PEMPHIGUS VULGARIS
DI RUANG DAHLIA RSUD Prof. Dr.
MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
DISUSUN OLEH
ARIS
113116008
2. Etiologi
Bukti yang ada menunjukkkan bahwa pemfigus vulgaris merupakan penyakit
autoimun yang melibatkan IgG, suatu immunoglobulin. Diperkirakan bahwa antibody
pemfigus ditujukan langsung kepada antigen permukaan sel yang spesifik dalam sel- sel
epidermis. Lepuh terbentuk akibat reaksi antigen- antibody. Kadar antibody dalam serum
merupakan petunjuk untuk memprediksikan intensitas penyakit. Faktor- faktor genetik dapat
memainkan peranan dalam perkembangan penyakit dengan insidensi tertinggi pada orang-
orang keturunan Yahudi. Kelainan ini biasanya terjadi pada laki- laki dan wanita dalam usia
pertengahan serta akhir usia dewasa. ( Smeltzer, Suzanne. C. 2001 ).
3. Faktor Resiko
a. Genetik
Telah lama diduga terdapat faktor predisposisi genetik pada pemphigus vulgaris.
Berdasarkan hasil penelitian, penyakit ini muncul lebih banyak pada orang Yahudi
Askenazi dibandingkan prevalensi rata-rata. Studi serologi HLA menunjukkan
hubungan yang kuat antara kehadiran haplotypes HLA-DR4 dan HLA-DR6 dengan
terjadinya pemphigus vulgaris
b. Umur
Insiden terjadinya Pemfigus Vulgaris ini meningkat pada usia 50-60 tahun. Pada
nonatal yang menginap Pemfigus Vulgaris karena terinfeksi dari antibody sang ibu
c. Desease association
Pemfigus terjadi pada pasien dengan penyakit autoimun yang lain, biasanya Miastenia
Grafis dan Thymoma.
d. Beberapa kasus terjadi karena adanya reaksi terhadap obat (penisilamin, kaptopril).
4. Patofisiologi
Penyebab pasti pemphigus vulgaris belum diketahui. Banyak teori yang mendasari
timbulnya penyakit ini, antara lain karena virus, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Hal
lain, seperti kelainan metabolisme, intoksikasi, dan psikogenik, lebih merupakan akibat,
bukan penyebab pemphigus. Beutner dan Jordan (1964) dengan teknik imunofluresensi (IF),
mendemonstrasikan adanya zat antiIgG yang beredar di dalam serum penderita. Zat anti ini
beraksi atau terikat pada substansi yang melekatkan sel-sel epidermis (substansia
intraseluler). Ini spesifik untuk pemphigus vulgaris. Titer zat anti atau antibodi ini
berhubungan dengan aktifitas/ berat ringannnya penyakit, sehingga mungkin dapat dipakai
untuk mengevaluasi pengobatan. Pada pemeriksaan imunofloresensi langsung dengan
menggunakan epitel berlapis sebagai antigen, misalnya selaput lendir kerongkongan kera
atau bibir marmut, komplek antigen antibodi terlihat sebagai susunan retikuler di sepanjang
stratum spinosum. Pemeriksaan IF langsung ini mempunyai arti penting untuk diagnosis,
karena hasilnya positif pada awal penyakit dan tetap positif untuk waktu lama atau beberapa
tahun setelah penyakit sembuh atau tanpa pengobatan. Dari pengamatan IF, jelas adanya
peran mekanisme autoimun di dalam patogenesis pemphigus. Namun walaupun antibodi
yang timbul spesifik terhadap pemphigus ternyata antibodi antiepitel tersebut bisa pula
didapatkan pada penderita luka bakar, pemfigoid, NET, mikosis fungiodes, dan erupsi kulit
karena penisilin. Hubungan pemphigus dengan HLA terlihat pada studi populasi terhadap
penderita pemphigus yang menunjukan kenaikan HLA-A10 pada orang Jepang dan Yahudi
yang menderita pemphigus. Dan ada hubungan kuat dengan HLA-DR4 pada orang Yahudi
yang menderita pemphigus.
PATHWAYS
5. Manifestasi Klinis
Keadaan umum penderita umumnya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit
kapala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, sehingga sering salah
didiagnosis sebagai pioderma pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi
sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula
generalisata.
Gejala klinis pemphigus vulgaris biasanya didahului dengan keluhan subjektif berupa
malaise, anoreksia, subfebris, kulit terasa panas dan sakit serta sulit menelan. Rasa gatal
(pruritus) jarang didapat. Kelainan kulit ditandai dengan bula berdinding kendur yang timbul
di atas kulit normal atau pada selaput lendir. Bila lesi mengenai paru akan timbul kesukaran
menelan karena sakitnya. Selaput lendir lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva, hidung,
vulva, penis, dan mukosa hidung-anus.
