Anda di halaman 1dari 41

21

BAB II

KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK PERMUKAAN DAN PAJAK AIR


BAWAH TANAH BERDASARKAN UU NO 28 TAHUN 2009

A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah

Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam

masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Pernyataan seperti sangat

tepat sekali, karena pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang

akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat,

pendidikan, kesejahteraan rakyat, pendidikan, kemakmuran rakyat dan sebagainya.21

Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana

yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang

diantaranya berbunyi: 22

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia

Selanjutnya untuk mencapai tujuan negara tersebut dilakukan pemungutan

pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hukum positif Indonesia yang menjadi

landasan hukum pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 setelah amandemen

keempat yang berbunyi:

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara

21
Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet. 2, (Bandung: Eresco, 1992), hal. 1-2
22
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

21

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


22

diatur dengan undang-undang.

Dan agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya

pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan

rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.23

Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan

undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut

sebagai perampokan.24

Peraturan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus

diatur dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan hierarki norma hukum yang

berlaku di Indonesia, UU menempati posisi nomor dua, yakni setelah UUD 1945.

Hierarki norma hukum, menurut penjelasan Kelsen, berjenjang dan berlapis-

lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah

berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya

sampai kepada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat

hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar. Dengan menggariskan bahwa pajak diatur

dengan UU, UUD 1945 hendak memastikan pemungutan pajak dikendalikan juga

oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lebih lanjut, setelah

perumusan peraturan pajak disetujui oleh perwakilan rakyat, maka dapat dianggap

bahwa tidak ada lagi pemungutan yang bersifat memaksa dalam lingkup nasional.

Maka pemungutan uang kepada rakyat di luar yang diatur dalam UU dapat

23
Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Edisi Pertama, (Jakarta: Salemba
Empat, 2001), hal. 5.
24
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Cet. 1, (Bandung: PT Eresco, 1993), hal. 60-65.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


23

digolongkan sebagai perampokan sebagaimana pepatah yang sudah lazim kita dengar:

tax without law is robbery.25

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat

melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi

daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya

dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah yang kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi

daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai

pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan

retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif.

Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan

berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan

akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan semula merupakan

jenis pajak daerah Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 18/1997, kemudian ditarik

dan dijadikan pajak daerah Provinsi berdasarkan UU No. 34/2000. Namun dalam

perkembangan terbaru berdasarkan UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah

Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda,

yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah

25
http://bukabukaanpajak.wordpress.com/2010/02/17/tentang-pasal-23-a-uud-1945/akses
tanggal 22 Februari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


24

sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, dengan berlakunya UU tersebut, Pajak

Air Bawah Tanah (ABT) resmi diserahkan pengelolannya ke kabupaten/kota.

Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009,

Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu:26

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

4. Pajak Air Permukaan

5. Pajak Rokok.

Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan 11 (sebelas) jenis pajak

Kabupaten/Kota yang baru, yaitu : 27

1. Pajak Hotel;

2. Pajak Restoran;

3. Pajak Hiburan;

4. Pajak Reklame;

5. Pajak Penerangan Jalan;

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

7. Pajak Parkir;

8. Pajak Air Tanah;

9. Pajak Sarang Burung Walet;

26
Lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
27
Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


25

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pengertian pemungutan pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 49 adalah suatu

rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan

besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi

kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya.

Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari

pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah

Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan

masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak

dibebani dengan Pajak.

Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah,

Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan

dan retribusi.

Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut

dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan

kepada Daerah dalam penetapan tarif.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


26

Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralistis

disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di Negara yang memiliki

sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan keanekaragaman budaya seperti

Indonesia ini. Di samping memudahkan koordinasi dalam permerintahan, sistem

desentralisasi lebih demokratis karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan

karakter budaya dan kebiasaan daerah masing-masing.28

Pembagian kewenangan/ fungsi (Power Sharing) antara pusat dan daerah dalam

menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan menjadi

semakin jelas dengan diberikannya porsi peranan daerah yang lebih besar jika

dibandingkan dengan pusat.

Sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas

inisiatif sendiri, maka pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan

daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah

(Perda). Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah peraturan daerah

berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, Pemerintahan daerah berhak menetapkan

peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan. Keberadaan peraturan daerah merupakan conditio sine quanon atau

syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi

tersebut. Peraturan daerah harus dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam

28
Departemen Keuangan ( Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah), Di
dalam Buku Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, Edisi
Kedua, 2007, Hal 1

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


27

melaksanakan urusan-urusan di daerah.29 Disamping itu peraturan daerah juga harus

memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Peraturan daerah merupakan

bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-

undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang

dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang

berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selanjutnya

menurut Suko Wiyono, peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang

dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya

dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah dilarang

bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi serta Perda daerah lain.30

Dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi dari

daerahnya sendiri dalam meningkatkan PAD, banyak bermunculan Peraturan Daerah

(Perda) tentang pungutan pajak, ada yang terealisasi dengan baik sehingga fungsi

pajak sebagai fungsi Budgeter dan fungsi reguleren tercapai, namun ada juga

Peraturan Daerah yang tidak terealisasi dengan baik dan tidak memberi kontribusi

yang besar bagi peningkatan PAD. Langkah pembuatan Perda harus memperhatikan

syarat-syarat yang diperlukan sehingga tidak mengabaikan aspek hukumnya.

29
Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total
Media, Yogyakarta, 2007, hal. 55
30
Muhammad Ikhwan, Teori Desentralisasi (Pembagian Urusan Pemerintahan di Indonesia)
http://studihukum.blogspot.com/2011/01/urgensi-partisipasi-publik-dalam_10.html akses tanggal 17
Februari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


28

Oleh sebab itu, diharapkan peran dan perhatian pemerintah dalam pembuatan

Peraturan Daerah (PERDA) tentang pungutan pajak, sehingga masyarakat tidak

merasa terbebani dan menjadikan pajak sebagai hal yang menakutkan. Pembuatan

peraturan perundang-undangan perpajakan adalah suatu perbuatan menentukan

peraturan/norma hukum yang mengikat umum, karenanya harus dilakukan dengan

cermat, hati-hati dan mempertimbangkan berbagai segi secara komprehensif.

Pemungutan pajak akan berjalan secara efektif dan efisien dengan memperhatikan

setidaknya 4 (empat) syarat agar tercapai keadilan dan kepastian hukum. Syarat-

syarat tersebut adalah syarat yuridis, syarat ekonomis, syarat finansial dan syarat

sosiologis.31

Hak terhadap air merupakan asasi setiap manusia. Undang-Undang dasar 1945

Pasal 33 ayat (2) menjamin hak dasar tersebut, Pasal 33 ayat (2) berbunyi Bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini berarti negara harus

dapat menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau setiap

individu warga negara. Itulah sebabnya negara harus dapat membatasi/mengendalikan

pemakaian air bawah tanah tersebut agar kebutuhan setiap individu akan air selalu

dapat dipenuhi. Untuk dapat mengendalikannya pemerintah daerah mengenakan

pajak atas pengambilan air bawah tanah tersebut.

31
Muqodim, Perpajakan, Buku Satu, Edisi ke 2 (Revisi), UII Press dan EKONISIA,
Yogyakarta, 1999, Hal 2.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


29

Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) disebutkan bahwa Pajak ditetapkan dengan

Peraturan Daerah. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan

mengenai:32

a. Nama, objek, dan Subjek Pajak;

b. Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

c. Wilayah pemungutan;

d. Masa Pajak;

e. Penetapan;

f. Tata cara pembayaran dan penagihan;

g. Kedaluwarsa;

h. Sanksi administratif; dan

i. Tanggal mulai berlakunya.

Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: 33

a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu

atas pokok pajak dan/atau sanksinya;

b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau

c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan

pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing

sesuai dengan kelaziman internasional.

32
Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
33
Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


30

Salah satu jenis pajak provinsi dalam undang-undang tersebut adalah Pajak Air

Permukaan. Dengan demikian, maka kewenangan untuk memungut pajak air

permukaan dimiliki oleh pemerintah daerah tingkat I atau Pemerintah Provinsi.

Namun demikian, undang-undang pajak daerah masih memberikan batasan-batasan

mengenai hal-hal yang dapat diatur dalam peraturan daerah sehubungan dengan Pajak

Air Permukaan. Dalam pasal 21 ayat (2) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

undang-undang mengecualikan objek pajak air pemukaan, pengambilan dan/atau

pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan

pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan

dan peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah juga diberi kewenangan

lanjutan dalam butir b. ayat tersebut untuk menambahkan pengambilan dan/atau

pemanfaatan Air Permukaan dalam Peraturan Daerah. Kewenangan lain yang

diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah adalah untuk menetapkan

Nilai Perolehan Air Permukaan. Nilai Perolehan Air Permukaan adalah dasar

pengenaan Pajak Air Permukaan. Hal itu diatur dalam pasal 23 ayat (1) Undang-

Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Besarnya Nilai Perolehan Air

Permukaan sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Gubernur

sesuai pasal 23 ayat 4 Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Kewenangan terakhir yang cukup penting yang diberikan oleh undang-undang

mengenai pajak air permukaan adalah mengenai pengaturan tarif. Dalam Pasal 24

ayat (2) UU PDRD dinyatakan bahwa Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan

Peraturan Daerah. Namun demikian dalam ayat (1) pasal tersebut dibatasi bahwa

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


31

Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi yang ditetapkan pemerintahan

daerah adalah sebesar 10% (sepuluh persen). 34

Sebagai landasan hukum pemungutan pemanfaatan dan pengambilan air

bawah tanah di satu sisi, peranan tersebut memudahkan daerah untuk

melaksanakan pemungutannya karena tidak diperlukan lagi mencari bentuk untuk

menyusun peraturan pelaksanaanya. Daerah mempunyai wewenang yang cukup

besar dalam pengaturan pajak air bawah tanah. Apabila ketidakadilan sebagai akibat

dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam produk-produk

sebelumnya, daerah memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi atau perbaikan-

perbaikan. Pajak air bawah tanah memerlukan pengaturan yang lebih luwes,

menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya pergerakan menuju

penyesuaiaan antara fiskus dan wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat merasa

ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan petugas-petugas pajak.

Bahwasanya Peraturan Daerah tentang pajak provinsi dan pajak daerah

merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Propinsi atau Daerah masing-masing,

oleh sebab itu nominal atau nilainya antar propinsi dan Daerah tidak sama.

Saat ini Peraturan Daerah yang baru tentang Pemungutan Pajak Air Permukaan

dan Air Bawah Tanah belum diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau dan

Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten. Dalam artian bahwa saat ini pihak Pemerintah

Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten masih menggunakan

34
Derry Patra Dewa, http://derrypatra.wordpress.com/tag/environment/akses tanggal 17
Februari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


32

Peraturan Daerah yang lama untuk memungut Pajak Air Bawah Tanah danAir

Permukaan. Hal ini disebabkan belum dikeluarkannnya Peraturan Daerah mengenai

pemungutan Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Belum dikeluarkannya

Peraturan Daerah tersebut dikarenakan masih dalam proses pembahasan oleh pihak

pemerintah kabupaten/kota.35 Menjabarkan amanat UU No. 28 Tahun 2009 tentang

Pajak dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah harus segera melakukan revisi perda-

perda yang tidak sejalan dengan UU tersebut.

Untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna Pemungutan dan

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Daerah Propinsi Riau yang

diatur dengan Undang-Undang yang kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah

selanjutnya melalui Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Pajak Pengambilan

dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang Dasar Hukum

pemungutan pengambilan dan pemanfaatannya adalah Undang-Undang No. 28

Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Undang-Undang No. 12

Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001

Tentang Pajak Daerah, Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang

Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan, serta

keputusan Gubernur Riau No. 48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan Dan

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Keputusan Gubernur Riau No. 3

35
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi
Atan M.Si, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


33

Tahun 2003 tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar Penetapan Pajak

Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan

Daerah Propinsi Riau No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Air

Permukaan. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Pengelolaan Air Bawah Tanah dan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 6 Tahun

2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Permukaan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 Tahun 2002 tentang

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,

disebutkan beberapa pengertian sehubungan dengan Pajak Pengambilan dan

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai berikut :

1. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang

muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.

2. Air permukaan adalah air yang berada di atas Permukaan Bumi, tidak termasuk

air laut.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan dan

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah

Nomor 48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengambilan dan

Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Propinsi Riau.

Objek Pajak dan Wajib Pajak dalam Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah

Tanah dan Air Permukaan adalah sebagai berikut :

1. Wajib Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


34

memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah

dan/atau air permukaan.36

2. Objek Pajak adalah : 37

a. Pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan

b. Pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan

c.. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan

Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah

Tanah Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah

Tanah, dengan ketentuan sebagai berikut : 38

1. Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan

Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air.

2. Nilai Perolehan Air dinyatakan dalam Rupiah yang dihitung menurut

sebahagian atau seluruh Faktor-faktor:

a. Jenis Sumber Air

b. Tujuan Pengambilan Air

c. Volume air yang diambil

d. Kualitas Air

e. Luas areal tempat pengambilan air

f. Musim pengambilan air


36
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak
Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.
37
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak
Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.
38
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak
Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


35

g. Tingkat kerusakan lingkungan

Dikecualikan dari Objek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah

Tanah dan Air Permukaan adalah :39

a. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air

bawah tanah dan atau air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah

b. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemenfaatan air

permukaan oleh BUMN dan BUMD yang khusus didirikan untuk

penyelenggaraan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta

mengusahakan air dan sumber-sumber air

c. Pengambilan atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air

bawah tanah dan atau air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian

rakyat.

d. Pengambilan dan pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air

bawah tanah dari dan atau air permukaan untuk keperluan dasar rumah

tangga dan ibadah.

Meskipun pemerintah daerah diberikan kewenangan yang begitu luas, tetapi

untuk menghindari hal-hal yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan semangat

otonomi daerah, maka di dalam Undang-Undang tetap diatur mengenai pengawasan

yang diatur oleh pemerintah pusat. Pemerintah sebenarnya telah melakukan antisipasi

39
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak
Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


36

(dalam bentuk pengawasan) agar daerah tidak terlalu kreatif dalam memungut pajak

sehingga otonomi daerah tidak malah menjadi momok bagi rakyat. Pengawasan

tersebut berupa kewajiban pemerintah daerah untuk menyampaikan Peraturan Daerah

kepada pemerintah pusat yang berwenang pula untuk melakukan pembatalan terhadap

peraturan daerah yang tidak sesuai dengan Undang-undang.

Sehubungan dengan adanya peraturan kebijakan di bidang perpajakan daerah,

tentu diperlukan upaya yang serius bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk

melakukan penyesuaian terhadap berbagai macam pajak daerah sesuai dengan

kategori jenisnya guna menghindari adanya tumpang tindih yang berakibat dapat

dibatalkannya perda tentang pajak daerah.

Seyogyanya, Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap berlaku paling lama 1 (satu)

tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, sepanjang

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum diberlakukan

berdasarkan Undang-Undang ini.40

Namun demikian, diberlakukannya Perda No. 16 Tahun 2002 untuk

pemungutan Pajak Air Bawah Tanah masih dimungkinkan dengan Perda tersebut.

Sebagaimana disebut dalam Pasal 180 ayat (1) UU no. 28 Tahun 2009 Tentang pajak

dan dan Retribusi Daerah bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai

jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku
40
Lihat Pasal 180 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


37

untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang

baru berdasarkan Undang-Undang ini.41

Pada pasal 185 UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah dikatakan bahwa UU tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2010, oleh sebab

itu untuk berlakunya Perda pajak provinsi dan pajak daerah masih mengikuti

kebijakan yang lama dan akan disesuaikan dlm jangka 2 tahun setelah UU ini

diberlakukan dengan kata lain Peraturan Daerah yang baru tentang Pajak Provinsi dan

Pajak Daerah akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2012.

Saat ini, masih banyak perda pajak dan retribusi yang dimiliki harus segera

direvisi, karena tidak sesuai dengan amanat UU No. 28 Tahun 2009. Waktu yang

tersisa untuk merevisi perda yang ada sudah sangat sedikit, sehingga harus dilakukan

dengan segera. Selanjutnya dalam UU tersebut sudah jelas diatur tentang proses revisi

perda yang ada di masing-masing pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam

pasal 180 ayat 1 dan 2 UU No. 28 Tahun 2009 menyebutkan, setelah dua tahun

diberlakukannya UU ini, peraturan yang ada di bawahnya harus disesuaikan. Ini

artinya, pada Januari 2012 seluruh perda pajak dan retribusi sudah harus direvisi.42

B. Pelaksanaan Pemungutan Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air


Permukaan Dan Air Bawah Tanah.

Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 tahun 2002 tentang

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan,

41
Lihat Pasal 180 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
42
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi
Atan M.Si, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


38

yang berwenang melakukan pemungutan pajak ini adalah Dinas Pendapatan Daerah.

Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah tanah dan Air

Permukaan tidak dapat diborongkan. Artinya, seluruh proses kegiatan pemungutan

pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Walaupun demikian,

dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan

pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada

wajib pajak, atau menghimpun data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak

dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya

pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak dan penagihan pajak.43

Secara sederhana tata laksana Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air

Bawah Tanah di Riau dapat digambarkan dalam alur sebagai berikut :

1. Pendataan dan Penatausahaan

Orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan pemanfaatan

air bawah tanah wajib mendaftarkan terlebih dulu. Izin pengambilan dan

pemanfaatan air bawah tanah dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan Propinsi

Riau setelah dilengkapinya syarat1syarat yang ditentukan. Setelah izin pengambilan

dan pemanfaatan diterbitkan maka wajib pajak wajib mendaftarkan kepada

Dispenda Riau untuk diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD)

dan dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Pengambilan dan Pengambilan Air Bawah

Tanah. Dalam pelaksanaannya data wajib pajak disampaikan oleh Badan

43
Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hal. 230

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


39

Pengendalian Dampak Lingkungan yang memberikan izin pengambilan dan

pemanfaatan air bawah tanah.

Dengan demikian pendataan wajib pajak dilakukan dengan koordinasi antara

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota/Kabupaten dengan Dispenda

Propinsi Riau.

2. Penetapan dan Penagihan

Penetapan dan Penagihan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah

Tanah di Provinsi Riau terdiri dari beberapa kegiatan yang berkoordinasi dengan

Kantor Pendapatan Daerah Propinsi Riau dan Dinas Pertambangan Riau. Kegiatan

penetapan hingga penagihan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah

Tanah terdiri dari:

a. Kegiatan Pencatatan Meteran Air

Dinas Pertambangan menyampaikan data pelanggan pengambilan dan

pemanfaatan air bawah tanah kepada Dinas Pendapatan Daerah. Data tersebut

kemudian dibukukan dan digunakan sebagai dasar dalam mencatat meteran air.

b. Kegiatan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)

Daftar rekapitulasi yang diterima dari Dipenda, dijadikan dasar untuk

membuat/mencetak SKPD rangkap 5 yang terdiri dari lembar ke11 untuk

wajib pajak, lembar ke12 untuk BKP yang Bersangkutan, lembar ke13 untuk

Dinas Pendapatan Daerah Riau, lembar ke14 untuk kantor/pos pelayanan

Dispenda yang bersangkutan, lembar ke15 untuk arsip. Perhitungan pajak

dalam SKPD harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku,

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


40

SKPD dalam 5 rangkap rekapitulasinya diserahkan kepada Dinas Pendapatan

Daerah paling lambat tanggal 25 setiap bulannya.

c. Kegiatan Pencocokan Meneliti SKPD

SKPD yang diterima oleh Dinas Pendapatan Daerah diteliti dan dicocokan

dengan daftar rekapitulasi. Dalam hal ini terjadi ketidakcocokan maka SKPD

dikembalikan kepada wajib pajak.Sedangkan untuk SKPD yang telah sesuai

dengan daftar rekapitulasi diproses pengesahannya sebagai SKPD.

d. Perbaikan Penerbitan SKPD

Wajib Pajak menerima koreksi SKPD dan Daftar rekapitulasinya paling

lambat tanggal 25 tiap bulannya. Berdasarkan data koreksi tersebut dan

disampaikan kepada Dinas Pendapatan Daerah paling lambat tanggal 29 setiap

bulannya.

e. Penyampaian SKPD

SKPD diterima Dinas Pendapatan dari Wajib Pajak paling lambat tanggal

29 setiap bulannya. SKPD rangkap 5 ini kemudian disampaikan Dinas

Pendapatan daerah kepada Bank atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan

Keputusan Gubernur paling lambat akhir bulan berikutnya.

f. Pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah

Setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setiap bulannya Bank yang

ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur atas tempat izin yang ditunjuk

berdasarkan Keputusan Gubernur melayani dan menerima pembayaran

pajaknya. Atas SKPD yang tidak/belum dibayar, dikembalikan kepada Dinas

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


41

Pendapatan Daerah. Pembayaran yang terlambat atau yang dilakukan setelah

tanggal 15 setiap bulannya serta yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak

Daerah (STPD) dilakukan di KPKD.

g. Penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD)

Pada tanggal 16 setiap bulannya, Dinas Pendapatan Daerah menerima

SKPKD rangkap 5 yang tidak/belum dilunasi dari Bank atau tempat lain yang

ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur.

Pelaksanaan pemungutan Pajak Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air

Permukaan didasarkan atas Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 tahun 2002

tentang Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan yang diimplementasikan

melalui Keputusan Gubernur Propinsi Riau Nomor 48 Tahun 2002 tentang Petujuk

Pelaksanaan Peraturan daerah Nomor 16 tahun 2002 Tentang Pengambilan dan

pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan. Untuk mewujudkan peraturan

tersebut diperlukan adanya administrasi pemungutannya, yang mana administrasi

perpajakan merupakan kunci keberhasilan kebijakan perpajakan. Administrasi

perpajakan perlu disusun dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menjadi

instrument yang bekerja secara efisien dan efektif, sebab sebaik apapun kebijakan

perpajakan dan Undang-Undang perpajakan jika kegiatan administrasi tidak

dilakukan secara efisien dan efektif, maka sasaran yang hendak dicapai menjadi

gagal. Secara umum pelaksanaan pemungutan Pajak pemanfaatan Air Bawah Tanah

dan Air Permukaan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Dalam implementasi

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


42

pemungutannya, Dinas Pendapatan Daerah berkoordinasi dengan Dinas

Pertambangan dan Kantor Pengelolaan Teknologi Informasi.

Dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan,

setiap aparatur pemerintah bertugas melaksanakan sebagian tugas umum

pemerintahan dan pembangunan di bidang masing-masing. Dengan demikian tujuan

dan sasaran yang harus dicapai oleh Pemerintah selalu menyangkut kegiatan-

kegiatan atau tugas lebih dari satu aparatur pemerintah. Dalam rangka pelaksanaan

tugas tersebut, kegiatan aparatur Pemerintah perlu satukan dan diselaraskan untuk

mencegah timbulnya tumpang tindih dan kesimpang siuran dalam pelaksanaanya.

Dengan demikian koordinasi anatar kegiatan aparatur pemerintah harus dilakukan.

Dalam pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah dari berbagai institusi

yang bersinergi dan didukung oleh sumber daya manusia sebagai suatu kesatuan

sosial, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu, sehingga setiap

organisasi memiliki fungsi yang jelas sebagai suatu kesatuan yang mempunyai

tertentu dan batasan-batasan yang jelas. Pada pemungutan pajak air bawah tanah,

petugas pemungutan pajak air bawah tanah saling berkoordinasi dengan instansi

terkait lainnya, di antaranya Dinas Pendapatan Daerah dengan Kantor Pendapatan

Propinsi Riau dan Dinas Pertambangan Propinsi Riau.

Pemungutan pajak air bawah tanah dan air permukaan dilakukan oleh Dinas

Pendapatan Daerah Riau sebagai koordinator pemungutan air bawah tanah,

berkoordinasi dengan Dinas Kantor Pendapatan Daerah dan Pos Pelayanan

Daerah , pelaksanaannya yaitu terdiri dari:

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


43

1. Pendaftaran

Dalam masalah pemungutan pajak air bawah tanah, Dinas Pendapatan Daerah

dihadapkan bagaimana usaha untuk mengenakan semua subjek pajak yang telah

memenuhi ketentuan material peraturan perpajakan dikenakan pajak. Peraturan

Daerah Nomor 16 tahun 2002, mengatur mengenai kewajiban pendaftaran atas

usaha pengambilan air bawah tanah kepada Dinas Pendapatan Daerah.

Pendaftaran sebagai awal dari proses pemajakan sangat mempengaruhi kegiatan

administrasi pemungutan lainnya, yang meliputi antara lain:

a. Pembayaran Pajak dan penyampaian SPTPD oleh wajib pajak kepada Dinas

Pendapatan Daerah

b. Kegiatan penetapan pajak yang terutang yang dilakukan oleh Sub Dinas

Penetapan

c. Kegiatan pengawasan pembayaran pajak dan penagihan pajak oleh Subdinas

Penagihan

d. Kegiatan pemeriksaan oleh subdinas pendataan dan pemeriksaan

Kegiatan pendaftaran sampai dengan saat ini belum dapat dilakukan

secara optimal, karena masih kurangnya subjek pajak yang mendaftar pada

Dinas Pendapatan Daerah, akibatnya kegiatan administrasi penerbitan NPWP

sebagai identitas diri dan usaha wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak

tidak dapat dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan subjek pajak yang mendaftarkan

perizinan pengambilan air bawah tanah kepada Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan di Daerah Kota/Kabupaten sebagai data yang dijadikan sebagai data

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


44

wajib pajak belum diperoleh Dispenda. Seperti dijelaskan yang dijelaskan disini

bahwa wajib pajak itu melakukan pendaftaran dan pendataan, mengisi formulir

yang ada di kantor pendapatan daerah, kemudian melampirkan syarat-syarat seperti

identitas pengusaha dan surat izin usaha. Setelah formulir yang di sampaikan ke

kantor dinas pendapatan daerah kemudian diterbitkan NPWP. Baru kemudian

wajib pajak yang sudah mendapat NPWP tersebut melakukan kewajibannya

yaitu membayar atau menyetorkan dan melaporkan pemakaian air tiap bulannya.

Dalam pemungutannya, setiap bulannya wajib pajak datang ke kantor

Dinas Pendapatan untuk melaporkan dan membayar pemakaian air bawah

tanahnya.nah Jika ada wajib pajak yang belum membayar dan melaporkan pajak

air bawah tanah petugas yang datang langsung ke tempat wajib pajak. 44

Sebagai kegiatan awal dari proses kegiatan perpajakan, menghimpun data

wajib pajak dapat dilakukan melaui cara yang konvensional yakni melalui pendataan

oleh fiskus. Meskipun biaya yang diperlukan untuk melakukan pendataan cukup

besar dan menyerap sumber daya manusia yang tidak sedikit, maka dalam kondisi

dimana kegiatan pendataan mungkin dilakukan. Dengan struktur organisasi yang

dimiliki Dinas Pendapatan Daerah yang mencakup kantor pendapatan daerah dan

pelayanan pajak daerah. Peran kantor pendapatan Propinsi Riau yaitu sebagai

kantor pelaksana teknis yang tugas dan tanggung jawabnya untuk melaksanakan

44
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir
Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


45

sebagian tugas dinas pendapatan provinsi riau, seperti pemungutan, pendataan air

bawah tanah. Kantor tersebut sebagai perpanjangan tangan kita.45

2. Pendataan pajak

Kegiatan pendataan pajak terkait dengan sistem pemungutan pajak. Dalam

sistem self assessment, wajib pajak menghitung, membayar dan melaporkan sendiri

jumlah pajak terutangnya. Wajib pajak yang aktif dan harus dapat membuktikan

sendiri jumlah pajak yang terutang. Dalam sistem official assessment, pajak

terutangnya ditetapkan oleh fiskus dan pembuktiannya ada pada fiskus. Pajak baru

terutang apabila terbit surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dari Dinas Pendapatan

Daerah. Sistem pemungutan yang berjalan pada pemungutan pajak air bawah tanah

berdasarkan sistem official assessment. Dalam mekanisme pemungutan pajak air

bawah tanah, hasil pencatatan meteran air yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan

pada alat meter air yang terpasang di wajib pajak dijadikan sebagai dasar penerbitan

SKPD. Sampai saat ini masih ada perusahaan yang tidak memakai meteran air

walaupun di dalam persyaratan perizinan usaha, wajib memasang meteran air.

Seperti yang disebutkan bahwa masih ada wajib pajak yang belum sadar dalam

membayar pajak air bawah tanah, sehingga petugas bagian pemungutan air bawah

tanah yang proaktif mendatangi ke tempat wajib pajak untuk memungut pajak air

bawah tanah. Tetapi dari perusahaan besar sebagian besar sudah sadar akan

menbayar pajak air bawah tanah yang digunakannya, mereka membayar sediri ke

45
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir
Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


46

kantor pendapatan daerah kota pekanbaru. Karena petugasnya harus proaktif untuk

mendata dan menungut pajaknya, yang kita sebut istilahnya menjemput bola, tim

yang kelapangan kurang sehingga banyak dikerjakan oleh pegawai harian lepas.

Kemudian sampai saat ini pemakaian air bawah tanah belum semua memakai

meteran air.46

Pemasangan meteran air tidak disediakan oleh pemda, wajib pajak sendiri

yang menyediakan meteran air tersebut, tetapi karena kurang sosialisasi dari

pihak Pemda sendiri, akibatnya masih ada masyarakat yang tidak memasang

meteran air karena tidak di sediakan oleh pemda. Jadi jumlah air yang dipakai sudah

ditentukan oleh petugasnya.47

Penerimaan pajak air bawah tanah dari tahun ke tahun mengalami penurunan.

Kondisi demikian sebenarnya tidak boleh terjadi, mengingat pertumbuhan yang pesat

yang terjadi di Provinsi Riau pada umumnya dan di Kota/Kabupaten khususnya

saat ini, ini ditandai oleh peningkatan perusahaan dan industri-industri.

3. Pemeriksaan

Perilaku wajib pajak yang berusaha untuk mengecilkan jumlah pajak yang

terutang atau melakukan penghindaran pajak perlu dilakukan tindakan

pemeriksaan/verifikasi sebagai salah satu proses administrasi perpajakan. Sejauh

mana wajib pajak melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan dan menguji

46
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir
Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
47
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir
Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


47

kepatuhan dapat dilakukan melalui pemerikasaan. Semua sistem perpajakan harus

memberikan kemungkinan untuk memverifikasi surat pemberitahuan pajak yang

dilaporkan oleh wajib pajak, mengingat surat pemberitahuan yang diisi oleh wajib

pajak kemungkinan besar berisi kesalahan-kesalahan baik faktanya maupun

yuridisnya.

Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2000 telah mengatur kegiatan pemeriksaan

terhadap wajib pajak air bawah tanah, namun dalam implementasinya kegiatan

tersebut tidak dilakukan oleh Pendapatan Daerah. Hasil pencatatan meteran yang

dilakukan oleh petugas dinas pertambangan tanpa disertai oleh petugas dinas

pendapatan daerah perlu diuji kebenarannya. Instrumen untuk menguji tersebut

melalui kegiatan pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap wajib pajak lebih diintensifkan

kepada wajib pajak yang belum menggunakan alat ukur meter air. Hal ini bertujuan

agar dapat segera diproses penggunaan alat catat meter air pada wajib pajak

tersebut sehingga dapat diterbitkan ketapan pajaknya (SKPD). Hasil

pemeriksaan mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan penerimaan

pajak daerah.

4. Penagihan pajak

Pada hakekatnya penagihan pajak melekat dalam instansi pemungutan pajak

yang mempunyai fungsi pemeriksaan dan fungsi penagihan pajak. Dimana kegiatan

penagihan pajak sebagai proses akhir dari kegiatan pemungutan dalam rangka

terjaminnya penerimaan pajak oleh wajib pajak yang harus dilaksanakan dengan

efektif. Berjalannya kegiatan penagihan pajak merupakan bukti kemampuan Dinas

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


48

Pendapatan Daerah untuk memasukkan pajak ke kas daerah. Penagihan pajak

melalui sistem pemungutan yang berbeda dan saling melengkapi, harus dilakukan

secara efektif dengan biaya penagihan sekecil mungkin. Penyampaian surat teguran

atau surat pemberitahuan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajak

merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum dilakukan tindakan

penagihan dengan surat paksa. Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan yang dikelola oleh kantor pendapatan daerah. Namun belum ada

tindakan tegas yang dilakukan, wajib pajak tidak melaporkan dan memungut

Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, karena wajib pajak yang telat atau

tidak melaporkan dan membayar pajak air bawah tanah belum memahami

pentingnya membayar Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Jadi jika ada

wajib pajak yang belum membayar pajak air bawah tanah maka kita membuat surat

teguran jika tidak digubris oleh wajib pajak maka petugas kita yang datang ke wajib

pajak tersebut untuk menagih.seperti yang saya bilang tadi istilahnya jemput

bola. Karena pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan ini tidak

sama dengan pajak kendaraan bermotor, kalau kendaraan bermotor jika kita

adakan razia atau dapat dilihat dari platnya kan bisa di ketahui dan dapat dilihat di

jalan, dapat dilihat dari STNK nya apa dia belum membayar atau belum

memperpajang izin dan sebagainya. Jadi, disitu kita bisa dengan tegas di kenai

sangsinya jika melanggar ketentuan pajak.48

48
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir
Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


49

Dalam peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002, diatur bahwa wajib pajak yang

tidak membayar pajak setelah jatuh tempo pembayaran dilakukan penagihan

dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (SPTPD). Kegiatan administrasi

penerbitan SPTPD baru dapat dilakukan dalam hal SKPD yang tidak dibayar

oleh wajib pajak selambat lambatnya 15 hari setelah berakhirnya masa pajak. Tetapi

dari yang terjadi di lapangan banyak wajib pajak yang membayar pajaknya tidak

setiap bulan, tetapi ada yang membayar langsung 3 bulan kedepannya. Dengan

pembayaran seperti itu pelaksanaan penagihan pajak tidak optimal, karena tidak

terpasangnya meteran air maka hanya memakai taksiran saja. Dengan taksiran yang

diperkirakan atau yang ditentukan oleh petugas pendapatan daerah.

Pajak Pemanfaatan air bawah tanah merupakan salah satu penerimaan

pemerintah daerah Riau dari sektor pajak daerah. Penggunaan Pajak Air Bawah

Tanah dan Air Permukaan baru dimulai pada tahun 1998 yang sebelumnya

merupakan retribusi penerimaan Pemerintah Daerah, mengartikan bahwa potensi

penerimaan tersebut masih sangat besar dan dapat memberikan kontribusi yang

besar bagi penerimaan pajak di masa yang akan datang. Dengan perubahan

retribusi tersebut menjadi pajak, maka peranan administrasi perpajakan, terutama

koordinasi dalam pemungutan pajak air bawah tanah menjadi prioritas utama. Selain

Kantor Pendapatan Daerah Propinsi Riau, Dinas Pendapatan Daerah juga

berkoordinasi dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah.

Koordinasi yang dilakukan yaitu dalam hal data dan informasi wajib pajak

pengambilan dan pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Badan

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


50

pengendalian dampak lingkungan sebagai tempat pembuatan izin usaha, Dinas

Pendapatan Daerah Provinsi Riau sebagai pemungut pajak, karena hasil dari

penerimaan pajaknya untuk Daerah Kabupaten/kota. Dasarnya setiap pengambilan

dan pemanfaatan pajak air bawah tanah harus dapat izin dari pemerintah, tempat

air tersebut diambil. Jika pengambilan dan pemanfaatannya di kota pekanbaru

maka harus mendapat izin dulu di instansi yang mengelola air bawah tanah yaitu

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda).49

Pemberian izin oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan mempunyai

beberapa syarat yaitu, dengan mendaftarkan izin usaha pengeboran air bawah

tanah dan izin pengambilan air, masa berlaku izin tersebut yaitu tiga tahun dan dapat

memperpanjang kembali, apabila memenuhi persyaratan. Setelah memperoleh izin,

perusahaan tersebut mempunyai kewajiban, yaitu melaporkan jumlah pemakaian air

setiap bulannya, membayar retribusi izin dan pajak pengambilan air setelah

mendapat izin, menyediakan dan memasang meteran air serta alat pembatas keran,

memberikan sebagian air yang diambil untuk kepentingan masyarakat berdasarkan

permohonan masyarakat sekitar, melakuan analisis kualitas air pada setiap sumur

per tiga bulan dan melaporkan hasilnya. Apa bila salah satu kewajiban tersebut tidak

terpenuhi maka tidak dapat memperpanjang izin. Dinas Pendapatan Daerah juga

berkoordinasi dengan Dinas Pertambangan sebagai pemantau dan pengendalian

air bawah tanah yang dimanfaatkan wajib pajak tiap bulannya. Koordinasi yang

49
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir
Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


51

yang lakukan yaitu, catatan meteran air yang terkait dengan masalah pajak,

mengawasi cara pemasangan meteran air . mencatatan meteran air ini di lakuakan

sekali saja, nah untuk menghitung pengenaan pajak air bawah tanahnya dari

meteran air yang dicatat sebagai DPP nya. Dinas Pertambangan melakukan

koordinasi setiap bulan.50

Dinas pertambangan sebagai pengawasan pengendalian air bawah tanah

mempunyai tujuan untuk terkendalinya kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air

bawah tanah, selain itu kegiatan teknis dapat terwujud dengan ketentuan teknis.

Tujuannya yaitu untuk terciptanya singkronisasi pengawasan dan pengendalian

pemanfaaatan air bawah tanah di Provinsi dan kabupaten/kota, tertibnya administrasi

perizinan kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah. Terkendalinya

kegiatan pengambilan air bawah tanah, terpenuhunya ketentuan teknis berdasarkan

kaidah, norma, dan ketentuan yang berlaku terhadap pengambilan pajak air

bawah tanah sesuai dengan SIP dan terlaksananya pengelolaan air bawah tanah

yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan serta

kebijaksanaan yang dilaksanakan.51

Dengan demikian terlihat jelas bahwa koordinasi yang baik antara instansi

di Provinsi Riau sangatlah penting. Instansi-instansi tersebut memiliki kepentingan

masing-masing dalam koridornya, sehingga agar tidak saling tumpang tidih maka

50
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir
Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011
51
Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir
Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


52

diperlukan pengkoordinasian. Koordinasi diartikan sebagai upaya penyatu paduan

gerak dari suatu potensi dan unit-unit organisasi atau orgenisasi-organisasi yang

berbeda fungsi agar secara benar-benar mengarah pada sasaran yang sama guna

memudahkan pencapaiannya dengan efektif.

Koordinasi yang baik pada prinsipnya tidak akan pernah terlepas dari

komunikasi yang efektif, perumusan wewenang, tanggung jawab serta tugas

yang jelas. Selanjutnya akan dianalisis sejauh mana pelaksanaan koordinasi

dilakukan secara baik dengan melihat dari perjalanan atau tindakannya

komunikasi yang efektif, perumusan wewenang, tanggung jawab serta tugas yang

jelas.

C. Sistem Pengenaan Tarif Pajak Daerah dan Pelaksanaannya

Sebagaimana diuraikan dalam azas pemungutan pajak, bahwa pemungutan

pajak dilakukan secara adil, artinya umum dan merata .Salah satu bentuk operasional

penciptaan keadaan pemungutan pajak yang adil yaitu melalui tarif pajak: Namun

demikian, penerapan tarif pajak di lapangan bergantung dari tujuan yang ingin

dicapai oleh fiskus. Misalnya, untuk masyarakat yang penghasilannya tidak merata

dan cenderung rendah, maka penerapan tarif pajak progresif-progresif lebih

mencerminkan keadilan dibandingkan dengan tarif pajak lainnya. Tarif pajak,

merupakan alat ukur untuk menilai tingkatan besarnya pajak yang harus dibayar oleh

wajib pajak.

Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis pajak

daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan jika

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


53

pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan sendiri jenis-jenis pajak

daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada intervensi dari tingkatan pemerintahan

yang lebih tinggi. Agar pemerintah daerah memiliki kemampuan optimal untuk

memungut pajak daerah yang ada di daerahnya, perlu kiranya mempertimbangkan

pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan agar

tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah.

UU No.28 Tahun 2009 memang memberikan kewenangan yang besar kepada

daerah untuk memungut sendiri pajaknya dengan penambahan beberapa jenis pajak

daerah baru serta perluasan basis pajak daerah. Bila dilihat dari sisi otonomi fiskal

peraturan ini sama sekali tidak mempunyai makna apabila tidak disertai dengan

kewenangan dalam penetapan tarifnya. Daerah propinsi yang sebelumnya sama sekali

tidak memiliki diskresi (keleluasaan) dalam penetapan tarif, dalam UU ini diberikan

kewenangan untuk menetapkan tarif pajak daerah dengan batasan tarif minimum dan

maksimum.

Pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut akan mempermudah

daerah mengaitkan pengenaan tarif dengan tingkat pelayanan (the benefit tax-link).

Daerah dapat mendesain kebijakan tarif pajak untuk mencapai tujuan tertentu, seperti

mengenakan tarif pajak yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pelayanan, atau

menurunkan tarif pajak untuk menarik investasi ke daerahnya. Melalui penguatan

perpajakan daerah sebagaimana diuraikan di atas, struktur penerimaan daerah akan

berubah dengan peningkatan peranan PAD dalam APBD secara signifikan.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


54

Pajak daerah yang baik pada prinsipnya harus dapat memenuhi dua kriteria.

Pertama pajak daerah harus memberikan pendapatan yang cukup bagi daerah sesuai

dengan derajat otonomi fiskal yang dimilikinya. Kedua, pajak daerah harus secara

jelas berdampak pada tanggung jawab fiskal yang dimiliki oleh pemerintah daerah

yang bersangkutan. Cara yang mudah dan mungkin merupakan cara terbaik untuk

mencapai tujuan ini adalah dengan membiarkan daerah untuk menetapkan jenis pajak

daerahnya sendiri sekaligus tarifnya dengan tetap memperhatikan peraturan

perUndang-Undangan yang berlaku. Di banyak negara berkembang, pemerintah-

pemerintah daerah maupun unit-unit administratif memiliki kewenangan secara legal

untuk membebankan pajak, tetapi basis pengenaan pajak yang dimilikinya terlalu

lemah serta mereka masih sangat tergantung terhadap subsidi-subsidi yang diberikan

oleh pemerintah pusat, sehingga kewenangan yang dimilikinya untuk membebankan

pajak tersebut seringkali tidak dapat dilakukan.

Untuk mewujudkan realisasi penerimaan yang optimal, administrator

pendapatan daerah harus memperhatikan penghindaran yang dimungkinkan oleh

wajib pajak, serta tindak penipuan dan kolusi yang mungkin timbul. Penghindaran

oleh wajib pajak terjadi ketika seseorang atau badan yang seharusnya membayar

pajak daerah memiliki keinginan, atau bahkan sudah melakukannya, untuk

menghindari pembayaran yang seharusnya dilakukan atau mereka membayar apa

yang seharusnya dibayar tetapi jumlahnya tidak sesuai. Tindak penipuan dan kolusi

terjadi ketika ada usaha dari wajib pajak yang bekerja sama dengan petugas

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


55

pemungut untuk meminimalisir jumlah yang harus dibayarkan dengan beragam upaya

yang pada akhirnya dapat mengurangi perolehan pendapatan daerah.

Secara teoritis terdapat 4 macam tarif pajak, yaitu:52

1. Tarif Proporsional

Tarif pajak yang persentasenya tetap dan tidak bergantung pada besarnya dasar

pengenaan pajak.

Contoh :

Dasar pengenaan pajak Tarif Pajak Terutang

Rp. 1.000.000.000,- 10% Rp. 100.000,-

Rp. 2.000.000.000,- 10% Rp. 200.000,-

Rp. 3.000.000.000,- 10% Rp. 300.000,-

2. Tarif progresif

Tarif pajak yang persentasenya meningkat, sesuai besarnya (meningkatnya) dasar

pengenaan pajak.

Contoh :

Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Terutang

Rp. 10.000.000.000,- 15% Rp. 1.500.000,-

Rp. 40.000.000.000,- 25% Rp. 10.000.000,-

Rp. 60.000.000.000,- 35% Rp. 21.000.000,-

3. Tarif Degresif

52
Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, Yogyakarta, UII Press, 2003, hal. 9-10

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


56

Tarif pajak yang persentasenya menurun, sesuai meningkatnya dasar pengenaan

pajaknya.

Contoh :

Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Terutang

Rp. 20.000.000.000,- 10% Rp. 2.000.000,-

Rp. 30.000.000.000,- 9% Rp. 2.700.000,-

Rp. 50.000.000.000,- 8% Rp. 4.000.000.,-

Rp. 70.000.000.000,- 7% Rp. 4.900.000,-

4. Tarif Tetap

Jumlah atau angkanya tetap, tidak bergantung besarnya dasar pengenaan pajak.

Contoh :

Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Terutang

Rp. 10.000.000.000,- - Rp. 1.000.000,-

Rp. 20.000.000.000,- - Rp. 1.000.000,-

Rp. 40.000.000.000,- - Rp. 1.000.000,-

Rp. 50.000.000.000,- - Rp. 1.000.000,-

Dasar pengenaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah adalah

nilai perolehan air. Dan tarif pajak ditetapkan 20% untuk air bawah tanah dan 10%

untuk air permukaan dari pokok pajak (tarif proporsional).

Nilai perolehan air dinyatakan dalam rupiah yang dihitung menurut sebagian

atau seluruh faktor-faktor yaitu : jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan

pengambilan dan/atau pemanfaatan air, kualitas air, luas areal tempat pengambilan

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


57

dan/atau pemanfaatan air, tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh

pengambilan atau pemanfaatan air dikalikan dengan volume air yang diambil lalu

dikalikan lagi dengan harga dasar air.

