Anda di halaman 1dari 9

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

1. Pengaruh Umur Terhadap Terjadinya Penyakit Tuberkulosis Paru di


RSUD Langsa

Berdasarkan data pada tabel 5.7 diatas, dapat diketahui bahwa dari

91 responden (100%) yang berumur 50 tahun terdapat 46 responden

(50,5%) tidak mengalami tuberkulosis. Sedangkan yang berumur >50

tahun terdapat 31 responden (50,8%) mengalami tuberkulosis Uji statistik

menunjukkan bahwa umur tidak mempengaruhi terjadinya tuberkulosis di

RSUD Langsa dengan p value = 0,869.


Umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir

sampai dengan sekarang. Penentuan umur dilakukan dengan menggunakan

hitungan tahun (Chaniago, 2002). Umur seseoraang dapat disebabkan

karena proses pendewasaan (maturation). Melalui pengalaman umur,

individu yang bersangkutan telah melakukan adaptasi perilaku terhadap

lingkungan. Umur responden yang semakin dewasa akan lebih mudah

untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.


Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan tidak terdapat hubungan

antara umur dengan terjadinya penyakit TB paru di RSUD Langsa, hal ini

penulis asumsikan karena umur sangat mempengaruhi tingkat imunitas

seseorang. Umumnya, seseorang dengan usia lanjut rentan terkena

penyakit karena sistem imunnya sudah mulai menurun, berbeda dengan

usia produktif yang masih memiliki sistem imun yang cukup baik. Namun

cukup banyak juga responden yang terjangkit TB paru pada usia produktif

36
karena seseorang dengan usia produktif lebih banyak bergaul di luar rumah

ketimbang di dalam rumah. Mereka lebih banyak bersosialisasi dan

bertemu dengan lebih banyak orang lain di lingkungan pekerjaannya yang

tentunya dapat membuat seseorang berisiko tertular suatu penyakit.

Umumnya seseorang dengan menderita TB paru akan malu mengatakan

kepada kerabat tentang penyakit yang ia derita, padahal bakteri penyebab

TB paru (Mycobacterium tuberculosis) mudah menyebar melalui nafas dan

udara.
Penelitian ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan Rusnoto

dkk (2010) yang berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan

Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati) yang berjumlah 106 responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor umur tidak terbukti

berpengaruh terhadap kejadian TB paru (p value = 0,100).

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Terjadinya Penyakit Tuberkulosis


Paru di RSUD Langsa

Berdasarkan data pada tabel 5.8 diketahui bahwa dari 44 responden

(100%) yang berjenis kelamin perempuan terdapat 28 responden (63,6%)

tidak mengalami tuberkulosis. Sedangkan dari 108 responden (100%)

yang berjenis kelamin laki-laki terdapat 60 responden (55,6%) mengalami

tuberkulosis. Berdasarkan uji statistik diketahui value = 0,032 dimana

dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin mempengaruhi terjadinya

tuberkulosis di RSUD Langsa.


Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan terdapat hubungan

antara jenis kelamin dengan terjadinya penyakit TB paru di RSUD Langsa,

37
hal ini penulis asumsikan karena umumnya adalah tugas laki-laki untuk

mencari nafkah bagi keluarganya sehingga laki-laki menjadi subjek yang

paling sering kontak dan bersosialisasi dengan dunia luar dan orang asing.

Sedangkan perempuan yang umumnya tidak bekerja atau sebagai ibu

rumah tangga akan jarang bertemu dengan orang asing dan kontak dengan

dunia luar sehingga kecil kemungkinan berisiko terkena TB paru.

Walaupun pada perempuan jarang terjadi, risiko terkena TB paru bisa saja

didapat ketika ibu-ibu berbelanja ke pasar untuk mencukupi kebutuhan

sehari-hari dan bahkan mungkin saja tertular dari suaminya sendiri.


Penelitian ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan Rohman

(2012) yang berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Tb Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Gabus II Kabupaten Grobogan

dengan jumlah responden sebanyak 70 orang yang sebagian besar bekerja

sebagai petani (27,1%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor jenis

kelamin terbukti berpengaruh terhadap kejadian TB paru (p value = 0,005).

3. Pengaruh Pendidikan Terhadap Terjadinya Penyakit Tuberkulosis


Paru di RSUD Langsa

Berdasarkan data pada tabel 5.9 diketahui bahwa dari 24 responden

(100%) yang berpendidikan tinggi terdapat 15 responden (62,5%) tidak

mengalami tuberkulosis. Sedangkan dari 27 responden (100%) yang

berpendidikan dasar terdapat 20 responden (74,1%) mengalami

tuberkulosis. Berdasarkan uji statistik diketahui value = 0,016 dimana

dapat disimpulkan bahwa pendidikan mempengaruhi terjadinya

tuberkulosis di RSUD Langsa.

