Anda di halaman 1dari 20

REFERAT KATARAK

DAN PTERYGIUM

OLEH

MUTIA RAMADHANI S.L.

G1A114081

DOSEN :

dr. H. Djarizal. Sp M, MPH

PROGRAM STUDI PEND. DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN AJARAN 2016/2017


BAB I

PENDAHULUAN

KATARAK

Gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan


masyarakat dengan prevalensi kebutaan yang tinggi pada usia lanjut yang sebagian besar
disebabkan oleh katarak. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak
Indonesia maupun di dunia. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap
tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga
memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di
daerah subtropis, sekitar 16-22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55
tahun.6

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa akibat kedua-duanya. Biasanya
kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami
perubahan dalam waktu yang lama.1

Sebagian besar katarak timbul pada usia tua sebagai akibat pajanan kumulatif
terhadap pengaruh lingkungan dan pengaruh lainnya seperti merokok, radiasi UV, dan
peningkatan kadar gula darah. Kadang ini disebut sebagai katarak terkait usia. Sejumlah kecil
katarak berhubungan dengan penyakit mata atau penyakit sistemik spesifik dan memiliki
mekanisme fisikokimiawi yang jelas. Beberapa di antaranya juga bersifat kongenital dan
dapat diturunkan.2
BAB II

PEMBAHASAN

KATARAK

A. Definisi1,5

Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract, dan Latin Cataracta yang
berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup
air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang
dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat
dua-duanya.

Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak
mengalami perubahan dalam waktu yang lama.

Kekeruhan lensa ini mengakibatkan lensa tidak transparan, sehingga pupil akan
berwarna putih atau abu-abu. Pada mata akan tampak kekeruhan lensa dalam bermacam-
macam bentuk dan tingkat. Kekeruhan ini juga ditemukan pada berbagai lokalisasi di lensa
seperti kortek dan nucleus.

Katarak mungkin terjadi akibat usia lanjut atau sekunder hingga faktor herediter, trauma,
inflamasi, penyakit metabolik dan nutrisi atau radiasi. Katarak yang disebabkan usia lanjut paling
sering terjadi.

B. Klasifikasi1

Berdasarkan usia katarak dapat diklasifikasikan dalam :


1) Katarak congenital
Katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia
kurang dari 1 tahun.
Katarak kongenital digolongkan dalam katarak :
1. Kapsulolentikular dimana pada golongan ini termasuk katarak kapsular dan
katarak Polaris
2. Katarak lentikular termasuk dalam golongan ini katarak yang mengenai
korteks atau nucleus lensa saja.

Terdapat bentuk-bentuk katarak kongenital :


Katarak Polaris anterior
Katarak Polaris posterior
Katarak zonularis atau lamelaris
Katarak pungtata dan lain-lain

Untuk mengetahui penyebab katarak congenital diperlukan pemeriksaan riwayat


prenatal infeksi ibu seperti rubella pada kehamilan trimester pertama dan
pemakaian obat selama kehamilan.

2) Katarak juvenil
Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang mulai terbentuknya
pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih drai 3 bulan.
Katarak juvenile biasanya merupakan penyulit penyakit sistemik ataupun
metabolik dan penyakit lainnya seperti :
a. Katarak metabolic
Katarak diabetic dan galaktosemik (gula)
Katarak hipokalsemik (tetanik)
Katarak defisiensi gizi
Katarak aminoasiduria (termasuk sindrom Lowe dan homosistinuria)
Penyakit Wilson
Katarak berhubungan dnegan kelainan metabolic lain
b. Otot
Distrofi miotonik (umur 20-30 tahun)
c. Katarak traumatic
d. Katarak komplikata
e. Kelainan kongenital dan herediter (siklopia, mikroftalmia, aniridia, pembuluh
hialoid persisten, heterokromia iridis)
f. Katarak degenerative (dengan myopia dan distrofi vitreoretinal, seperti
Wagner dan retinitis pigmentosa, dan neoplasma)
g. Katarak anoksik
h. Toksik
i. Lain-lain kelainan congenital, sindrom tertentu, disertai kulit (sindermatik),
tulang (disostosis kraniofasial, osteogenesis inperfekta, khondrodistrofia
klasifikans kongenita pungtata), dan kromosom.
j. Katarak radiasi

