Disusun oleh:
DEWI WIDIYASTUTI
SN181042
1. PENGERTIAN
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik (Riyadi & Teguh, 2009). Terapi elektrokonvulsif
menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis
(Stuart, 2007). Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk
menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai. ECT adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan
arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall (Riyadi & Teguh, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang
dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang
ditempelkan di kepala penerita sehingga menimbulkan serangan kejang
umum (Riyadi & Teguh, 2009). Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan
suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak
melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup
menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai (Riyadi & Teguh, 2009).
2. MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja terapeutik ECT masih belum banyak diketahui.
Salah satu teori yang brkaitan dengan hal ini adalah teori
neurofisiologi.Teori ini mempelajari aliran darh serebral, suplai glukosa
dan oksigen, serta permea bilitas sawar otak akan meningkat. Setelah
kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun. Hal ini paling
jelas dilihat pada lobus frontalis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
derajat penurunan metabolisme serebral berhubungan dengan respon
terapeutik.
Teori lain adalah teori neurokimiawi yang memusatkan perhatian pad
perubahan neurotrasmiter dan second messenger .Hampir semua pada
sistem neurotrasmiter dipengaruhi oleh ECT. Ahir ahir ini mulai
berkembang neuroplastisitas yang berhubungan dengan stimulasi kejang
listrik.Pada percobaan hewan,di jumpai plastisitas sinaps,
dihipotalamus,yakni pertumbuhan serabut saraf, peningkatan konektifitas
jaras saraf, dan terjadinya neurogenesis.
3. JENIS
Jenis ECT ada 2 macam :
a. ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien
sehingga tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini di lakukan
tanpa menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT
premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada
terapi ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan
timbulnya kejang yang terjadi pada pasien.
4. FREKUENSI
Frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan pemberita yang dapat
di perlakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b. Dua sampai tiga kali seminggu.
c. ECT “maintanance’ sekali tiap 2-4 minggu.
b. Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
c. Untuk pasien yang mengalami gangguan di polar,mania,dengan
gangguan skijo frenia,pasien baru mendapat respon yang maksimum
setelah 20-25 kali tindakan ECT.
5. INDIKASI
a. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon
terhadap antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard,
2007). Menurut Tomb (2009) gangguan afek yang berat: pasien dengan
gangguan bipolar, atau depresi menunjukkan respons yang baik dengan
ECT. Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT
lebih efektif dari antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala
psikotik. Mania juja memberikan respon yang baik pada ECT, terutama
jika litium karbonat gagal untuk mengontrol fase akut.
b. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2007). Menurut
Tomb (2009), pasien unuh dibri yang aktif dan tidak mungkin
menunggu antidepresan bekerja. Ketika efek samping Electro
Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang dari efek samping yang
berhubungan dengan blok jantung, dan selama kehamilan (Stuard,
2007).
c. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe
excited memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah
antipsikotik terlebih dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam
kehidupan (delyrium hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien
psikotik akut (terutama tipe skizoaktif) yang tidak berespons pada
medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi
pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT tidak terlalu berguna
(Tomb, 2009).
6. KONTRAINDIKASI
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur
dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit
neurologik bukan suatu kontraindikasi
a. Resiko sangat tinggi:
1) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak,
infeksi sistem saraf pusat), ECT dengan singkat meningkatkan
tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium.
2) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia
berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga
enzim dan EKG stabil.
b. Resiko sedang:
1) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru,
siapkan selama terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
2) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina,
aneurisma, aritmia), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter
spesialis jantung hendaknya ada disana.
3) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas
yang kronis, ulkus peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2009).
7. EFEK SAMPING
a. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi
antara 1-1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko
karena pemberian anastesi umum. Kematian biasanya karena
komplikasi kardiovaskuler.
b. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi
arritmia jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia
post ictal yang sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan
dosis premedikasi anti kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena
hiperaktifitas simpathetiksewaktu kejang atau saat pasien sadar
kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi toksis dan allergi terhadap
obat yang digunakan untuk prosedur ECT premedikasi, tetapi
frekwensinya sangat jarang.
c. Efek cerebral, pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia
dan acute confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan
setelah ECT, tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami
gangguan memori (Tomb, 2009).
