Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

TERAPI ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

1. PENGERTIAN
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik (Sujono, 2015). Terapi elektrokonvulsif menginduksi
kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis (Stuart, 2014).
Menurut Townsend (2018) Terapi elektrokonvulsif (ECT)
merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan
pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut
cukup untuk menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek
yang terapeutik tercapai. ECT adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang
dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang
ditempelkan di kepala penerita sehingga menimbulkan serangan kejang
umum (Mursalin, 2009).Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan
kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai
(Taufik, 2010). Terapi kejang listrik merupakan alat elektrokonvulsi yang
mengeluarkan listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran
sinusoid itu sehingga pasien menerima aliran listrik (Maramis, 2014).

2. MEKANISME KERJA NEUROTANSMITTER


Mekanisme kerja terapeutik ECT masih belum banyak diketahui.
Salah satu teori yang brkaitan dengan hal ini adalah teori neurofisiologi.Teori
ini mempelajari aliran darh serebral, suplai glukosa dan oksigen, serta permea
bilitas sawar otak akan meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan
metabolisme glukosa menurun. Hal ini paling jelas dilihat pada lobus
frontalis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa derajat penurunan
metabolisme serebral berhubungan dengan respon terapeutik.
Mekanisme kerja Electro Convulsive Therapy (ECT) belum
diketahui secara pasti. Namun, dikaitkan dengan teori psikologik dan
psikodinamika, teori molekular, biokimia, neuroendokrin, dan teori
struktural.5 Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah
dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi
positron (PET; Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah
serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut
telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral, pemakaian
glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat.
Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan
paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons
terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama
periode interiktal, ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena
pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat terapi
berlanjut.
Neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini,
perubahan sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap
sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT
menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor
yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT
pada neuron serotonergik masih merupakan daerah penelitian yang
kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan telah menemukan suatu
peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada
neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan
serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal muskarinik,
kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah
dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas
adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke
dalam neuron.
Electro Convulsive Therapy (ECT) memiliki efek anti konvulsi yang
membangkitkan ambang kejang dan menurunkan lamanya kejang. Hal ini
diduga bekerja pada sel yang menghubungkan bangkitan kejang pada SSP.
Pada tingkat dasar obat antikonvulsi mempunyai efek meningkatkan
penghambatan dan mengurangi eksitasi. Obat ini meningkatkan transmisi
GABAergic melalui reseptor GABA yang mempunyai efek anti konvulsi.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa peningkatan kadar GABA pada regio
SSP tertentu setelah ECS, mendukung suatu kemungkinan peningkatan dalam
inhibisi tonik. Ini juga membuktikan bahwa ECS menyebabkan peningkatan
GABA yang menengahi inhibisi presinaps dan postsinaps.
3. JENIS
Jenis ECT ada 2 macam :
a. ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien
sehingga tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini di lakukan
tanpa menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada
terapi ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya
kejang yang terjadi pada pasien.

4. FREKUENSI
Frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan pemberita yang
dapat di perlakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b. Dua sampai tiga kali seminggu.
c. ECT “maintanance’ sekali tiap 2-4 minggu.
b. Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
c. Untuk pasien yang mengalami gangguan di polar,mania,dengan
gangguan skijo frenia,pasien baru mendapat respon yang maksimum
setelah 20-25 kali tindakan ECT.

5. INDIKASI
a. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap
antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2014).
Menurut Tomb (2014) gangguan afek yang berat: pasien dengan gangguan
bipolar, atau depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT. Pasien
dengan gejala vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari
antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juja
memberikan respon yang baik pada ECT, terutama jika litium karbonat
gagal untuk mengontrol fase akut.
b. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2014). Menurut Tomb
(2014), pasien unuh dibri yang aktif dan tidak mungkin menunggu
antidepresan bekerja. Ketika efek samping Electro Convulsive Therapy
yang diantisipasi kurang dari efek samping yang berhubungan dengan blok
jantung, dan selama kehamilan (Stuard, 2014).
c. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited
memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlebih
dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delyrium
hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe
skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan
membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia
(kronis), ECT tidak terlalu berguna (Tomb, 2014)
6. KONTRAINDIKASI
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko
prosedur dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit
neurologik bukan suatu kontraindikasi
a. Resiko sangat tinggi:
1) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem
saraf pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko
herniasi tentorium.
2) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal jika
terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
b. Resiko sedang:
1) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan selama
terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
2) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma,
aritmia), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis
jantung hendaknya ada disana.
3) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis,
ulkus peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2014).

