Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KONSEP ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)


A. DEFINISI
ECT adalah tindakan terapiutik dalam keperawatan jiwa yang menggunakan
media aliran listrik untuk menimbulkan kejang baik tonik maupun klonik. Arus listrik ini
dialirkan dalam waktu singkat dan jumlah yang terkontrol melalui elektroda yang
dipasang pada satu atau kedua pelipis. Aktivitas kejang yang ditimbulkan bertujuan untuk
mengubah biokimia tertentu di saraf pusat yang dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan gejala secara cepat daripada terapi dengan obat-obatan. [ CITATION Suj09 \l
1033 ]

Gambar 1. Diagram of Electrode Placement

Terapi elektro konvulsi merupakan salah satu pengobatan yang sudah


digunakan sejak lama untuk mengobati berbagai gangguan jiwa dan masih terus
digunakan hingga saat ini. Untuk mencapai manfaat yang maksimal dengan risiko
minimal, terapi ini terus berkembang lebih baik yaitu dengan pemberian anestesi dan
aliran arus listrik yang telah diperhitungkan secara medis serta tetap menghormati hak –
hak, privasi, dan martabat pasien. [ CITATION Sad07 \l 1033 ]
B. INDIKASI
Indikasi pemberian tindakan ECT yaitu:[ CITATION Tom04 \l 1033 ]
1. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap antidepresan
atau yang tidak dapat meminum obat. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk
pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juga memberikan respon yang baik
setelah ECT, terutama jika litium karbonat gagal untuk mengontrol fase akut.
2. Pasien bunuh diri aktif yang tidak menerima pengobatan untuk mencapai efek
terapeutik ataupun yang menerima obat tetapi tidak mungkin menunggu antidepresan
bekerja.
3. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi.
Namun pada sebagian besar skizofrenia kronis, ECT tidak terlalu berdampak.
4. Efek samping ECT yang lebih kecil dibandingkan psikofarmako yang berhubungan
dengan blok jantung dan kondisi kehamilan.
5. Adanya riwayat respon positif terhadap ECT di pengobatan sebelumnya.

C. KONTRAINDIKASI
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak pada terapi elektro konvulsi. Namun
beberapa kondisi di bawah ini dapat menimbulkan risiko yang relatif tinggi. (Tomb,
2004)
1. Resiko sangat tinggi
a) Peningkatan tekanan intrakranial karena tumor otak ataupun infeksi sistem saraf
pusat. ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi
tentorium.
b) Infark miokard. ECT sering menyebabkan aritmia yang berakibat fatal jika
terdapat kerusakan otot jantung.
2. Resiko sedang
a) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru.
b) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma, aritmia).
c) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptik
akut, feokromasitoma.
D. EFEK SAMPING
Tidak ada pengobatan yang tidak mempunyai risiko dan efek samping. ECT
juga mempunyai beberapa risiko seperti halnya penanganan medis lain yang terbagi
dalam tiga kategori risiko yaitu: [ CITATION Daw12 \l 1033 ]
1. Kategori pertama adalah risiko kesehatan dan fisik, termasuk reaksi negatif terhadap
obat anestesi dan obat relaksasi otot, komplikasi kardiovaskular, trauma fisik, nyeri,
ketidaknyamanan, kejang berkepanjangan dan kematian.
2. Kategori kedua adalah risiko disfungsi kognitif dan memori karena aliran listrik ECT
diberikan pada area medial temporal yang berhubungan dengan memori termasuk
hipokampus yang merupakan area dengan ambang kejang rendah. Pasien harus
diperingatkan akan risiko amnesia menetap dan kemungkinan gangguan kognitif
lainnya.
3. Kategori ketiga adalah risiko kerusakan pada alat ECT karena kurang pengetahuan
tentang perawatan dan penggunaannya. Oleh karena itu, kualitas alat ECT yang
digunakan harus memenuhi Standard International Electro Technical Commission.

