Anda di halaman 1dari 18

Biologi Molekular Hirschsprungs Disease

Hirschsprungs disease (HSCR) merupakan sebuah kelainan


perkembangan pada sistem saraf enterik, yang terjadi karena kegagalan sel-sel
neural crest untuk memenuhi koloni usus selama proses perkembangan embrionik.
Hirschsprungs disease dikarakteristikkan dengan tidak adanya ganglia enterik
sepanjang usus tertentu. Telah banyak kemajuan pengetahuan mengenai dasar
genetika HSCR dengan bantuan teknik analisis genetika lanjut serta hewan
percobaan. Telah ditemukan adanya lebih dari 11 gen yang berperan dalam
patogenesis HSCR. Gen RET merupakan gen yang paling berperan penting
terhadap HSCR baik pada rangkaian mutasi koding dan non-koding. Karena
luasnya kompleksitas fenotip dan genetik yang terdapat pada HSCR, analisis
mutasi memiliki keterbatasan nilai praktikal pada konseling genetik dan praktik
klinik. Dalam review ini, kami akan mendiskusikan kemajuan yang didapatkan
dalam hal pengetahuan genetikan molekular HSCR dan meringkas gen yang telah
diketahui dan juga interaksi antara jalur dan lokus gen-modifying pada HSCR.
Kata Kunci : Hirschsprungs disease; genetika; gen kerentanan; patogenesis

Hirschsprungs disease (HSCR), juga disebut sebagai intestinal


aganglionosis, merupakan sebuah anomali kongenital pada usus besar (kolon)
yang berasal dari abnormalitas perkembangan sistem saraf enterik (ENS). Patologi
HSCR dikarakteristikkan dengan tidak adanya sel ganglion pada pleksus
myenterik dan pleksus submukosa pada usus bagian distal, sehingga
mengakibatkan hilangnya peristaltik pada usus yang terganggu. Hal ini
mengakibatkan dilatasi dan hipertrofi kolon proksimal yang memunculkan gejala-
gejala megakolon. Secara klinis, berdasarkan panjangnya segmen aganglionik,
HSCR dapat diklasifikasikan menjadi HSCR segmen pendek (S-HSCR, 80%
kasus) dan HSCR segmen panjang (L-HSCR, 20% kasus). Pada S-HSCR, segmen
aganglionik hanya melibatkan rektum dan kolon sigmoid distal saja, sedangkan
pada L-HSCR segmen aganglioniknya mencapai bagian yang lebih proksimal.
Pada sedikit kasus L-HSCR, seluruh kolon dapat terganggu dan dapat
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi Total Colonic Aganglionosis. Insidens HSCR

1
berbeda antar populasi. Populasi orang Asia menunjukkan insidens tertinggi
sebesar 2.8:10.000 dan orang Hispanik memiliki insidens terendah sebesar
1:10.000 kelahiran hidup. Terdapat variasi jenis kelamin yang signifikan pada
insidens HSCR. Rasio pria:wanita adalah sebesar 4:1 pada pasien S-HSCR dan
1:1 pada pasien L-HSCR. Walaupun HSCR umumnya nampak sebagai kasus
sporadik, 20% kasus HSCR bersifat familial dengan pola penurunan yang
kompleks. Pada 30% pasien, HSCR dihubungkan dengan abnormalitas kromosom
atau anomali kongenital multiple, yang juga disebut sebagai sindrom HSCR.

ENS mamalia terdiri dari berbagai subtipe neuronal berbeda sepanjang


dinding usus. Mayoritas ENS terdiri dari sel vagal neural crest setingkat somit 1-
7. Pada masa embrionik (E) hari 9.0-9.5, NCC vagal akan menginvasi foregut
untuk menjadi NCC enterik, yang bermigrasi searah rostocaudal untuk
mengkolonisasi keseluruhan panjang usus. Kolonisasi usus oleh NCC enterik
memerlukan ekspresi faktor transkripsi tertentu dan stimulasi faktor pertumbuhan
spesifik. Gangguan faktor regulatorik tersebut menjadi potensi kegagalan
perkembangan ENS yang mengakibatkan timbulnya HSCR. Sanden et al.
menunjukkan bahwa ablasi neural crest somit 3-5 mengakibatkan aganglionosis
pada hindgut. NCC embrionik tidak bermigrasi ke dinding intestinal,
perkembangan ENS terhambat dan tidak terdapat adanya ganglia pada dinding
usus. Li et al. mengamati ekspresi embrionik marker neuronal pada ENS dan
mendapatkan bahwa perkembangan ENS kolonik memiliki beberapa tahapan.
Ditunjukkan bahwa HSCR merupakan sebuah kelainan perkembangan yang
disebabkan oleh defek pada proses migrasi NCC. Barrier / penahan pada stadium
perkembangan yang berbeda menunjukkan tipe HSCR klinis yang berbeda.

Jelas bahwa kebanyakan kasus HSCR, jika tidak semuanya, terjadi karena
kegagalan NCC untuk memenuhi kolonisasi usus selama perkembangan
embrionik, dan dihubungkan dengan 1 atau lebih mutasi genetik. Sekitar 50%
kasus HSCR digambarkan sebagai mutasi gen spesifik yang terlibat pada
perkembangan embrionik dini. Telah terdapat kemajuan yang signifikan dalam hal
pengetahuan genetika molekular yang mendasari patogenesis HSCR. Identifikasi
defek gen spesifik memungkinkan analisis genetika secara langsung tanpa perlu

2
memeriksa DNA anggota keluarga lainnya. Dengan menganalisis fenotip pada
mutasi gen target, peranan gen tersebut dalam perkembangan ENS dapat
diketahui. Disini kami akan mereview kemajuan yang didapatkan dalam hal
pengetahuan genetikan molekular HSCR dan meringkas gen HSCR yang telah
diketahui.

GEN KERENTANAN HSCR MAYOR


Gen RET dan Jalur Signaling RET/GDNF/GFR1
Gen RET terletak pada kromosom 10 band q11.2 dan mengkode reseptor
tirosin kinase. Terdapat 3 isoform RET; RET51, RET43, dan RET9. RET
merupakan sebuah reseptor signaling kompleks multimolekular yang mengikat
faktor pertumbuhan sel glial dari kelompok faktor neutrofik (GDNF) dan
kelompok GDNF co-receptor- (GFR1). Jalur signaling RET/GDNF/GFR1
memiliki peranan penting pada perkembangan ENS. RET telah ditunjukkan
berhubungan dengan karsinoma tiroid papillar (PTC) melalui penyusunan ulang
kromosom. Titik mutasi RET ditemukan berperan terhadap diturunkannya kanker
tiroid medular (MTC) dan sindrom neoplasian endokrin multiple tipe 2 (MEN2).
Selain itu, titik mutasi pada gen RET diidentifikasi pada hingga 50% MTC
sporadik. Takahashi et al. melaporkan bahwa HSCR dan MEN2A/FMTC saling
memisahkan. Walaupun adanya mutasi fungsi pada gen RET dapat mengakibatkan
MEN2A/FMTC, telah dilaporkan adanya kehilangan fungsi mutasi pada pasien
HSCR. Martucciello et al. melaporkan sebuah kasus aganglionosis kolonik total
yang dihubungkan dengan hilangnya lengan panjang kromosom 10 interstisial.
Telah ditunjukkan adanya mutasi RET homozigot pada tikus yang mengalami
aganglionosis usus total dan agenesis ginjal, yang menunjukkan bahwa RET
merupakan gen yang menyebabkan kerentanan HSCR. Hingga saat ini telah
teridentifikasi lebih dari 100 mutasi yang melibatkan gen RET, termasuk delesi
besar, mikrodelesi, insersi, missense, nonsense, dan utasi splicing. Mutasi pada
daerah koding gen RET mencakup hingga 50% kasus HSCR familial dan 7%-35%
kasus HSCR sporadik. Mayoritas mutasi HSCR terjadi baik karena penurunan
dosis / jumlah protein RET atau hilangnya fungsi RET. Konsekuensi fungsional
mutasi RET pada HSCR berhubungan dengan posisinya pada sekuensi koding dan

3
diklasifikasikan menjadi 5 kelompok: Mutasi Kelas I terletak pada regio single
peptide (SP) dan cadherin repeat domain (CAD) protein RET. Mutasi pada
domain ekstrakurikuler tersebut mengganggu maturasi RET dan translokasinya
pada membran plasma. Mutasi Kelas II terletak pada regio cysteine-rich (CYS)
dan transmembrane (TM) protein RET, yang menurunkan ekspresi RET pada
permukaan sel dan mengganggu proliferasi dan migrasi neuron enterik selama
embriogenesis. Diantara mutasi tersebut, C609, C611, C618, dan C620 memiliki
dampak ganda terhadap RET. Di sisi lain, mutasi tersebut mengaktivasi reseptor
RET sehingga menyebabkan proliferasi sel C tiroid tidak terkontrol, seperti yang
didapatkan pada MEN2A dan FMTC. Selain itu, mutasi juga menyebabkan
penurunan ekspresi RET pada membran plasma sehingga menyebabkan apoptosis
neuron enterik, seperti yang didapatkan pada HSCR. Mutasi kelas III
mempengaruhi regio tyrosine kinase (TK) dengan cara mengganggu aktifitas
katalitik RET secara parsial atau komplit. Mutasi kelas IV mempengaruhi asam
amino pada ekor carboxyl-terminal dan mengganggu ikatan efektor atau adaptor
protein terhadap RET. Mutasi kelas V terjadi pada sekuens regulatorik dan
perubahan ekspresi gen RET.

RET juga berperan untuk meningkatkan apoptosis. Jika terdapat ligan,


RET akan menghasilkan sinyal kontrol positif (stimulasi) untuk menjaga
perkembangan sel dan survival. Jika tidak terdapat ligan, RET menghasilkan
sinyal regulasi negatif (inhibisi) dan meningkatkan apoptosis. Bordeaux et al.
menunjukkan bahwa RET dapat menginduksi apoptosis pada sel 293T. Efek
apoptosis RET ini diinhibisi jika terdapat ligan GDNF. Berdasarkan hal tersebut,
dikatakan bahwa tidak hanya mutasi RET dan gangguan transduksi sinyal yang
dapat menyebabkan HSCR, namun juga dapat terjadi karena apoptosis neuroblast
enterik yang mengekspresikan RET. Mutasinya dihasilkan oleh mutagenesis dan
bentuk mutan tersebut masuk kedalam sel untuk mempengaruhi kontrol GDNF
terhadap apoptosis akibat RET. Apoptosis ditemukan pada sel dengan gen mutan
tampa memperhatikan ada atau tidak adanya GDNF. Oleh karena itu, mekanisme
mutasi RET pada HSCR kemungkinan terdiri dari 2 bagian, yaitu transduksi sinyal
sel abnormal yang diakibatkan oleh mutasi RET yang menyebabkan kolonisasi

4
NCC abnormal di usus, dan regulasi negatif sinyal induksi gen GDNF ligan RET
untuk meningkatkan apoptosis sel progenitor neural crest.

Gen RET berhubungan erat dengan patogenesis HSCR. Tidak hanya


karena mutasi RET lebih banyak dideteksi pada kasus HSCR, namun juga karena
analisis hubungan menunjukkan bahwa pada 90% keluarga, HSCR berhubungan
dengan gen RET. Beberapa mutasi gen non-koding pada HSCR sporadik
ditunjukkan berhubungan dengan gen RET, mengindikasikan bahwa region non-
koding gen RET juga memiliki peranan yang penting terhadap HSCR. Walaupun
mekanisme pasti yang mendasari HSCR masih belum jelas, telah ditunjukkan
ahwa RET memiliki efek yang dominan terhadap patogenesis HSCR.