PRE ECT
Diagnos
Tujuan dan
a Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
Keperawatan
Ansietas Setelah 1. Gunakan pendekatan 1. Dengan pendekatan
b.d Krisis dilakukan tindakan yang menenangkan yang tenang lebih
Situasional keperawatan 2. Jelaskan semua merasa nyaman
diharapkan klien prosedur ECT dan apa 2. Penjelasan yang
mampu mengontrol yang akan dirasakan diberikan sebelum
kecemasan selama prosedur ECT akan membuat
sehingga dapat 3. Temani klien saat klien tenang dan
dilakukan tindakan tindakan untuk siap untuk
ECT, dengan mengurangi melakukan tindakan
kriteria hasil : kecemasan, memberi ECT
1. Klien mampu keamanan 3. Dengan menemani
4. Instruksikan klien klien maka dapat
mengungkapkan
untuk menggunakan membuat
kecemasannya
2. Klien mampu teknik relaksasi napas ketenangan dan
melakukan dalam dapat
5. Bantu klien untuk mengeksplorasikan
teknik napas
mengenal situasi yang isi perasaan klien
dalam untuk
menimbulkan 4. Teknik relaksasi
mengurangi
kecemasan akan membuat klien
kecemasan 6. Dengan ungkapan lebih rileks dalam
3. Ekspresi wajah perasaan klien dengan keadaan yang
menunjukkan penuh perhatian nyaman dan aman
berkurangnya 7. Identifikasi tingkat 5. Agar klien dapat
kecemasan kecemasan mengetahui dan
dapat mengontrol
masalah dari
kecemasan
6. Untuk memberikan
kepercayaan diri dan
dapat mengevaluasi
masalah perasaan
klien
7. Identifikasi
kecemasan akan
mengetahui tingkat
kecemasan yang
dirasakan klien
INTRA ECT
Diagnos
Tujuan dan
a Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
Keperawatan
Bersihan Setelah 1. Posisikan klien semi 1. Posisi semi
jalan napas dilakukan tindakan fowler fowler/kepala lebih
tidak efektif keperawatan 2. Keluarkan sekret tinggi akan
b.d diharapkan jalan dengan alat bantu memaksimalkan
peningkatan napas terhindar suction ventilasi dan untuk
sekret dari sekret, dengan 3. Auskultasi suara napas memudahkan
kriteria hasil : dan catat adanya suara pengeluaran sekret
1. Jalan napas napas tambahan 2. Suction merupakan
4. Berikan O2 bila tindakan untuk
pasien dan tidak
diperlukan mengeluarkan
ditemukan
5. Monitor respirasi
sekret, irama sekret pada pasien
normal, yang mengalami
frekuensi napas penurunan
normal kesadaran
3. Monitor respirasi
bertujuan untuk
mengetahui
respirasi klien
4. Mempermudah
jalan napas dan
pengeluaran sekret
5. Untuk mengetahui
pola respirasi klien
Pola Setelah 1. Posisikan klien 1. Proses ventilasi
napas tidak dilakukan tindakan untuk memaksimalkan akan
efektif b.d keperawatan ventilasi memaksimalkan
Efek agen diharapkan 2. Pasang mayo bila dengan posisi
farmakologis,o ketidakefektifan perlu kepala lebih tinggi
bat anestesi pola napas dapat 3. Lakukan 2. Untuk
teratasi dengan fisioterapi dada bila pengeluaran sekret
kriteria hasil : perlu 3. Agar sekret
4. Keluarkan sekret dapat keluar dan
1. Klien
dengan suction memberikan
mampu
5. Auskultasi adanya kelegaan
mengeluarkan
suara napas tambahan 4. Dengan
sputum 6. Berikan
2. Manunjukk dikeluarkan sekret
bronkodilator bila mempermudah jalan
an jalan napas
diperlukan napas
yang paten 7. Pertahankan
3. TTV dalam 5. Mengetahui
kepatenan jalan napas suara napas
batas normal 8. Monitor TTV (TD,
tambahan
nadi, RR dan suhu) 6. Melegakan dan
mempertahankan
jalan napas
7. Ekspirasi dan
inspirasi klien
membaik
8. Mengetahui
tekanan darah, nadi,
respirasi dan suhu
Resiko Setelah 1. Monitor tingkat 1. Mempermudah
aspirasi b.d dilakukan tindakan kesadaran monitoring kondisi
peningkatan keperawatan 2. Lakukan suction klien
sekret diharapkan jika diperlukan 2. Sekret dapat
ketidakefektifan 3. Hindari makan jika membersihkan jalan
pola napas dapat residu indikasi masih napas dari sekret
teratasi dengan banyak sehingga dapat
4. Posisikan kepala mencegah resiko
kriteria hasil :
30-40º (semo fowler) aspirasi
1. Klien dapat
3. Makan saat
bernapas residu banyak
dengan mudah menyebabkan jalan
2. Jalan napas napas terhambat
paten dan tidak 4. Mencegah
ada suara napas aspirasi
tambahan
POST ECT
Diagno
Tujuan dan
sa Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
Keperawatan
Risiko Setelah 1. Jaga keamanan saat klien 1. Untuk memberikan
Jatuh b.d dilakukan tindakan di ruang ECT keselamatan
kondisi pasca keperawatan 2. Sediakan lingkungan 2. Dengan lingkungan
tindakan ECT diharapkan klien yang aman dan yaman yang nyaman dan
tidak mengamani 3. Temani klien setelah aman serta
risiko jatuh, ECT mencegah cidera
dengan kriteria 4. Anjurkan klien untuk 3. Melindungi klien
hasil : istirahat terlebih dahulu dari resiko cidera
1. Klien terbebas untuk mengurangi dan memberikan
dari risiko jatuh pusing kenyamanan
2. Perawat 4. Istirahat yang cukup
mampu setelah post ECT
mencegah jatuh akan
mamaksimalkan
tenaga setelah efek
samping ECT
Nyeri Setelah 1. Kaji tingkat nyeri 1. Tingkat nyeri
akut b.d agen dilakukan tindakan secara komprehensif dirasakan oleh klien
injuri fisik keperawatan 2. Ajarkan mengontrol agar mempermudah
pasca diharapkan klien nyeri dengan cara tarik dalam pemberian
tindakan ECT mampu napas dalam intervensi sesuai
mengontrol nyeri 3. Berikan analgetik program
dan mampu untuk bila perlu
tarik napas dalam 2. Tarik napas
dalam dapat
mengontrol nyeri
dan membuat klien
rileks
3. Pemberian
analgetik dapat
mengurangi nyeri
DAFTAR PUSTAKA