Anda di halaman 1dari 12

Electroconvulsive Therapy (ECT)

Definisi
ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatri dengan
menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh anestesi
dengan menggunakan alat khusus. Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi yang aman dan
efektif untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius
lainnya.
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang dilakukan oleh dokter
dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien
distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien.
Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan anestesi
dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut terangsang dan tidak merasa nyeri.

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama perjalanan ECT yang
mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan neurotransmitter pusat, pelepasan hormon seperti
arginine, vasopresin dan oxytocin, dan perubahan ambang kejang.
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan mempelajari efek
neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET; Positron Emission Tomography)
mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut
telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral, pemakaian glukosa dan oksigen, dan
permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme
glukosa menurun, kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons terapeutik.
Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT sendiri
bertindak sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang
saat terapi berlanjut.
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan perhatian pada
perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan sistem pembawa pesan kedua
(second-messenger). Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan
sesion ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan
terlihat pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik masih

1
merupakan daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah menemukan suatu
peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada neuron serotonin, dan
perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi
sistem neuronal muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah
dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan
phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam neuron.
Indikasi
1. Gangguan Depresi Mayor
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar. Depresi delusional atau
psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap ECT, tetapi penelitian terakhir telah
menyatakan bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT
dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun, karena episode depresi berat dengan gejala
psikotik adalah berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan-gangguan depresi berat
dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari,
variasi diurnal, penurunan nafsu makan dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin
berespon terhadap ECT.
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan lithium dalam terapi
episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa pemasangan elektrode bilateral selama ECT
lebih efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode manik. Tetapi, terapi farmakologis
untuk episode manik adalah sangat efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga
pemakaian ECT untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi
spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood ditambah obat antipsikotik.
ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah terkait dengan:
• kelelahan fisik yang mengancam jiwa
• resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan pilihan).
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak untuk gejala
skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap paling besar kemungkinannya
berespons terhadap ECT.
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:

2
 Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
 Katatonia
 Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
Indikasi lain
Penelitian kecil telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan katatonia, gejala terkait
dengan gangguan mood, schizophrenia, dan gangguan medis dan neurologis. ECT berguna untuk
mengobati episode psikotik, psikosis atypikal, gangguan obesif-kompulsif, dan delirium dan kondisi
medis seperti gangguan neuroleptic ganas, hypopituitarism, gangguan kejang dan pada penyakit
Parkinson. ECT juga dapat menjadi terapi pilihan untuk depresi bunuh diri wanita hamil yang
memerlukan perawatan dan tidak bisa minum obat untuk geriatri dan sakit medis pasien yang tidak
bisa menggunakan obat antidepresan aman dan bahkan untuk dan anak-anak dan remaja yang bunuh
diri mungkin kurang respon untuk antidepresan daripada orang dewasa. ECT tidak efektif dalam
gangguan somatisa, gangguan personaliti, dan gangguan kecemasan.
Kontraindikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana seorang pasien pada
peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan pemantauan ketat. Kehamilan bukan
merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan pemantauan janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali
kehamilan risiko tinggi atau rumit. Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada peningkatan
risiko untuk edema dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra dengan
dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang dan risiko
komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang mengalami peningkatan tekanan
intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak (misalnya, orang-orang dengan penyakit
serebrovaskular dan aneurisma) berada pada risiko selama ECT karena peningkatan sawar darah otak
selama kejang. Risiko ini dapat dikurangi, meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan darah
pasien selama perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok berisiko tinggi lain,
meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan lebih jauh berkurang 3
bulan setelah infark itu. Pasien dengan hipertensi harus distabilkan pada obat antihipertensi mereka
sebelum ECT diberikan. Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan
untuk melindungi pasien tersebut selama pengobatan.
Prosedur Kerja
- Informed Consent
- Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat meliputi:

3
- Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan otak)
- Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
- Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau dengan pemberian
premedikasi
- Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
- Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi kejang.
Persiapan Alat :
- Mesin ECT lengkap
- Kasa basah untuk pelapis elektrode
- Tabung dan masker oksigen
- Penghisap lendir
- Obat-obat : coramine, adrenalin
- Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
- Tempat tidur datar dengan alas papan
Pelaksanaan :
- Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
- Bantalan gigi dipasang
- Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
- Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang ditempelkan dipelipis. Akan
terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti kejang klonik dan kemudian akan terjadi fase
apneu beberapa saat sebelum akhirnya bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini
sangat penting diperhatikan tidak boleh terlalu lama.
Gambar ECT