3) Katarak senil
Katarak senil adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu
usia di atas 50 tahun. Penyebabnya sampai sekarang tidak diketahui secara pasti.
Ada beberapa macam yaitu :

a. Katarak Nuklear
Kekeruhan yang terjadi pada inti lensa.
b. Katarak Kortikal
Kekeruhan yang terjadi pada korteks lensa.
c. Katarak Kupliform
Terlihat pada stadium dini katarak nuclear atau kortikal.

Katarak senil secara klinik dikenal dalam 6 stadium :


1) Katarak insipien
Pada stadium ini akan terlihat kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk
jeriji menuju korteksanterior dan posterior. Vakuol mulai terlihat di dalam
korteks.
2) Katarak intumesen
Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa yang degeneratif
menyerap air. Biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan
mengakibatkan miopia lentikular.
Pada pemeriksaan slitlamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak
lamel serat lensa.
3) Katarak imatur
Katarak yang belum mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan
meningkatkan volume lensa.
4) Katarak matur
Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa.
5) Katarak hipermatur
Katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut. Pada pemeriksaan terlihat
bilik mata dalam lipatan kapsul lensa.
6) Katarak morgagni
Bila proses katarak berlanjut, maka korteks akan memperlihatkan bentuk
sebagai kantong susu disertai dengan nukelus terbenam di dalam korteks.

C. Faktor Resiko5
a. Diabetes Melitus
Seseorang yang menderita diabetes mellitus memiliki faktor resiko yang lebih tinggi
untuk menderita katarak. Dan seseorang dengan diabetes yang menderita katarak
memiliki morbiditas lebih tinggi daripada tanpa katarak.
b. Obat-obatan
Obat-obatan seperti phenothiazine atau thiazine lain dan chlorpromazine dapat menginduksi
terbentuknya katarak.
c. Radiasi ultraviolet
Pasien yang tinggal di lingkungan dengan radiasi UV-B yang tinggi memiliki insiden lebih
tinggi menderita katarak. Serta jika tidak memakai pelindung, seseorang yang sering terpapar
sinar UV beresiko terbesar menderita katarak.
d. Merokok
e. Alkohol
f. Nutrisi

D. Etiologi5

Etiologi katarak tidak diketahui. Katarak bisa disebabkan karena faktor usia lanjut,
herediter, trauma, maupun penyakit lainnya.

E. Epidemiologi8

Studi NHANES menunjukkan meningkatnya opasitas lensa dengan usia. Sekitar 12%
terjadi pada usia 45-54 tahun, 27% pada usia 55-64 tahun, dan 58 persen pada usia 65-74
tahun.

Prevalensi nasional katarak pada penduduk usia 45-54 tahun adalah sebesar 1,4%,
usia 55-64 tahun sebesar 3,2%, usia 65-74 tahun sebesar 5,5% dan usia 75 tahun Keatas
sebesar 7,6%.

F. Manifestasi Klinik2

Suatu opasitas pada lensa mata :

-hilangnya penglihatan tanpa rasa nyeri

-rasa silau

-penglihatan berkabut, berasap

-Sukar saat melihat dimalam hari atau penerangan redup


-Melihat halo disekitar sinar

-Penglihatan menurun

- Pada beberapa penderita tajam penglihatan yang diukur di ruangan gelap mungkin
tampak memuaskan, sementara bila tes tersebut dilakukan dalam keadaan terang
maka tajam penglihatan akan menurun sebagai akibat dari rasa silau dan hilangnya
kontras.