Daerah predileksi biasanya mengenai muka, badan, daerah yang terkena tekanan, lipat
paha, dan aksila. Bula berdinding kendur mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi
keruh (seropurulen) atau hemoragik. Dinding bula mudah pecah dan menimbulkan daerah-
daerah erosi yang meluas (denuded area), basah, mudah berdarah, dan tertutup krusta. Bila
terjadi penyembuhan, lesi meninggalkan bercak-bercak hiperpirmentasi tanpa jaringan parut.
Daerah-daerah erosi pada tubuh dan mulut menimbulkan bau yang merangsang dan tidak
sedap. Tanda nikolsky dapat ditemukan dengan cara: kulit yang terlihat normal akan
terkelupas apabila ditekan dengan ujung jari secara hati-hati atau isi bula yang masih utuh
melebar bila kita lakukan hal yang sama (bulla spread phenomenon). Hal ini menunjukkan
bahwa kohesi antar sel-sel epidermis telah hilang.
6. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi antara lain:
a. Secondary infection
Salah satunya mungkin disebabkan oleh sistemik atau lokal pada kulit. Mungkin
terjadi karena penggunaan immunosupresan dan adanya multiple erosion. Infeksi
cutaneus memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan resiko timbulnya scar.
b. Malignansi dari penggunaan immunosupresif
Biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat terapi immunosupresif.
c. Growth retardation
Ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan dan kortikosteroid.
d. Supresi sumsum tulang
Dilaporkan pada pasien yang menerima immunosupresan. Insiden leukemia dan
lympoma meningkat pada penggunaan immunosupresif jangka lama.
e. Osteoporosis
Terjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik.
f. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Erosi kulit yang luas, kehilangan cairan serta protein ketika bulla mengalami rupture
akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan cairan
dan natrium klorida ini merupakan penyebab terbanyak gejala sistemik yang berkaitan
dengan penyakit dan harus diatasi dengan pemberian infus larutan salin.
Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalau proses mencapai kulit tubuh dan membran
mukosa yang luas.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemphigus vulgaris biasanya terjadi pada usia lanjut dan disertai keadaan umum yang
lemah. Selain itu, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
a. Gambaran klinis yang khas dan tanda dari nikolsky positif.
b. Test tzanck positif dengan membuat apusan dari dasar bula dan dicat dengan giemsa
akan terlihat sel tzanck atau sel akantolitik yang berasal dari sel-sel lapisan spinosum
berbentuk agak bulat dan berinti besar dengan dikelilingi sitoplasma jernih (halo).
c. Pemeriksaan hitopatologik: terlihat gambaran yang khas, yakni bula yang terletak
supra basal dan adanya akantolisis.
d. Pemerikssaan imunofluoresensi
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe IgG dan C3.
Pada tes imunofluoresensi secara langsung didapatkan antibodi pemphigus tipe IgG.
Tes pertama lebih terpercaya daripada tes kedua, karena telah positif pada penuaan
penyakit. Kadar titernya pada umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan
menurun dan menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.
8. Penatalaksanaan
Pengobatan utama adalah kortikosteroid, karena bersifat imunosupresif. Yang sering
digunakan adalah prednisone dan dexametasone. Dosis prednisone bervariasi bergantung
pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/
kgBB perhari bagi pemphigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan
deksametasone i.m. atau i.v. sesuai dengan equivalennya karena lebih praktis. Keseimbangan
cairan dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan.
Lever dan White mengajukan dosis 180-360 mg prednisone setiap hari sampai remisi
lengkap, biasanya 6-10 minggu. Contoh: bila dosis awal prednisone 180 mg perhari
diberikan sampai 6 minggu dan terjadi remisi lengkap, dosis segera diturunkan menjadi 90
mg perhari selama 1 minngu. Dan kemudian berturut-turut dosis diturunkan sebagai berikut:
45 mg setiap hari selama 1 minggu
30 mg setiap hari selama 2 minggu
20 mg setiap hari selama 3 minggu
15 mg setiap hari selama 4 minggu
Selanjutnya dosis bertahan (maintenance) sampai kurang dari 15 mg/ hari.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan
adjuvant yang terkuat ialah sitostatika. Efek samping kortikosteroid yang berat berupa atrofi
kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan
fraktur kolumna vertebrae pars lumbalis.
Tentang penggunaan sitostatika sebagai adjuvant terdapat 2 pendapat:
1. Sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
2. Sitostatika diberikan:
a. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respon.
b. Terdapat kontra indikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes mellitus, katarak,
dan osteoporosis.
c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan.
Obat sitostatika untuk pemphigus adalah:
a. Azatioprin: obat yang paling lazim dan tidak begitu toksik seperti siklofospamid.
Dosisnya 50-150 mg sehari (1-3 mg/ KgBB). Kemudian diturunkan bertahap.
b. 2. Siklofospamid: paling poten, tetapi efek sampingnya berat, jadi tidak dianjurkan.
Dosisnya 50-100 mg perhari.
c. 3. Metotreksat: jarang digunakan karena kurang bermanfaat. Dosisnya 25 mg
perminggu i.m. atau per os.
Pengobatan lain pada pemfigus adalah plasmaferesis, dan dengan siklosporin dengan dosis 5-
6 mg/ KgBB per os.
ASUHAN KPEERAWATAN
KLIEN DENGAN PEMPHIGUS VULGARIS
1. Pengkajian
a. Biodata
Umur : biasanya pada usia pertengahan sampai dewasa muda
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama : nyeri karena adanya pembentukan bula dan erosi
c. Riwayat penyakit dahulu
d. Riwayat alergi obat, riwayat penyakit keganasan (neoplasma ), riwayat penyakit lain,
Riwayat hipertensi
e. Pola kesehatan fungsional Gordon yang terkait
1) Pola Nutrisi dan Metabolik
Kehilangan cairan dan elektrolit akibat kehilangan cairan dan protein ketika bula
mengalami ruptur
2) Pola persepsi sensori dan kognitif
Nyeri akibat pembentukan bula dan erosi
3) Pola hubungan dengan orang lain
Terjadinya perubahan dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya bula
atau bekas pecahan bula yang meninggalkan erosi yang lebar
4) Pola persepsi dan konsep diri Pola persepsi dan konsep diri
Terjadinya gangguan body image karena adanya bula/ bula pecah meninggalkan
erosi yang lebar serta bau yang menusuk
f. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : baik
2) Tingkat kesadaran : compos mentis
3) Tanda-tanda vital :
- TD : dapat meningkat/menurun
-N : dapat meningkat/menurun
- RR : dapat meningkat/menurun
-S : dapat meningkat/menurun
4) Kepala : kadang ditemukan bulla
5) Dada : kadang ditemukan bulla
6) Punggung : kadang ditemukan bulla dan luka dekubitus
7) Ekstremitas : kadang ditemukan bulla dan luka dekubitus
g. Pemeriksaan penunjang
1) Klinis anamnesis dan pemeriksaan kulit : ditemukan bula
2) Laborat darah : hipoalbumin
3) Biopsi kulit : mengetahui kemungkinan maligna
4) Test imunofluorssen : didapat penurunan imunoglobulin
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi ketidakseimbangan cairan dan elektolit b.d hilangnya cairan pada
jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebih dengan peningkatan
terbentuknya bula dan ruptur bula.
b. Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
c. Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak erosi jaringan lunak.
d. Kerusakan integritas jaringan kulit b.d nekrosis local sekunder dari akumulasi pus
pada jaringan folikel rambut
e. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik, penurunan kemampuan aktivitas umum
efek sekunder dari adanya nyeri, kerusakan luas kulit
f. Kecemasan b.d kondisi penyakit, kerusakan luas pada jaringan kulit
3. Rencana Intervensi
a. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektolit b.d hilangnya cairan pada
jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebih dengan
peningkatan terbentuknya bula dan ruptur bula
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi syok hipovolemik.
Kriteria evaluasi :
1) Tidak terdapat tanda-tanda syok : pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam
batas normal, kesadaran optimal, urine >600 ml/hari.
2) Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT >3detik.
3) Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum
meningkat, BUN/ kreatinin meurun.
Intervensi Rasional
Intervensi pemenuhan cairan :
Identifikasi faktor penyebab, awitan Parameter dalam menentukan intervensi
(onset), spesifikasi usia dan adanya riwayat kedaruratan. Adanya usia anak atau lanjut
penyakit lain. usia memberikan tingkat keparahan dari
kondisi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
Kolaborasi skor dehidrasi
Menentukan jumlah cairan yang akan
0-2 : dehidrasi ringan, 3-6 : dehidrasi
diberikan sesuai derajat dehidrasi dari
sedang, >7 : dehidrasi berat
(skor Maurice King) individu (2,5-5% : derajat ringan; 5-10% :
Lakukan dehidrasi oral
derajat sedang; >10% : derajat berat).
Pemberian cairan oral dapat diberikan apabila
1. Beri cairan secara oral
tingkat toleransi pasien masih baik.
WHO memberikan rekomendasi tentang
cairan oral yang berisikan 90 mEq/L Na +, 20
mEq/L K+, 80 mEq/L Cl, 20 g/L glukosa;
osmolaritas 310; CHO:Na = 1,2:1; diberikan
2. Jelaskan tentang dehidrasi oral 250 mL setiap 15 menit sampai
keseimbangan cairan terpenuhi dengan tanda
3. Berikan cairan oral sedikit demi sedikit klinik yang optimal atau pemberian 1 1/2 liter
air pada setiap 1 liter feses (Diskin,2009).
Penting perawat disampaikan pada pasien
Lakukan pemasangan intravenus fluid
dan keluarga bahwa dehidraasi oral tidak
drops (IVFD)
menurunkan durasi dan volume diare.
Pembrian cairan oral sedikit demi sedikit
untuk mencegah terjadinya muntah apabila
diberikan secara stimultan.
DAFTAR PUSTAKA