Anda di halaman 1dari 9

RESUM ELECTRO CONVULSIVE THERAPY (ECT) PADA ORANG DALAM

GANGGUAN JIWA

Pembimbing : Ns. Dwi Indah Iswanti, S.Kep, M.Kep

DISUSUN OLEH :

Dwi Lestari

(1908135)

PROGAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA SEMARANG
2020
RESUME PROSEDURE ELECTRO CONVULSIVE THERAPY (ECT) PADA NY. U

Tangal Masuk : 13 November 2020

Ruang Perawatan : Ruang Arjuna

No. Rekam Medis : 332256xxx

Identitas Pasien :

1. Nama : Ny. U
2. Umur : 34 tahun
3. Jenis Kelamin : perempuan
4. Alamat : Kendal
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : tidak bekerja
7. Pendidikan : SMP
8. Ruang Rawat : Ruang Arjuna
9. Diagnosa medis : Skizofrenia Paranoid
10. No.CM :332256xxx
11. Tanggal masuk : 15 November 2020, jam 10.00 WIB

ECT Pada Ny. U

Pada tanggal 15 November 2020 jam 10.00 WIB dengan hasil lama kejang (-) , durasi
100 dtk, energy 12,4-15,9 dan dinamic, impedance .
RESUME PROSEDURE ELECTRO CONVULSIVE THERAPY (ECT)