7. EFEK SAMPING
a. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi antara
1-1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko karena
pemberian anastesi umum. Kematian biasanya karena komplikasi
kardiovaskuler.
b. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi
arritmia jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia post
ictal yang sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan dosis
premedikasi anti kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena
hiperaktifitas simpathetiksewaktu kejang atau saat pasien sadar kembali.
Dilaporkan pula adanya reaksi toksis dan allergi terhadap obat yang
digunakan untuk prosedur ECT premedikasi, tetapi frekwensinya sangat
jarang.
c. Efek cerebral,pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan
acute confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan
setelah ECT, tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami
gangguan memori (Tomb, 2014).

8. PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN ECT


a. Peran Perawat Sebelum Tindakan ECT
1) Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur
tindakan yang akan dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi
adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
3) Siapkan surat persetujuan tindakan.
4) Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang
mungkin dipakai klien.
6) Pakaikan baju yang longgar dan nyaman.
7) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
8) Berikan obat praterapi.
9) Pastikan obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap pakai.
10) Persiapan alat
a) Perlengkapan dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel
elektroda, bantalan kasa, alkohol, saling,elektroda
elektroensefalogram (EEG), dan kertas grafik.
b) Alat MECTA (Konvulsator)
c) Manset tekanan darah, dan oksimeter denyut nadi.
d) Stetoskop.
e) Suction
f) Airway Equiment
g) Propofol (1- 2,5 cc/KgBB)
h) Antracunum (5mg)
i) Cevofloran 2 vol %
j) Peralatan intravena.
k) Penahan gigitan
l) Pelbet dengan kasur yang keras dan bersisi pengaman serta dapat
meninggikan bagian kepala dan kaki.
m) Peralatan ventilasi, termasuk slang, masker, ambu bag, peralatan
jalan nafas oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian
oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif. Obat
untuk keadaan darurat dan obat lain sesuai rekomendasi staf
anastesi (Stuart, 2017).
b. Peran Perawat Selama Tindakan ECT
Menurut pendapat Stuart (2017) peran perawat selama tindakan
ECT adalah sebagai berikut:
1. Bantu pelaksanaan ECT.
2. Tenangkan pasien.
3. Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan
pasien bila terjadi apnea karena relaksan otot.
4. Pasang infus untuk memasukkan cairan melalui intravena
5. Berikan obat anatesi
6. Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi pasien.
7. Pasang elektroda. Kemudian berikan syok.
8. Pantau pasien selama masa pemulihan
c. Peran Perawat Setelah ECT
Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk
membantu klien dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan
yang telah dimodifikasi dari pendapat Stuart (2017) dan Townsen (2012).
Menurut pendapat Stuart (2017) memantau klien dalam masa
pemulihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien
sampai sadar. Pertahankan jalan napas paten.
4. Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5. Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya
hipotensi postural.
6. Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7. Berikan makanan ringan.
8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien
sesuai kebutuhan.
9. Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.
Menurut Townsend (2012), jika terjadi kehilangan memori dan
kekacauan mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang
paling umum hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar
supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang disertai dengan
kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang harus dilakukan
adalah sebagai berikut:
a) Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan
memori tersebut hanya sementara.
b) Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
c) Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
d) Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang
berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
e) Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-
aktivitas rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan.

Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Dilakukan ECT

A. Pengkajian
1 Kelengkapan data pasien yang ada kaitannya dengan terapi ini.
Elektrokardiogram, foto toraks, pemerikasaan laboratorium yang
diperlukan.
2 Surat kesepakatan pelaksanaan tindakan ECT (Informed concent) yang
telah ditandatangani keluarga.
3 Pemeriksaan TTV.
4 Temperature.
5 Nadi
B. Diagnosa Keperawatan
PRE ECT
Diagnosa Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

Gangguan interaksi Tujuan : 1. Lakukan pendekatan dan bina 1. Dengan melakukan pendekatan
sosial berhubungan rasa percaya terhadap perawat secara terapeutik akan
dengan defisiensi bicara Setalah dilakukan tindakan 2. Beri penjelasan pada klien menumbuhkan dan membina rasa
keperawatan 1x interaksi mengenai interaksi sosial, mulai saling percaya sehingga klien mau
diharapakan klien mampu : dari pengertian, manfaat, cara – mengungkapkan perasaannya pada
cara melakukan interaksi, unsur – perawat
- Terbinanya hubungan
unsur penting dalam berinteraksi 2. Dengan memberikan kejelasan
saling percaya antara
serta akibat yang ditimbulkan interaksi sosial maka pengetahuan
klien dengan perawat
3. Ajak klien dalam melakukan klien akan meningkat
- Klien mengetahui dan
aktivitas yang berhubungan 3. Dengan mengajak klien melakukan
mengerti tentang interaksi
dengan klien aktivitas maka klien akan merasa
sosial
- Klien mampu terlibat diperhatikkan dan diberi
aktif dalam kegiatan kepercayaan sehingga klien mau
kelompok bergaul dengan orang lain.
INTRA ECT
DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA
INTERVENSI RASIONAL
HASIL

Resiko cidera Setelah dilakukan asuhan NIC Label >> Enviromental


berhubungan dengan keperawatan selama 1 x … Management 1. Mencegah terjadinya
kejang tak terkontrol interaksi diharapkan risiko 1. Ciptakan lingkungan yang aman risiko cidera
cidera dapat diminimalisir untuk pasien 2. Menentukan kebutuhan
dengan criteria hasil: 2. Identifikasi kebutuhan pasien terhadapm keamanan
NOC Label >> Risk Control keamanan pasien, berdasarkan dan menentukan intervensi
 mengindikasikan tingkat fisik, fungsi kognitif dan yang tepat
faktor resiko cidera skala sejarah tingkah laku 3. Mencegah risiko cidera
5 3. Hilangkan bahaya lingkungan 4. Mencegah risiko cidera
NOC Label >> Neurological 4. Jauhkan objek berbahaya dari 5. Mengurangi keletihan
status lingkungan pada pasien yang dapat
 Tingkat kesadaran 5. Batasi pengunjung menyebabkan risiko cidera
pasien baik skala 5
NOC Label >> Knowledge: NIC Label >>Fall Prevention 6. Mengetahui lingkungan
Personal Safety 6. Identifikasi karakteristik sekitar pasien sehingga
 Pasien dapat lingkungan yang bisa dapat dimodifikasi untuk
menunjukan sikap meningkatkan potensial untuk mengurangi risiko cidera
melindungi diri sendiri cedera. 7. Mengurangi risiko cidera
dari risiko cidera skala 5 7. Kunci roda dari kursi roda,
tempat tidur, saat memindahkan
pasien.
Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Airway Management NIC Label : Airway
nafas berhubungan keperawatan selama 1x … 1. Posisikan pasien hiper ekstensi Management
dengan efek agen interaksi pasien menunjukkan 2. Monitor pernapasan dan status 1. Untuk memaksimalkan
farmakologis anastesi keefektifan pola nafas, oksigen yang sesuai potensial ventilasi
dengan kriteria hasil: NIC Label : Oxygen Therapy 2. Memonitor respirasi dan
NOC Label : Respiratory 1. Mempertahankan jalan napas keadekuatan oksigen
Status: Airway patency paten NIC Label : Oxygen Therapy
1. Frekuensi, irama, 2. Kolaborasi dalam pemberian 1. Menjaga keadekuatan
kedalaman pernapasan oksigen terapi ventilasi
dalam batas normal 3. Monitor aliran oksigen 2. Meningkatkan ventilasi
2. Tidak menggunakan NIC Label : Respiratory Monitoring dan asupan oksigen
otot-otot bantu 1. Catat pergerakan dada, simetris 3. Menjaga aliran oksigen
pernapasan atau tidak, menggunakan otot mencukupi kebutuhan
NOC Label : Vital Signs bantu pernafasan pasien
 Tanda Tanda vital 2. Monitor pola nafas: bradypnea, NIC Label : Respiratory
dalam rentang normal tachypnea, hiperventilasi, respirasi Monitoring
(tekanan darah, nadi, kussmaul, respirasi cheyne-stokes 1. Melihat apakah ada
pernafasan) (TD 120- dll obstruksi di salah satu
90/90-60 mmHg, nadi 80- bronkus atau adanya
100 x/menit, RR : 18-24 gangguan pada ventilasi
x/menit, suhu 36,5 – 37,5 2. Memonitor keadaan
C) pernapasan klien
POST ECT
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan

Resiko Jatuh b.d efek Setelah dilakukan tindakan Environtmental Management: Safety Environtmental Management:
farmakologis anastesi keperawatan selama 1 kali Safety
 Identifikasi kebutuhan
interaksi diharapkan :
keamanan pasien dari fisik,  Menentukan tingkat safety
Balance fungsi kognitif dan kebiasaan klien
perilaku pasien.  Mencegah klien dari bahaya
 Mempertahankan  Identifikasi bahaya keselamatan  Mencegah klien jatuh
keseimbangan ketika pasien di lingkungan (ex: fisik,  Meningkatkan safety
berdiri. biologis, kimia). lingkungan untuk
Knowledge ; fall prevention  Hilangkan risiko dari menurunkan resiko jatuh
 Penggunaan dari tata lingkungan jika memungkinkan.  Meningkatkan patient safety
cara berpindah yang  Modifikasi lingkungan untuk  Membatasi pergerakan klien
aman. meminimalkan resiko dan yang dapat meningkatkan
 Mengetahui Kondisi bahaya. resiko jatuh
kronis yang  Menyediakan alat adaptif (ex:  Mempercepat klien meminta
meningkatkan resiko Alat untuk melangkah dan bantuan ketika terjadi jatuh
jatuh . pegangan tangan) untuk  Mengeleminasi factor yang
Mobility meningkatkan keamanan dari mengancam patient safety
lingkungan.  Agar klien mengetahui
 Pergerakan otot  Gunakan alat pelindung (mis. keadaan lingkungan dan
mencapai skala 5
 Pergerakan sendi Pegangan samping, pintu factor yang dapat
mencapai skala 5 tertutup, gerbang) untuk menyebabkan resiko jatuh
Risk control keterbatasan mobilitas fisik.
 Edukasi mengenai risiko tinggi
 Memonitor faktor individu dan kelompok tentang
resiko dari lingkungan risiko lingkungan.
 Memonitor faktor Fall Prevention
resiko dari perilaku
seseorang  Identifikasi kognitif dan
 Melakukan strategi kekurangan fisik dari pasien
dalam mengontrol yang mungkin meningkatkan
faktor resiko potensial untuk jatuh.
 Memonitor perubahan  Identifikasi kebiasaan dan factor
status kesehatan risiko yang mempengaruhi
untuk jatuh.
 Cari informasi riwayat jatuh
pasien dan keluarga.
 Identifikasi karakteristik
lingkungan yang bisa
meningkatkan potensial untuk
jatuh.
 Monitor gaya berjalan,
keseimbangan, dan level
kelelahan.
 Menyarankan perubahan dalam
gaya berjalan kepada pasien.
 Latih pasien untuk beradaptasi
dan memodifikasi gaya berjalan.
 Membantu pasien yang mudah
goyah dengan berpindah.
 Kunci roda dari kursi roda,
tempat tidur, saat memindahkan
pasien.
 Ajari pasien bagaimana cara
jatuh yang aman untuk
Setelah dilakukan tindakan meminimalkan cedera.
keperawatan 1 x 10 menit
Hipotermi berhubungan diharapkan suhu tubuh  Mengetahui perkembangan
dengan efek agen normal dengan kriteria hasil : atau kondisi pasien
 Monitor suhu tubuh
farmakologis  Untuk mengetahui penyebab
 Identifikasi penyebab hipotermi
1.TTV dalam rentang normal hipotermi sehingga dapat
 Monitor tanda dan gejala
Sistole : 100 - 140 mmHg mengeliminasi penyebab
hipotermi
Diastole : < 85 mmHg hipotermi
 Penghangatan pasif : tutup
N : 60 - 100 x/menit  Untuk mengambil tindakan
pasien denan selimut
RR : 14 - 20 x /menit secara dini guna mencegah
S : 36,5oC - 37,0oC terjadinya komplikasi
 Mengurangi proses
perpindahan panas tubuh ke
lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Maramis. W.F. 2015, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta: EGC

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Jakarta

PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Jakarta

Stuart GW, Sundeen.2017. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Tomb, David. 2014, Buku Saku Psikiatri, edisi 6. Jakarta: EGC

Townsend, M.C. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan

Psikitari (terjemahan), Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


LAPORAN PENDAHULUAN

ELECTRO CONVULSIVE THERAPY (ECT)

Disusun oleh :

KELOMPOK RUANG ABIMANYU

Makmun Wicaksono

M. Ichwan Rijani

Muhammad Fahreza Ridhani

Muhammad Amri Irsyadi

Nicky Putri Capindo

Nurul Apriliani

Qori Dian Laksita

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

2019

Anda mungkin juga menyukai