E. EFEKTIVITAS
Berdasarkan penelitian, penggunaan kombinasi ECT dengan obat antipsikotik
pada pasien skizofrenia mempunyai respon yang baik. ECT lebih unggul untuk
pengobatan lanjutan daripada monoterapi (dengan obat antipsikotik saja) dalam
mencegah kekambuhan. Pasien dengan gambaran prognosis yang baik akan
membutuhkan frekuensi ECT yang lebih sedikit. ECT efektif dalam meningkatkan fungsi
sosial dan kualitas hidup pada pasien dengan Treatment Resistant Schizophrenia (TRS)
yang memiliki riwayat respon baik terhadap ECT sebelumnya. (Chanpattana, 2007)
Selain itu, penggunaan kombinasi ECT dengan obat antidepresan pada pasien
depresi yang mempunyai respon yang baik terhadap ECT sebelumnya mempunyai angka
kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan monoterapi antidepresan saja ataupun
placebo saja. Pemberian ECT tiga kali seminggu responnya lebih cepat daripada ECT dua
kali seminggu. [ CITATION Cha07 \l 1033 ]

F. PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN ECT


1. Sebelum Prosedur
 Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang
akan dilakukan.
 Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya
kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
 Siapkan surat persetujuan tindakan (informed consent).
 Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan atau mulai dari tengah malam.
 Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang dipakai klien.
 Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi terlebih dahulu.
 Jika ada tanda ansietas berat, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT.
 Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik, dan
antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan
beberapa hari sebelumnya karena beresiko organik.[ CITATION Riy09 \l 1033 ]
2. Persiapan Alat
 Mesin ECT, gel elektroda, alkohol, elektroda elektroensefalogram (EEG), dan
kertas grafik.
 Peralatan untuk memantau, termasuk elektrokardiogram (EKG) beserta elektroda.
 Manset tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter denyut nadi.
 Peralatan untuk akses intravena.
 Penahan gigitan (mouth guard).
 Peralatan penghisap lendir.
 Peralatan ventilasi, termasuk selang, masker, ambu bag, peralatan jalan nafas oral,
dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian oksigen yang dapat memberikan
tekanan oksigen positif.
 Obat untuk keadaan darurat dan obat lain sesuai rekomendasi staf anastesi.
3. Selama Prosedur
 Setelah alat disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan
cukup keras serta kendorkan pakaian.
 Berikan obat bius dan pelemas otot melalui IV.
 Kepala bagian temporal dibersihkan dengan alcohol untuk tempat elektroda.
 Klien diminta membuka mulut dan dipasang spatel/karet yang dibungkus kain lalu
diminta untuk menggigit.
 Pasang elektroda di pelipis kemudian tekan tombol on sampai timer berhenti
kemudian lepas.
 Persendian ditahan selama kejang dengan mengikuti gerak kejang (menahan tidak
boleh terlalu kuat)
 Bila berhenti nafas maka berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan
diafragma.
4. Setelah Prosedur
 Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
 Pantau tanda-tanda vital.
 Setelah pernapasan pulih, atur posisi miring pada pasien sampai sadar.
Pertahankan jalan napas paten.
 Jika pasien berespon, orientasikan pasien sesuai kebutuhan.
 Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hipotensi
postural.
 Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkan.
 Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.

Menurut [ CITATION Tow98 \l 1033 ], jika terjadi kehilangan memori dan


kekacauan mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling umum, hal
ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi ketakutan
yang disertai dengan kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang perlu
dilakukan adalah:
 Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut hanya
sementara.
 Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
 Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
 Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang berhubungan dengan
pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Chanpattana, 2007. Electroconvulsive Therapy of Schizophrenia. Psychiatry Reviews, 3(1),


pp. 15-24.
Dawkins, 2012. Refinements in ECT Techniques. Psychiatric Times, pp. 42-44.
Riyadi, 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Saddock, 2007. Synopsis of Psychiatry: Behavioral Science. USA: Lippincott Williams.
Sujono, 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graham Ilmu.
Tomb, 2004. Buku Saku Psikiatri. Jakarta: EGC.
Townsend, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai