Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

Fraktur Collum Femur Sinistra

Ruang Seruni
RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Oleh :
Tria Permata Rati
I4B016042

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
I. Latar Belakang
A. Pendahuluan
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu
sebab. Penyebab trauma antara lain kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, maupun
kecelakaan rumah tangga. Dampak dari kecelakaan tersebut dapat mengakibatkan fraktur
atau patah tulang, cedera tulang belakang, cedera kepala, dan sebagainya. Ditambah dengan
semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengakibatkan semakin
banyaknya tingkat kecelakaan trauma di bidang transportasi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari medikal record Rumah Sakit Pusat Kepolisisan
Raden Said Sukanto Jakarta, pada bulan Januari 2009 sampai dengan desember 2009 jumlah
klien yang menderita fraktur sbanyak 382 orang, sedangkan klien yang menderita fraktur
femur sebanyak 82 orang (22%). Penanganan fraktur harus dilakukan dengan cepat dan
tindakan tepat agar imobilisasi dilakukan sesegera mungkin karena pergerakan pada fragmen
tulang dapat menyebabkan nyeri. Kerusakan jaringan lunak dan perdarahan yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya syok dan komplikasi neurovaskuler.
Keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang memegang
peranan penting dalam memenuhi kebutuhan klien dan keluarga secara biopsikososiospiritual
dan kultural. Perawat berperan dalam pemberian asuhan keperawatan pada fraktur femur
sinistra diantaranya dengan usaha promotif yaitu memberikan pendidikan kesehatan tentang
pentingnya menjaga keamanan dan keselamatan diri. Usaha preventif, perawat menjelaskan
cara pencegahan infeksi lanjut yang ditimbulkan oleh tindakan pembedahan. Sedangkan
upaya kuratif adalah perawat dapat berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat
dan pembedahan. Upaya rehabilitatif, perawat menganjurkan kepada pasien untuk sesegera
mungin melakukan mobilisasi secara bertahap.menganjurkan kepada pasien untuk sesegera
mungin melakukan mobilisasi secara bertahap, setelah penatalaksanaan medis.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka akan dibahas di laporan pendahuluan ini
mengenai fraktur collum femur sinistra.
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan pendahuluan ini agar mahasiswa mampu menjelaskan,
definisi, etiologi, patofisiologi, tanda gejala, pemeriksaan peunjang, pathway, pengkajian,
dianosa keperawatan, dan fokus intervensi dari fraktur collum femur sinistra..
II. Pengertian
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan (Oerswari, 2000). Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas
tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-
kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Sedangkan fraktur kolum femur
merupakan fraktur intrakapsular yang terjadi pada bagian proksimal femur, yang termasuk
kolum femur adalah mulai dari bagian distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian
proksimal dari intertrokanter.

III. Etiologi
Fraktur collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada
wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan dan
osteoporosis pasca menopause. Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung,
yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak
langsung, yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah.
Penyebab fraktur secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Cedera traumatik

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh
dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.

Cedera traumatik pada tulang dapat dibedakan dalam hal berikut, yakni:
1) Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit akibat berbagai
keadaan berikut, yakni:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), dimana berupa pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi, misalnya osteomielitis, yang dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
3) Rakhitis, merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan, dimana disebabkan oleh stress atau tegangan atau tekanan pada
tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di
bidang kemiliteran.

IV. Klasifikasi Fraktur Collum Femur


a) Fraktur collum femur sendiri dibagi dalam dua tipe, yaitu:

1. Fraktur intrakapsuler

2. Fraktur extrakapsuler
Intrakapsuler

Ekstrakapsuler

Fraktur intrakapsuler dan ekstrakapsuler

b) Berdasarkan arah sudut garis patah dibagi menurut Pauwel :

Tipe I : garis fraktur membentuk sudut 30 dengan bidang horizontal pada posisi
tegak

Tipe II : garis fraktur membentuk sudut 30-50 dengan bidang horizontal pada posisi
tegak

Tipe III: garis fraktur membentuk sudut >50 dengan bidang horizontal
Klasifikasi Pauwels untuk Fraktur Kolum Femur
Klasifikasi ini berdasarkan atas sudut yang dibentuk oleh garis fraktur dan bidang
horizontal pada posisi tegak.

