Anda di halaman 1dari 2

Alin adalah seorang anak desa yang sedang berusaha mengadu nasib ke

kota. Kemana pun ia mencari pekerjaan, tak satupun perusahaan di kota ini
mau menerimanya dikarenakan ia hanya memiliki ijazah SMP. Alin memang
berasal dari keluarga miskin sehingga sebelum melangkah ke jenjang SMA,
ia putus sekolah.

Alin: Haaah kemana lagi aku harus melamar pekerjaan? Sementara


uang bekalku masih sisa sedikit (keluh Alin sembari meninggalkan
toko yang menolaknya).
Hingga akhirnya ia melihat seorang teman lamanya yang telah mengadu
nasib lebih dahulu darinya di kota Denpasar. Ia adalah seorang karyawati
yang hidupnya makmur dan berkecukupan.

Alin : Tunggu dulu, bukannya itu Tamara?


Kemudian dengan

Alin :Tamaraaaa!!! Hei


Tamara :Ya? (Sembari menoleh ke arah datangnya suara)
Alin :Masih ingat denganku?
Tamara :Eeehm Maaf tapi Ah iya! Kamu Alin kan? Alin!!! (lalu
memeluk Alin dengan erat)
Alin :Iya, ahaha aku kira kamu sudah lupa denganku Ra.
Tamara :Mana mungkin aku bisa lupa dengan orang sebaik kamu. Tapi
ngomong-ngomong apa yang sedang kamu kerjakan disini?
Alin :Ah iya, aku sedang melamar pekerjaan disini. Ternyata susah juga
ya daritadi aku gagal terus. (keluh Alin)
Tamara :Ya begitulah Lin, mencari pekerjaan disini memang cukup
susah. Aku saja dulu butuh waktu berminggu-minggu hingga
mendapat perkerjaan sebagai karyawati.

Alin :Kamu lebih beruntung daripada aku, Ra. Sementara sekarang aku
belum ada perkembangan.

Tamara :Memangnya kamu mau melamar menjadi apa Lin?

Alin :Apa saja bisa kok, hanya saja aku ingin menjadi karyawan di toko
roti, mengingat pendidikanku tidak terlalu tinggi.

Tamara :

Lalu alin berusaha meminta bantuan kepada Tamara untuk mencarikannya


pekerjaan di kantornya. Namun hasilnya nihil, ia tidak diterima kembali. Alin
memutar otak dan memikirkan segala kelebihannya yang dapat ia gunakan
untuk mendapatkan pekerjaan. Belum lagi di kota ini susah mendapatkan
pekerjaan yang langsung memakmurkan pegawainya. Ditengah
kegagalannya, ia merasa pasrah dan hampir putus asa. Alin galau setiap
malamnya dan hanya memandangi langit, ah bukan, langit langit kamar
kontrakannya yang sudah berlubang. Pikirannya kalang kabut. Tamara
sebagai temannya merasa sangat sedih. Ia ingin membantu tapi tidak tahu
apa yang harus dilakukannya. Dengan ketulusan hatinya, Tamara mengajak
Alin tinggal di rumahnya mengingat Alin memerlukan tempat tinggal yang
layak.

Suatu hari, Alin berjalan di sepanjang jalan dekat rumah yang ia dan Tamara
tempati. Ia mampir ke tempat dimana Pak Wewe menjual kue, yaitu TOKO KUE
WEWE. Ia membeli sebuah roti buatan Pak Wewe untuk dimakan bersama Tamara.
Namun setelah dicicipinya, Alin merasa bahwa kue tersebut kurang enak, sehingga
ia merasa ragu untuk memberikan bagi Tamara. Dalam hatinya, Alin berpikiran
bahwa ia saja dapat membuat kue yang jauh lebih enak dari yang dibuat Pak Wewe.
Lantas ia pulang ke rumah dengan hati bimbang.

Di suatu sore itu sepulang kuliah, Made yang merupakan mahasiswa yang cerdas
dan kaya raya merasa sangat letih dan lapar. Terlebih lagi sejak siang ia disibukkan
dengan kegiatan membuat laporan yang diberikan oleh dosennya. Sepulang kuliah,
Made merasa lapar. Karena sudah tidak tahan lagi, ia pun terpaksa makan roti ke
tempat nya Pak Wewe, walaupun tidak level. Sesampai disana, ia memesan kue,
dan ternyata rasanya hambar. Tapi tetap dimakan karena lapar. Karena hujan, made
malas untuk pulang. Akhirnya ia ngobrol bersama Pak Wewe. Pak Wewe yang
mendengar keluhan Made akan rasa rotinya yang hambar, merasa gusar dan emosi.
Ia tidak tahu harus marah kepada siapa dan tidak tahu jalan keluar dari
permasalahan ini. Bermalam-malam, Pak Wewe yang masih Single ini tidak bisa
tidur, tidak lain tidak bukan jelas karena dia takut toko kue buatannya akan
bangkrut di kemudian hari karena tidak sanggup membuat kue yang selezat kue
mahal tapi murah sehingga dapat dijangkau khalayak banyak.

Anda mungkin juga menyukai