PENDAHULUAN
Ruang terbuka publik di perumahan memiliki peran penting sebagai pusat komunitas.
Ruang tersebut digunakan untuk bersosialisasi, berolahraga, meningkatkan kualitas
lingkungan hunian (Hall dkk, 1992; Takano dkk, 2002; Towers, 2005; Zhou, 2006;
Biddulph, 2007; Hwang dkk, 2009), sekaligus alat pemasaran yang dapat menaikan
nilai jual rumah (Bolitzer dan Netusil, 2000; Luttik, 2000; Irwin, 2002; Austin, 2003;
Anderson dan West, 2006; Thompson, 2008). Di Indonesia, ruang ini memiliki
keunikan karena merupakan salah satu fasilitas yang harus disediakan pengembang,
dibangun di atas lahan milik pengembang (bagian dari komponen harga jual unit
rumah), dan setelah dibangun diserahkan kepada pemerintah daerah. Keunikan
tersebut menyebabkan terjadinya ragam perkembangan ruang terbuka publik
perumahan sesuai dengan kepentingan penghuni serta campur tangan pengembang
dan pemerintah. Besarnya kebutuhan akan ruang terbuka telah terakomodasi melalui
konsep, peraturan, maupun standar minimal ketersediaan ruang terbuka di
1
perumahan. Konsep, peraturan, dan standar seperti yang tertuang di UU No. 26 tahun
2007, Permendagri No. 9 tahun 2009, SNI 03-1733-2004, dan Perbup Bantul No. 13
tahun 2009 diberlakukan sama untuk semua jenis perumahan. Pada kenyataannya,
ada indikasi terjadi perubahan karakteristik ruang terbuka publik saat ini
dibandingkan dengan rancangan semula. Perubahan tersebut berbeda di perumahan
menengah atas dan perumahan menengah bawah. Dengan demikian, terdapat
kesenjangan antara yang ada di konsep (teoritik) dengan kenyataan yang terjadi di
lapangan (empirik). Kesenjangan yang ada tersebut perlu dijembatani melalui
eksplorasi pemanfaatan ruang terbuka publik perumahan di perumahan menengah
atas dan perumahan menengah bawah.
2
Dari sisi pemanfaatan, Madanipour (2003) mengungkapkan bahwa pemanfaatan
ruang terbuka tergantung pada interaksi sosial penggunanya. Interaksi tersebut
dipengaruhi oleh gaya hidup atau perilaku pengguna dan sebaliknya gaya hidup
pengguna mempengaruhi interaksi di ruang terbuka. Penelitian lain mengungkapkan
adanya keterkaitan antara pemanfaatan dengan fisik ruang (Giles-Corti dkk, 2005)
dan gender (Mozingo, 1989; Cohen dkk, 2007; Wiyatiningsih, 2010). Peneliti lain
seperti Sampson dan Raudenbush (1999) serta Berk (2005) menunjukkan adanya
keterkaitan antara pemanfaatan dengan interaksi, keamanan, dan privasi. Sementara
itu, Madanipour (2003), Hertzberger (2005), Grundstrm dan Jere (2007), serta
Blomley (2008) mengungkapkan adanya kecenderungan perubahan ruang publik
menjadi privat.
Berdasarkan tingkat pendapatan, terdapat perbedaan tradisi bermukim di tingkat
pendapatan yang berbeda. Beberapa penelitian telah mengungkapkan keterkaitan
antara tingkat pendapatan dengan kebutuhan tradisi bermukim khususnya
bertetangga dan bersosialisasi (Mutatali, 2001; Hertzberger, 2005), jarak ruang
belanja (Mutatali, 2001), dan kecenderungan untuk memisahkan diri (Johnson,
1993). Penelitian lain mengaitkan tingkat pendapatan dengan kebutuhan akan ruang
terbuka hijau (Erowati dalam Itja, 2009) serta ruang publik eksklusif dan inklusif di
permukiman menengah bawah (Asriany, 2012).
3
tersebut untuk kenyamanan visual. Kegiatan bersosialisasi dan berolahraga yang
tinggi di perumahan menengah bawah mengakibatkan tingginya pemanfaatan ruang
terbuka publik yang terkadang bahkan mengambil ruang lain di sekitarnya.
Sebaliknya, rendahnya kegiatan di perumahan menengah atas mengakibatkan
beberapa ruang yang tersedia kurang termanfaatkan secara maksimal. Rendahnya
kegiatan di perumahan menengah atas antara lain dipicu oleh fungsi rumah sebagai
investasi dan tidak untuk dihuni sendiri di sebagian perumahan.