G. Penegakan Diagnosis7
Pemeriksaan :
1) Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen atau chart projector dengan koreksi
terbaik serta menggunakan pinhole
2) Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior
3) Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan tonometer non contact, aplanasi atau
Schiotz
4) Jika TIO dalam dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi
pupil dengan tetes mata Tropicanamide 0.5%. Setelah pupil cukup lebar
dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat derajat kekeruhan lensa
apakah sesuai dengan visus pasien
a. Derajat 1: Nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12,
tampak sedikit kekeruhan dengan warna agak keputihan. Reflek fundus
masih mudah diperoleh. Usia penderita biasanya kurang dari 50 tahun
b. Derajat 2: Nukleus dengan kekerasan ringan, biasanya visus antara
6/12 6/30, tampak nucleus mulai sedikit berwarna kekuningan. Reflek
fundus masih mudah diperoleh dan paling sering memberikan
gambaran seperti katarak subkapsularis posterior.
c. Derajat 3: Nukleus dengan kekerasan medium, biasanya visus antara
6/30 3/60, tampak nucleus berwarna kuning disertai kekeruhan
korteks yang berwarna keabuabuan.
d. Derajat 4: Nukleus keras, biasanya visus antara 3/60 1/60, tampak
nukleus berwarna kuning kecoklatan. Reflek fundus sulit dinilai.
e. Derajat 5: Nukleus sangat keras, biasanya visus biasanya hanya 1/60
atau lebih jelek. Usia penderita sudah di atas 65 tahun. Tampak nucleus
berwarna kecoklatan bahkan sampai kehitaman . katarak ini sangat
keras dan disebut juga sebagai Brunescence cataract atau Black
cataract.
5) Pemeriksaan funduskopi jika masih memungkinkan

Pemeriksaan penunjang :

1. USG untuk menyingkirkan adanya kelainan lain pada mata selain katarak

Pemeriksaan tambahan :

1. Biometri untuk mengukur power IOL jika pasien akan dioperasi katarak
2. Retinometri untuk mengetahui prognosis tajam penglihatan setelah operasi
H.
Tatalaksana7

1. Penatalaksanaan non bedah untuk visus lebih baik atau sama dengan 6/12, yaitu
pemberian kacamata dengan koreksi terbaik.
2. Jika visus masih lebih baik dari 6/12 tetapi sudah mengganggu untk melakukan
aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi medis lain untuk
operasi, pasien dapat dilakukan operasi katarak
3. Tatalaksana pasien katarak dengan visus terbaik kurang dari 6/12 adalah operasi
katarak berupa EKEK + IOL atau fakoemulsifikasi + IOL dengan mempertimbangkan
ketersediaan alat, derajat kekeruhan katarak dan tingkat kemampuan ahli bedah
4. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah
mikro, di mana pasien dipersiapkan untuk implantasi IOL
5. Ukuran IOL dihitung berdasarkan data keratometri serta pengukuran biometri A-scan
6. Apabila tidak tersedia peralatan keratometri dan biometri ukuran IOL dapat
ditentukan berdasar anamnesis ukuran kacamata yang selama ini dipakai pasien. IOL
standar power +20.00 dioptri, jika pasien menggunakan kacamata, power IOL standar
dikurangi dengan ukuran kacamata. Misalnya pasien menggunakan kacamata S -6.00
maka dapat diberikan IOL power +14.00 dioptri
7. Operasi katarak bilateral (operasi dilakukan pada kedua mata sekaligus secara
berturutan) sangat tidak dianjurkan berkaitan dengan risiko pasca
operasi(endoftalmitis) yang bisa berdampak kebutaan. Tetapi ada beberapa keadaan
khusus yang bisa dijadikan alas an pembenaran dan keputusan tindakan operasi
katarak bilateral ini harus dipikirkan sebaik-baiknya.

I. Indikasi pembedahan katarak3

Indikasi dilakukan operasi katarak ada tiga yaitu memperbaiki penglihatan, dimana
sejauh ini merupakan indikasi paling umum dikarenakan penderita telah merasa terganggu
dalam mengerjakan aktifitas sehari-hari. Indikasi medis merupakan indikasi kedua, dimana
katarak mempengaruhi kesehatan mata misalnya pada glaukoma phakolitik atau
phakomorfik. Indikasi ketiga adalah indikasi kosmetik, sifatnya jarang.

J. Pembedahan Katarak2
Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantianlensa
dengan implan plastik. Saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anestesi lokal
daripada anestesi umum. Anestesi lokaldiinfiltrasikan di sekitar bola mata dan kelopak mata
atau diberikan secara topikal. Jika keadaan sosial memungkinkan, pasien dapat dirawat
sebagaikasus perawatan sehari dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
Operasi ini dapat dilakukan dengan:

lnsisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior, diikuti oleh ekstraksi katarak
ekstrakapsular (extra-capsular cataract extraction, ECCE). Lnsisi harus dijahit.
Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melalui insisi
yang lebih kecil di kornea atau sklera anterior (fakoemulsifikasi). Biasanya tidak
dibutuhkan penjahitan. Sekarang metode ini merupakan metode pilihan di negara
Barat.

Kekuatan implan lensa intraokularyang akan digunakan dalam operasi dihitung


sebelumnya dengan mengukur panjang mata secara ultrasonik dan kelengkungan kornea
(maka juga kekuatan optik) secara optik. Kekuatan lensa umumnya dihitung sehingga pasien
tidak akan membutuhkan kacamata untuk penglihatan jauh. Pilihan lensa juga dipengaruhi
oleh refraksi mata kontralateral dan apakah terdapat katarak pada mata tersebut yang
membutuhkan operasi. Jangan biarkan pasien mengalami perbedaan refraktif pada kedua
mata.

Pascaoperasi pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotik jangka pendek.
Kacamata baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika bekas insisi telah sembuh.
Rehabilitasi visual dan peresepan kacamata baru dapat dilakukan lebih cepat dengan metode
fakoemulsifikasi. Karena pasien tidak dapat berakomodasi maka pasien akan membutuhkan
kacamata untuk pekerjaan jarak dekat meski tidak dibutuhkan kacamata untuk jaraklauh. Saat
ini digunakan lensa intraokular multifokal. Lensa intraokular yang dapat berakomodasi
sedang dalam tahap pengembangan.

K. Komplikasi pasca operasi7

(jika ada komplikasi yang harus diperhatikan)

1. Luka yang tidak sempurna menutup


2. Edema kornea
3. Inflamasi dan uveitis
4. Atonik pupil
5. Pupillary captured
6. Masalah yang berkaitan dengan IOL
7. Kekeruhan kapsul posterior
8. TASS (toxic anterior segment syndrom)
9. Capsular bag distention syndrom
10. Sisa massa lensa/korteks
11. Cystoid macular edema
12. Choroidal detachment
13. Ablasio retina
14. Endoftalmitis

L. Pencegahan4
a) Tidak merokok, karena merokok mengakibatkan meningkatkan radikal bebas
dalam tubuh, sehingga resiko katarak akan bertambah.
b) Atur makanan sehat, makan yang banyak buah dan sayur, seperti wortel.
c) Lindungi mata dari sinar matahari dengan menggunakan kacamata, karena sinar
ultraviolet mengakibatkan katarak pada mata.
d) Jaga kesehatan tubuh seperti kencing manis dan penyakit lainnya

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta & Sri Rahayu Yulianti. Ilmu Penyakit Mata, Ed.5, Jakarta : Badan Penerbit FK
UI, 2015, hal.210-218.
2. James, Bruce., dkk. Lecture notes Oftalmologi, Ed.9, Jakarta : Erlangga Medical
Series,2006, bab 8, hal.76-81
3. Situs http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6386/1/Siti%20Harilza
%20Zubaidah1.pdfdiakses pada 10 mei 2016
4. Situs http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21584/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 9 mei 2016
5. Situs https://www.aoa.org/documents/CPG-8.pdf diakses pada 9 mei 2016
6. www. Depkes.go.id diakses pada 9 Mei 2016
7. Situs http://www.inascrs.org/old/doc/PPM_1_katarak_rev03.pdf diakses pada 10 mei
2016
8. Situs
http://eprints.undip.ac.id/44479/2/Atika_Nithasari_22010110130174_Bab1KTI.pdf
diakses pada 10 Mei 2016

BAB I
PENDAHULUAN
PTERYGIUM

Pterigium merupakan pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat


subkonjungtiva pada mata dan dapat menganggu penglihatan. Pterigium merupakan penyakit
yang berpotensi menyebabkan kebutaan dan mengganggu kosmetik, pada stadium lanjut
memerlukan tindakan operasi untuk perbaikan visus.7
Pterigium lebih sering ditemui di daerah tropis dan subtropis. Prevalensinya semakin
tinggi pada daerah ekuator, secara geografis ada beberapa daerah di Indonesia yang terletak
diekuator. Di Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44
kali lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40
tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan perempuan 17,6%. Berdasarkan Laporan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, kejadian pterigium di Indonesia cukup tinggi yakni
26. 989 kasus pterigium pada kedua mata dan 16. 045 pasien mengalami pterigium pada salah
satu matanya. Di Provinsi Sumatera Utara, pasien yang mengalami pterigium pada kedua
mata sebanyak 372 orang dan pterigium pada salah satu mata sebanyak 204 orang.

Distribusi frekuensi pterigium juga dipengaruhi usia. Pterigium jarang ditemukan


pada pasien berusia di bawah 20 tahun. Pterigium umumnya dialami setelah usia 20 tahun,
dan pasien di atas 40 tahun memiliki prevalensi pterigium tertinggi. Prevalensinya juga lebih
tinggi pada laki-laki daripada perempuan, Karena laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas
diluar ruangan sehingga lebih sering berhubungan dengan faktor risiko terjadi pterigium
seperti sinar ultraviolet, debu, angin dan udara yang kering.

Pterigium dapat menutupi seluruh kornea atau bola mata. Etiologinya tidak diketahui
dengan jelas dan diduga suatu neoplasma radang ataupun degenerasi. Diduga disebabkan
iritasi yang terus menerus dari angin, sinar matahari, udara yang panas dan debu.8

BAB II
PEMBAHASAN
PTERYGIUM
A.
Definisi1,9

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degenerative dan invasive. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan
puncak bagian sentral atau didaerah kornea. Pterigium pertumbuhan berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
wing atau sayap. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritas, akan berwarna merah
dapat mengenai kedua mata.

B. Faktor Resiko10
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium
adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar
rumah,penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitiancase controlmenunjukkan riwayat keluarga dengan
pterygium , kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium.
Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry
eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium
C.
Klasifikasi6,11

Youngson, (1972) mengklasifikasikan pterigium primer menjadi 4 derajat.


Berdasarkan perluasannya ke kornea.

a. Derajat 1 bila pertumbuhan pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


b. Derajat 2 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati limbus kornea tapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3 bila pertumbuhan pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
melebihi tepi pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
d. Derajat4 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati tepi pupil.

Tan,(2002), membagi pterigium menjadi 3 tipe berdasarkan terlihat atau tidaknya


pembuluh darah episklera :
a. T1 (tipe atrofi) bila pembuluh darah episklera terlihat jelas
b. T2 (tipe intermediate) bila pembuluh darah episklera terlihat sebagian
c. T3 (tipe fleshy) bila pembuluh darah episklera tidak terlihat seluruhnya.

Pembagian tipe menurut Tan ini digunakan untuk menilai derajat keparahan pterigium.

Pembagian lain pterygium yaitu :

1) Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak
dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2) Tipe II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi,berpengaruh dengan tear filmdan menimbulkan astigmatisma.
3) Tipe III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.

Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :

Progresif pterygium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala
Pterygium (disebut cap pterygium).
Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.

D. Etiologi5

Etiologi pterygium tidak diketahui. Penyebab bersifat multifaktorial, dapat berupa


paparan sinar matahari, debu, ataupun udara kering.
E. Epidemiologi11

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.
Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi
adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 37 0 Lintang Utara dan Selatan
dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada
daerahyang terletak di atas 400Lintang.
Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat
dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara
20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua.
Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan
rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.

F. Patofisiologi/Patogenesis2

Patofisiologi Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi


fibrovaskular dengan penutupan epitel.

G. Manifestasi Klinik3,10

Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi
dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel
kornea anterior dari kepala pterygium (stoker's line).

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga
yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan
bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo
timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium.
Pada awal proses, pterygium biasanya asimptomatik. Walaupun begitu, terdapat tanda-
tanda mata kering seperti rasa terbakar, gatal, atau air mata.
H. Penegakan Diagnosa2,4
1) Anamnesis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
a. mata sering berair dan tampak merah
b. merasa seperti ada benda asing
c. timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,
biasanya astigmatisme with the ruleataupun astigmatisme irreguler sehingga
mengganggu penglihatan
d. pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun

2) Pemeriksaan oftalmologis
Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang
mengarah ke kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan
berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat
dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson) :
a. Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
c. Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Topografi kornea dapat berguna untuk menentukan derajat astigma ireguler yang
diinduksi oleh pterygium
b. External fotografi bisa membantu spesialis mata dalam progresi pterygium

I. Diagnosa Banding1
1) Pseudopterigium
2) Pannus
3) Kista dermoid

J. Tatalaksana4,10
1) Penatalaksanaan bersifat non bedah, penderita diberi penyuluhan untuk mengurangi
iritasi maupun paparan terhadap ultraviolet.
2) Pada pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat
tetes
3) mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
4) Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita
dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
5) Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut
ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior
untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu
memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.

Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya
ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan
yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata.

Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin. Suatu
tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan pisau yang
datar untuk mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada
limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar
otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik
operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk
melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu
daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek
konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva
digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai
dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium,
mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru
mengungkapkan menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblast pterygium.
Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi
rekuren tetapi jarang digunakan.
7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru
dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.

K. Komplikasi10

Komplikasi pterygium :
a. Merah
b. Iritasi
c. Skar kronis pada konjungtiva dan kornea
d. Pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada
otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia.
e. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterygium yang ada

Komplikasi post eksisi pterygium :

a. Infeksi
b. Reaksi bahan jahitan (benang)
c. Diplopia
d. Skar kornea
e. Konjungtiva graft longgar
f. Komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau
retinal detachment
g. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium postoperasi.

L. Pencegahan1
Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu, dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta & Sri Rahayu Yulianti. Ilmu Penyakit Mata, Ed.5, Jakarta : Badan Penerbit FK
UI, 2015, hal.119-120
2. Artikel Pterygium di www.medscape.com penulis Jerome P Fisher,MD,FACS, diakses pada
10 Mei 2016
3. Jurnal Management of Pterygium by Ardalan aminlari, MD, Ravi singh, MD, and
David liang, MD di situs www.aao.org diakses pada tanggal 10 Mei 2016
4. Situs http://www.inascrs.org/old/doc/PPM_2_pterigium_rev02.pdf diakses pada 10
Mei 2016
5. Situs http://indonesia.digitaljournals.org diakses pada 10 Mei 2016
6. Situs http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-Vol%2013%20No%201%20Jan
%202011.pdf diakses pada 10 Mei 2016
7. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-JOI%20Vol%207%20No%204%20Des
%202010%20%28Djajakusli%20S%29.pdf diakses pada 10 Mei 2016
8. Situs http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/54769/5/Chapter%20I.pdf
diakses pada 10 Mei 2016
9. Situs http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf diakses
pada 10 Mei 2016
10. Situs http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22521/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 10 Mei 2016
11. Situs https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1114128103-3-BAB%20II.pdf diakses pada 10
Mei 2016

Anda mungkin juga menyukai