Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

TERAPI ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

Disusun untuk Memenuhi Penugasan Stase Keperawatan Jiwa

Disusun oleh:
DEWI WIDIYASTUTI
SN181042

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN
TERAPI ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

1. PENGERTIAN
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik (Riyadi & Teguh, 2009). Terapi elektrokonvulsif
menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis
(Stuart, 2007). Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk
menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai. ECT adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan
arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall (Riyadi & Teguh, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang
dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang
ditempelkan di kepala penerita sehingga menimbulkan serangan kejang
umum (Riyadi & Teguh, 2009). Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan
suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak
melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup
menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai (Riyadi & Teguh, 2009).
2. MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja terapeutik ECT masih belum banyak diketahui.
Salah satu teori yang brkaitan dengan hal ini adalah teori
neurofisiologi.Teori ini mempelajari aliran darh serebral, suplai glukosa
dan oksigen, serta permea bilitas sawar otak akan meningkat. Setelah
kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun. Hal ini paling
jelas dilihat pada lobus frontalis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
derajat penurunan metabolisme serebral berhubungan dengan respon
terapeutik.
Teori lain adalah teori neurokimiawi yang memusatkan perhatian pad
perubahan neurotrasmiter dan second messenger .Hampir semua pada
sistem neurotrasmiter dipengaruhi oleh ECT. Ahir ahir ini mulai
berkembang neuroplastisitas yang berhubungan dengan stimulasi kejang
listrik.Pada percobaan hewan,di jumpai plastisitas sinaps,
dihipotalamus,yakni pertumbuhan serabut saraf, peningkatan konektifitas
jaras saraf, dan terjadinya neurogenesis.
3. JENIS
Jenis ECT ada 2 macam :
a. ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien
sehingga tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini di lakukan
tanpa menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT
premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada
terapi ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan
timbulnya kejang yang terjadi pada pasien.
4. FREKUENSI
Frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan pemberita yang dapat
di perlakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b. Dua sampai tiga kali seminggu.
c. ECT “maintanance’ sekali tiap 2-4 minggu.
b. Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
c. Untuk pasien yang mengalami gangguan di polar,mania,dengan
gangguan skijo frenia,pasien baru mendapat respon yang maksimum
setelah 20-25 kali tindakan ECT.
5. INDIKASI
a. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon
terhadap antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard,
2007). Menurut Tomb (2009) gangguan afek yang berat: pasien dengan
gangguan bipolar, atau depresi menunjukkan respons yang baik dengan
ECT. Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT
lebih efektif dari antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala
psikotik. Mania juja memberikan respon yang baik pada ECT, terutama
jika litium karbonat gagal untuk mengontrol fase akut.
b. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2007). Menurut
Tomb (2009), pasien unuh dibri yang aktif dan tidak mungkin
menunggu antidepresan bekerja. Ketika efek samping Electro
Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang dari efek samping yang
berhubungan dengan blok jantung, dan selama kehamilan (Stuard,
2007).
c. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe
excited memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah
antipsikotik terlebih dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam
kehidupan (delyrium hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien
psikotik akut (terutama tipe skizoaktif) yang tidak berespons pada
medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi
pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT tidak terlalu berguna
(Tomb, 2009).
6. KONTRAINDIKASI
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur
dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit
neurologik bukan suatu kontraindikasi
a. Resiko sangat tinggi:
1) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak,
infeksi sistem saraf pusat), ECT dengan singkat meningkatkan
tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium.
2) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia
berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga
enzim dan EKG stabil.
b. Resiko sedang:
1) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru,
siapkan selama terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
2) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina,
aneurisma, aritmia), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter
spesialis jantung hendaknya ada disana.
3) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas
yang kronis, ulkus peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2009).
7. EFEK SAMPING
a. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi
antara 1-1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko
karena pemberian anastesi umum. Kematian biasanya karena
komplikasi kardiovaskuler.
b. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi
arritmia jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia
post ictal yang sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan
dosis premedikasi anti kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena
hiperaktifitas simpathetiksewaktu kejang atau saat pasien sadar
kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi toksis dan allergi terhadap
obat yang digunakan untuk prosedur ECT premedikasi, tetapi
frekwensinya sangat jarang.
c. Efek cerebral, pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia
dan acute confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan
setelah ECT, tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami
gangguan memori (Tomb, 2009).

8. PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN ECT


a. Peran perawat dalam persiapan klien sebelum tindakan ECT
1) Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu
prosedur tindakan yang akan dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk
mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi
ECT.
3) Siapkan surat persetujuan tindakan.
4) Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut
yang mungkin dipakai klien.
6) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan
defekasi.
7) Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-
2 jam sebelum ECT.
8) Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik,
sedatif hipnotik, dan antikonvulsan, harus dihentikan sehari
sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya
karena beresiko organik.
9) Premedikasi dengan injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg
setengah jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini
mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi
gastrointestinal (Riyadi & Teguh, 2009).
b. Persiapan alat
1. Konvulsator
2. Mesin Anestesi
3. Bed Side Monitor
4. Suction
5. Infus Set
6. Airway Equipment
7. Bite Block
8. Atracurium, Propovol, Sevoflurane
9. Bantal/Ganjal Bahu
10. Stetoskop
c. Prosedur pelaksanaan
Menurut pendapat Stuart (2007) berikut prosedur pelaksanaan terapi
kejang listrik:
1) Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang
prosedur.
2) Dapatkan persetujan tindakan.
3) Pastikan status puasa pasien , untuk makanan padat 6 jam
sebelum tindakan, untuk makanan cair /minum 4 jam sebelum
tindakan.
4) Minta pasien melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca
mata, dan alat bantu pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan,
tambahan gigi parsial dipertahankan.
5) Pakaikan baju yang longgar dan nyaman.
6) Kosongkan kandung kemih pasien.
7) Berikan obat praterapi.
8) Pastikan obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan
siap pakai.
9) Bantu pelaksanaan ECT.
a) Tenangkan pasien.
b) Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk
menyiapkan pasien bila terjadi apnea karena relaksan otot.
c) Berikan obat.
d) Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi
gigi pasien.
e) Pasang elektroda. Kemudian berikan stimulus sesuai dosis.
f) Pantau pasien selama masa pemulihan
10) Edukasi Nyeri

d. Peran perawat setelah ECT


Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk
membantu klien dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT
dilakukan yang telah dimodifikasi dari pendapat Stuart (2007). Menurut
pendapat Stuart (2007) memantau klien dalam masa pemulihan yaitu
dengan cara sebagai berikut:
1) Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai
kebutuhan.
2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada
pasien sampai sadar. Pertahankan jalan napas paten.
4) Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5) Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa
adanya hipotensi postural.
6) Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7) Berikan makanan ringan.
8) Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa,
orientasikan pasien sesuai kebutuhan.
9) Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.
Jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan mental sementara
yang merupakan efek samping ECT yang paling umum hal ini
penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat
mengurangi ketakutanketakutan yang disertai dengan kehilangan
memori. Implementasi keperawatan yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut:
a) Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan
memori tersebut hanya sementara.
b) Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
c) Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
d) Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya
yang berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
e) Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada
aktivitas-aktivitas rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan.
9. NEUROTRANMITER
Neurotranmiter adalah alah satu dari kelas zat kimia yang
membawa pesan antar neuron. Biasanya neuron pengirim melepaskan
sejumlah kecil neurotransmitter, yang mengaktifkan reseptor pada neuron
penerima. Aktivasi reseptor kemudian memulai serangkaian perubahan
kimia di neuron penerima, dan jika cukup reseptor yang diaktifkan, neuron
penerima mungkin menjadi aktif dan mengirim pesan bersama.
Berbagai jenis neurotransmitter telah diidentifikasi, termasuk
asetikolin, dopamine, erotin dan norepinefrin. Bisanya, reseptor saraf
khusus hanya menanggapi satu jenis neurotransmiter. Hal ini
memungkinkan untuk spesialisasi tingkat tinggi dalam pengiriman pesan
antara neuron : satu neuron dapat merespon kuat terhadap neurotransmiter
tertentu sementara mungkin relative tidak sensitive.
Ketidakseimbangan neurotransmiter terlibat dalam beberapa
penyakit seperti penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinon, dan berbagai
penyakit kejiwaan seperti kizofrenia dan depresi. Banyak obat bekerja
dengan mengubah tingkat neurotransmiter tertentu dalam otak.
Factor-faktor seperti gangguan dalam neurotransmiter dan
abnormalitas atau kerusakan-kerusakan otak yang mendasar dikaitkan
dengan berbagai gangguan psikologi. Untuk beberapa gangguan, seperti
Alzheimer, proses-proses biologis berperan secara langsung. Namun
demikian untuk berbagai gangguan lain penyebab yang tepat tidak
diketahui. Pada kasus-kasus lain, seperti skizofrenia, factor-fakor biologis
terutama genetis, tampaknya berinteraki dengan factor-faktor lingkungan
pembuat strees dalam perkembangan gangguan ( Nevid, 2013).
Berikut fungsi-fungsi neurotransmitter dan hubungannya pola-pola
perilaku abnormal menurut Steiger (2011):
1. Asetilkolin
o Neuron kolinergik mengandung asetilkolin yang terdistribusi difus
di korteks serebri dan mempunyai hubungan timbal balik dengan
sistem monoamin. Abnormal kadar kolin (prekursor asetilkolin)
terdapat di otak pasien depresi. Obat yang bersifat agonis kolinergik
dapat menyebabkan letargi, anergi, dan retardasi psikomotor pada
orang normal. Selain itu, ia juga dapat mengeksaserbasi simptom-
simptom depresi dan mengurangi simptom mania.
o Fungsi asetilkolin antara lain mempengaruhi kesiagaan,
kewaspadaan, dan pemusatan perhatian. Berperan pula pada proses
penyimpanan dan pemanggilan kembali ingatan, atensi dan respon
individu. Di otak, asetilkolin ditemukan pada cerebral cortex,
hippocampus (terlibat dalam fungís ingatan), bangsal ganglia (terlbat
dalam fungsi motorik), dan cerebelum (koordinasi bicara dan
motoris). Ach merupakan neurotransmitter yang tidak diproduksi
didalam neuron. Ia ditransportasikan ke otak dan ditemukan pada
seluruh bagaian otak. Asetilkolin memiliki konsentrasi tinggi di
basal ganglia dan cortex motorik.
o Fungsi Utama Acetylcholine (ACh) adalah mengatur atensi,
memori, rasa haus, pengaturan mood, tidur REM, memfasilitasi
perilaku sexual dan tonus otot.
o Gejala Defisit: Kurangnya inhibisi, Berkurangnya fungsi memori,
Euphoria, Antisosial, Penurunan fungsi bicara
o Gejala Berlebihan: Over-inhibisi, Anxietas & Depresi dan Keluhan
Somatic
2. Dopamin
o Dopamin di produksi pada inti-inti sel yang terletak dekat dengan
sistem aktivasi retikuler. Dopamin di bentuk dari asam amino tirosin,
yang berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan
ingatan dan meningkatkan kewaspadaan mental.
o Walaupun dopamin di produksi oleh otak, individu tetap
membutuhkan asupan tirosin yang cukup guna memproduksi
dopamin. Tirosin di temukan pada makanan berprotein seperti :
daging, produk-produk susu (sperti keju), ikan , kacang panjang,
kacang-kacangan dan produk kedelai. Dengan 3-4 ons protein sehari,
energi kita akan lebih terjaga.
o Fungsi Dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat
disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra,
neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata ganglia
basalis. Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi
o Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi
pada beberapa area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi
menyebar ke setiap area otak, sementara serotonin dan dopamin
terutama ke regio ganglia basalis dan sistem serotonin ke struktur
garis tengah (midline)
o Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair,
nigrostriatal, mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini
berfungsi untuk mengatur motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas
yang bertujuan, terarah dan kompleks, serta tugas-tugas fungsi
eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini dikaitkan
dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang merupakan
manifestasi simptom depresi.
3. Noradrenergik atau Norepinefrin
o Norepinephrine memiliki konsentrasi tinggi di dalam locus
ceruleus serta dalam konsentrasi sekunder dalam hippocampus,
amygdala, dan kortex cerebral. Selain itu ditemukan juga dalam
konsentrasi tinggi di saraf simpatis.
o Norepinephrine dipindahkan dari celah synaptic dan kembali ke
penyimpanan melalui proses reuptake aktif.
o Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian
dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan
memory.
o Gejala Defisit : Ketumpulan, kurang energi (fatique), depresi
o Gejala Berlebihan : Anxietas, kesiagaan berlebih, penurunan rasa
awas, paranoia, kurang napsu makan dan paranoid
o Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin
terletak di locus ceruleus (LC) batang otak dan berproyeksi ke
korteks serebri, sistem limbik, basal ganglia, hipotalamus dan
talamus. Ia berperan dalam mulai dan mempertahankan keterjagaan
(proyeksi ke limbiks dan korteks). Proyeksi noradrenergik ke
hipokampus terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap stressor dan
pemanjangan aktivasi locus ceruleus dan juga berkontribusi terhadap
rasa ketidakberdayaan yang dipelajari. Locus ceruleus juga tempat
neuron-neuron yang berproyeksi ke medula adrenal dan sumber
utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer.
o Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi
aktivasi fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan dan tidur
menurun. Persepsi terhadap stressor ditangkap oleh korteks yang
sesuai dan melalui talamus diteruskan ke LC, selanjutnya ke
komponen simpatoadrenalsebagai respon terhadap stressor akut tsb.
Porses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon
simpatoadrenal terhadap stressor akut tersebut.
o Rangsangan terhadap bundel forebrain (jaras norepinefrin penting
di otak) meningkat pada perilaku yang mencari rasa senang dan
perilaku yang bertujuan. Stressor yang menetap dapat menurunkan
kadar norepinefrin di forbrain medial. Penurunan ini dapat
menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada
depresi.
o Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-
hydroxyphenilglycol (MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin
sentral dapat dilihat berdasarkan penurunan ekskresi MHPG.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MHPG mengalami
defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG yang keluar di urin
meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi
kejang listrik).
4. Serotonin
o Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang
otak ke korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis,
septum, dan hipokampus. Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari
keterlibatannya dalam gangguan-gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14
reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi yang berbeda
di susunan syaraf pusat.
o Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan
libido. Sistem serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma
hipotalamus berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur-
bangun, temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin bersama-
sama dengan norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak motorik
yang terarah dan bertujuan. Kelainan Serotonin (5HT) berimplikasi
terhadap beberapa jenis gangguan jiwa yang mencakup ansietas,
depresi, psikosis, migren, gangguan fungsi seksual, tidur, kognitif,
dan gangguan makan.
o Fungsi Utama dari Serotonin (5HT) adalah dalam pengaturan tidur,
persepsi nyeri, mengatur status mood dan temperatur tubuh serta
berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan libido.
o Gejala Defisit : irritabilitas & agresif, depresi & ansietas, psikosis,
migren, gangguan fungsi seksual, gangguan tidur & gangguan
kognitif, gangguan makan, obsessive compulsive disorder (OCD)
o Gejala Berlebihan : Sedasi, Penurunan sifat dan fungsi aggresi
Pada kasus yang jarang: halusinasi
o Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian
dengan alat pencitraan otak terdapat penurunan jumlah reseptor pos-
sinap 5-HT1A dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi berat.
Adanya gangguan serotonin dapat menjadi tanda kerentanan
terhadap kekambuhan depresi.
o Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun
pada pasien depresi. Penurunan kadar triptofan juga dapat
menurunkan mood pada pasien depresi yang remisi dan individu
yang mempunyai riwayat keluarga menderita depresi. Memori,
atensi, dan fungsi eksekutif juga dipengaruhi oleh kekurangan
triptofan. Neurotisisme dikaitkan dengan gangguan mood, tapi tidak
melalui serotonin. Ia dikaitkan dengan fungsi kognitif yang terjadi
sekunder akibat berkurangnya triptofan.
o Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA
(hidroxyindolaceticacid). Terdapat penurunan 5-HIAA di cairan
serebrospinal pada penderita depresi. Penurunan ini sering terjadi
pada penderita depresi dengan usaha-usaha bunuh diri.
o Penurunan serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG
tidur dan HPA aksis. Hipofontalitas aliran darah otak dan penurunan
metabolisme glukosa otak sesuai dengan penurunan serotonin. Pada
penderita depresi mayor didapatkan penumpulan respon serotonin
prefrontal dan temporoparietal. Ini menunjukkan bahwa adanya
gangguan serotonin pada depresi.
o Pada penderita bulimia nervosa (BN), dan terkait pesta-purge
sindrom, faktor serotonin pusat (5-hydroxytryptamine, 5-HT)
berkontribusi tidak hanya untuk disregulasi appetitive tetapi juga
untuk manifestasi temperamental dan kepribadian. Pada temuan dari
studi neurobiologis, molekul-genetik, dan otak-pencitraan, telah
diungkapkan model integratif peran 5-HT fungsi dalam sindrom
bulimia.
5. Glutamate
o Asam amino glutamat dan glisisn merupakan neurotransmiter
utama di SSP, yang terdistribusi hampir di seluruh otak. Ada 5
reseptor glutamat, yaitu NMDA, kainat, L-AP4, dan ACPD. Bila
berlebihan, glutamat bisa menyebabkan neurotoksik. Obat-obat yang
antagonis terhadap NMDA mempunyai efek antidepresan.
o Glutamat merupakan neurotransmitter excitatory utama pada otak
dimana hampir tiap area otak berisi glutamate. Glutamat memiliki
konsentrasi tinggi di corticostriatal dan di dalam sel cerebellar.
Gangguan pada neurotrasmitter ini akan berakibat gangguan atau
penyakit bipolar afektif dan epilepsi.
o Fungsi Utama Glutamat adalah pengaturan kemampuan memori
dan memelihara ufngsi automatic.
o Gejala Defisit : Gangguan memori, Low energy, Distractibilitas,
Schizophrenia
o Gejala Berlebihan : Kindling, Seizures dan Bipolar affective
disorder.
6. GABA
o GABA merupakan neurotransmitter yang memegang peranan
penting dalam gejala-gejala pada gangguan jiwa. Hampir tiap-tiap
area otak berisi neuron-neuron GABA.
o GABA (gamma-aminobutyric acid) memiliki efek inhibisi terhadap
monoamin, terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbik.
o Pada penderita depresi terdapat penurunan GABA. Stressor kronik
dapat mengurangi kadar GABA dan antidepresor dapat
meningkatkan regulasi reseptor GABA. Banyak pathway di otak
menggunakan GABA dan merupakan Neurotransmitter utama untuk
sel Purkinje. GABA dipindahkan dari synaps melalui katabolism
oleh GABA transaminase
o Fungsi Utama adalah menurunkan arousal dan mengurangi agresi,
kecemasan dan aktif dalam fungsi eksitasi.
o Gejala Defisit : Irritabilitas, Hostilitas, Tension and worry,
Anxietas, Seizure.
o Gejala Berlebihan : Mengurangi rangsang selular, Sedasi dan
Gangguan memori.
10. TAHAPAN / FASE ECT
a. Fase Laten : 2” – 5” , Tremor yang kuat
b. Fase Tonik : 10” , Kejang Tonik Seluruh Otot
c. Fase Klonik : 30” , Kejang Klonik Menyeluruh
d. Fase Diam , Belum bernafas dan belum sadar
e. Fase Bernafas Spontan
f. Fase Sadar, tapi masih disorientasi
g. Fase Tidur ½ - 1 Jam
h. Fase Sadar Penuh
11. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN

PRE ECT

Diagnos
Tujuan dan
a Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
Keperawatan
Ansietas Setelah 1. Gunakan pendekatan 1. Dengan pendekatan
b.d Krisis dilakukan tindakan yang menenangkan yang tenang lebih
Situasional keperawatan 2. Jelaskan semua merasa nyaman
diharapkan klien prosedur ECT dan apa 2. Penjelasan yang
mampu mengontrol yang akan dirasakan diberikan sebelum
kecemasan selama prosedur ECT akan membuat
sehingga dapat 3. Temani klien saat klien tenang dan
dilakukan tindakan tindakan untuk siap untuk
ECT, dengan mengurangi melakukan tindakan
kriteria hasil : kecemasan, memberi ECT
1. Klien mampu keamanan 3. Dengan menemani
4. Instruksikan klien klien maka dapat
mengungkapkan
untuk menggunakan membuat
kecemasannya
2. Klien mampu teknik relaksasi napas ketenangan dan
melakukan dalam dapat
5. Bantu klien untuk mengeksplorasikan
teknik napas
mengenal situasi yang isi perasaan klien
dalam untuk
menimbulkan 4. Teknik relaksasi
mengurangi
kecemasan akan membuat klien
kecemasan 6. Dengan ungkapan lebih rileks dalam
3. Ekspresi wajah perasaan klien dengan keadaan yang
menunjukkan penuh perhatian nyaman dan aman
berkurangnya 7. Identifikasi tingkat 5. Agar klien dapat
kecemasan kecemasan mengetahui dan
dapat mengontrol
masalah dari
kecemasan
6. Untuk memberikan
kepercayaan diri dan
dapat mengevaluasi
masalah perasaan
klien
7. Identifikasi
kecemasan akan
mengetahui tingkat
kecemasan yang
dirasakan klien

INTRA ECT
Diagnos
Tujuan dan
a Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
Keperawatan
Bersihan Setelah 1. Posisikan klien semi 1. Posisi semi
jalan napas dilakukan tindakan fowler fowler/kepala lebih
tidak efektif keperawatan 2. Keluarkan sekret tinggi akan
b.d diharapkan jalan dengan alat bantu memaksimalkan
peningkatan napas terhindar suction ventilasi dan untuk
sekret dari sekret, dengan 3. Auskultasi suara napas memudahkan
kriteria hasil : dan catat adanya suara pengeluaran sekret
1. Jalan napas napas tambahan 2. Suction merupakan
4. Berikan O2 bila tindakan untuk
pasien dan tidak
diperlukan mengeluarkan
ditemukan
5. Monitor respirasi
sekret, irama sekret pada pasien
normal, yang mengalami
frekuensi napas penurunan
normal kesadaran
3. Monitor respirasi
bertujuan untuk
mengetahui
respirasi klien
4. Mempermudah
jalan napas dan
pengeluaran sekret
5. Untuk mengetahui
pola respirasi klien
Pola Setelah 1. Posisikan klien 1. Proses ventilasi
napas tidak dilakukan tindakan untuk memaksimalkan akan
efektif b.d keperawatan ventilasi memaksimalkan
Efek agen diharapkan 2. Pasang mayo bila dengan posisi
farmakologis,o ketidakefektifan perlu kepala lebih tinggi
bat anestesi pola napas dapat 3. Lakukan 2. Untuk
teratasi dengan fisioterapi dada bila pengeluaran sekret
kriteria hasil : perlu 3. Agar sekret
4. Keluarkan sekret dapat keluar dan
1. Klien
dengan suction memberikan
mampu
5. Auskultasi adanya kelegaan
mengeluarkan
suara napas tambahan 4. Dengan
sputum 6. Berikan
2. Manunjukk dikeluarkan sekret
bronkodilator bila mempermudah jalan
an jalan napas
diperlukan napas
yang paten 7. Pertahankan
3. TTV dalam 5. Mengetahui
kepatenan jalan napas suara napas
batas normal 8. Monitor TTV (TD,
tambahan
nadi, RR dan suhu) 6. Melegakan dan
mempertahankan
jalan napas
7. Ekspirasi dan
inspirasi klien
membaik
8. Mengetahui
tekanan darah, nadi,
respirasi dan suhu
Resiko Setelah 1. Monitor tingkat 1. Mempermudah
aspirasi b.d dilakukan tindakan kesadaran monitoring kondisi
peningkatan keperawatan 2. Lakukan suction klien
sekret diharapkan jika diperlukan 2. Sekret dapat
ketidakefektifan 3. Hindari makan jika membersihkan jalan
pola napas dapat residu indikasi masih napas dari sekret
teratasi dengan banyak sehingga dapat
4. Posisikan kepala mencegah resiko
kriteria hasil :
30-40º (semo fowler) aspirasi
1. Klien dapat
3. Makan saat
bernapas residu banyak
dengan mudah menyebabkan jalan
2. Jalan napas napas terhambat
paten dan tidak 4. Mencegah
ada suara napas aspirasi
tambahan