4
komunitas masyarakat Jawa yang menurut Saraswati (2007) masih
mempertimbangkan nilai psikologis dan spiritual. Pertemuan antara pendatang dan
penduduk asli dengan budaya lokal yang kuat serta hubungan yang terjadi antar
keduanya dapat dilihat melalui pemanfaatan ruang terbuka publik di perumahan. Hal
ini menjadikan Yogyakarta menjadi lokasi yang paling tepat untuk mendapatkan
hasil penelitian yang diharapkan.
Adanya indikasi perbedaan tradisi bermukim di tingkat pendapatan yang berbeda
menjadi dasar pemisahan kasus perumahan ke dalam dua kelompok yaitu perumahan
menengah atas dan perumahan menengah bawah. Mutatali (2001) dan Hertzberger
(2005) menyatakan adanya perbedaaan konsep bertetangga sedangkan Johnson
(1993) tentang cara bersosialisasi dan kecenderungan memisahkan diri di kelompok
menengah atas. Ketiga pernyataan tersebut memperkuat kemungkinan adanya
perbedaan tradisi bermukim di kedua tingkat pendapatan yang berbeda. Terkait peran
penting ruang terbuka publik di perumahan sebagai pusat komunitas, perbedaan
tradisi bermukim di kedua kelompok tersebut kemungkinan besar mempengaruhi
pemanfaatan ruang terbuka publik di perumahan.
Ruang terbuka publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ruang terbuka
yang dapat diakses dan digunakan oleh semua orang atau sekelompok orang di setiap
waktu atau pada waktu tertentu. Kasus penelitian adalah delapan perumahan yang
dibangun oleh pengembang swasta dan perumnas (tidak termasuk apartemen dan
rumah susun) untuk kelompok menengah atas dan kelompok menengah bawah di
Yogyakarta.
5
yang terjadi di lapangan (empirik) tersebut perlu dijembatani melalui eksplorasi
pemanfaatan ruang terbuka publik perumahan di tingkat pendapatan yang berbeda.
Penelitian ini mencoba memperkaya teori dan konsep tentang ruang terbuka publik
dengan mempertajam pemanfaatan ruang terbuka publik di perumahan menengah
atas dan perumahan menengah bawah di Yogyakarta. Konsep tersebut dibangun dari
empiri.
6
kegiatan, pengguna, waktu kegiatan, tempat kegiatan, teritori, personalisasi, kegiatan
ekonomi dan komersialisasi, ruang dengan ragam pemanfaatan tertinggi, sifat publik,
rasa memiliki ruang, persepsi, serta interaksi antar penghuni maupun dengan
masyarakat sekitar.
Fokus penelitian adalah ruang terbuka publik di perumahan, kelompok perumahan
menengah atas dan perumahan menengah bawah, serta tradisi bermukim penghuni.
Ruang terbuka publik adalah ruang terbuka berbentuk taman, taman bermain,
lapangan olahraga terbuka, tempat parkir, dan jalan di perumahan yang dapat diakses
oleh semua orang atau sekelompok orang setiap waktu atau pada waktu tertentu.
Perumahan dalam penelitian ini terdiri dari delapan perumahan yang dibangun oleh
pengembang swasta dan perumnas (tidak termasuk apartemen dan rusun).
Perumahan tersebut dibangun untuk kelompok menengah atas dan kelompok
menengah bawah, dibangun sebelum tahun 2005, dan memiliki tingkat penghunian
lebih dari 70%. Perumahan menengah atas adalah perumahan dengan harga jual unit
rumah minimal Rp. 300 juta. Perumahan menengah bawah adalah perumahan dengan
harga jual unit rumah kurang dari Rp. 500 juta.
Penelitian mengenai ruang terbuka dan ruang publik telah beberapa kali dilakukan
oleh peneliti lain. Beberapa penelitian, teori, maupun konsep tersebut
mengungkapkan peran, prinsip desain, fisik ruang, pemanfaatan ruang, dan hubungan
antara tingkat pendapatan dengan interaksi sosial dan jarak ruang belanja.
Beberapa penelitian mengenai fisik ruang mengungkapkan tentang bentuk
rancangan (Abu-Ghazzeh, 1996; Thompson, 2002), akses pedestrian (Abu-Ghazzeh,
1996; Thompson, 2002; Dines, 2006), jarak (Cohen dkk, 2007; Dunse, 2007), luas
(Sugiyama dkk, 2010), dan fasilitas (Giles-Corti dkk, 2005) yang dapat
meningkatkan kegiatan, frekuensi pemanfaatan, interaksi sosial, dan toleransi di
dalam ruang terbuka. Penelitian lain mengungkapkan tentang lokasi (Wu dan
Plantinga, 2003; Towers, 2005), kesesuaian dengan lingkungan (Gyuse dan Gyuse,
7
2008), perabot dan fisik jalan (Yannes dkk, 2010) yang dapat meningkatkan kualitas
rancangan ruang terbuka. Keterkaitan antara akses dengan rasa ruang diteliti oleh
Lang (1987) dan Alexander dkk (1977). Keterkaitan antara orientasi rumah terhadap
ruang terbuka yang berdampak pada kenaikan harga jual rumah diteliti oleh Luttik
(2000), Austin (2003), serta Anderson dan West (2006). Deskripsi tentang penataan
ruang perumahan waterfront diteliti oleh Soesanti dkk (2006).
Penelitian mengenai pemanfaatan ruang terbuka publik telah dilakukan terkait
dengan keseharian (Yuen, 1996), hirarki (Zhou, 2006), nilai properti (Acharya dan
Bennett, 2001), gender (Mozingo, 1989; Wiyatiningsih, 2010; Cohen dkk, 2007),
pengguna terbesar dan interaksi sosial (Kristin, 2010), radius optimal (Alexander
dkk, 1977; Kostof, 1991), keterikatan terhadap tempat (Ji, 2009). Penelitian lain
mengungkapkan pengelolaan ruang terbuka (Lindgren dan Castell, 2008), hubungan
antara kontrol sosial penghuni dengan tingkat kejahatan (Sampson dan Raudenbush,
1999), privasi penghuni dengan pemanfaatan ruang (Berk, 2005), kecenderungan
menambah area privat ke ruang publik (Grundstrm dan Jere, 2007; Madanipour,
2003; Hertzberger, 2005; Blomley, 2008), perubahan gaya hidup penghuni
(Engwicht, 1999).
Penelitian mengenai tradisi bermukim berdasar tingkat pendapatan diungkapkan
dengan adanya kecenderungan kelas menengah atas untuk memisahkan diri
(Johnson, 1993), kebutuhan bertetangga (Hertzberger, 2005), radius ruang belanja,
kesempatan bersosialisasi (Mutatali, 2001), pemilihan lingkungan untuk tinggal
(Appleyard, 1981). Di Indonesia, Erowati dalam Itja (2009) mengaitkan tingkat
pendapatan pengguna dengan kebutuhan akan ruang terbuka hijau. Asriany (2012)
meneliti tentang ruang publik eksklusif dan inklusif di permukiman menengah ke
bawah. Kecuali Erowati dan Asriany, penelitian terdahulu telah meneliti ruang
terbuka di semua perumahan tanpa mengaitkan dengan tingkat pendapatan penghuni.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memberi penekanan pada konsep yang
menjelaskan pemanfaatan ruang terbuka publik perumahan di perumahan menengah
atas dan menengah bawah. Fokus penelitian yang menekankan pada keterkaitan
antara fisik, pemanfaatan, tradisi bermukim di kedua kelompok kasus, serta
pemilihan kasus di Yogyakarta belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Perbedaan
8
fokus dan lokus penelitian ini dibandingkan dengan penelitian lain diharapkan dapat
digunakan untuk memperbarui dan memperkaya teori dan konsep mengenai
pemanfaatan ruang terbuka publik di perumahan. Keaslian penelitian ini diperjelas
melalui kedudukan penelitian pemanfaatan ruang terbuka publik di perumahan
dengan tingkat pendapatan yang berbeda dalam pengetahuan ruang terbuka publik
(lihat Gambar 1).
9
Gambar 1. Kedudukan penelitian pemanfaatan ruang terbuka publik di perumahan dengan tingkat pendapatan yang berbeda dalam
pengetahuan ruang terbuka publik
Sumber: Analisis peneliti
10
1.4. Tujuan Penelitian
Merujuk pengelompokan oleh Groat dan Wang (2002), kedudukan penelitian ini
dalam ilmu arsitektur berada dalam ranah desain fisik serta proses desain dan
penerapan. Dalam ranah desain fisik, penelitian ini mencoba memperkaya teori
perancangan kota terutama di bidang ruang terbuka publik di perumahan. Dalam
ranah proses desain dan penerapan, penelitian ini mencoba memperkaya bidang
perilaku sosial mengenai pemanfaatan ruang terbuka publik perumahan di
perumahan menengah atas dan perumahan menengah bawah. Hasil penelitian dapat
digunakan untuk:
1. Memperkaya dan memodifikasi teori mengenai perancangan kota di bidang
perancangan ruang terbuka publik di perumahan dengan tingkat pendapatan yang
berbeda.
2. Menjadi masukan dan acuan bagi stakeholders dan perancang perumahan di
proyek perumahan selanjutnya mengenai:
11
a. Kondisi eksisting pemanfaatan ruang terbuka publik di perumahan menengah
atas dan perumahan menengah bawah di Yogyakarta.
b. Karakteristik ruang terbuka publik perumahan yang sesuai dengan calon
penghuni (pasar pembeli) atau desain yang tepat guna terutama mengenai
fungsi dan kaidah perancangan ruang terbuka publik di perumahan menengah
atas dan menengah bawah.
12