Anda di halaman 1dari 3

Kontrak Karya dan IUPK Jadi Akar Masalah Freeport, Apa Bedanya?

Michael Agustinus - detikFinance

Kontrak Karya dan IUPK Jadi Akar Masalah Freeport, Apa Bedanya?

Foto: Andhika Akbaransyah

FOKUS BERITA:Gonjang-ganjing Freeport

Jakarta - Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi untuk PT Freeport Indonesia.
IUPK tersebut diberikan agar Freeport dapat melanjutkan kegiatan operasi dan
produksinya di Tambang Grasberg, Papua.

Sebab, berdasarkan Pasal 170 Undang Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), pemegang KK diwajibkan melakukan
pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014.

Artinya, Freeport sebagai pemegang KK tak bisa lagi mengekspor konsentrat


tembaga, hanya produk yang sudah dimurnikan yang boleh diekspor. Sementara
baru perusahaan tambang yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat (AS), itu baru
bisa memurnikan 40% dari konsentrat tembaganya di smelter Gresik.

Tetapi Freeport menolak IUPK dan izin ekspor yang diberikan pemerintah. IUPK
dinilai tidak memberikan kepastian dan stabilitas untuk jangka panjang. Freeport
ingin mempertahankan hak-haknya seperti di dalam KK.

Apa bedanya KK dengan IUPK?

Berdasarkan keterangan yang dihimpun detikFinance, Rabu (22/2/2017), perbedaan


utamanya ialah status perjanjian, KK adalah 'kontrak' dan IUPK ialah 'izin'. Dalam
KK, Freeport dan pemerintah Indonesia adalah 2 pihak yang berkontrak,
kedudukannya sejajar. Sedangkan kalau IUPK, negara adalah pemberi izin yang
berada di atas perusahaan pemegang izin.
UU Minerba dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyebutkan berbagai
hak dan kewajiban bagi pemegang IUPK, yang tentunya berbeda dengan hak dan
kewajiban pemegang KK.

Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya pajak dan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) yang dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Dari sini jelas bahwa IUPK bersifat prevailing, mengikuti aturan perpajakan yang
berlaku. Besarnya pajak dan PNBP dapat berubah ketika ada perubahan peraturan.
Inilah yang dianggap sebagai ketidakpastian oleh Freeport, mereka ingin besaran
pajak dan PNBP yang stabil seperti dalam KK, tidak berubah-ubah hingga masa
kontrak habis (naildown).

Lalu soal kewajiban melakukan pemurnian, baik IUPK maupun KK sama-sama wajib
melakukan pemurnian mineral. Tetapi pasal 102 dan 103 UU Minerba tak
memberikan batasan waktu kepada pemegang IUPK untuk merampungkan
pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian).

Sedangkan untuk pemegang KK ada batasan waktunya. Di pasal 170, UU Minerba


menyebutkan bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian mineral dalam
waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014. Inilah sebabnya pemerintah
menawarkan IUPK kepada Freeport. Satu-satunya jalan yang memungkinkan
Freeport tetap mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK.

Jika pemerintah memberikan izin ekspor tapi Freeport tetap berpegang pada KK,
akan terjadi pelanggaran terhadap UU Minerba. Baik pemerintah maupun Freeport
semuanya terikat oleh UU Minerba.

Perbedaan lainnya adalah mengenai kewajiban divestasi. Perusahaan tambang


asing pemegang IUPK diwajibkan melakukan divestasi saham hingga 51% kepada
pihak Indonesia, secara bertahap setelah 10 tahun memasuki masa produksi. Jika
menjadi pemegang IUPK, Freeport tentu harus segera melepas 51% sahamnya
karena sudah puluhan tahun berproduksi. Ketentuan ini ada dalam Pasal 97 PP
1/2017.
Sedangkan berdasarkan butir-butir kesepakatan Amandemen KK antara pemerintah
dengan Freeport yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU)
tanggal 25 Juli 2014, Freeport hanya diwajibkan melakukan divestasi saham sebesar
30% sampai 2019 kepada pihak Indonesia.

Freeport McMoRan Inc, perusahaan induk PT Freeport Indonesia, keberatan jika


harus melepaskan sahamnya sampai 51% di PT Freeport Indonesia karena artinya
mereka bukan lagi pemegang saham mayoritas. Freeport McMoRan Inc ingin tetap
memegang kendali PT Freeport Indonesia.

Pemerintah dan Freeport masih memiliki waktu 120 hari sejak 17 Februari 2017
untuk menyelesaikan masalah, mencari solusi terbaik. Jika perundingan gagal,
negosiasi gagal mencapai titik temu, maka jalan terakhir adalah bersengketa di
Arbitrase.

Kemudian soal perpanjangan kontrak, IUPK sebenarnya memungkinkan Freeport


segera memperoleh perpanjangan hingga 2041. Pasal 72 dalam PP 1/2017
memungkinkan IUPK diperpanjang 5 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu IUPK.
KK Freeport habis pada 2021, andai mereka mau ganti baju jadi IUPK, bisa
diperpanjang sejak 5 tahun sebelum 2021, tahun ini pun sudah bisa mendapat
perpanjangan 2 x 10 tahun sampai 2041.

Tapi kalau tetap memegang KK, pemerintah terikat pada pasal 112B ayat 2
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 (PP 77/2014) yang menetapkan bahwa
Menteri ESDM baru dapat memberikan perpanjangan di 2 tahun sebelum kontrak
berakhir. Artinya, kepastian perpanjangan baru bisa diperoleh Freeport pada 2019.

Dalam hal ini, sebenarnya IUPK lebih memberikan kepastian. Freeport


membutuhkan kepastian perpanjangan kontrak sejak jauh-jauh hari untuk
investasinya yang bernilai miliaran dolar di tambang bawah tanah Grasberg dan
membangun smelter, IUPK bisa memberikannya.

Anda mungkin juga menyukai