4
Pengawasan pasca ECT :
- Penting dilakukan pengawasan karena pasien biasanya masih belum sadar penuh.
- Kondisi vital kembali seperti semula, biasanya pasien tertidur. Kadang-kadang dapat juga
pasien menjadi gelisah dan bergerak tidak menentu seperti delirium. Pada fase ini sangat
perlu diawasi sampai kesadaran pulih kembali.
- Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi bahkan amnesia.
Perlu distimulasi dengan cara mengajak berkomunikasi, membantu memulihkan orientasi
dan ingatan secara bertahap. Berikan suasana tenang dan nyaman.
Obat-obatan dalam proses ECT
Antikolinergik Muskarinik
Obat antikolinergik muskarinik diberikan sebelum ECT untuk meminimalkan sekresi oral dan
pernapasan dan untuk memblokir bradycardi dan asistole,kecuali denyut jantung istirahat di atas 90
per menit.Tujuan antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap bradikardi atau asistol karena
parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek dari stimulasi vagal karena ECT. Vagal refleks
terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa bergantung besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan
bradikardi atau asistol transien. Jika aliran listrik mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang
tonik-klonik dapat terjadi dengan disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini
mengimbangi efek stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai kejang (stimulasi
subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti stimulus menjadi besar karena proteksi
yang diberikan takikardi postiktal tidak ada.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv atau 0,3-0,6 mg im)
dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine memiliki potensi lebih pada detak jantung.
Glycopyrrolate tidak melintasi blood brain barrier (sawar darah otak) dan memiliki efek
antisialagogue.
Anasthesia
Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari adanya
sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot dan perasaan tercekik dan gambaran
kilatan sinar yang mungkin mengiringi permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya
adalah mendukung anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih
dapat menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek
antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan amnesia. Agen
induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa
efek hemodinamik, tanpa properti antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak

5
mahal. Belum ada obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi
banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan etomidate juga telah
berhasil digunakan pada terapi ECT.
Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem muskuloskeletal
dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah menyediakan relaksasi otot . Secara
umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu
yang memanjang. Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi
dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga menurunkan
penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus diberikan pada penggunaan
muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan
pemberian muscle relaxant harus ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan
dengan tes reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan succinylcholine
dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.

Efek Samping ECT


Kematian
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan dan 0,01 % untuk setiap
pasien. Angka-angka ini menguntungkan dibandingkan dengan risiko yang terkait dengan anestesi
umum dan persalinan. Kematian akibat ECT biasanya karena komplikasi kardiovaskular.
Efek terhadap Sistem Saraf Pusat
Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala, kebingungan, dan
delirium setelah kejang . Kebingungan ditandai dapat terjadi hingga 10 persen dari pasien dalam
waktu 30 menit dari kejang dan dapat diobati dengan barbiturat dan benzodiazepin. Delirium
biasanya paling menonjol setelah beberapa perawatan pertama pada pasien yang menerima ECT
bilateral atau yang mengidap gangguan neurologis. Delirium yang khas terjadi dalam beberapa hari
atau paling beberapa minggu.
Memory
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan kehilangan memori. Sekitar
75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek
samping yang terburuk. Meskipun gangguan memori selama pengobatan , tindak lanjut data
menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6 bulan.
Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh kesulitan memori . Contohnya, pasien mungkin tidak

6
ingat peristiwa yang mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan kenangan otobiografi tersebut mungkin
tidak akan pernah ingat. Tingkat kerusakan kognitif selama perawatan dan waktu yang dibutuhkan
untuk kembali ke dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama
pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang telah mengalami
sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori, yang biasanya sembuh, tidak ada bukti
menunjukkan kerusakan otak yang disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari
beberapa studi pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan
bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan epileptologists umumnya
sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30 menit tidak menyebabkan kerusakan saraf
permanen.

Efek samping lain dari Electroconvulsive Terapi


Fraktur sering disertai perawatan di hari-hari awal ECT. Dengan penggunaan rutin relaksan
otot, patah tulang dari tulang panjang atau vertebra seharusnya tidak terjadi. Beberapa pasien, bisa
terjadi pecah gigi atau mengalami sakit punggung karena kontraksi selama prosedur. Nyeri otot dapat
terjadi pada beberapa individu, tetapi sering terjadi karena efek depolarisasi otot dengan
suksinilkolin . Nyeri ini dapat diobati dengan analgesik ringan, termasuk obat anti inflamasi
nonsteroid (NSAID). Sebuah minoritas yang signifikan dari pasien mengalami mual, muntah, dan
sakit kepala setelah pengobatan ECT.

7
RESTRAIN MEKANIK
Pengertian
Restrain adalah terapi dengan alat – alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas
fisik klien, dilakukan pada kondisi khusus, merupakan intervensi yang terakhir jika perilaku klien
sudah tidak dapat diatasi atau di kontrol dengan strategi perilaku maupun modifikasi lingkungan
(Widyodinigrat. R, 2009).
B. Jenis – Jenis Restrain
1. Camisole (Jaket Pengekang)

2. Manset / tali untuk pergelangan tangan dan kaki

C. Tujuan Pemasangan Restrain


1. Menghindari hal – hal yang membahayakan pasien selama pemberian asuhan keperawatan
2. Memberi perlindungan kepada pasien dari kecelakaan (jatuh dari tempat tidur)
3. Memenuhi kebutuhan pasien akan keselamatan dan rasa aman (safety and security needs)
D. Sasaran Pemasangan Restrain
1. Pasien dengan penurunan kesadaran disertai gelisah
2. Pasien dengan indikasi gangguan kejiwaan (gaduh gelisah)
E. Persiapan Alat
1. Pilihlah restrain yang cocok sesuai kebutuhan
2. Bantalan pelindung kulit/ tulang
F. Persiapan Pasien
Kaji keadaan pasien untuk menentukan jenis restrain sesuai keperluan
G. Cara Kerja
8
1. Cuci tangan
2. Gunakan sarung tangan
3. Gunakan bantalan pada ekstremitas klien sebelum dipasang restrain
4. Ikatkan restrain pada ekstremitas yang dimaksud
5. Longgarkan restrain setiap 4 jam selama 30 menit
6. Kaji kemungkinan adanya luka setiap 4 jam (observasi warna kulit dan denyut nadi pada
ekstremitas)
7. Catat keadaan klien sebelum dan sesudah pemasangan restrain.