A. Pengertian
Terapi ECT (Electroconvulsive) adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik
maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien
untuk membangkitkan kejang grandmall.
Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai.. Terapi ini dilakukan dengan cara
mengalirkan listrik sinusoid ke tubuh sehingga penderita menerima aliran yang
terputus – putus. Alatnya dinamakan konvulsator, di dalamnya ada pengatur voltase
(tekanan listrik) dan pengatur waktu yang secara otomatis memutuskan aliran
listrik yag keluar sesudah waktu yang ditetapkan. Setelah aliran listrik yang
masuk dikepalanya, pasien menjadi tidak sadar seketika. Konvulsi terjadi mirip
epilepsy, diikuti fase kloni, kemudian relaksasi otot dengan pernapasan dalam dan
keras. Kemudian tidak sadar (kurang lebih 5 menit) dan setelah bangun kemudian
timbul rasa kantuk, kemudian pasien tertidur
B. Tujuan
1) Mengembalikan fungsi mental klien
2) Meningkatkan ADLs klien secara periodik
C. Jenis ECT
Jenis terapi kejang listrik menurut Kaplan & Sadock (2006), ada dua yaitu:
a. Terapi kejang listrik konvensional ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya
kejang pada pasien sehingga tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini di
lakukan tanpa menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT premedikasi.
b. Terapi kejang listrik pre-medikasi Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT
konvensional,karena pada terapi ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa
menekan timbulnya kejang yang terjadi pada pasien.
D. Frekuensi dan Jumlah
Frekuensi dan jumlah pemberian terapi kejang listrik menurut Maramis (2010),
tergantung pada keadaan pasien terapi kejang listrik dapat diberi sebagai berikut :
a. Secara block : 2 – 4 hari bertutur – turut 1 – 2 kali sehari.
b. 2 – 3 kali seminggu.
c. Terapi kejang listrik maintenance : sekali tiap 2 – 4 minggu.
d. Sebelum ada obat psikotropik, terapi kejang listrik diberi paling sedikit 12 kali,
bila perlu sampai 20 kali, tetapi sekarang apabila diberi obat psikotropik maka
terapi kejang listrik dihentikan setelah pasien menunjukan perbaikan yang jelas
(tidak perlu lagi sampai 12 kali) dan dilanjutkan dengan obat saja
E. Indikasi
a. Depresi Depresi adalah suatu mood sedih (disforia) yang berlangsung lebih dari
empat minggu, yang disertai prilaku seperti perubahan tidur, gangguan
konsentrasi, iritabilitas, sangat cemas, kurang bersemangat, sering menangis,
waspada berlebihan, pesimis, merasa tidak berharga, dan mengantisipasi
kegagalan (waham, paranoid, dan gejala vegetatif).
b. Mania Terapi kejang listrik efektif dalam mengobati mania akut, karena
efektivitas dari farmakoterapi, terapi kejang listrik sering kali diberikan untuk
episode mania akut (Stuart, 2007).
c. Percobaan Bunuh Diri Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak
menerima pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuart, 2007). Pasien
bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu antidepresan bekerja sehingga
perlu mendapat terapi kejang listrik (Tomb, 2004).
d. Skizofrenia Terapi kejang listrik dapat efektif sekali dalam pengobatan dengan
lama penyakit yang lebih pendek, terutama dengan gejala afektif akut. Pasien
psikotik akut (terutama tipe skizoaktif) yang tidak berespon pada medikasi saja
mungkin akan membaik jika ditambah terapi kejang listrik (Tomb, 2004).
F. Kontraindikasi
Kontraindikasi terapi kejang listrik bukanlah terhadap listrik itu sendiri, akan tetapi
bagi konvulsi yang timbul. Kontraindikasi dari terapi kejang listrik menurut Maramis
(2010 dalam Wijayanto 2012), antara lain :
a. Kontraindikasi mutlak ialah tumor otak, karena listrik yang masuk mempertinggi
permeabilitas kapiler otak sehingga terjadi edema sedikit.
b. Umur dan kehamilan bukan merupakan kontraindikasi. Akan tetapi harus diingat,
bahwa biarpun tidak terjadi kelahiran sebelum waktunya, anak di dalam rahim
dapat saja terganggu apabila ibu tersebut mengalami hypoxia karena apnea
sesudah konvulsi.
c. Apabila ada tuberkulosis pulmonum, thrombosis coroner, hipertensi atau angguan
lain pada sistem kardiovaskuler kita harus mempertimbangkan keadaan setiap
penderita masing – masing dengan mengingat beratnya penyakit badan itu.
d. Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
e. Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung.
f. Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita.
g. Keadaan lemah.
G. Komplikasi
Efek samping terapi kejang listrik yang terbagi dalam tiga kategori risiko menurut
Lawrence (2011), yaitu :
a. Kategori pertama adalah risiko kesehatan dan fisik, termasuk reaksi negatif
terhadap obat anestesi dan obat relaksasi otot, komplikasi kardiovaskular, trauma
fisik, nyeri, ketidaknyamanan, kejang berkepanjangan dan kematian.
b. Kategori kedua adalah risiko disfungsi kognitif dan memori karena aliran listrik
terapi kejang listrik diberikan pada area medial temporal yang berhubungan
dengan memori termasuk hipokampus yang merupakan area yang mempunyai
ambang kejang rendah. Pasien harus diperingatkan akan risiko amnesia menetap
dan kemungkinan gangguan kognitif.
c. Kategori ketiga adalah risiko kerusakan pada alat terapi kejang listrik. Kualitas
alat terapi kejang listrik yang digunakan harus memenuhi Standard International
Elektrotechnical Commision. Beberapa efek samping dari terapi kejang listrik
menurut Syamsir (2009) yaitu : a) Aritma; b) Hilang ingatan sementara; c) Patah
tulang vertebra; d) Luksasi mandibular; e) Aspirasi penuomonia; f) Apnea
mamanjang; g) Kematian.
H. Pelaksanaan
Peran Perawat Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan
alat dan mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan.
a. Persiapan Alat Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT,
adalah sebagai berikut:
1) Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
2) Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain
3) Kain kasa
4) Cairan Nacl secukupnya
5) Spuit disposibel
6) Obat SA injeksi 1 ampul
7) Tensimeter
8) Stetoskop
9) Slim suiger
10) Set konvulsator
b. Persiapan klien
1) Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan
yang akan dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi
adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT
3) Siapkan surat persetujuan
4) Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT.
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang
mungkin dipakai klien.
6) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi
7) Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum
ECT h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-
hipnotik, dan antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium
biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik.
8) Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam
sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal
dan menurunkan sekresi gastrointestinal.
c. Penatalaksanaan
1) Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan
rata dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal.
Pakaian dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian
kepala.
2) Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini
dipakai untuk menghasilkan koma ringan.
3) Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum.
4) Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk
tempat elektrode menempel.
5) Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi
caira Nacl.
6) Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang
dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta menggigit.
7) Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang
dengan dilapisi kain.
8) Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan
mengikuti gerak kejang.
9) Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai
timer berhenti dan dilepas.
10) Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan
kejang (menahan tidak boleh dengan kuat).
11) Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan
diafragma
12) Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger
13) Kepala dimiringkan .
14) Observasi sampai klien sadar.
15) Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan.
I. Peran Perawat setelah ECT
Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk membantu klien dalam
masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan yang telah dimodifikasi dari
pendapat Stuart (2007) dan Townsen (1998). Menurut pendapat Stuart (2007)
memantau klien dalam masa pemulihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
1) Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai sadar.
Pertahankan jalan napas paten.
4) Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5) Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hipotensi
postural.
6) Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7) Berikan makanan ringan.
8) Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai
kebutuhan.
9) Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.

Menurut Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan mental
sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling umum hal ini penting
untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi ketakutanketakutan
yang disertai dengan kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut hanya


sementara.
2) Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
3) Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
4) Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang berhubungan
dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
5) Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-aktivitas rutin
pasien untuk meminimalkan kebingungan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Agustina, M. (2018). Pemberian Terapi Elektrokonvulsif (ECT) Terhadap


Peningkatan Fungsi Kognitif Klien GangguanJiwa. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan
Indonesia, Vol. 8 No.3.
2. Kandar, M. S. (2015). Pelaksanaan Peran Perawat Sebagai Advokad Dalam
Pemberian Informed Concent Tindakan Ect Premedikasi Di Rsjd Dr. Amino
Gondhoutomo Provinsi Jawa Tengah. University Research Coloquium.

3. Nandinanti. (2015). Efek Electro Convulsive Therapy (ECT) terhadap Daya Ingat
Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang.Jurnal Kesehatan Andalas , vol
4 no 3.

Anda mungkin juga menyukai