam sistem syaraf tepi, NOS berhubungan dengan jalur syaraf

nonadrenergic noncholinergic (NANC). Endothelial-NOS (NOS type III) berperan

penting dalam mengontrol tonus pembuluh darah sebagai respons terhadap

berbagai rangsangan, seperti rangsangan mekanik (shear stress), receptor


22

dependent (asetil kholin) dan reseptor independen (calcium ionophore). Nitrat

Oksida yang dihasilkan oleh NOS type III didalam endotel akan berdifusi

kedalam otot polos pembuluh darah yang akan mengaktifkan enzim guanylyl

cyclase. Bersamaan dengan peningkatan cyclic GMP, akan terjadi relaksasi dari

otot polos pembuluh darah. Jadi hasil akhir dari peningkatan Nitrat Oksida akan

terjadi vasodilatasi (Bauer and Sotnkov, 2010; Aldmiz-Echevarra and

Andrade, 2012; Tousoulis et al., 2012).

Gambar 2.3 Mekanisme Vasodilatasi NO di dalam Pembuluh Darah


(Aldmiz-Echevarra and Andrade, 2012)

Sel endotel memproduksi nitrat oksida (NO) yang akan berdiffusi kedalam

sel-sel otot polos pembulah darah dan mengaktivasi enzim soluble guanylate

cyclase (sGC) yang memproduksi cyclic GMP dari prekursornya GTP. Cyclic

GMP akan merangsang relaksasi otot sehingga akan terjadi vasodilatasi. NOS

type III juga berperan dalam pencegahan aggregasi platelet yang abnormal. NOS

type II dan IV (yang diisolasi dari makrofag) bersifat independen terhadap Ca ++-
23

calmodulin dan disebut juga "inducible-NOS", karena aktivasinya hanya terjadi

pada saat makrofag menimbulkan efek sitotoksik sebagai respons terhadap sitokin

(misal dalam keadaan sepsis) (Bauer and Sotnkov, 2010; Aldmiz-Echevarra

and Andrade, 2012; Tousoulis et al., 2012).

Setelah diketahui bahwa NO memiliki peran sebagai neurotransmitter

non-adrenergik dan non-kolinergik (NANC) pada sistem saraf parasimpatis

postganglionik, menginervasi berbagai otot polos termasuk corpus cavernosum

(CC) penis. Sarah ini disebut "nitrergic" atau "nitroxidergic". Meskipun sel

endotel sinusoidal korpus kavernosum juga memproduksi dan mensekresikan NO

dalam menanggapi rangsangan kimia dan fisik, NO neurogenik juga memiliki

peran dalam ereksi penis. NO dari saraf dan mungkin endotel memainkan peran

penting dalam memulai dan mempertahankan tekanan intracavernous, vasodilatasi

penis, dan ereksi penis yang bergantung pada GMP siklik disintesis dengan

aktivasi soluble guanylyl cyclase. Vasodilatasi pembuluh darah yang menyuplai

corpus cavernosum berakibat pada meningkatnya aliran darah dan fungsi ereksi

(Cartledge et al., 2001; Toda et al., 2005).

2.3.2 Patologi kelainan pembuluh darah diperantarai NO akibat stress

oksidatif yang dipicu radikal bebas

Apabila bioaktivitas NO dalam sel endotel pembuluh darah menurun

akibat rendahnya bioavailabilitas NO, menimbulkan gangguan endothelium

dependent vasorelaxation sebagai disfungsi endotel. Rendahnya bioavailabilitas

NO disebabkan berkurangnya pembentukan enzim eNOS, XO dan oksigen serta


24

rendahnya asupan nitrat anorganik. Walaupun sintesis NO normal, namun

bioaktivitasnya dapat berkurang akibat tingginya oksidasi NO oleh radikal

superoksida yang berakibat menurunnya efek vasodilator endogen (Deanfield et

al., 2007). Peningkatan jumlah radikal bebas dan penurunan bioavailabilitas NO

memperberat disfungsi endotel. Selain itu, menurunnya pembentukan NO tubuh

berhubungan dengan rendahnya asupan bahan makanan sumber NO. Bahan

makanan sumber NO mengandung antioksidan yang dapat meredam efek radikal

bebas, sehingga bioavailabilitas NO dapat dipertahankan (Lundberg dan

Weitzberg, 2005).

Perubahan ekspresi eNOS dapat mengakibatkan gangguan sintesis NO.

Aktivitas eNOS tergantung dari protein kinase Akt pada residu serin 1177 dan

defosforilasi treonin 495. Beberapa inhibitor eNOS endogen, seperti asymmetric

dimethyl arginine (ADMA), L-mono methyl arginine (LNMA) dan defisiensi

kofaktor tetrahydrobiopterin (BH4) dapat mengubah aktivitas eNOS. Apabila

tidak tersedia arginin atau BH4, eNOS dapat menjadi uncoupled dan

menghasilkan radikal superoksida dan radikal hidrogen peroksida. Radikal

superoksida bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit yang dapat

mengoksidasi BH4 sehingga BH4 menurun. Dalam keadaan defisiensi BH4,

eNOS dapat meningkatkan stres oksidatif dan disfungsi endotel (Endemann,

2004).

Stres oksidatif merupakan pemicu aktivasi disfungsi endotel, yang ditandai

dengan penurunan kadar NO. Endotel mempunyai banyak fungsi penting antara
25

lain mengatur tekanan darah melalui pelepasan bahan vasodilator, mengatur

fungsi antikoagulan, antiplatelet dan fibrinolisis (Granger et al., 2001).

Beberapa mekanisme yang mungkin terjadi pada stres oksidatif

menyebabkan disfungsi endotel yaitu menurunnya vasodilator NO akibat ROS,

berkurangnya BH4 yang merupakan kofaktor penting untuk sintesa NO,

menyebabkan kerusakan sel endotel serta kerusakan pada sel otot polos pembuluh

darah, peningkatan konsentrasi kalsium bebas dalam sel dan peningkatan

permeabilitas endotel (Grossman, 2008). Penurunan bioavailabilitas BH4

mengakibatkan penurunan aktivitas eNOS yang memicu peningkatan

pembentukan radikal peroksinitrit (Grassi et al., 2005).

2.4 Rokok

2.4.1 Definisi rokok

Rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau

bahan lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotina tabacum, Nicotina rustica

dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau

tanpa bahan tambahan (Tendra, 2003). Pendapat lainnya menyatakan bahwa

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran antara 70-120 mm dengan diameter

sekitar 10 mm yang berisi daun tembakau yang telah dicacah (Martin, 2008).

Rokok terdiri dari gabungan bahan kimia yang sangat kompleks yaitu

bahan kimia non-spesifik dari pembakaran bahan-bahan organik dan bahan kimia

yang spesifik dari pembakaran tembakau (Fowles dan Bates, 2000). Rokok

dibentuk dari unsur karbon (C), hydrogen (H), Oksigen (O), nitrogen(N) dan
26

sulfur (S), sehingga jika diformulasikan secara kimia rokok yaitu sebagai

CvHwOtNySz (Bindar, 2000).

Asap rokok yang diisap oleh perokok mengandung asap utama dan asap

sampingan yaitu asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar dan diisap oleh

orang yang ada disekitar perokok (Anonim, 2000). Asap rokok utama

(mainstream cigarette smoke) terdiri dari 8% fase tar dan 92% fase gas. Asap

rokok fase tar ini mengandung nikotin, tar dan lebih dari 1017 radikal bebas di

dalamnya. Di dalam ruangan lingkungan perokok, udara terdiri dari 85% asap

rokok sampingan (sidestream cigarette smoke) dan 15% mainstream cigarette

smoke (Valavanidis et al., 2009).

2.4.2 Radikal bebas dalam rokok

Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut

oksidasi. Sementara proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang

dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat

mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel

yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural


Oksidan dalam pengertian ilmu kimia adalah senyawa penerima elektron

(electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menarik elektron. Sebaliknya

radikal bebas adalah atom molekul (kumpulan atom) yang memiliki elektron yang

tidak berpasangan atau unpaired electron. Sifat radikal bebas yang mirip dengan

oksidan adalah kecenderungannya untuk menarik elektron. Itulah sebabnya,

radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun tidak setiap oksidan adalah

radikal bebas ( Suryohudoyo,2000)


27

Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber yaitu: proses

fisiologis, proses peradangan, dan yang berasal dari luar tubuh seperti polutan,

obat-obatan, dan asap rokok. Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu

senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak

berpasangan pada orbital luarnya. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan

dengan senyawa oksidan non radikal. Radikal bebas memiliki dua sifat utama,

yaitu reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron; dan dapat

mengubah suatu melokul menjadi suatu radikal.


Berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas tersebut

mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila radikal baru bertemu

molekul lain akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan

terjadi reaksi berantai (chain reaction). Bila elektron yang berikatan dengan

radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya

karena ikatan digunakan bersamasama pada orbital luarnya. Umumnya senyawa

yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar seperti lipid, protein

dan DNA. Diantara senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan

senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi.

Radikal bebas menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan

asam nukleat. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan senyawa oksigen reaktif

menghasilkan stress oksidatif, penyebab kanker, penuaan, artherosclerosis, cedera

iskemik, peradangan dan penyakit degeneratif (Parkinson dan Alzheimer)

(Pangkahila, 2007).

Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh

kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat
28

merusak membran sel, protein dan DNA yang berakibat fatal bagi kelangsungan

hidup sel/ jaringan. Bila terjadi dalam waktu yang berkepanjangan akan terjadi

penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang

menyebabkan sel/jaringan kehilangan fungsinya dan mati. Penumpukan hasil

kerusakan tadi akan bertambah dengan bertambahnya umur, merupakan penyebab

utama proses penuaaan (Bagiada, 2001)


Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, secara potensial dapat

menyebabkan kerusakan. Radikal bebas terbentuk sebagai hasil metabolisme

aerobik normal, namun dapat juga diproduksi dalam jumlah banyak pada keadaan

patofisiologis.

Rokok mengandung oksidan atau radikal bebas yang sangat tinggi. Asap

rokok ini mengandung lebih dari 1017 radikal bebas per gram dan lebih dari 1015

radikal bebas setiap hisapannya (Valavanidis et al., 2009). Radikal bebas yang

terkandung dalam asap rokok antara lain aldehida, epoxida, peroxida, nitrit

oksida, radikal peroksil, dan radikal yang mengandung karbon ada dalam fase gas

(Arief, 2007). Berdasarkan studi laboratorium terhadap kandungan radikal bebas

dari asap rokok dengan menggunakan electron spin resonance Leybold Heracus

didapatkan hasil rokok jenis kretek mengandung radikal oksigen, oksigen singlet,

karbondioksida dan Mn2O2 (Anggarani, 2012).

Proses pembakaran rokok tidaklah berbeda dengan proses pembakaran

bahan-bahan padat lainnya. Rokok yang terbuat dari daun tembakau kering, kertas

dan zat perasa, dapat dibentuk dari unsur Carbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O),

Nitrogen (N) dan Sulfur (S) serta unsur-unsur lain yang berjumlah kecil. Rokok
29

secara keseluruhan dapat diformulasikan secara kimia yaitu sebagai

(CvHwOtNySzSi) (Bindar, 2000).

Dua reaksi yang mungkin terjadi dalam proses merokok adalah: Pertama,

reaksi rokok dengan oksigen membentuk senyawa-senyawa seperti CO2, H2O,

NOx, SOx, dan CO. Reaksi ini disebut reaksi pembakaran yang terjadi pada

temperatur tinggi yaitu diatas 800C. Reaksi ini terjadi pada bagian ujung atau

permukaan rokok yang kontak dengan udara. Skema reaksi kimia yang terjadi

digambarkan seperti di bawah ini.

CvHwOtNySzSi + O2 -> CO2+ NOx+ H2O + SOx + SiO2 (abu)


(pada suhu 800C)

Reaksi yang kedua adalah reaksi pemecahan struktur kimia rokok menjadi

senyawa kimia lainnya. Reaksi ini terjadi akibat pemanasan dan ketiadaan

oksigen. Reaksi ini lebih dikenal dengan pirolisa. Pirolisa berlangsung pada

temperatur yang lebih rendah dari 800C. Sehingga rentang terjadinya pirolisa

pada bagian dalam rokok berada pada area temperatur 400-800C. Ciri khas reaksi

ini adalah menghasilkan ribuan senyawa kimia yang strukturnya komplek. Bagan

reaksinya seperti di bawah ini.

CvHwOtNySzSi -> 3000-an senyawa kimia lainnya + panas produk


(pada suhu 400-800C)

Walaupun reaksi pirolisa tidak dominan dalam proses merokok, tetapi

banyak senyawa yang dihasilkan tergolong pada senyawa kimia yang beracun

yang mempunyai kemampuan berdifusi dalam darah. Proses difusi akan

berlangsung terus selagi terdapat perbedaan konsentrasi. Tidak perlu disangkal

lagi bahwa titik bahaya merokok ada pada pirolisa rokok. Sebenarnya produk
30

pirolisa ini bisa terbakar bila produk melewati temperatur yang tinggi dan cukup

akan Oksigen. Hal ini tidak terjadi dalam proses merokok karena proses hirup dan

gas produk pada area temperatur 400- 800C langsung mengalir ke arah mulut

yang bertemperatur sekitar 37C (Bindar, 2000).

Selain reaksi kimia, juga terjadi proses penguapan uap air dan nikotin yang

berlangsung pada temperatur antara 100-400C. Nikotin yang menguap pada

daerah temperatur di atas tidak dapat kesempatan untuk melalui temperatur tinggi

dan tidak melalui proses pembakaran. Terkondensasinya uap nikotin dalam gas

tergantung pada temperatur, konsentrasi uap nikotin dalam gas dan geometri

saluran yang dilewati gas (Bindar, 2000; Wang, 2000).

Pada temperatur dibawah 100C nikotin sudah mengkondensasi, sehingga

sebelum gas memasuki mulut, kondensasi nikotin telah terjadi. Berdasarkan

keseimbangan, tidak semua nikotin dalam gas terkondensasi sebelum memasuki

mulut sehingga nantinya gas yang masuk dalam paru-paru masih mengandung

nikotin. Sesampai di paru-paru, nikotin akan mengalami keseimbangan baru, dan

akan terjadi kondensasi lagi (Bindar, 2000).

Radikal aldehid dalam rokok menyebabkan sekresi dari sitokin proinflamasi

oleh sel-sel saluran alveolar dan merangsang aktivasi sel radang akut seperti

neutrofil dan eosinofil (Toorn et al., 2013). Radikal karbonmonoksida

menyebabkan kerusakan jaringan dilihat dari peningkatan produk peroksidasi

lipid dan degradasi protein matrik ekstraseluler (Vaart et al., 2004). Radikal dalam

fase tar dapat mengikat molekul DNA dan mengakibatkan mutasi yang berujung

pada pathogenesis penyakit kanker (Martin, 2008).


31

Asap rokok banyak mengandung radikal bebas baik pada komponen tar

maupun komponen gas. Selain itu, komponen tar juga mengandung ion besi yang

dapat mengkatalisa pembentukan radikal peroksil dan hidrogen peroksida

(Valavanidis et al., 2009). Semiquinon dan hidroquinon pada tar juga dapat

melepaskan ion besi dan protein feritin sehingga lebih banyak ion besi yang bebas

(Ghio et al., 2008). Radikal bebas yang berasal dan asap rokok masuk ke dalam

paru melalui saluran nafas, kemudian dibawa oleh aliran darah menuju ke jantung

dan diedarkan ke seluruh tubuh (Ghio et al., 2008; Valavanidis et al., 2009).

Radikal bebas menyerang membran plasma yang terdiri dari komponen

lipid dan komponen protein. Komponen lipid akan mengalami peroksidasi dengan

cara menarik atom H+ dari rantai samping PUFA, menghasilkan radikal karbon.