Besarnya nilai perolehan air sepanjang digunakan untuk kegiatan Badan usaha

Milik Negara, Badan usaha Milik Daerah yang memberikan pelayanan publik,

pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri

dengan pertimbangan Menteri Keuangan. Nilai perolehan air yang digunakan Badan

Usaha Milik Negara seperti PT. Pertamina dan PT. PLN, Badan Usaha Milik Daerah

seperti PDAM yang memberikan pelayanan publik, pertambangan minyak bumi dan

gas alam yang diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 2002

Pasal 3 ayat (2), yang isinya sebagai berikut :

Yang digunakan oleh Pertamina dan para kontraktornya untuk kegiatan Industri

Pertambangan Minyak dan gas Bumi ditetapkan sebesar Rp. 125,- untuk Air

bawah tanah dan Rp. 100,- untuk Air permukaan setiap m3, sedangkan yang

digunakan oleh PT. PLN (persero) untuk prmbangkit tenaga listrik ditetapkan

sebesar Rp. 50,- untuk Air Permukaan setiap Kwh, dan yang digunakan oleh

PDAM ditetapkan paling tinggi sebesar Rp. 125,- untuk Air Bawah tanah dan

Rp. 100,- untuk Air Permukaan setiap m3.

Besarnya pokok Pajak Pengambilan dan Pengambilan Air Bawah Tanah dan

Air Permukaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar

pengenaan pajak (debit air yang diambil per bulan x harga dasar air x faktor-faktor

nilai air).

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


58

Sebagai contoh perhitungan besarnya pajak PABT adalah sebagai berikut:

a. Air bawah tanah

Peruntukan : Industri Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Volume pemakaian : 1500 m3

Harga Dasar Air : Rp. 125,-

Pajak yang harus dibayar

Untuk 1 (satu) bulan takwim : Tarif x HDA x Volume Pemakaian Air

: (20% x Rp. 125,- x 1500 m3

: Rp. 37.500,-

b. Air Permukaan

Peruntukan : Industri Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Volume pemakaian : 2000 m3

Harga Dasar Air : Rp. 100,-

Pajak yang harus dibayar

Untuk 1 (satu) bulan takwim : Tarif x HDA x Volume Pemakaian Air

: (10% x Rp. 100,- x 2000 m3

: Rp. 20.000,-

Besarnya pajak PPABT yang dikenakan kepada wajib pajak didasarkan atas

banyaknya manfaat yang diterima oleh wajib pajak (benefit principle), dalam hak ini

manfaat dari banyaknya air yang diambilnya. Semakin banyak air yang diambil maka

pajak yang dikenakan semakin tinggi, karena pasti manfaat yang didapat semakin

besar.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


59

Besarnya pajak yang dikenakan kepada wajib pajak juga didasarkan kepada

kemampuan membayarnya (ability to pay), ini cukup adil secara horizontal, karena

pada golongan yang sama harga dasar air ditetapkan sama, hanya saja semakin

banyak air yang diambil, Harga Dasar Air (HDA) semnakin tinggi, ini sesuai dengan

manfaat yang diterima si wajib pajak. HDA menentukan besarnya pajak yang harus

dibayar. Untuk golongan rumah tangga biasa pemakaiannya sedikit, ini tidak dikenai

pajak. Ini cukup adil karena sebagian besar rumah tangga berpenghasilan menengah

dan rendah. Tapi pemungutan pajak ini kurang adil secara vertikal. Untuk golongan

industri besar, kecil, niaga besar, niaga kecil, HDA yang ditetapkan sudah memenuhi

kriteria adil, dimana golongan industry besar dikenakan HDA yang tertinggi. Tapi

kriteria ini tidak dapat dipenuhi untuk golongan pemerintah pusat.

Tabel 1
Pemakaian air bawah tanah rata-rata perbulan
Kode Golongan Tarif Pemakaian rata-
Tarif rata (m3/per
bulan)
NON NIAGA
1a Badan sosial/pemerintah pusat dan daerah 179.417
1b Kedutaan/konsul/kantor perwakilan asing 12.656
1c Institut/perguruan/kursus 84.768
1d Lembaga swasta non komersil 21.978
1e Rumah tangga mewah dengan sumur bor 20.008

2a NIAGA KECIL 13.156


2b Usaha kecil yang berada dalam rumah tangga 6.587
2c Usaha kecil/losmen 11.015
2d Rumah makan/restoran kecil 55.467

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


60

2e RS swasta/poliklinik/lab/praktek dokter 339


2f Kantor pengacara 11.085
2g Hotel melati/non bintang 5.491
Perdagangan niaga kecil lainnya
3a INDUSTRI KECIL 6.545
3b Industri kecil 0
Perikanan/peternakan
4a NIAGA BESAR 43.096
4b Hotel bintang 1,2,3 37.533
4c Apartemen 1.976
4d Steambath dan salon 47.858
4e Bank 10.805
4f Night club/caf/rest. Besar 29.740
4g Bengkel besar/service St. 586.981
4h PT/BUMN/BUMD 129.484
4i Perdagangan niaga besar lainnya 25.119
4j Real estate 70.075
Hotel bintang 4,5
5a INDUSTRI BESAR 682
5b Pabrik es 78.220
5c Pabrik makanan/minuman 55.287
5d Pabrik kimia/obat-obatan/kosmetik 1.573
5e Gudang pendingin 20.171
5f Pabrik textile 18.824
5g Pabrik baja 192.090
Industri besar lainnya

Pengambilan air bawah tanah rata-rata perbulan tertinggi adalah oleh golongan

tarif 4.g. PT/BUMN/BUMD yaitu sebesar 587.223 m3 /bulan, diikuti oleh golongan

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA


61

tarif 5.g Industri besar lainnya yaitu sebesar 192.090 m3 /bulan, lalu diikuti oleh

golongan tarif 1.a. badan sosial, pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sebesar

179.417 m3/bulan. Sedangkan salah satu yang dikecualikan dari objek pajak PPABT

adalah pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah oleh badan sosial,

pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, ini tidak adil padahal golongan ini

adalah pengambil air bawah tanah ketiga terbesar setiap bulannya, pemerintah pusat

harusnya dikenai pajak seperti golongan lainnya.

Jika golongan ini dikenai pajak, ini akan dapat meningkatkan penerimaan pajak

ini, yang sekaligus juga dapat mengurangi pengambilan air bawah tanah. Karena

golongan ini dikenai pajak, pastinya akan membatasi atau mengurangi

pemakaian/pengambilan air bawah tanah atau mengurangi debit air yang keluar untuk

penghematan karena dapat mengurangi pengeluaran mereka.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

Anda mungkin juga menyukai