Tes ketidakseimbangan transmisi dan analisis case-control terhadap HSCR


sporadik telah menunjukkan bahwa frekuensi polimorfisme gen RET dan
komposisi haplotip lokus polimorfik berhubungan dengan HSCR. Borrego et al.
melakukan sebuah penelitian populasi terhadap pasien HSCR dari Spanyol dan
menemukan bahwa varian sekuens RET terlihat jelas pada pasien HSCR.
Penemuan yang sama juga dilaporkan dalam serial kasus HSCR dari basis
populasi yang berbeda di Italia, Spanyol, Perancis, Jerman, dan Inggris. Fitze et
al. menggunakan assay dual-luciferase untuk mengevaluasi haplotip promotor
RET pada 80 pasien HSCR. Mereka menemukan adanya perbedaan yang
signifikan antara haplotip AC pada kasus HSCR (68.8%) jika dibandingkan
dengan kasus kontrol (25%), menunjukkan adanya peranan haplotip RET pada
HSCR. Garcia-Barcelo et al. menemukan adanya promoter RET SNPs, -5GA, dan
-1C-A pada HSCR. Analisis fungsional promoter RET SNPs menunjukkan bahwa
alel yang berhubungan dengan HSCR akan menurunkan transkripsi RET.

Emison et al. menemukan bahwa varian RET non-koding yang umum


didapatkan dalam sekuens in intron 1 berhubungan signifikan dengan kerentanan
menderita HSCR dan dapat menjelaskan berbagai sifat pola turunan kompleks
dari HSCR. Mereka menganggap bahwa mutasi RET, baik koding atau non-
koding, kemungkinan berperan pada semua kasus HSCR. Burzynski et al.
meneliti kasus HSCR untuk menilai regio promoter gen RET dan intron 1 SNP
dan menemukan adanya 6 loki SNP pada 55.6% pasien HSCR jika dibandingkan

5
dengan 16.2% pada pasien kontrol. Resiko kejadian HSCR pada haploid
heterozigot 2 kali lebih tinggi daripada populasi normal dan 20 kali lebih tinggi
daripada haploid homozigot. Dari analisis intron RET kami terhadap populasi
pasien China yang menderita HSCR, kami menemukan bahwa frekuensi transmisi
RET+3: alel T yang tinggi menyebabkan peningkatan kerentanan menderita
HSCR. Pada haplotip SNP RET+3, diestimasikan adanya peningkatan resiko
menderita HSCR sebesar 5.7 kali lipat pada pria dan 2.1 kali lipat pada wanita.
Kami juga menemukan bahwa distribusi polimorfisme lainnya pada intron 1
berbeda signifikan antara kasus dan kontrol. Diatara polimorfisme tersebut, 2
haplotip berhubungan erat dengan HSRC. Emison et al. meneliti 882 proband
dengan HSCR dan 1478 anggota keluarga pertama dari keluarga di Amerika
Serikat, Eropa, dan China dan menemukan bahwa mutasi umum, secara sendiri-
sendiri dan bersama sama berkontribusi terhadap resiko HSCR. Distribusi varian
RET pada berbagai pasien HSCR menunjukkan adanya model genetika cellular-
recessive dimana kedua fungsi alel RET terganggu. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa mutasi gen RET non-koding, khususnya pada daerah intron 1, memiliki
peranan penting terhadap patogenesis HSCR dan berhubungan dengan tingkat
ekspresi gen RET. Ketika tingkar ekspresi gen RET menurun, maka kerentanan
menderita HSCR akan meningkat. Efek polimorfisme dan haplotip RET
kemungkinan berperan dalam mekanisme patogenesi HSCR. Uesaka et al.
menunjukkan bahwa ketika ekspresi RET berkurang hingga 1/3 dari nilai normal,
maka akan terjadi aganglionosis kolon. Harus diketahui bahwa jika dibandingkan
dengan ras lain, RET SNPs dan haplotip HSCR jauh lebih tinggi pada populasi
orang China, tidak hanya pada pasiennya namun juga pada populasi umum. Hal
tersebut dapat menjelaskan tingginya insidens HSCR pada populasi China
daripada populasi Kaukasia.

Ligan golongan GDNF (GFLs) dilaporkan meningkatkan survival sel


prekursor selama perkembangan ENS. Tikus GDNF dan knockout GFR1
homozigot ditunjukkan mengalami defek berat pada persarafan enterik dan
perkembangan ginjal, sama dengan yang ditemukan pada tikus dengan mutasi
RET. Mutasi GDNF pada pasien HSCR mengakibatkan penurunan afinitas ikatan
terhadap GFR1 yang signifikan. Walaupun tidak ada mutasi GDNF pada pasien

6
HSCR yang cukup untuk menyebabkan penyakit, mutasi tersebut dapat
berkontribusi terhadap patogenesis HSCR bersama dengan lesi genetik lainnya.
Oleh karena itu, GDNF dianggap sebagai gen kerentanan HSCR yang langka (<
5%). Telah dilaporkan adanya mutasi neurturin missense heterozigot (NTN) pada
seluruh anggota keluarga besar termasuk 4 anak dengan fenotip aganglionosis
berat. Peneliti menganggap bahwa mutasi NTN tidak cukup untuk menyebabkan
HSCR karena kelompok multipleks tersebut juga berbeda dengan mutasi RET.
Maka disimpulkan bahwa rangkaian kejadian genetik independen dan aditif
tersebut sesuai dengan pola turunan multigenik yang diharapkan terjadi pada
HSCR, dan makin meyakinkan adanya peranan ligan RET pada perkembangan
ENS. Dalam sebuah artikel terbaru, Ruiz et al. menganalisa sekuens koding gen
kelompok GDNF pada pasien HSCR dan mengonfirmasi keterlibatan NTN pada
HSCR. Tidak ada tanda-tanda mutasi GFR1 pada pasien HSCR. Walaupun
ditemukan varian GFR2 pada beberapa pasien HSCR, namun tidak ada indikasi
keterlibatan GFR2 sebagai penyebab HSCR.