Kemudian radikal karbon akan bereaksi dengan oksigen menjadi radikal peroksil,

inilah yang menyerang ulang rantai samping PUFA menghasilkan radikal karbon

baru dan peroksida lipid (Ayala et al., 2014). Reaksi ini akan berlangsung terus

secara berantai dan berakhir bila bertemu dengan radikal bebas lain atau dengan

antioksidan. Komponen protein yang berfungsi sebagai kanal ion, pompa ion,

reseptor, enzim, pembangkit energi, akan teroksidasi pada bagian yang

mempunyai gugus sulfhidril menjadi ikatan disulfida, yang akan menyebabkan

ikatan silang (cross link) antar molekul protein, menyebabkan degradasi

depolimerisasi protein, dan sifat protein menjadi kaku dan mudah putus, sehingga

protein membran akan kehilangan berbagai fungsinya. Keadaan tersebut akan

menyebabkan kanal ion terbuka, maka diduga kuat Ca2+ ekstra seluler yang

mempunyai konsentrasi lebih tinggi dari sitosol akan masuk ke dalam sel,
32

sehingga Ca2+ di dalam sitosol akan meningkat (Burlando et al., 2001; Selvam,

2002; Kaplan et al., 2003).

Radikal bebas masuk ke dalam sel, akan merusak komponen-komponen int

raseluler seperti sitosekleton, organella, protein non membran, molekul ades,

enzim-enzim dan DNA. Radikal bebas akan menyerang komponen enzim

terutama ATPase yang tersusun dari rangkaian asam amino yang mengandung

gugus sulfhidril, sehingga ATPase menjadi inaktif, maka fungsinya sebagai

pengendalian Ca2+ sitosol akan terganggu. Dengan terganggunya peran regulasi

Ca2+ maka akan terjadi peningkatan Ca2+ di dalam sitosol (Kaplan et al., 2003;

Megala and Geetha, 2010). Radikal bebas juga menyerang membran mitokondria

dan reticulum endoplasma (Bhandary et al., 2013).

Pada pemaparan asap rokok kapasitas proteksi antioksidan juga tertekan.

Senyawa aldehid dalam asap rokok dapat menekan SOD yang berfungsi sebagai

antioksidan enzimatik. Selain itu, pada perokok terdapat penurunan kadar vitamin

C. Hal ini akan semakin memperparah nekrosis sel hepar akibat radikal bebas

(Ruiz et al., 2010; Bhandary et al., 2013).

2.4.3 Hubungan antara rokok dan kadar Nitric Oxide (NO)

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa perokok kronis memiliki

peningkatan risiko untuk penyakit arteri serebral dan koroner. Hal ini karena pada

perokok kronis terjadi stress oksidatif yang diakibatkan oleh superoksida dan

sejumlah besar spesies oksigen reaktif lainnya (ROS) yang berujung pada

akumulasi kerusakan oksidatif pada berbagai macam sel dalam tubuh salah

satunya adalah sel endotel (Benjamin, 2011; Selim et al., 2013). Sel-sel endotel
33

merupakan sel yang secara konstitutif mensintesis nitrit oxide (NO) dari l-arginin

oleh enzim endogen, NO synthase, untuk meregulasi pembuluh darah, aliran

darah lokal, dan perfusi jaringan. Konsentrasi NO yang rendah dalam plasma

merupakan gejala terjadinya disfungsi endotel dan sangat terkait dengan kebiasaan

merokok jangka panjang (Tsuchiya et al., 2002). Kondisi ini bisa mempercepat

insufisiensi arteri koroner dan vasokonstriksi di banyak jaringan yang berbeda.


NO berperan dalam mengaktifkan reseptor soluble guanylate cyclase

(sGC) pada otot polos pembuluh darah, yang menghasilkan pembentukan cyclic

guanosine monophosphate (cGMP). Hal ini mengaktifkan berbagai jalur sinyal

dan efek fungsional yang meliputi vasodilatasi pembuluh darah. Aktivitas

NADPH oksidase (Nox1 dan Nox2) akan menghasilkan superoksida (O2-) dan

aktivitas NOX4 akan menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), ROS kemudian

dapat berpartisipasi dalam jalur sinyal, tetapi juga dapat menyebabkan cedera

selular. O2- adalah scavenger NO yang mengurangi bioavailabilitas NO dengan

membentuk peroxynitrite (ONOO-) yang juga dapat menyebabkan cedera selular.

H2O2 dapat bereaksi dengan logam berat untuk membentuk senyawa hidroksil

yang sangat reaktif dan bersifat radikal (OH-) (De Silva and Faraci, 2013).
34

Gambar 2.4 Interaksi antara Reactive Oxygen Species (ROS) dan Nitric Oxide
(De Silva and Faraci, 2013)

Telah banyak diketahui hubungan antara merokok dan penyakit pembuluh

darah, dan telah diketahui secara umum pula bahwa rokok akan merusak sel-sel

endotel vaskular. Integritas endotel sangat penting untuk fungsi homeostatis

pembuluh darah dan untuk menjaga keadaan nontrombotik dan nonatherogenic

(Guo et al., 2006). NO merupakan vasodilator kuat yang menghambat perputaran

matriks ekstraselular dan dengan demikian dapat memodifikasi sifat mekanik

dinding arteri (Van Hove et al., 2009). Rahman dan Laher (2007) melaporkan

bahwa sekresi NO pada vena saphena pada manusia yang tidak merokok secara

signifikan lebih tinggi daripada yang dari vena perokok berat. Dengan

menggunakan antagonis NO, NG-monomethyl-l-arginin, beberapa peneliti telah


35

menemukan penurunan kemampuan vasodilatasi pembuluh darah pada perokok

(Vleeming et al., 2002). Dalam penelitian lain, pengukuran nitrit dari arteri

femoral dan karotis setelah paparan asap rokok jangka pendek dan jangka panjang

memberikan bukti bahwa rokok mengurangi bioavaibility NO. Selanjutnya, kadar

NO kembali normal setelah 3 minggu pasca penghentian paparan asap rokok (Guo

et al., 2006).

Gangguan sekresi NO diduga terkait dengan berkurangnya sintesis atau

aktivitas endothelial NO synthase (eNOS) (Burnett, 2004). Belakangan diketahui,

baik peningkatan dan penurunan ekspresi mRNA eNOS telah dilaporkan

berhubungan dengan paparan asap rokok dalam berbagai model eksperimental.

Asap rokok telah terbukti menghambat kerja eNOS pada arteri pulmonalis

(Wagner et al., 2007) dan pada penelitian lain menekan eNOS sebesar 52% pada

kultur sel endotel (Wang et al., 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain

yang menyebutkan bahwa penghentian paparan asap rokok akan mengembalikan

ekspresi eNOS menjadi normal setelah 16 minggu (Guo et al., 2006). Telah

dilaporkan bahwa asap rokok mengandung banyak sekali radikal bebas seperti

nitrogen oksida, hidrogen peroksida, hidrogen sianida, dan akrolein yang secara

langsung mempengaruhi ekspresi eNOS (Bindar, 2000; Guo et al., 2006; Arief,

2007).

2.5 L-Arginine

Arginine merupakan salah satu jenis asam amino yang dikelompokkan

bersama histidine dan lisin secara biokimiawi. Arginine merupakan asam amino
36

semi-esensial yang artinya tubuh dapat memproduksi asam amino ini dalam

jumlah kecil, sehingga asupan dari luar masih diperlukan (Garrett and Grisham,

2012).

Gambar 2.5 Struktur Kimia L-Arginine


(https://commons.wikimedia.org/wiki/File:L-arginine_ethyl_ester.png)

L-Arginine (2-amino-5-guanidinovaleric acid) merupakan asam amino

dasar yang terdapat dalam cairan fisiologis tubuh (Cynober, 2007; Wu et al.,

2009). L-Arginine banyak terdapat dalam seafood, jus semangka, kacang-

kacangan, biji, alga, daging, konsentrat proteinasi, dan isolaso protein kedelai,

namun rendah dalam susu yang berasal dari mamalia. Survei menunjukkan bahwa

konsumsi harian orang dewasa di America (US) sebesar 4,4 gram/hari dan

sebanyak 25% dari seluruh orang mengkonsumsi dalam jumlah <2,6 gram/hari,

yang merupakan konsumsi arginin di bawah kadar optimal (Wu et al., 2009).
37

Gambar 2.6 Metabolisme L-Arginine (Ricciardolo et al., 2004)

Di dalam tubuh, L-arginine diangkut ke dalam sel melalui jalur cationic

amino acid transport (CAT) dan dapat dimetabolisme oleh dua kelompok enzim.

Nitric oxide synthase (NOS) mengkonversi L-arginine menjadi Nitric Oxide (NO)

dan L-citrulline dalam dua langkah dengan NG-hydroxy-l-arginine sebagai

senyawa antara. L-citrulline dapat dikonversi oleh argininosuccinate menjadi L-

arginine. NOS konstitutif akan diaktifkan dengan meningkatnya konsentrasi Ca2+

intraseluler. Arginase akan memetabolisme L-arginine menjadi L-ornithine.

Lipopolisakarida (LPS) dan beberapa sitokin berperan dalam meningkatkan

transportasi L-arginine dan memicu aktivitas arginase. NG-hydroxy-l-arginine


38

dapat menurunkan aktivitas arginase. Sedangkan NO dapat mengikat kelompok

thiol dan membentuk S-nitrosothiol (R-SNO) (Ricciardolo et al., 2004).

Arginine dibutuhkan dalam berbagai proses fisiologi tubuh termasuk

modulasi sistem imun, penyembuhan luka, sekresi hormone, tonus vaskuler, dan

fungsi endotel. Arginine juga merupakan precursor dari prolin, sehingga kadar

arginin yang cukup diperlukan untuk membantu proses deposisi kolagen,

angiogenesis, dan kontraksi luka. Arginine memiliki peran dalam meningkatkan

sistem kekebalan tubuh, dan merangsang kesembuhan luka baik pada individu

sehat maupun sakit. Pada kondisi stress psikologis, kebutuhan metabolisme

arginin meningkat, sehingga pemberian arginin pada terapi penyembuhan luka

menunjukkan hasil yang lebih baik (Guo and DiPietro, 2010).

L-Arginine merupakan salah satu substansi yang meregulasi sintesis Nitric

Oxide (NO), produksi antibodi dan perkembangan sel B, ekspresi reseptor sel T

yang menyebabkan L-Arginine penting dalam sistem kekebalan bawaan (innate

immune system) dan sistem kekebalan dapatan (adaptive immune system). L-

Arginine merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh nitrit

oksida sintase (Nitric Oxide Synthase/ NOS). NO merupakan molekul pengirim

sinyal terhadap setiap jenis sel yang meregulasi jalur metabolisme, sehingga perlu

dilakukan penelitian terhadap nutrisi arginin. Kekurangan L-Arginine dalam diet

akan menyebabkan gangguan sistesis NO pada mamalia (Wu et al., 2009; Lewis

and Langkamp-Henken, 2000).

2.6 Hewan Coba Tikus


39

Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang

dipelihara. Tikus merupakan hewan laboraorium yang sering digunakan dalam

berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara,

cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia,

karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan

Kirkwood, 2010). Klasifikasi ilmiah tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar adalah

sebagai berikut (Russel et al., 2008):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

2.6.1. Penggunaan tikus

Pada percobaan ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) karena tikus

jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai mecam penelitian. Tikus

jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat

hidup hingga usia 4 tahun (Kusumawati, 2004). Ciri khas tikus galur Wistar yaitu

kepala besar dan ekor pendek.

Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan daripada

mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih jarang
40

berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu

tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat

tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu rata-

rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Rat Behaviour

and Biology, 2012).

Tabel 2.2 Data Biologi Tikus

No. Kondisi Biologi Jumlah


1. Berat badan: -jantan 300-400 g
-betina 250-300 g
2. Lama hidup 2,5- 3 tahun
3. Temperatur tubuh 37,50 C
4. Kebutuhan: -air 8-11 ml/100g BB
-makanan 5g/100g BB
5. Pubertas 50-60 hari
6. Lama kehamilan 21-23 hari
7. Tekanan darah: -sistolik 84-184 mmHg
-diastolik 58-145 mmHg
8. Frekuensi: -jantung 330-480/menit
-respirasi 66-114/menit
9. Tidal Volume 0,6-1,25mm
(Russel et al., 2008)

2.6.2. Pemantauan keselamatan tikus

Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu

kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang

lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu,

mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur

menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan

pertukaran udara di dalam kandang harus baik (Ngatidjan, 2006). Setiap hari

kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih
41

ketika merawat tikus, memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan

turun, sukar bernapas ataupun mencret.

Anda mungkin juga menyukai