Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas Praktik Klinik Keperawatan 2

Disusun oleh :

Kelompok I

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

A. Pengertian

ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan

menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun konik yaitu bentuk terapi

pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkam

pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009).

Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang

dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang

ditempelkan di kepala penerita sehingga menimbulkan serangan kejang umum

(Mursalin, 2009).

Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik

dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada

pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya

diharapkan efek yang terapeutik tercapai (Taufik, 2010).

Terapi kejang listrik merupakan alat elektrokonvulsi yang mengeluarkan

listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran sinusoid itu

sehingga pasien menerima aliran listrik (Maramis, 2004).

ECT (Elektro konvulsi Terapi) merupakan suatu tindakan memberikan

aliran listrik untuk menimbulkan kejang. ECT dengan anestesi (MECTA) adalah

terapi ECT dengan anestesi umum (SOP RSJD Surakarta).

B. Indikasi

1. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap

antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2007). Menurut
Tomb (2004) gangguan afek yang berat: pasien dengan gangguan bipolar,

atau depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT. Pasien dengan

gejala vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari

antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juja

memberikan respon yang baik pada ECT, terutama jika litium karbonat gagal

untuk mengontrol fase akut.

2. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima pengobatan

untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2007). Menurut Tomb (2004),

pasien bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu antidepresan

bekerja.

3. Ketika efek samping Electro Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang

dari efek samping yang berhubungan dengan blok jantung, dan selama

kehamilan (Stuard, 2007).

4. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited

memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlebih

dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delyrium

hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe

skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik

jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT

tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).

C. Kontraindikasi

Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur

dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit neurologik

bukan suatu kontraindikasi.


1. Resiko sangat tinggi:

a) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem saraf

pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi

tentorium.

b) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal jika

terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil.

2. Resiko sedang:

a) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan selama terapi

(pelemas otot) dan ablasio retina.

b) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma, aritmia),

berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya ada

disana.

c) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus

peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2004).

D. Letak penempelan elektroda

1. ECT Bilateral

Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada Gambar

2.7-1 (A). Pusat elektroda harus 4 cm di atas, dan tegak lurus, titik tengah dari

garis antara sudut lateral mata dan meatus auditori eksternal. Satu elektroda

diletakkan untuk setiap sisi kepala, dan posisi ini disebut sebagai ECT

temporal. (Beberapa penulis menyebut ECT frontotemporal.) Ini merupakan

posisi yang direkomendasikan untuk elektroda ECT bilateral karena ini telah

menjadi posisi standardan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian

terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya di ECT bilateral . Ada

eksperimen lain untuk posisi elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal, di
mana jarak elektroda hanya sekitar 5 cm (2 inci) dan masing-masing sekitar 5

cm di atas jembatan hidung. Sebuah modifikasi lebih baru di mana elektroda

diterapkan lebih lanjut selain telah diteliti karena para peneliti menyarankan

bahwa berkhasiat sebagai ECT bilateral tradisional, tetapi dengan risiko yang

lebih rendah dari efek samping kognitif. Inggris ECT Review Group (2003)

tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara ECT tradisional dan ECT

bilateral baik dalam kemanjuran klinis atau efek samping kognitif.

Gambar 2.7 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental/ Elia’s

positioning (B)

2. ECT Unilateral

Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama seperti

dalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas permukaan

parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal tidak penting,

tujuan adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda untuk mengurangi

arus listrik dan untuk memilih situs di mana busur elektroda dapat diterapkan

dengan tegas dan datar terhadap kulit kepala.ECT unilateral biasanya

diaplikasikan di atas belahan non-dominan, yang merupakan sisi kanan


kepala di kebanyakan orang . Ini adalah posisi yang dianjurkan dalam ECT

unilateral karena ini telah menjadi standar, dan tidak dapat diasumsikan

bahwa temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya.

Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih sulit untuk

dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan sendirian.

Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2.7-

1 (B). Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d'ient's

head. ECT unilateral dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab

bersama dari tim klinik ECT. Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta

pasien untuk mengaktifkan ke sisi kiri sebelum induksi anestesi. Bantuan

perawat atau anggota staf anestesi sangat penting untuk melakukan tugas

memutar kepala pasien.