Resiko Setelah 1. Jaga keamanan 1. Untuk


cidera b.d dilakukan tindakan saat klien diruang ECT memberikan
perubahan keperawatan 2. Sediakan keselamatan
fungsi diharapkan lingkungan yang aman 2. Dengan
psikomotor ketidakefektifan dan nyaman lingkungan yang
pola napas dapat 3. Temani klien nyaman dan aman,
teratasi dengan setelah ECT mencegah cidera
4. Anjurkan klien 3. Melindungi
kriteria hasil :
untuk istirahat terlebih klien dari resiko
1. Klien
dahulu untuk cidera dan
terbebas dari
mengurangi pusing memberikan
risiko jatuh
2. Perawat kenyamann
mampu 4. Istirahat yang
mencegah cukup setelah post
cidera ECT akan
memaksimalkan
tenaga setelah efek
samping ECT

POST ECT

Diagno
Tujuan dan
sa Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
Keperawatan
Risiko Setelah 1. Jaga keamanan saat klien 1. Untuk memberikan
Jatuh b.d dilakukan tindakan di ruang ECT keselamatan
kondisi pasca keperawatan 2. Sediakan lingkungan 2. Dengan lingkungan
tindakan ECT diharapkan klien yang aman dan yaman yang nyaman dan
tidak mengamani 3. Temani klien setelah aman serta
risiko jatuh, ECT mencegah cidera
dengan kriteria 4. Anjurkan klien untuk 3. Melindungi klien
hasil : istirahat terlebih dahulu dari resiko cidera
1. Klien terbebas untuk mengurangi dan memberikan
dari risiko jatuh pusing kenyamanan
2. Perawat 4. Istirahat yang cukup
mampu setelah post ECT
mencegah jatuh akan
mamaksimalkan
tenaga setelah efek
samping ECT
Nyeri Setelah 1. Kaji tingkat nyeri 1. Tingkat nyeri
akut b.d agen dilakukan tindakan secara komprehensif dirasakan oleh klien
injuri fisik keperawatan 2. Ajarkan mengontrol agar mempermudah
pasca diharapkan klien nyeri dengan cara tarik dalam pemberian
tindakan ECT mampu napas dalam intervensi sesuai
mengontrol nyeri 3. Berikan analgetik program
dan mampu untuk bila perlu
tarik napas dalam 2. Tarik napas
dalam dapat
mengontrol nyeri
dan membuat klien
rileks
3. Pemberian
analgetik dapat
mengurangi nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Maramis. W.F. (2010). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta: EGC


Nevid, Jeffrey S. et.al. (2013). Psikologi abnormal jilid 2. Jakarta: Erlangga
Riyadi, Sujono & Teguh (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Steiger H, Bruce KR, Groleau P. (2011). Neural circuits, neurotransmitters, and
behavior: serotonin and temperament in bulimic syndromes. Curr Top
Behav Neurosci.
Stuart GW, Sundeen. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Tomb, David. (2009). Buku Saku Psikiatri, edisi 6. Jakarta: EGC
Nanda- I. 2018-2020. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi. Jakarta :
EGC.
Gloria M. Bulecheck.2013. Nursing Interventions Classification. Edisi 6. Alih
Bahasa . Intansari, Roxsana Devi. Yogjakarta : Mocomedia.
Sue Moorhead, Marion J, Meridean L, Elizabeth S. 2013. Nursing Outcomes
Classification. Edisi 5. Alih Bahasa Intansari, Roxsana Devi. Yogjakarta :
Mocomedia.

Anda mungkin juga menyukai