38
Pendidikan adalah segala cara yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat

sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan

(Notoatmodjo, 2003). Menurut Azwar (1996) bahwa pendidikan

merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan untuk memperoleh hasil

berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang.


Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan terdapat hubungan

antara pendidikan dengan terjadinya penyakit TB paru di RSUD Langsa,

hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Notoatmodjo (2012)

yaitu pendidikan merupakan sarana yang sangat penting dalam

pengembangan intelektual seseorang. Meskipun secara teori pendidikan

formal tidak hanya berfungsi untuk pengembangan intelektual saja.

Namun, secara umum dan pada praktiknya memang demikian, pendidikan

formal atau sekolah, utamanya untuk pengembangan intelektual bagi

generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu, mutu (kualitas) dan jumlah

(kuantitas) pendidikan formal yang ada dalam suatu kelompok masyarakat

tertentu merupakan indikator pengembangan sumber daya manusia dari

segi intelektual.
Penulis mengasumsikan bahwa pendidikan seseorang sangat

berpengaruh karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka

semakin tinggi pula pengetahuan dan pengalamannya. Sebaliknya, apabila

seseorang rendah pendidikannya, maka minim pula pengetahuan dan

pengalamannya. Tak hanya itu, pendidikan juga mempengaruhi pola pikir

seseorang menjadi lebih terbuka terhadap informasi dan lebih berpikir

39
kritis dalam menganalisa masalah. Pendidikan juga akan mempengaruhi

pola hidupnya, misalnya seseorang yang mengetahui cara gaya hidup sehat

akan menerapkan pengetahuannya tersebut di kehidupan sehari-hari dan

begitu pula terhadap pengetahuan akan masalah kesehatan seperti penyakit

TB paru.
Penelitian ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan Firdiansyah

& Subyantoro (2014) yang berjudul Pengaruh Faktor Sanitasi Rumah dan

Sosial Ekonomi Terhadap Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif di

Kecamatan Genteng Kota Surabaya dengan jumlah responden sebanyak

94 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendidikan terbukti

berpengaruh terhadap kejadian TB paru (p value = 0,042).

4. Pengaruh Pekerjaan Terhadap Terjadinya Penyakit Tuberkulosis


Paru di RSUD Langsa

Berdasarkan data pada tabel 5.10 diketahui bahwa dari 44

responden (100%) yang tidak bekerja terdapat 23 responden (52,3%) tidak

mengalami tuberkulosis. Sedangkan dari 108 responden (100%) yang

bekerja terdapat 55 responden (50,9%) mengalami tuberkulosis.

Berdasarkan uji statistik diketahui value = 0,721 dimana dapat

disimpulkan bahwa pekerjaan tidak mempengaruhi terjadinya tuberkulosis

di RSUD Langsa.
Kerja merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencapai

suatu penghidupan yang layak. Pekerjaan sangat berarti dalam upaya

kelangsungan hidup dan mengaktualisasi diri sehingga dapat lebih

bermakna dan dihargai dalam lingkungan sekitarnya (Abdurrahman,

40
2006). Individu bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang nantinya

digunakan untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhannya sehari-hari.


Pasien yang memiliki pekerjaan akan lebih sering bersosialisasi

dengan orang lain, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi

kontak antara responden dan pasien yang sudah positif mengalami

tuberkulosis paru. Hal ini bisa menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya tuberkulosis paru antara satu individu dengan individu yang

lain.
Penelitian ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan Rukmini &

Chatarina (2011) yang berjudul faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

kejadian TB paru dewasa di Indonesia analisis data riset kesehatan dasar

tahun 2010) dengan jumlah responden sebanyak 183 orang. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa faktor pekerjaan terbukti tak berpengaruh

terhadap kejadian TB paru (p value = 0,091).

5. Pengaruh Perilaku Merokok Terhadap Terjadinya Penyakit


Tuberkulosis Paru di RSUD Langsa

Berdasarkan data pada tabel 5.11 diatas, dapat diketahui bahwa dari

93 responden (100%) yang memiliki perilaku merokok terdapat 54

responden (58,1%) mengalami tuberkulosis. Uji statistik menunjukkan

bahwa perilaku merokok mempengaruhi terjadinya tuberkulosis di RSUD

Langsa dengan p value = 0,013.

Menurut Amin (1993) dalam Priyadi (2003) mengatakan terdapat

cukup fakta untuk menghubungkan rokok dengan TB paru. Dalam jangka

panjang yaitu 10-20 tahun pengaruh risiko merokok terhadap tuberkulosis

adalah bila merokok 10 batang per hari meningkatkan risiko 15 kali, bila

41
merokok 20-30 batang per hari meningkatkan risiko 40-50 kali dan bila

merokok 40-50 batang per hari meningkatkan risiko 70-80 kali.

Penghentian kebiasaan merokok, baru akan menunjukkan penurunan risiko

setelah 3 tahun.

Kebiasaan merokok dapat menyebabkan rusaknya pertahanan paru

serta merusak mekanisme mucuciliary clearence, selain itu asap rokok

juga akan meningkatkan airway resistance serta permeabilitas epitel paru

dan merusak gerak sillia, makrofag meningkatkan sintesis elastase dan

menurunkan produksi antiprotease (Murfikin, 2014). Menurut Girsang

(2009 dalam Murfikin 2014) daya tahan tubuh yang lemah, virulensi dan

jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam

terjadinya infeksi TB paru.


Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sarwani & Nurlela (2012) yang berjudul merokok dan tuberkulosis paru

terhadap 34 responden kasus dan 34 responden kontrol. Hasil penelitian

didapatkan bahwa proporsi yang merokok pada kelompok kasus (50,0%)

lebih besar jika dibandingkan kelompok kontrol (20,6,7%). Hasil analisis

bivariat dengan uji chi square menunjukkan ada hubungan yang signifikan

antara merokok dengan kejadian Tuberkulosis paru (p= 0,022).

6. Pengaruh Kondisi Rumah Terhadap Terjadinya Penyakit


Tuberkulosis Paru di RSUD Langsa

Berdasarkan data pada tabel 5.12 diketahui bahwa dari 140

responden (100%) yang kondisi rumahnya tidak mememnuhi syarat

terdapat 76 responden (54,3%) tidak mengalami tuberkulosis. Sedangkan

42
dari 12 responden (100%) yang kondisi rumahnya tidak memenuhi syarat

terdapat 12 responden (100%) mengalami tuberkulosis. Berdasarkan uji

statistik diketahui value = 0,000 dimana dapat disimpulkan bahwa

kondisi rumah mempengaruhi terjadinya tuberkulosis di RSUD Langsa.


Kondisi kesehatan lingkungan rumah berpengaruh secara tidak

langsung terhadap kejadian penyakit TB paru, karena lingkungan rumah

yang kurang memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi jumlah atau

kepadatan kuman dalam rumah tersebut, termasuk kuman Mycobacterium

tuberculosis. Hubungan penyakit TB paru dipengaruhi oleh kebersihan

udara karena rumah yang terlalu sempit (terlalu banyak penghuninya)

maka ruangan akan kekurangan oksigen sehingga akan menyebabkan

menurunnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan terjadinya penyakit

(Entjang, 2003).
Lingkungan dan rumah yang tidak sehat seperti pencahayaan

rumah yang kurang (terutama cahaya matahari), kurangnya ventilasi

rumah, kondisi ruangan yang lembab, hunian yang terlalu padat

mengakibatkan kadar CO2 di rumah meningkat. Peningkatan CO2, sangat

mendukung perkembangan bakteri. Hal ini di karenakan Mycobacterium

tuberculosis adalah aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi

banyak komponen karbon sederhana (Widoyono, 2005).


Hasil penelitian yang menunjukkan ada hubungan antara kondisi

rumah terhadap terjadinya TB paru penulis asumsikan karena seseorang

yang tinggal di rumah dengan kualitas fisik yang tidak sehat mempunyai

risiko lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang tinggal di rumah

dengan kualitas fisik yang sehat. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori

43
yang menyatakan bahwa kualitas fisik rumah yang tidak sehat memegang

peranan penting dalam penularan dan perkembangbiakan kuman

Mycobacterium tuberculosis. Kurangnya sinar yang masuk ke dalam

rumah, ventilasi yang buruk cenderung menciptakan suasana yang lembab

dan gelap, kondisi ini menyebabkan kuman dapat bertahan berhari-hari

sampai berbulan-bulan di dalam rumah.


Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Fahreza dkk (2012) yang berjudul Hubungan antara Kualitas Fisik

Rumah dan Kejadian Tuberkulosis Paru dengan Basil Tahan Asam positif

di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang. Jumlah subjek penelitian

ada 62 responden yang terdiri dari 32 BTA positif dan 30 BTA negatif

masing- masing kelompok baik kontrol maupun kasus terdiri dari 34

responden berjenis kelamin pria (54,8%), dan 28 responden berjenis

kelamin wanita (45,2%). Dari hasil analisis bivariat ada hubungan antara

kualitas fisik rumah dengan kejadian TB Paru BTA positif (p=0,000).

44

Anda mungkin juga menyukai