Gen dan Jalur Sinyaling EDNRB/EDN3


Gen EDNRB terletak pada kromosom 13q22. Gen tersebut mengkode 442
protein residu reseptor heptahelikal, juga dikenal sebagai reseptor G-protein-
coupled yang memiliki 7 domain transmembran. Daerah reseptor ekstraselular dan
domain transmembran terlibat dalam ikatan ligan, sedangkan domain intraselular
terlibat dalam jalur sinyaling G-protein-mediated intraselular. EDNRB dan ligan
EDN3 nya memiliki peranan penting dalam perkembangan normal 2 jalur sel dari
neural crest, neuron enterik, dan melanosit pada tikus dan manusia. Peranannya
pada perkembangan melanosit dan enterik ditunjukkan melalui gangguan gen
Edn3 dan Ednrb pada tikus. Gangguan pada Ednrb mengakibatkan fenotip
autosomal resesif dengan bintik putih dan aganglionik megakolon. Melalui
fenotipik non-komplemen dan analisis molekular, ditemukan bahwa Ednrb se-alel
dengan 2 alel hipopigmentasi lainnya pada tikus (piebald, s, mutasi hipomorfik;
dan piebald-lethal, sl, delesi gen). Selain itu, juga ditunjukkan bahwa delesi
enkoding gen Edn3 se-alel dengan spotting dan mutasi aganglionosis pada tikus
putih. Walaupun fenotip tikus dengan mutasi EDNRB dan EDN3 nampak sama,

7
tetap terdapat perbedaan. Tikus knockout EDNRB (Ednrb -/-) dan piebald-lethal
hampir tidak memiliki warna bulu dengan rentan yang bervariasi, biasanya
menderita megakolon dan tidak selamat hingga dewasa. Namun, tikus dengan
mutasi pada Edn3 (Edn3 -/-, lethal-spotting) menunjukkan pogmentasi lebih dari
20%-30% di tubuh mereka, dan setidaknya 15% selamat hingga dewasa.
Penemuan ini menunjukkan bahwa jalur signaling EDNRB/EDN3 memiliki
peranan penting pada perkembangan sel dari neural crest.

Keluarga (komunitas) Mennonite dikenal sebagai populasi genetik dengan


insidens HSCR yang tinggi. Kebanyakan individu dengan gangguan gen dalam
keluarga ini akan menderita HSCR, namun beberapa mengalami sindrom
Waardenburg tipe 4 (WS4). Telah diidentifikasi adanya lokus kerentanan pada
13q22 dengan analisis linkage yang dilakukan pada keluarga Mennonite, dan
mutasi missense (W276C) pada gen EDNRB dikonfirmasi berhubungan dengan
HSCR. Mutasinya sensitif terhadap dosis, dimana W276C homozigot dan
heterozigot memiliki resiko menderita HSCR sebesar 74% dan 21%. Dapat
dikatakan bahwa homozigot memiliki kemungkinan yang tinggi untuk mengalami
fenotip berat, sedangkan pada beberapa kasus heterozigot dapat memiliki 1 atau
lebih sifat HSCR dengan penetrans yang rendah. Hingga saat ini, telah
diidentifikasi lebih dari 20 mutasi EDNRB yang berbeda, termasuk delesi skala
besar pada HSCR familial dan sporadik, yang mencakup sekitar 5% dari seluruh
pasien HSCR. Mutasi yang berbeda tersebut ditemukan terpencar diseluruh
protein, menyebabkan gangguan ikatan ligan dan penurunan sinyal transduksi.
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap mutasi EDN3 menunjukkan hasil
observasi yang sama seperti pada EDNRB. Diidentifikasi adanya 2 mutasi EDN3
homozigot pada pasien WS4 yang menderita HSCR. Juga telah diidentifikasi
beberapa mutasi EDN3 heterozigot baru pada pasien HSCR. Endothelin
converting enzyme 1 (ECE1) terlibat dalam proses proteolitik EDN3 menjadi
peptida yang aktif secara biologis. Tikus dengan defisiensi ECE1 mengalami
kekurangan neuron enterik dan melanosit epidermal / koroidal, menghasilkan
fenotip tikus knockout Edn3 dan Ednrb. Hofstra et al. menjelaskan keterlibatan
gen ECE1 pada HSCR. Pasien mengalami HSCR skip-lession, defek jantung, dan
disfungsi autonomik.

8
Penelitian telah menemukan bahwa mutasi gen EDNRB/EDN3 cenderung
menghasilkan S-HSCR, sedangkan mutasi RET nampaknya memiliki peranan
penting pada L-HSCR. Hal tersebut mungkin terjadi karena regulasi relevan
EDNRB/EDN3 dan RET dari NCC pada waktu yang berbeda. EDNRB
dieskpresikan secara primer pada NCC yang sedang bermigrasi, sedangkan EDN3
dieskpresikan pada mesoderm hindgut dan pada sekum tinggi serta kolon
proksimal. Pola ekspresi tersebut menunjukkan bahwa sinyaling EDN3-EDNRB
berperan dalam regulasi migrasi NCC normal. Oleh karena itu, mutasi EDN3-
EDNRB dipercaya terjadi pada NCC yang sedang bermigrasi ke arah hindgut, dan
umumnya hindgut yang mengalami gangguan, seperti yang sering didapatkan
pada S-HSCR. Saat ini telah diketahui bahwa jalur sinyaling EDN3-EDNRB pada
sel saraf enterik merupakan hal yang penting selama proses kolonisasi usus halus
dan kolon. Mutasi RET pada ENS terjadi di sepanjang usus, seperti yang sering
didapatkan pada L-HSCR. Diestimasikan bahwa mutasi RET mencakup sekitar
50% kasus HSCR dan mutasi EDNRB pada sekitar 5% kasus, sedangkan S-
HSCR terjadi pada sekitar 25% kasus yang berhubungan dengan RET dan lebih
dari 95% pada kasus yang berhubungan dengan EDNRB.

Gen SOX10
Gen SOX10 mengkode faktor transkripsi asam amino 466 yang
mengandung domain ikatan DNA mobilitas tinggi (HMG) dan domain
transaktivasi C-terminal. SOX10 mengeluarkan efeknya melalui ikatan dengan
promoter atau enhancer pada gen target, sendiri atau bersama dengan faktor
transkripsi lainnya. SOX10 merupakan faktor transkripsi utama selama migrasi
dan diferensiasi sel neural crest. Ketertarikan mengenai peranan fungsional
SOX10 meningkat sejak adanya penemuan bahwa fenotip neurokristopati pada
tikus Dominant megacolon (Dom) dihubungkan dengan mutasi SOX10. Telah
diidentifikasi adanya mutasi gen SOX10 pada tikus Dom heterozigot dengan
aganglionosis dan hipopigmentasi, sedangkan tikus mutan Dom SOX10
homozigot bersifat letal embrionik. Selain itu, tikus yang tidak memiliki ekspresi
SOX10 ditunjukkan mengurangi jumlah sel prekursor neural, mengindikasikan
bahwa SOX10 memiliki peranan penting dalam menjaga status fungsional sel

9
progenitor neural di usus. Pingault et al. menunjukkan bahwa pasien dengan WS4
mengalami mutasi SOX10, sedangkan tidak didapatkan adanya mutasi pada
pasien dengan HSCR saja. Mutasi tersebut kemungkinan mengakibatkan
haploinsufisiensi produk SOX10, mengindikasikan bahwa SOX10 merupakan gen
kerentanan utama untuk WS4. Hingga saat ini hanya ada 1 laporan kasus mutasi
SOX10 yang berhubungan dengan pasien HSCR. Oleh karena itu, kecil
kemungkinan SOX10 menjadi gen utama pada patogenesis HSCR dan mutasinya
pada HSCR sindromik tidak lebih dari 5% kasus HSCR.

Gen ZFHX1B
Gen ZFHXIB mengkode Smad-interacting protein-1 (SMADDIP1 atau
SIP1), sebuah repressor transkripsional yang terlibat dalam jalur sinyaling
transforming growth factor-. ZFHXIB merupakan gen yang sangat evolusioner,
banyak terekspresi selama perkembangan embrionik. Tikus mutan yang
kehilangan protein ZFHXIB dalam NCC mereka menunjukkan kelainan spesifik
pada perkembangan melanosit dan juga defek pada sistem saraf perifer traktus
gastrointestinal dan hilangnya NCC vagal. Mowat-Wilson Syndrome (MWS)
merupakan sebuah anomali kongenital multiple yang ditandai dengan sifat fasial
yang khas, defisiensi intelektual, dan epilepsi, serta kadang-kadang disertai
dengan HSCR. Wakamatsu et al. melaporkan mutasi nonsense gen ZFHXIB pada
pasien MWS. Mutasi tersebut mewakili null alel, menunjukkan bahwa
haploinsufisiensi ZFHXIB cukup untuk menyebabkan fenotip MWS. Hingga saat
ini, telah diketahui lebih dari 110 jenis mutasi berbeda pada gen ZFHXIB. Mutasi
nonsense mencakup sekitar 41% dari mutasi punktual dan utamanya terletak pada
exon 8. Belum dilaporkan adanya mutasi ZFHXIB yang berhubungan dengan
pasien HSCR isolated, mengindikasikan bahwa ZFHXIB merupakan gen
kerentanan HSCR sindromik.

Gen PHOX2B
GEN PHOX2B terletak pada kromosom 4p12 dan mengkode faktor
transkripsi homeodomain paired box asam amino-314 yang diekspresikan pada

10
hindbrain dan sistem saraf perifer yang sedang berkembang. Telah dilaporkan
bahwa gangguan homozigot gen PHOX2B akan menyebabkan hilangnya ganglia
enterik, sebuah ciri yang hampir sama dengan HSCR. Amiel et al. melaporkan
bahwa PHOX2B merupakan lokus penyakit utama pada sindrom hipoventilasi
sentral kongenital (CCHS). Mereka menemukan bahwa mutasi PHOX2B tidak
hanya terjadi pada kasus CCHS saja, namun juga pada individu dengan gangguan
neural crest yang lebih kompleks termasuk CCHS dan HSCR (Sindrom Haddad).
Fitze et al. tidak menemukan adanya mutasi PHOX2B pada populasi HSCR,
namun teridentifikasi adanya varian RET pada kelompok CCHS / HSCR, yang
lokasi dan frekuensinya hampir sama dengan kelompok HSCR. Mereka
menyatakan bahwa kombinasi fenotip CCHS dan HSCR tidak hanya berhubungan
dengan mutasi PHOX2B. Mutasi protein PHOX2B dapat mengganggu protein
RET atau ekspresi RET sehingga menyebabkan HSCR. SNP PHOX2B juga
ditemukan berhubungan dengan patogenesis HSCR dan hubungan antara RET
dengan SNP PHOX2B meningkatkan resiko HSCR.

Gen L1CAM
Gen L1CAM, terletak pada kromosom Xq28, merupakan anggota
kelompok gen immunoglobulin dari molekul adhesi sel neural. Gen tersebut
merupakan gen kerentanan utama untuk menderita X-linked hydrocephalus
(XLH). Telah diidentifikasi adanya mutasi gen L1CAM pada pasien penderita
kasus HSCR yang berhubungan dengan XLH. Walaupun L1CAM berhubungan
migrasi normal komponen neural dan dapat mengubah efek gen HSCR sehingga
menyebabkan aganglionosis intestinal, mutasi L1CAM saja tidak dapat
menyebabkan HSCR.