E. Peralatan dan obat

1. Mesin ECT lengkap

2. Tempat tidur datar

3. Suction

4. Handscoon

5. Gel

6. Spatel karet

7. Spuit

8. IV line

9. Infus : Ringer Lactat atau NaCl

10. Elektroda

11. Bantal pengganjal

12. Obat : Propovol 60 mg, Artacurium 0,3-0,5 mg/ kg, atropin 0,4-0,8 mg IV
F. Prosedur pelaksanaan

1. Cek Identitas Pasien

2. Berikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan

3. Memasang sampiran

4. Psikiater atau Dokter pelaksana memeriksa pasien untuk memastikan kondisi

dan keadaan umum

5. Menghidupkan power pada alat

6. Lakukan cuci tangan dengan benar

7. Atur posisi pasien tidur terlentang

8. Dekatkan konvulsator

9. Kendorkan pakian pada bagian yang mengikat atau mengekang

10. Pasang selimut menutupi seluruh tubuh pasien keuali bagian kepala

11. Bersihkan temporal dengan kapas alkohol

12. Pasang spatel karet

13. Pegang pasien pada bagian : rahang, sendi bahu, sendi siku, sendi panggul dan

sendi lutut

14. Bersihkan bagian temporal dengan kapas basah

15. Tempel elektroda yang telah dibasahi pada temporal

16. Terapis memberi aba-aba

17. Tekan tombol elektroda pada konvulsator

18. Tombol dilepas setelah, alarm berhenti

19. Pada saat pasien mengalami kejang tonik maupun klonik, pegang persendian

dengan mengikuti gerakan kejang pasien

20. Amati dan hitung kejang tonik dan klonik


21. Setelah kejang berakhir, buka selimut dan awasi pernafasan. Jika terjadi

gangguan nafas henti nafas segera buka jalan napas

22. Setelah napas spontan, spatel dilepas dan kepala dimiringkan, pasang bengkok

dengan mulut pasien.

23. Observasi tingkat kesadaran dan tanda vital pasien, catat efek samping yang

timbul

24. Evaluasi sampai kesadaran penuh

25. Dokumentasikan hasil ECT pada lembar follow up dokter, meliputi Dosis,

lama kejang tonik klonik, waktu, tanda vital, dan tanda tangan penanggung

jawab.

26. Rapikan kembali pakaian pasien dan peralatan Lakukan cuci tangan setelah

tindakan

Sumber : Buku Petunjuk Pengoperasian ECT konvensional RS Jiwa Daerah

Surakarta

G. Tahapan kejang

1. Laten

Bola mata bergetar

2. Tonik

Peningkatan mendadak tonus otot wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan

dan ekstensi tungkai. Mata dam kepala berputar ke satu sisi, dapat

menyebabkan henti napas

3. Klonik

Gerakan menyentakak, repetitive, tajam, lambat dan tunggal di daerah tungkai

ataupun lengan

4. Apnea
Tak bernafas

5. Sadar

Pasien sadar

6. Tidur

Pasien tidur kurang lebih 2-3 jam

H. Peran perawat

1. Peran Perawat Dalam Persiapan Klien Pra ECT

a. Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan

yang akan dilakukan.

b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya

kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT. Lengkapi anamnesis dan

pemeriksaan fisik, konsentrasikan pada peme¬riksaan jantung dan status

neurologic, pemeriksaan darah perifer lengkap, EKG, EEG atau CT Scan jika

terdapat gambaran Neurologis tidak abnormal. Hal ini penting mengingat

terdapat kontraindikasi pada gangguan jantung, pernafasan dan persarafan.

c. Siapkan surat persetujuan tindakan/informed consent

d. Klien dipuasakan 6 jamuntuk makanan pada dan 4 jam untuk makanan basah

sebelum tindakan.

e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang mungkin

dipakai klien.

f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.

g. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum

ECT.
h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik, dan

antikonvulsan, harus dihentikansehari sebelumnya.Litium biasanya

dihentikan beberapa hari sebelumnya karena beresiko organik.

i. Premedikasidengan injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg setengah jam

sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan

menurunkan sekresi gastrointestinal (Riyadi, 2009).

2. Peran perawat post ect

Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk membantu klien

dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan yang telah dimodifikasi

dari pendapat Stuart (2007) dan Townsen (1998). Menurut pendapat Stuart

(2007) memantau klien dalam masa pemulihan yaitu dengan cara sebagai

berikut:

1. Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.

2. Pantau tanda-tanda vital.

3.Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai

sadar. Pertahankan jalan napas paten.

4. Jika pasien berespon, orientasikan pasien.

5.Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hipotensi

postural.

6. Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.

7. Berikan makanan ringan.

8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai

kebutuhan.

9. Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.


Menurut Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan

mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling umum hal

ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi

ketakutan ketakutan yang disertai dengan kehilangan memori. Implementasi

keperawatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut

hanya sementara.

2. Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.

3. Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.

4. Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang berhubungan

dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.

5. Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-aktivitas

rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan.

I. Diagnosa keperawatan

1. Ansietas b/d prosdur tindakan ECT

2. Defisiensi pengetahuan b/d keterbatasan kognitif

3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d obstruksi jalan napas

4. Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran

5. Nyeri akut b/d agen cedera (fisik)

6. Resiko jatuh b/d agen cedera (fisik)

J. Rencana intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Keperaw

atan

1. Ansietas Setelah dilakukan tindakan NIC 1. Untuk


b/d keperawatan 1x24 jam klien Penurunan mengetahui

prosdur mampu mengontrol kecemasan Kecemasan sejauh mana

tindakan sehingga dapat dilakukan 1. Identifikasi kecemasan

ECT tindakan ECT, dengan tingkat pasien

NOC : kecemasan 2. Penjelasan

Anxiety level 2. Jelaskan yang diberikan

Kriteria hasil : semua sebelum ECT

1. Klien mampu prosedur dan akan membuat

mengidentifikasi dan apa yang klien tenang

mengungkapkan gejala cemas dirasakan dan siap untuk

2. Mengidentifikasi, selama melakukan

mengungkapkan dan prosedur tindakan ECT

menunjukkan teknik untuk 3. Berikan 3. Klien

mengontrol cemas informasi menjadi lebih

3. Postur tubuh, ekspresi wajah, faktual terkait tenang karena

bahasa tubuh, dan tingkat diagnosis, mengetahui

aktivitas menunjukkan perawatan dan penyakitnya

berkurangnya kecemasan prognosis dan

4. Kolaborasi perawatannya

dengan tim 4. Mengurangi

medis untuk kecemasan

penggunaan dengan cara

obat-obatan farmakologis

untuk

mengurangi
kecemasan

secara tepat

2. Defisiens Setelah dilakukan tindakan NIC : 1. Untuk

i keperawatan 1x24 jam klien Pengajaran: mengetahui

pengetah mengerti proses penyakitnya prosedur/pera pengetahuan

uan b/d dan program perawatan serta watan pasien

keterbata terapi yang diberikan dengan 1. Kaji mengenai

san NOC : pengalaman prosedur

kognitif Knowledge : disease process pasien tindakan

Kriteria Hasil : sebelumnya 2. Pasien

1. Pasien dan keluaga dan tingkat mempunyai

menyatakan pemahaman tentang pengetahuan gambaran

penyalit, kondisi, prognosis dan pasien terkait prosedur

program pengobatan tindakan yang tindakan

2. Pasien dan keluarga mampu akan dilakukan 3. Lebih

melaksanakan prosedur yang 2. Gambarkan memahami

dijelaskan secara benar aktivitas prosedur

3. Pasien dan keluarga mampu sebelum tindakan

menjelaskan kembali apa yang prosedur 4. Menambah

dijelaskan perawat atau tim /penanganan informasi

kesehatan 3. Jelaskan untuk klien

prosedur/tinda

kan

4. Dukung

informasi yang
diberikan

petugas

kesehatan lain

3. Ketidakef Setelah dilakukan tindakan NIC: 1. Mengetahui

ektifan keperawatan 1x24 jam klien Stabilisasi dan adanya

bersihan dapat menunjukkan jalan napas membuka jalan sumbatan jalan

jalan yang paten napas napas atau

napas b/d NOC : 1. Monitor tidak

obstruksi Repiratory status : Airway adanya sesak 2. Untuk

jalan patency napas, membersihkan

napas Kriteria hasil : mengorok saar sekret

1. Menunjukkan jalan napas tube 3. Pasien dan

yang paten (klien tidak merasa oro,nasofaring keluarga

tercekik, irama napas, frekuensi terpasang pada mengetahui

pernafasan dalam rentang tempatnya dan lebih

normal, tidak ada suara nafas 2. Suction tenang

abnormal) mulut dan 4. Untuk

orofaring membantu

3. Jelaskan jalan napas

pada pasien

dan keluarga

tentang

prosedur

intubasi

4. Kolaborasik
an dengan

dokter untuk

memilih cara

yang tepat

ukuran dan

tipe

tubeendotrakea

l atau tube

trakeostomi

4. Resiko Setelah dilakukan tindakan NIC: 1. Untuk

aspirasi keperawatan 1x24 jam klien 1. Monitor mengetahui

b/d dapat mengontrol aspirasi status ada tidaknya

penuruna NOC : pernafasan gangguan

n tingkat Aspiration Control 2. Pertahankan 2. Menjaga

kesadaran Kriteria Hasil : kepatenan kestabilan

1. Klien dapat bernafas dengan jalan napas jalan napas

mudah, irama, frekuensi 3. Posisikan 3. Untuk

pernafasan normal kepala pasien mempermudah

2. Pasien mampu menelan, tega lurus, pernafasan

mengunyah tanpa terjadi asprasi sama dengan 4. Mengetahui

3. Jalan nafas paten, mudah atau lebih rute pemberian

bernafas, tidak merasa tercekik tinggi dari 30- obat yang tepat

dan tidak ada suara nafas 90 derajat

abnormal 4. Kolaborasi

rute dalam
pemberian obat

5. Nyeri Setelah dilakukan tindakan NIC : 1. Mengetahui

Akut keperawatan 1x24 jam klien Manajemen tingkat nyeri

agen dapat mengatasi nyeri dengan nyeri pasien

cedera NOC : 1. Lakukan 2. Mengurangi

(fisik) Pain level pengkajian nyeri dengan

Kriteria Hasil : nyeri non

1. Mampu mengontrol nyeri komprehensif farmakologis

(tahu penyebab nyeri, mampu yang meliputi 3. Pasien

menggunakan tehnik lokasi mengetahui

nonfarmakologi untuk karakteristik, mengenai nyeri

mengurangi nyeri, mencari onset/durasi, 4. Mengurangi

bantuan) kualitas, nyeri dengan

2. Melaporkan bahwa nyeri intensitas atau melibatkan

berkurang dengan menggunkan beratnya nyeri orang lain

manajemen nyeri dan faktor

3. Mampu mengenali nyeri pencetus

(skala, intensitas, frekuensi, dan 2. Ajarkan

tanda nyeri) penggunaan

4. Menyatakan rasa nyaman teknik non

setelah nyeri berkurang farmakologi

(distraski

relaksasi)

3. Berikan

informasi
mengenai

nyeri, seperti

penyebab

nyeri, berapa

lama nyeri

akan

dirasakan, dan

antisipasi dari

ketidaknyaman

an akibat

prosedur

4. Kolaborasi

dengan pasien,

orang terdekat

dan tim

kesehatan

lainnya untuk

memilih dan

mengimpleme

ntasikan

tindakan

penurunan

nyeri

nonfarmakolog

i, sesuai
kebutuhan

6. Risiko Manajemen 1. Mengamank

Jatuh NOC : linkungan : an lingkungan

agen Aspiration control keselamatan pasien

cedera Kriteria hasil : 1. Identifikasi 2. Untuk

(fisik) 1. Jalan napas paten dan suara al-hal yang menghindari

nafas bersih membhayakan pasien terjatuh

di lingkungan 3. Mengamank

(bahaya fisik, an lingkungan

biologi,dan sekitar pasien

kimiawi) 4. Agar

2. Gunakan keamanan

peralatan lebih terjamin

perlindungan

(pengekangan,

pegangan pada

sisi) untuk

membatasi

mobilitas fisik

atau akses

pada situasi

yang

membahayaka

3. Edukasi
individu dan

kelompok yang

berisiko tinggi

terhadap bahan

yang ada di

lingkungan

4. Kolaborasik

an dengan

lembaga lain

untuk

meningkatkan

keselamatan

lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) edisi 6.

Jakarta: Moco Media

Elektromedik-03.07.01-TINDAKAN-ECT-KONVENSIONAL.pdf diakses pada

tanggal 09 Januari 2020 pukul 14.00

Maramis. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabay; Airlanggaa

Riyadi, Sujono. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Grahaham Ilmu

Stuart, Gail Wiscarz. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC

Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC

Townsend, Mary C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan.

Psikiatri Edisi 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai