Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Electro Convulsive Therapy atau ECT merupakan suatu pengobatan untuk
penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk kejang tonik klonik umum.
Pengobatan ECT tetap kontroversial dan beberapa pandangan yang saling
bertentangan tentang hal itu. ECT saat ini sah walaupun efek dari ECT tidak
dapat dibenarkan. Walaupun mekanisme kerjanya belum diketahui, terapi ini
efektif tidak nyeri dan aman (angka kematian lebih sedikit daripada terapi lain
atau pada yang tidak diobati : 0,01-0,03 % dari pasien yang diterapi).
Electro Convulsive Therapy atau ECT, diperkenalkan oleh Carletti dan
Bini pada tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien
dengan gangguan mental. ECT juga dikenal sebagai terapi kejut listrik,
digunakan sebagai perawatan akut rumah sakit pada pasien depresi perilaku
yang agitasi atau pasien yang bunuh diri, psikotik, atau berbahaya bagi orang
lain.

B. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari Electro Convulsive Therapy atau ECT.
2. Mempelajari Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.

C. Manfaat
Penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat :
1. Bagi mahasiswa agar memahami Electro Convulsive Therapy atau ECT
dan penggunaannya serta Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan
terapi ECT.
2. Bagi para pembaca, sebagai bahan bacaan dan referensi terapi ECT.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ECT
Electro Convulsive Therapy atau ECT, pertama kali diperkenalkan oleh 2
orang neurologist Italia, Ugo Carletti dan Lucio Bini pada tahun 1937 sebagai
terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan gangguan mental. ECT
digunakan secara luas pada tahun 1950-an dan 1960-an untuk berbagai
kondisi. Sekarang ECT hanya boleh digunakan dalam jumlah yang lebih kecil
dan pada kondisi yang lebih serius.
ECT atau yang lebih dikenal dengan elektroshock atau terapi kejut listrik
adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam
usaha pengobatannya. Diperkirakan hampir 1 juta orang di dunia mendapat
terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT
efektif pada hampir 75% pasien yang menjalankan prosedur dengan benar.
Terapi ECT adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand
mal secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang
dipasang pada satu atau dua temples. (Stuart Sundeen, 1998).
Electro Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk
penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk kejang tonik klonik umum. (Szuba and Doupe, 1997).
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat
memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik.
Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan
kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja
ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan.
Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan
kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi
yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis.
Terapi ini menghasilkan kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik
yang diberikan pada pasien melalui elektroda-elektroda pada lobus frontalis.
Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik dikirim melalui kulit kepala ke

2
otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan dikendalikan,
menyebabkan kejang-kejang singkat di otak.
Pada saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan kehilangan
kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT, pasien
diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan dengan benar,
akan menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot diberikan untuk
membatasi respon otot selama episode. Karena otot rileks, penyitaan biasanya
akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan kaki. Pasien dimonitor secara
hati-hati selama perawatan. Pasien terbangun beberapa menit kemudian, tidak
ingat kejadian seputar perlakuan atau perawatan, dan sering bingung.
B. Indikasi Pemberian ECT
ECT adalah suatu prosedur yang serius, gunakan hanya pada keadaan
yang direkomendasikan. Sangat tidak bijaksana jika kita melakukannya pada
setiap pasien yang tidak membaik.
Electroconvulsive terapi digunakan untuk mengobati :
1. Gangguan afek yang berat : pasien dengan penyakit depresi berat atau
penyakit mental lainnya dan gangguan bipolar (mania) yang tidak
berespon terhadap obat anti depresan atau pada pasien yang tidak dapat
menggunakan obat karena cukup beresiko (terutama pada orang tua yang
memiliki kondisi medis).
ECT adalah salah satu cara tercepat untuk mengurangi gejala pada orang
yang menderita mania atau depresi berat. ECT umumnya digunakan
sebagai langkah terakhir ketika penyakit tidak merespon obat atau
psikoterapi. Pasien dengan depresi menunjukkan respons yang baik
dengan ECT 80-90% dibandingkan dengan antidepresan 70% atau lebih).
Terapi ECT biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih
ringan, yaitu gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan
perasaan alam depresi.
2. Gangguan skizofrenia (Katatonia, stupor, paranoid, kegaduhan akut) :
skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberika respon yang
baik dengan ECT. Cobalah anti psikotik terlebih dahulu, tetapi jika
kondisinya mengancam kehidupan (delirium hyperexcited), segera lakukan

3
ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoafektif) yang tidak
berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan
ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia kronis, ECT tidak terlalu
berguna/ tidak efektif.
3. Pasien dengan bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu
pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik.
ECT juga digunakan ketika pasien parah menimbulkan ancaman bagi diri
mereka sendiri atau orang lain dan itu berbahaya bila menunggu sampai
obat-obatan berpengaruh.
4. Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek
terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung/
gangguan hantaran jantung yang sudah ada sebelumnya dan selama masa
kehamilan khususnya trimester pertama (ECT lebih aman untuk
kehamilan). Namun diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan
ECT bagi ibu hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek
samping yang mungkin ditimbulkannya.
5. Pada pasien hypoaktivitas dan hiperaktivitas, kurang tidur, gangguan
makan/minum dan perilaku bunuh diri dan lain-lain.
C. Kontraindikasi Pemberian ECT
Pasien dengan gangguan mental disertai adanya gangguan system
kardiovaskuler dan adanya tumor pada otak.

1. Resiko sangat tinggi


- Pasien dengan masalah pernapasan berat yang tidak mampu mentolerir
efek anestesi umum.
- Peningkatan tekanan intracranial (karena tumor otak, hematoma, stroke
yang berkembang, aneurisma yang besar, infeksi SSP), ECT dengan
cepat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. Selalu
periksa adanya papiledema sebelum melakukan ECT.
- Infark Miokard baru atau penyakit miokard berat : ECT sering
menyebabkan aritmia (aritmia menimbulkan CVP pasca kejang atau

4
kapan saja saat melakukan prosedur ECT) berakibat fatal jika terdapat
kerusakan otot jantung. Tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
2. Resiko sedang
- Osteoartritis berat, osteoporosis atau fraktur yang baru : siapkan selama
terapi (pelemas otot)
- Penyakit kardiovaskuler (misal hipertensi, angina aneurisma/ Angina
tidak terkontrol, aritmia, Gagal jantung kongestif), berikan premedikasi
dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya berada di sana. ECT
untuk sementara meningkatkan tekanan darah, sehingga hipertensi primer
berat harus terkontrol, paling tidak sebelum setiap pengobatan.
- Infeksi berat, cedera serebrovaskular (Cerebrovascular accident/ CVA)
baru, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptic yang akut,Osteoporosis
berat, fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment.
D. Efek Samping Pemberian ECT
Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari
anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul
adalah kebingungan dan memory loss (75% kasus) setelah beberapa jam
kemudian (biasanya hilang satu minggu sampai beberapa bulan setelah
perawatan). Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde terhadap
peristiwa tepat sebelum masing-masing pengobatan dan anterograde,
gangguan kemampuan untuk mempertahankan informasi baru. Beberapa ahli
juga menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini
masih diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
Efek Cardiovaskuler :
1. Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
2. Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan
konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
3. ECT dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau kematian (kasus
yang sangat jarang). Orang dengan masalah jantung tertentu biasanya tidak
diindikasikan untuk ECT.
Efek Cerebral :

5
1. Peningkatan konsumsi oksigen.
2. Peningkatan cerebral blood flow
3. Peningkatan tekanan intra cranial
4. Amnesia (retrograde dan anterograde) bervariasi, dimulai setelah 3-4
terapi, berakhir 2-3 bulan atau lebih. Lebih berat pada terapi dengan
metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang
meningkat dan adanya organisitas sebelumnya.
Efek lain :
1. Peningkatan tekanan intra okuler
2. Peningkatan tekanan intragastric
3. Kebingungan (biasanya hanya berlangsung selama jangka waktu yang
singkat), pusing.
4. Mual, Headache/ sakit kepala, nyeri otot.
5. Fraktur vertebral dan ekstremitas dan Rahang sakit. Efek ini dapat
berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jarang terjadi bila
relaksasi otot baik.
6. Resiko anestesi pada ECT
7. Kematian dengan angka mortalitas 0,002%
E. Persiapan Pasien
1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan
yang akan di lakukan.
2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi
adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
3. Siapkan surat persetujuan.
4. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT.
5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang
mungkin dipakai klien
6. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam
sebelum ECT.
8. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnoyik,
dan antikonvulsan harus di hentikan beberapa hari sebelumnya karena
beresiko organic.

6
9. Premedikasi dengan injeksi SA (Sulfat Atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam
sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal
dan menurunkan sekresi gastrointestinal.

F. Persiapan Alat
Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah
sebagai berikut:
1. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
2. Tounge spatel atau karet mentah di bungkus kain
3. Kain kasa
4. Cairan NaCl secukupnya
5. Spuit disposibel
6. Obat SA injeksi 1 ampul
7. Tensimeter
8. Stetoskop
9. Slim suiger
10. Set konvulsator

G. Cara pemberian ECT


Biasanya di berikan 3 x 1 minggu, depresi berat 6-12 x per minggu.
Pasien skizofrenia 10-20 x per minggu.
1. Setelah alat disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata
dan cukup keras. Posisikan hiperekstensi punggung tanpa bantal. Pakaian
di kendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian
kepala.
2. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Analsetik barbiturate ini
di pakai untuk menghasilkan koma ringan.
3. Berikan pelumas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum.
4. Kepala bagian temporal (pelipis) di bersihkan dengan alcohol untuk
tempat electrode menempel.
5. Kedua pelipis tempay elektroda menempel dilapisi dengan kassa yang di
basahi cairan NaCl.
6. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang di
bungkus kain di masukkan dank lien di minta menggigit.
7. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang
dengan di lapisi kain.
8. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutut) di tahan selama kejang dengan
mengikuti gerak kejang.

7
9. Pasang elektroda di pelipis kain kassa basah kemudian tekan tombol
sampai timer berhenti dan di lepas.
10. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti
gerakan kejang (menahan tidak boleh dengan kuat)
11. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan
difragma.
12. Bila banyak lendir, di bersihkan dengan slim siger.
13. Kepala dimiringkan.
14. Observasi sampai klien sadar.
15. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan.

H. Peran Perawat
Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapka kecemasan
klien dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan.
Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk membantu
klien dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan yang telah di
modifikasi dari pendapat Stuart (2007) dan townsmen (1998). Menurut
pendapat Stuart (2007) memantau klien dalam masa pemulihan yaitu dengan
cara sebagai berikut :
1. Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai
sadar. Pertahankan kepatenan jalan nafas.
4. Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5. Ambulansikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya
hipotensial postural.
6. Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7. Berikan makanan ringan.
8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien
sesuai kebutuhan.
9. Tawarkan analgesic untuk sakit kepala jika diperlukan.
Menurut Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan
kekacauan mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling
umum hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat
mengurangi ketakutan yang disertai dengan kehilangan memori.
Implementasi keperawatan yang harus di lakukan adalah sebagai berikut :
1. Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori
tersebut hanya sementara.
2. Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.

8
3. Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
4. Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang
berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
5. Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik [ada aktivitas-
aktivitas rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan meggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita tonik maupun klonik. Tindakan ini
adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang di tempelkan pada pelipis pasien untuk membangkitkan
kejang grand mall. Terapi ECT merupakan perubahan untuk penderita
psikiatrik berat, dimana pemberian arus listrik singkat di kepala di gunakan
untuk menghasilkan kejang tonik klonik umum. Pada terapi ECT ini, ada efek
samping yang di hasilkan. Oleh karena itu perawat harus memperhatikan efek
samping yang akan terjadi. Dan peran perawat dalam terapi ECT yaitu
sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan
mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan di
lakukan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Donahue, Anne B. Electroconvulsive Therapy And Memory Loss, Vermont,


USA. Diakses melalui: retina.anatomy.upenn.edu/pdfiles/5524.pdf
Electroconvulsive Therapy (ECT), Pridmore S. Download of Psychiatry,
Chapter 28. Last modified: April, 2013. Diakses melalui:
http://eprints.utas.edu.au/287/
Irving M. Reti, M.B.B.S. Electroconvulsive Therapy Today. In-Depth Report.
Diakses melalui: www.hopkinsmedicine.org/.../DepBulletin407
Kaplan dan Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku,
Psikiatri Klinis. Tangerang: Bina Rupa Aksara.
Maramis, Willy F dan Albert Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya: Airlangga University Press.
http://www.scribd.com/doc/90168357/makalah-jiwa-jadi

10

Anda mungkin juga menyukai