9
INJEKSI LONG ACTING

Sikzonoat atau Fluphenazine adalah obat antipsikotik yang digunakan untuk mengatasi gejala
gangguan kejiwaan, seperti delusi dan halusinasi, terutama dalam kasus skizofrenia. Dalam
mengatasi gejala tersebut, fluphenazine bekerja dengan cara memengaruhi keseimbangan senyawa
organik atau neurotransmiter di dalam otak. Fluphenazine tidak dianjurkan untuk digunakan
pada anak-anak di bawah usia 12 tahun dan pasien dengan keterbelakangan mental.
Efek fluphenazine injeksi dalam sediaan dekanoat umumnya mulai bekerja 2 –3 hari
setelah injeksi, dan efek obat pada gejala psikotik menjadi signifikan dalam 2 –4 hari. Efek
obat bisa bertahan sampai dengan 6 minggu tergantung pada respon pengobatan pasien

Injeksi intramuscular merupakan Pemberian obat / cairan dengan cara dimasukkan langsung
ke dalam otot (muskulus). untuk pasien dengan:
Psikosis, Mania, Skizofrenia:

 Dewasa: dalam sediaan dekanoat: Pada awalnya 12,5 mg kemudian disesuaikan dengan
respon terapi. Dosis pemeliharaan: 12,5–100 mg disuntik setiap 2–6 minggu (bergantung
pada respon terapi). Untuk dosis >50 mg, peningkatan dosis harus secara perlahan
(ditingkatkan setiap 12,5mg). Dalam sediaan enantate ester dapat diberikan dengan dosis
serupa disuntik setiap 1–3 minggu.
 Lansia: 6,25 mg, disesuaikan berdasarkan respon terapi.

Efek Samping
Efek samping seperti mengantuk, pusing, mual, kehilangan nafsu makan, berkeringat,
mulut kering, penglihatan kabur, sakit kepala, dan sembelit dapat terjadi.

 Merasa gelisah
 Tremor
 Perubahan suasana hati (mood) seperti depresi atau perburukan gejala psikosis.
 Kebingungan
 Sering berkemih atau sulit berkemih
 Gangguan penglihatan
 Perubahan berat badan

10
 Nyeri sendi
 Mudah terjadinya lebam dan perdarahan
 Kejang
 Reaksi alergi (ruam, gatal, bengkak, kesulitan bernafas)
 Sindrom neuroleptik maligna yang ditandai dengan demam, nyeri dan kaku pada
bagian otot, kelemahan, berdebar-debar, dan urin berwarna gelap.
 Tardive dyskinesia, yang ditandai dengan pergerakan tidak terkontrol terutama pada
bagian wajah, mulut, lidah, tangan, dan kaki

Jika digunakan pada wanita, obat ini dapat meningkatkan hormon prolaktin yang
menyebabkan meningkatnya produksi ASI, berhentinya menstruasi, atau kesulitan hamil.
Pada laki-laki, dapat menyebabkan penurunan kemampuan seksual, berkurangnya sper ma,
atau payudara membesar

Kontraindikasi

Jangan menggunakan obat ini jika mempunyai kondisi medis seperti:

 Alergi terhadap fluphenazine


 Dalam keadaan koma atau depresi berat
 Kelainan darah
 Penyakit hati
 Depresi sumsum tulang belakang
 Tumor pada kelenjar adrenal
 Kerusakan otak subkortikal
 Kehamilan (terutama trimester 3) dan menyusui

Interaksi Obat

Menggunakan fluphenazine dengan obat lain dapat menyebabkan terjadinya interaksi.

 Mengurangi efek antihipertensi dari guanethidine, metildopa dan klonidin.


 Toksisitas litium.
 Mengurangi kadar fluphenazine dalam darah bila digunakan bersamaan dengan
antasida.

11
 Meningkatkan risiko aritmia (tidak teraturnya irama jantung) jika digunakan
bersamaan dengan obat yang memperpanjang interval QT.
 Menyebabkan gangguan elektrolit jika digunakan bersama obat diuretik.
 Memperberat efek depresi sistem saraf pusat bila dikonsumsi bersamaan dengan
alkohol, barbiturat, hipnotik, obat penenang, opiat dan antihistamin.

Prosedur
1. Persiapan alat rekam medis, kartu penderita,register penderita, kapas, alkohol, handscoon
2. Informed
3. Pemeriksaan fisik (tanda cardinal sign)
4. Klasifikasi
5. Pemberian injeksi im SIKZONOATE

12

Anda mungkin juga menyukai