Gen KIAA1279
Gen KIAA1279 terletak pada kromosom 10q22.1 dan mengkode protein
dengan 2 peptida tetratrico berulang. Telah diidentifikasi adanya mutasi
homozigot KIAA1279 pada anggota keluarga Morrocan yang menderita sindrom
megakolon Goldberg-Shprintzen (GOSHS). Selain menderita HSCR, semua
pasien dalam keluarga tersebut mengalami polimikrogyria generalisata bilateral,

11
menekankan pentingnya peranan KIAA1279 pada perkembangan sistem saraf
enterik dan saraf pusat. Baru-baru ini telah diketahui bahwa KIAA1279 berperan
pada regulasi pengaturan mikrotubulus neuronal, serta pada pertumbuhan dan
pemeliharaan akson dengan berinteraksi dengan SCG10, sebuah protein membran
neuronal. Selain itu, SCG10 sebelumnya diidentifikasi sebagai gen down-
regulated pada tikus coba RET untuk HSCR. Jadi, interaksi antara KIAA1279 dan
SCG10 dapat mempengaruhi perkembangan neuronal dan dapat menyebabkan
HSCR pada beberapa pasien.

Gen TCF4
Gen TCF4 terletak pada kromosom 18q21.1. Gen ini sangat diekspresikan
sepanjang sistem saraf pusat manusia yang sedang berkembang, dan pada
komponen sklerotomal somit. Sindrom Pitt-Hopkins (PHS) merupakan sebuah
sindrom yang jarang dilaporkan yang dicirikan dengan retardasi mental, mulut
yang lebar, dan hiperventilasi intermitten. PHS juga merupakan salah satu
sindrom yang dihubungkan dengan HSCR. Amiel et al. menemukan adanya
mutasi TCF4 missense heterozigot pada pasien yang menderita PHS. Zweier et al.
menunjukkan bahwa HSCR pada pasien yang menderita PHS dapat dijelaskan
melalui perubahan perkembangan derivat noradrenergik. Mereka menganggap
haploinsufisiensi sebagai mekanisme penyebab penyakit tersebut.

Saat ini, telah diketahui mutasi pada lebih dari 11 gen berbeda yang
berperan dalam patogenesis HSCR (Tabel 1). Banyak dari gen tersebut yang
berhubungan dengan HSCR sindromik.

HUBUNGAN ANTARA JALUR DAN LOKUS PENGUBAH HSCR


Seperti yang telah dijelaskan diatas, keberhasilan kolonisasi usus oleh
prekursor ENS bergantung pada keseimbangan interaksi antar molekul. Namun,
pertanyaan mengenai bagaimana molekul dan jalur sinyaling yang saling
berinteraksi tersebut terlibat dalam perkembangan ENS normal masih belum
terjawab.

12
Dilakukan scan asosiasi genom lengkap terhadap 43 trio keluarga
Mennonite penderita HSCR, dan ditemukan adanya hubungan yang signifikan
antara transmisi mutasi EDNRB Trp276Cys dengan haplotip RET yang rentan
terhadap HSCR. Kombinasi 2 genotip tersebut meningkatkan penetrasi mutasi
Trp276Cys dan resiko menderita HSCR. Penemuan tersebut menunjukkan adanya
interaksi antara RET dengan jalur sinyaling EDNRB. Hewan coba transgenik juga
mengonfirmasi bahwa koordinasi aktifitas RET dan jalur sinyaling EDNRB dapat
mengatur neurogenesis sepanjang usus babi percobaan.

EDN3 dan GDNF nampaknya memiliki efek sinergistik terhadap


proliferasi progenitor ENS yang tidak berdiferensiasi dan efek antagonis terhadap
migrasi sel ENS yang sudah berdiferensiasi. Aktivasi reseptor tirosin kinase RET
oleh GDNF diperlukan untuk mengarahkan migrasi progenitor ENS kearah dan
didalam dinding usus. Ketersediaan GDNF menentukan jumlah neuron enterik
dengan cara mengontrol proliferasi prekursor ENS. Interaksi antara jalur sinyaling
RET dan EDNRB ditunjukkan dapat mengontrol perkembangan ENS usus,
sehingga membuktikan adanya keseimbangan koordinasi dan interaksi antara jalur
sinyaling tersebut.

Analisis fenotip SOX10, EDNRB, serta double mutan SOX10 dan EDN3
menunjukkan diperlukannya keseimbangan koordinasi dan interaksi antara
molekul tersebut untuk mendapatkan perkembangan ENS normal. Tikus SOX10
heterogen yang mengalami kehilangan EDNRB parsial juga mengalami gangguan
kolonisasi usus oleh sel neural crest enterik, sedangkan double mutan yang
mengalami peningkatan white spotting dan defek ENS yang lebih berat juga
menunjukkan adanya interaksi dengan RET.

Telah ditemukan kejadian HSCR pada gen yang disebutkan diatas,


walaupun bukti yang ada mendukung bahwa pada sebagian besar penderita
HSCR, HSCR merupakan malformasi kongenital multigenik. Mutasi non-koding
pada gen RET juga berkontribusi terhadap resiko HSCR yang berkombinasi
dengan gen atau lokus lain. Banyak penelitian telah menunjukkan pengubahan
genetik fenotip HSCR. Pengubahan genetik tersebut dapat menunjukkan interaksi
antar gen yang telah diketahui sebagai penyebab HSCR. Carrasquillo et al.

13
melakukan sebuah penelitian asosiasi genom-wide terhadap trio keluarga 43
Mennonite dengan menggunakan 2083 mikrosatelit dan SNP. Mereka
menunjukkan adanya lokus kerentanan pada 10q11, 13q22, dan 16q23 dan
menunjukkan bahwa gen pada kromosom 10q11 adalah RET dan gen pada
kromosom 13q22 adalah EDNRB. Peneliti menyatakan bahwa interaksi genetik
antara mutasi RET dan EDNRB merupakan mekanisme yang mendasari HSCR.
Bolk et al. melakukan analisis linkage terhadap 12 kasus HSCR familial dan
menemukan bahwa 6 keluarga yang mengalami mutasi RET berat serta 6 keluarga
lainnya (5 keluarga RET-linked dan 1 keluarga RET-unlinked) menunjukkan
adanya lokus kerentanan baru pada kromosom 9q31. Enam keluarga lainnya
berhubungan dengan lokus 9q31. Tang et al. melakukan fine mapping lokus
HSCR pada 9q31 dan mengidentifikasi 2 gen berbeda yang berhubungan dengan
HSCR, yaitu SVEP1 dan IKBKAP. Hubungan antara IKBKAP lebih kuat pada
pasien HSCR dari China dengan mutasi RET, sedangkan SNP SVEP1 ditemukan
berhubungan dengan pasien HSCR dari Belanda. Brooks et al. melaporkan sebuah
keluarga multigenerasi dari Belanda dengan HSCR terisolir. Analisis gen RET
tidak menunjukkan adanya hubungan atau mutasi. Dilakukan sebuah analisis
linkage genome-wide dan menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan
regio 4q31-q32. Hasil tersebut menyatakan adanya hubungan lokus kerentanan
baru untuk HSCR pada 4q31-q32. Dengan mempertimbangkan penetrasi penyakit
yang rendah pada keluarga ini, lokus 4q penting namun tidak cukup untuk
menyebabkan HSCR jika tidak terdapat lokus pengubah di genom lainnya.
Gabriel et al. melakukan scan genom pada keluarga penderita S-HSCR dan
mengidentifikasi kerentanan pada lokus 3p21, 10q11, dan 19q12. Gen pada 10q11
ternyata adalah RET, sehingga mendukung peranan pentingnya pada semua
bentuk HSCR. Namun, mutasi sekuens koding pada RET hanya terdapat pada
40% keluarga yang berhubungan dengan 10q11, menunjukkan pentingnya variasi
non-koding. Mereka menyimpulkan bahwa aksi / gangguan pada lokus tersebut
penting dan cukup untuk menyebabkan S-HSCR. Garcia-Barcelo et al.
memberikan bukti tambahan mengenai lokus kerentanan pada kromosom 3p21
untuk populasi orang China. Mereka menyimpulkan bahwa kemungkinan terdapat

14
sebuah lokus kerentanan HSCR pada kromosom 3p21. Namun, diperlukan lebih
banyak bukti untuk mengonfirmasi penemuan tersebut.

Analisis 172 pasien HSCR China sporadik yang dilakukan oleh Garcia-
Barcelo et al. menunjukkan adanya SNP promoter RET yang berhubungan dengan
HSCR. SNP tersebut tumpang tindih dengan daerah ikatan TTF-1 dan transkripsi
RET yang diaktifasi oleh TTF-1 dikurangi oleh SNP HSCR. Mereka juga meneliti
gen NK2 Homeobox 1 (NKX2-1) sebagai sebuah lokus HSCR dan menemukan
bahwa mutasi NKX2-1 dapat berkontribusi terhadap HSCR dengan mengubah
ekspresi RET melalui interaksi defektif dengan faktor transkripsi lainnya. Gen
yang diidentifikasi genome-wide screen kemungkinan besar akan menjadi sumber
lokus HSCR baru. Garcia-Barcelo et al. melakukan penelitian asosiasi genome-
wide dan mengidentifikasi NGR1 sebagai sebuah lokus kerentanan HSCR.
Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan yang kuat untuk 2 SNP yang
terletak pada intron 1 NGR1. NGR1 ditunjukkan meningkatkan resiko HSCR
pada RET, mengindikasikan interaksi antara kedua gen tersebut. Baru-baru ini
ditemukan sebanyak total 13 mutasi heterozigot berbeda pada ekson NRG1.
Diketahui bahwa bukan hanya varian umum, varian gen NRG1 yang langka juga
berkontribusi terhadap HSCR. Penemuan tersebut memperkuat peranan NRG1
pada patogenesis HSCR.

Penelitian tersebut menekankan peranan sentral gen yang berbeda dalam


patogenesis HSCR dan juga mengindikasikan bahwa gen kerentanan HSCR bisa
memiliki efek terhadap modifier gen lainnya.

KONSELING GENETIK DAN RELEVANSI KLINIS


Genetika molekular HSCR jelas memiliki peranan penting untuk mengerti
resiko rekurensi penyakit dalam keluarga. Hubungan genotip-fenotip pada pasien
yang menderita HSCR sindromik kadang-kadang cukup untuk mencurigai adanya
mutasi pada gen kerentanan tertentu. Misalnya, XLH berhubungan dengan gen
L1CAM dan GOSHS berhubungan dengan gen KIAA1279. Namun, terdapat
banyak overlap / tumpang tindih fenotip diantara pasien HSCR sindromik, dan
mutasi berbeda pada gen yang sama dapat menghasilkan fenotip yang sama. Oleh

15
karena itu, kita harus mengumpulkan evaluasi klinis dan riwayat keluarga yang
lengkap.

Carter menganggap bahwa penyakit multifaktorial memiliki sifat yang


berbeda dari penyakit Mendelian. Pertama, alel penyakit yang mendasari adalah
polimorfik. Kedua, resiko rekurensi pada proband serupa berbanding terbalik
dengan insidens populasi, makin meningkat sesuai keparahan dan lebih tinggi
pada kelompok yang sering terkena. Terakhir, tingkat rekurensi bervariasi antar
keluarga, bahkan yang memiliki hubungan genetik yang sama. Berdasarkan
paradoks Carter, HSCR terisolir merupakan sebuah penyakit multifaktorial
kompleks dengan ketergantungan jenis kelamin yang rendah dan ekspresi yang
berbeda berdasarkan panjang segmen aganglionik serta memiliki tingkat rekurensi
yang tinggi untuk saudara.

Masih terdapat tantangan dalam aplikasi pengetahuan terbaru mengenai


genetika HSCR dalam praktik klinis. HSCR memiliki penetrans yang bervariasi
bahkan dalam keluarga dengan variasi genetik yang sama, menunjukkan peranan
faktor lingkungan dan modifikasi genetik. Modifikasi genetik dapat
mempengaruhi hasil fenotip dari genotip tertentu dengan cara berinteraksi dengan
gen tersebut. Karena ketidakjelasan dan faktor variabel tersebut, tes mutasi
genetik memiliki keterbatasan penggunaan pada praktik klinis. Namun, terdapat
beberapa pengecualian seperti mutasi RET yang berhubungan dengan
MEN2A/FMTC yang dicirikan ada ekson 10 dan 11.

Terapi HSCR adalah operasi. Namun, terapi sel stem juga menunjukkan
potensi terapeutik untuk HSCR. Dilaporkan bahwa sel stem neural dapat
mengkolonisasi usus embrionik dan menghasilkan sel ganglion enterik. Namun
masih diperlukan waktu lama sebelum sel stem tersebut berhasil dikolonisasi di
usus matur dan menghasilkan hubungan yang fungsional.

PERKEMBANGAN DI MASA DEPAN

16
Gen penyebab teridentifikasi pada tidak lebih dari 50% kasus HSCR
familial, 7%-35% sporadik, dan 10% kasus HSCR sindromik, menunjukkan
bahwa masih ada gen kerentanan lainnya yang belum diketahui.

Untuk mengidentifikasi gen dan lokus kerentanan yang belum diketahui,


penelitian asosiasi genome-wide (GWAS) yang menggunakan komponen SNP
nampak sebagai metode yang berguna. GWAS berhasil menunjukkan berbagai
gen kerentanan untuk penyakit yang umum didapatkan. NGR1 telah teridentifikasi
sebagai lokus kerentanan HSCR dengan menggunakan GWAS.

Diasumsikan bahwa alel resiko dengan efek yang besar frekuensinya akan
rendah dan sulit untuk dideteksi dengan GWAS yang menggunakan SNP umum.
Penggunaan teknologi sekuensing high-throughput untuk melokalisasi varian
langka yang memiliki efek besar dapat membantu mengatasi masalah tersebut.
Karena biasa resekuensi keseluruhan genom untuk dapat membaca sebuah varian
dengan akurasi yang tinggi masih mahal, maka tidak mudah untuk melakukan
resekuensi keseluruhan genom untuk banyak orang. Oleh karena itu, sekuensi
keseluruhan eksom menjadi alternatif yang baik untuk jumlah sampel yang
banyak.

Walaupun banyak teknologi yang digunakan untuk mengidentifikasi gen


kerentanan, gen-gen tersebut masih kurang penting pada HSCR, karena hanya
sebagian kecil pasien yang mengalami mutasi tersebut. RET merupakan gen
kerentanan utama pada HSCR dan penekanan penelitian RET harus diubah dari
scan mutasi menjadi analisis hubungan dengan mekanisme regulatorik yang
mendasari ekspresi gen.

Alel yang berhubungan dengan HSCR mempengaruhi aktifitas promoter


RET. Analisis fungsional SNP promoter RET pada konteks regio regulatorik
tambahan menunjukkan bahwa alel yang berhubungan dengan HSCR mengurangi
transkripsi RET. SNP tersebut tumpang tindih dengan daerah ikatan TTF-1 dan
transkripsi RET yang diaktivasi oleh TTF-1 juga dikurangi oleh SNP yang
berhubungan dengan HSCR. Sribudiani et al. melaporkan bahwa ikatan faktor
transkripsi NXF, ARNT2, dan SIM2 terhadap RET bergantung pada polimorfisme

17
RET Enh2 (rs2506004) dan mempengaruhi ekspresi RET serta perkembangan
HSCR.

AU-rich element (AREs) ditemukan pada regio 3UTR. Pada kebanyakan


kasus, motif AREs dan AUUUA memediasi destabilisasi mRNA. SNP rs3026785
terletak pada regio kaya U dekat sekuens AUUUA terakhir, dan dapat
mempengaruhi struktur sekunder serta stabilitas RET mRNA. Penelitian
mekanisme regulatorik seperti SNP lebih penting daripada analisis asosiasi SNP.

miRNA merupakan RNA non-koding kecil dengan sekitar 21-24


nukleotida, yang berinteraksi dengan target mRNA spesifik pada regio 3UTR,
menghasilkan represi translasional yang dilanjutkan dengan deadenilasi dan
degradasi mRNA.

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara mikroRNA dan AREs.


Beberapa sekuens target miRNA diprediksi atau ditunjukkan dalam AUEs.
Dikatakan bahwa AREs dan miRNA bekerjasama untuk meregulasi ekspresi
mRNA. Kami menemukan adanya perbedaan distribusi yang signifikan antara2
SNP di RET 3UTR antara kasus dan kontrol (data tidak dipublikasikan), yang
dapat menunjukkan peranan regulasi mRNA posttranskripsional.

Kesimpulannya, walaupun telah ada banyak kemajuan pengetahuan


mengenai dasar genetika HSCR, masih ada banyak tantangan yang signifikan,
termasuk untuk mengidentifikasi gen dan lokus kerentanan HSCR, serta
mengeksplorasi bagaimana gen tersebut berinteraksi dengan perkembangan ENS
dan patologi HSCR.

18

Anda mungkin juga menyukai