c) Dislokasi atau tidak fragment ( menurut Gardens) adalah sebagai berikut :

Grade I : Fraktur inkomplit ( abduksi dan terimpaksi)

Grade II : Fraktur lengkap tanpa pergeseran

Grade III : Fraktur lengkap dengan pergeseran sebagian (varus malaligment)

Grade IV : Fraktur dengan pergeseran seluruh fragmen tanpa ada bagian segmen yang
bersinggungan.
Klasifikasi Gardens untuk Fraktur Kolum Femur

V. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma (Long, 1996:
356). Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau
tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa
karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot
trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Oswari, 2000).
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Terbuka bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. (Mansjoer, 2000).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan
sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis
dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma
fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi
dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Corwin, 2000)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakanyg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia
jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002)
Pengobatan dari fraktur tertutup dapat konservatif maupuan operatif. Terapi konservatif
meliputi proteksi dengan mitela atau bidai. Sedangkan terapi operatif terdiri dari reposisi
terbuka, fiksasi internal, reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna
(Mansjoer, 2000)
Pada pemasangan bidai, gips atau traksi maka dilakukan imobolisasi pada bagian
yang patah. Imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas tulang
agak cepat. Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi
dari imobilisasi antara lain: adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka akibat penekanan,
hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagin tubuh diimobilisasi
dan mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri (Carpenito, 1996).
Pada reduksi terbuka fiksasi interna (ORIF) fragmen tulang dipertahankan dengan
pin, sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan memungkinkan terjadinya infeksi, pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang sebelumnya tidak
mengalami cidera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan
operasi.
Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan nyeri
yang hebat. (Brunner & Suddarth, 2002)

VI. Tanda Gejala


Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan fraktur femur, yakni:
1) Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya.
Perubahan keseimbangan dan kontur terjadi, seperti:
a. rotasi pemendekan tulang;
b. penekanan tulang.
2) Bengkak (edema)
Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur.
3) Ekimosis dari perdarahan subculaneous
4) Spasme otot (spasme involunters dekat fraktur)
5) Tenderness
6) Nyeri
Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot, perpindahan tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7) Kehilangan sensasi
8) Pergerakan abnormal
9) Syok hipovolemik
10) Krepitasi
Pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan berat namun pada
penderita usia tua biasanya hanya dengan trauma ringan sudah dapat menyebabkan fraktur
collum femur. Penderita tidak dapat berdiri karena rasa sakit sekali pada pada panggul.
Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan eksorotasi. Didapatkan juga adanya
pemendekakan dari tungkai yang cedera. Tungkai dalam posisi abduksi dan fleksi serta
eksorotasi.pada palpasi sering ditemukan adanya hematom di panggul. Pada tipe impacted,
biasanya penderita masih dapat berjalan disertai rasa sakit yang tidak begitu hebat. Posisi
tungkai tetap dalam keadaan posisi netral.
Pada pemeriksaan fisik, fraktur kolum femur dengan pergeseran akan menyebabkan
deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal sedangkan pada fraktur tanpa
pergeseran deformitas tidak jelas terlihat. Tanpa memperhatikan jumlah pergeseran fraktur
yang terjadi, kebanyakan pasien akan mengeluhkan nyeri bila mendapat pembebanan, nyeri
tekan di inguinal dan nyeri bila pinggul digerakkan.

VII. Pemeriksaan Penunjang


Proyeksi AP dan lateral serta kadang juga dibutuhkan axial. Pada proyeksi AP kadang
tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus yang impacted, untuk ini diperlukan
pemerikasaan tambahan proyeksi axial.
Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur. Penilaian ini
penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser ( stadium I dan II Garden ) dapat
membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur yang bergeser sering mengalami non
union dan nekrosis avaskular.
1. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan
sinar rontgen ( Sinar X ). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi kegunaan.
Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada Sinar X mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal
hal sebagai berikut. (Muttaqin, 2008)
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase,
Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase
yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang
3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat (Muttaqin, 2008)
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Muttaqin, 2008).
VIII. Pathway
IX. Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat mengidentifikasi mengenai
masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial, dan
lingkungan. (Effendi, 2002).
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien dengan fraktur femur diantaranya adalah:
1. Identitas pasien
Identitas ini meliputi nama, usia, TTL, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku bangsa, dan
pendidikan.
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa
akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor memperberat dan
faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam
hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain

4. Riwayat kesehatan masa lalu


Pada riwayat kesehatan masa lalu, perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita
penyakit infeksi tulang ataupun osteoporosis. Hal ini merupakan informasi yang penting
dalam penanganan fraktur femur pada klien
5. Riwayat kesehatan keluarga
Hal ini mencakup riwayat ekonomi keluarga, riwayat sosial keluarga, sistem dukungan
keluarga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga.
6. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang
merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu
juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur tibia tidak ada
gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola
ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan
pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien, seperti
memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan
sehingga kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap, klien biasanya merasa rendah diri terhadap perubahan dalam
penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan gangguan citra diri.
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang
pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena
harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.
8. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
2) Kesadaran penderita:
Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna
Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan pemeriksaan
penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus menerus
Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan
Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan menjawab
pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur lagi.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
d. Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.
e. Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas),
hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah), penurunan nadi pada bagian distal
yang cidera, capilary refil melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan masa
hematoma pada sisi cedera.
f. Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal (3 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal)
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi sedikit dan ada
tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan gravitasi tapi dengan sentuhan
jatuh(3), kekuatan otot kurang (4), kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito,
1999)
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Muttaqin, 2008)

9. Pemeriksaan Diagnostik
d. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan
sinar rontgen ( Sinar X ). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi kegunaan.
Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada Sinar X mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal
hal sebagai berikut. ( Arif Muttaqin, 2008 )
5) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
6) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
7) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
8) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

e. Pemeriksaan Laboratorium
4) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
5) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase,
Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase
yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang
6) Hematokrit dan leukosit akan meningkat
f. Pemeriksaan lain-lain
7) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
8) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
9) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
10) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
11) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
12) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
X. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien fraktur collum femur sinistra menurut NANDA (2015)
yaitu :
1. Nyeri akut b/d agen cedera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka muskuloskeletal, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
3. Kerusakan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
4. Risiko infeksi b/d prosedur invasif
5. Kurang pengetahuan tentang tidak familier dengan sumber informasi

XI. Fokus Intervensi


1. Nyeri Akut
a. Kaji karakteristik nyeri : lokasi, kualitas dan frekuensi
b. Kaji faktor lain yang menyebabkan nyeri
c. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan obat analgesik
d. Ajarkan teknik manajemen nyeri non farmakologi seperti imajinasi, relaksasi, atau
terapi
pijat
e. Bantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian, sehingga
menurunkan nyeri dari ketidaknyamanan

2. Hambatan Mobilitas Fisik


Latihan Kekuatan
Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program latihan secara rutin
Latihan untuk ambulasi
Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan keluarga.
Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker
Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman.
Latihan mobilisasi dengan kursi roda
Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara berpindah dari
kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.
Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh
Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda
Latihan Keseimbangan
Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara mandiri dan menjaga
keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar
Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg benar untuk
menghindari kelelahan, keram & cedera.
Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latihan.

3. Kerusakan Integritas Kulit


1 Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2 Hindari kerutan padaa tempat tidur
3 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4 Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
5 Monitor kulit akan adanya kemerahan
6 Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
7 Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8 Monitor status nutrisi pasien
9 Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat

4. Risiko Infeksi
Infection Control (Kontrol infeksi)
1 Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
2 Pertahankan teknik isolasi
3 Batasi pengunjung bila perlu
4 Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien
5 Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
6 Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
7 Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
8 Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
9 Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
10 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
11 Tingktkan intake nutrisi
12 Berikan terapi antibiotik bila perlu

5. Kurang Pengetahuan
Teaching : disease Process
1 Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang
spesifik
2 Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
3 Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
4 Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
5 Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
6 Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
7 Hindari harapan yang kosong
8 Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang
tepat
9 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi
di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
10 Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
11 Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara
yang tepat atau diindikasikan
12 Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
13 Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat
14 Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi
Perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC.
Capernito, L. (1996). Buku saku diagnosa keperawatan. Jakarta : EGC
Corwin, E. (2000). Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC.
Effendy. (2002). Buku ajar keperawatan. Jakarta : EGC.
NANDA. (2015). Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2015-2017.
Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Aesculapius.
Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
Oswari, E. (2000). Bedah dan keperawatannya. Jakarta : Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai