Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Pada masa sekarang ini, banyak sekali masalah yang terjadi di kehidupan
masyarakat, salah satu yang paling menyita perhatian kita sekarang ini ialah
masalah penyalahgunaan dan ketergantungan terhadap narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA). Masalah NAPZA ini tidak mengenal usia,
dari anak-anak hingga orang dewasa terkena masalah ini, dan permasalahan
penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA mempunyai dimensi yang luas dan
kompleks, baik dari sudut medik, psikiatrik, kesehatan jiwa maupun psikososial.
Negara-negara maju dan berkembang termasuk Indonesia telah menjadikan
narkoba sebagai musuh dunia yang harus diperangi, dan bagi negara-negara yang
tidak serius menanggulangi masalah ini, akan dipandang sebagai penghambat.
Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia menunjukan
adanya kecenderungan yang terus meningkat, bahkan sudah sangat
memprihatinkan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Saat ini, Indonesia bukan hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan
peredaran gelap narkoba tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah
menjadi tempat untuk produksi gelap narkoba. (Badan Narkotika Nasional, 2008)
Kondisi lingkungan remaja yang sangat kompleks sekarang ini sangat
memungkinkan para remaja untuk menjadi seorang konsumen NAPZA. Sebagai
contoh dimana remaja tersebut berada dilingkungan yang banyak menggunakan
NAPZA, lingkungan sekolah yang rawan dan tidak kondusif, serta ketidak
harmonisan keluarga juga bisa menjadi salah satu faktor.
Bertahun-tahun ini berjuta-juta remaja di Asia menggunakan narkoba dan di
Indonesia tidak kurang dari 3 juta remaja menyalahgunakannya, mulai dengan
cara menghirup bahan-bahan kimia oleh anak jalanan, kemudian ekstasi oleh
remaja sampai pecandu berat heroin (putau).
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari, dkk. (1998) menyebutkan bahwa
penyalahgunaaan dan ketergantungan narkoba dari tahun ke tahun semakin
meningkat, fenomena ini bagaikan gunung es (ice berg) artinya yang tampak

1
dipermukaan lebih kecil dibandingkan yang tidak tampak. Penelitian yang
dilakukan Hawari,dkk. (1998) menyebutkan bahwa sebenarnya adalah 10 kali
lipat dari angka resmi (dark number =10), atau dengan kata lain apabila
ditemukan 1 orang penyalahguna atau ketergantungan narkoba artinya ada 10
orang lainnya yang tidak terdata resmi. Pemerintah menyebutkan angka resmi
penyalahgunaaan narkoba 0,065 % dari jumlah penduduk 200 juta atau sama
dengan 130.000 (Dadang Hawari, 2006)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NAPZA
2.1.1 Definisi dan Jenis NAPZA
NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat
adiktif. (Abdul Rozak, 2005)
Dikalangan awam dikenal juga istilah Narkoba yang merupakan singkatan
dari Narkotika dan Obat berbahaya. Selain itu, dikenal juga istilah NAZA yang
merupakan singkatan dari Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif. Namun saat ini
istilah umum yang digunakan ialah NAPZA. (Dadang Hawari, 2006)
Berbagai macam narkoba atau NAPZA sebenarnya obat yang dapat
dimanfaatkan bagi dunia kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, penggunaan narkotika dan psikotropika hanya untuk keperluan
ilmu pengetahuan dan kesehatan serta berdasarkan pertimbangan para tenaga
medis dan dokter dengan tetap mengacu pada ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. (Abdul Rozak, 2005)
Dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai NAPZA
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan / jenis :
1. Upper
Upper adalah jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti
sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin.
2. Downer
Downer adalah golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai
jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan / sedatif
seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas.
3. Halusinogen
Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya
dibandingkan dengan kegunaan medis.
Secara farmakologik, yang termasuk narkotika hanya opioida, tapi menurut
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 yang telah diganti menjadi Undang-

3
Undang Nomor 22 Tahun 1997, yang dimaksud dengan narkotika meliputi opioida
( alamiah, sintetik, semisintetik, turunan dan garam lainnya ), ganja dan kokain.
Dengan demikian yang dimaksud dengan zat adiktif lainnya meliputi :
a. Alkohol
b. Amfetamin: MDMA (inex, ecstasy ), metamphetamin (shabu shabu)
c. Halusinogen: LSD, Meskalin, Psilosonin, dan Psilosin
d. Sedativa dan Hipnotika : Sedatin ( BK), Nipam, Magadon ( MG),
Rohypnol (Rohyp), Rivotril (Rivo), Dumolid (Dumo), Nembutal (Yellow),
Mandrax (MX), dll.
e. PCP (fensiklidin)
f. Solven dan inhalasia: ether, toluene, acetone, dll, misalnya terdapat
dalam lem UHU, Aica Aibon.
g. Nikotin
h. Kafein (kopi, teh, coklat, minuman penyegar ).
Narkotika adalah zat atau bahan aktif yang bekerja pada sistem saraf pusat
(otak), yang dapat menyebabkan penurunan sampai hilangnya kesadaran dari rasa
sakit (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan).
(Edi Karsono, 2007)
Minuman beralkohol menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No 3
tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian Minuman Beralkohol, yaitu
minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian
yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau
fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih
dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses
dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau bukan dengan cara
pengenceran minuman yang mengandung ethanol. (Zainal fikri, 2007)
Psikotropika adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika, bekerja pada sistem
saraf pusat dan dapat menyebebkan perasaan khas pada aktivitas mental dan
perilaku serta dapat meninbulkan ketergantungan (ketagihan).
(Edi karsono, 2007)

4
Psikotropika dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika disebutkan bahwa yang dimaksud psikotropika adalah zat atau obat,
baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku (Abdul Rozak, 2005).
Zat Adiktif adalah Zat atau bahan aktif bukan narkotika dan psikotropika,
bekerja pada sistem saraf pusat dan dapat menimbulkan ketergantungan
(ketagihan). (Edi Karsono, 2007)
Zat Adiktif adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika atau psikotropika yang
bekerja pada sistem saraf pusat dan dapat menimbulkan ketergantungan. Dengan
kata lain, yang dimaksudkan dengan zat adiktif ialah bahan atau zat yang
penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis. (Abdul Rozak, 2005)
Penyalahgunaaan NAPZA merupakan suatu kejadian yang diakibatkan dari
berbagai faktor, yaitu faktor lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan.
Penyalahgunaan NAPZA ialah pemakaian NAPZA yang secara tetap yang bukan
untuk tujuan pengobatan, atau diluar indikasi medik, tanpa resep dokter, atau
tanpa petunjuk dari dokter yang dimana dipakai sendiri secara relatif teratur dan
berkala sekurang-kurangnya selama satu bulan. Sedangkan yang dimaksud
ketergantungan NAPZA ialah penyalahgunaaan NAPZA yang disertai dengan
gejala putus obat (withdrawal syndrome). Penyalahgunaan NAPZA dapat merusak
kesehatan manusia baik secara mental, fisik, dan emosional.
(Dadang Hawari, 2006 ; Edi Karsono, 2007)

2.1.2 Sejarah NAPZA


Sejak ribuan tahun lalu, manusia sudah mengenal penggunaan bahan-bahan
psikoaktif yang berasal dari tanaman untuk tujuan pengobatan. Pemakaian bahan-
bahan psikoaktif dapat menyebabkan perubahan perilaku, kesadaran, pikiran, dan
perasaan seseorang sehingga menimbulkan perasaan nyaman, gembira, dan
memperlancar pergaulan. Bahan bahan ini dikenal sebagai zat psikoaktif yang
penggunaannya makin meningkat sampai sekarang ini.

5
Opium pertama kali dikenal di Mesopotamia sekitar 5000 tahun sebelum
masehi, kemudian menyebar ke timur. Pada awal abad X, opium masuk ke China,
dan pertama kali digunakan sebagai obat disentri, sampai berabad abad
kemudian melatarbelakangi perang candu (1839 1842) di negara tersebut. Pada
abad XIX, ketergantungan terhadap candu merupakan masalah besar di China.
Pada awal abad ke XX, dibeberapa negara Asia Tenggara terjadi legalisasi
distribusi dan pemakaian opium sampai kemudian dilarang kembali setelah
Perang Dunia II. Pelarangan dan pengadaan sarana penanggulangan bagi para
pecandu opium tidak berhasil untuk menghentikan pemakaian opium karena para
pecandu beralih kebahan-bahan pengganti seperti morfin dan heroin yang
diperoleh melalui perdagangan gelap.
Pemakaian ganja pertama kali ditemukan oleh para ahli pengobatan di China.
Dahulu terjadi kontroversi di dalam pemakaian ganja, ada yang mengganggapnya
bermanfaat dan ada yang mengganggapnya tidak. Efek yang ditimbulkan dari
pemakaian ganja yaitu dapat meningkatkan kepercayaan diri dan optimisme.
(Marviana, 2002)

2.1.3 Tinjauan Hukum terhadap Penyalahgunaan NAPZA


2.1.3.1 Dasar Hukum
1. Narkotika
a. Undang Undang No 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
b. Undang- Undang No 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
c. Undang- Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
2. Psikotropika
a. Undang Undang No 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi
Psikotropika 1971.
b. Undang- Undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

6
c. Undang- Undang No 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi
PBB tentang Pemberantasan peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika.
d. Peraturan Menteri Kesehatan RI no 690/Menkes tahun 1997 tentang
Peredaran Psikotropika.
3. Zat Adiktif lainnya
a. Undang- Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
b. Keputusan Presiden RI no 3 Tahun 1997 Tentang pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol.
c. Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No4/4/1997 tentang
Lingkungan Sekolah Bebas Asap Rokok.

2.1.3.2. Penyalahgunaan NAPZA


Pada awalnya, penggunaan narkotika digunakan untuk pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti yang tertera dalam pasal 4 Undang-
Undang narkotika yang berbunyi Narkotika hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi dalam kenyataan tidak dapat dipungkiri bahwa pengguna narkoba
sudah diselewengkan oleh konsumen narkoba yang tidak sah atau ilegal
menurut hukum. Bila dipergunakan maksud-maksud lain dari itu (kepentingan
ilmu pengetahuan dan kesehatan), maka perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai
perbuatan pidana.
Penyalahgunaan penggunaan narkotika, ketentuan pidananya diatur dalam
pasal 85 Undang- Undang Narkotika yang berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

7
2.1.3.3. Produsen NAPZA
Sedangkan kejahatan yang menyangkut produksi diatur dalam pasal 80
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Pasal ini tidak hanya menyangkut
produksi saja tapi juga meliputi perbuatan yang sejenis seperti itu, berupa
mengolah, mengkonversi, merakit, dan menyediakan narkotika untuk semua
golongan.

2.1.3.4. Pengedaran NAPZA


Kejahatan yang menyangkut jual-beli narkotika disini, bukan hanya jual-beli
dalam arti sempit, akan tetapi juga termasuk perbuatan ekspor, impor, dan tukar-
menukar narkotika. Kejahatan ini diatur oleh Undang-Undang Narkotika pasal 82
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997.
(Abdul Rozak, 2005)

2.1.4. Epidemiologi NAPZA


Berdasarkan Laporan Narkoba Dunia (World Drug Report) dari UNODC
(2007) jumlah penyalahguna narkoba di dunia sebesar 200 juta orang (4.8% dari
populasi dunia) yang terdiri dari : 158.8 juta orang (ganja), 24.9 juta orang
(amfetamin), 8.6 juta orang (ecstasy), 14.3 juta orang (kokain), 15.6 juta orang
(opiat) dan 11,1 juta orang (heroin). Adanya peningkatan jumlah penyalahguna
narkoba, dari 210 juta akhir tahun 1990 menjadi 230 juta tahun 2006. Di
Indonesia, prevalensi penyalahgunaan obat tahun 2005 terhadap penduduk dunia
usia 15-64 tahun ialah opium 0.2%, kokain 0.03%, amfetamin 0.3%, ecstasy
0.3%, ganja 0.7%. (UNODC, 2007).

8
Gambar 1 . Gambaran Penyalahgunaan obat tahun 2005/2006 (UNODC, 2007)

Gambar 2. Tren Penyalahgunaan Obat Dunia tahun 1985-2005 (UNODC, 2007)

9
Gambar 3. Profil Kokain dan Opiat (UNODC, 2007)

Gambar 4. Profil Ganja dan Ekstasi (UNODC, 2007)

Menurut Badan Narkotika Nasional jumlah kasus NAPZA tahun 2008 ialah
29.369 kasus (narkotika 10.006 kasus, psikotropika 9.780 kasus, zat adiktif lain
9.573 kasus). Adanya peningkatan dari tahun 2001 ke tahun 2007 sekitar 235%.
Walaupun adanya penurunan sedikit di tahun 2008, tetapi jumlah kasus tetap
tinggi. Perkiraan jumlah pemakai tahun 2004 sekitar 3,2 juta orang dengan kisaran
2,9 sampai 3,6 juta orang (BNN, 2009).

10
Gambar 5. Data Kasus NAPZA tahun 2001-2008 (BNN, 2009)

Menurut Badan Narkotika Nasional jumlah kasus NAPZA berdasarkan jenis


kelamin terus meningkat setiap tahunnya, paling tinggi pada tahun 2008 dimana
pria lebih banyak dari wanita, yaitu sebanyak 41.340 kasus, sedangkan wanita
3.354 kasus. Dilihat berdasarkan usia juga, ternyata jumlah kasusnya terus
meningkat, dengan terbanyak pada usia > 29 tahun mencapai 44.694 kasus pada
tahun 2008. Berdasarkan tingkat pendidikan disini terlihat kasus terbanyak adalah
di tingkat SLTA yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sebanyak 28.470 kasus
pada tahun 2008. (BNN, 2009).

11
Gambar 6. Data Kasus NAPZA tahun 2001-2008 (BNN, 2009)

Menurut BNN, penggunaan NAPZA yang menyebabkan AIDS khusunya IDU


(obat suntik) tahun 2006 berjumlah 4118 orang dimana terjadi kenaikan 919%
dari tahun 2001. Sedangkan dari data Depkes terdapat AIDS pada IDU juni 2007
berjumlah 4758 orang dan 2.118 diantaranya meninggal. Di Jawa Barat terdapat
1.003 kasus AIDS pada IDU dan 196 kasus diantaranya meninggal dunia. (Ditjen
PPM & PL Depkes RI, 2007).

Gambar 7. Jumlah kumulatif kasus AIDS dari IDUs menurut jenis kelamin, Juni 2007
(Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2007)

12
Data Badan Narkotika Provinsi (BNP) Jabar mencatat 4.499 kasus NAPZA
dari tahun 2005-2008, angkanya bisa mencapai 7.056 kasus jika dihitung dari
jumlah tersangka. Angka dilapangan jauh lebih besar daripada itu. Jumlah tersebut
merupakan jumlah permukaan. Penanganan kasus NAPZA itu ibarat usaha tak
kenal lelah mengangkat gunung es. Semakin banyak yang tersembunyi yang
terangkat ke permukaan, semakin baik. Kasus NAPZA itu tidak bisa dipisahkan
dari penanganan kasus HIV AIDS. Jarum suntik merupakan penyebab terbesar
penularan. Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jabar, dari 1.578 kasus
HIV AIDS hingga Desember 2008, 1.225 kasus disebabkan oleh jarum suntik.
(Teddy Hidayat, 2008)
Menurut survei salah satu rumah sakit di Kota Bandung, menunjukan bahwa
dari tahun ke tahun kasus penyalahgunaan NAPZA cenderung meningkat. Pada
tahun 1998 penderita yang hasil urinnya positif NAPZA hanya ada 16 orang, pada
tahun 1999 melonjak menjadi 104 orang, dan pada tahun 2002 menjadi 150 orang.
Dari 62 pasien yang dirawat pada tahun 2002 berdasarkan jenis kelamin diketahui
laki laki lebih banyak daripada wanita (88,7 % dan 11,3 %). Usia terbanyak
adalah 17-25 tahun (72,2%) dan termuda 12 tahun. Umumnya usia pertamakali
menggunakan adalah 12 17 tahun. Berdasarkan keadaan keluarga diketahui 60%
tidak harmonis dan disfungsi keluarga. (Teddy Hidayat, 2008)
Bertahun-tahun ini, berjuta-juta remaja di asia telah menggunakan narkoba
dan di Indonesia tidak kurang dari 3 juta remaja telah menggunakannya, mulai
dengan cara menghirup bahan-bahan kimia oleh anak jalanan, kemudian ekstasi
pada remaja, lalu sampai pecandu berat heroin (putaw). Berdasarkan data yang
dihimpun Badan Narkotika Nasional pada tahun 2003, wilayah wilayah ibukota
yang memiliki persentase responden penyalahgunaan narkoba dalam satu tahun
terakhir yang paling besar berturut turut adalah Jakarta (23 %), Medan (15 %),
dan Bandung (14 %) . Jumlah penyalahgunaan narkoba yang teratur pakai dan
pecandu di Indonesia tahun 2004 berkisar 3.2 juta orang dari kisaran 2.9 sampai
3.6 juta orang. Jumlah kasus narkoba meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada
tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat rata rata 28,9 %

13
pertahun, dan semakin meningkat dengan tajam pada tahun 2005 sampai 2006.
(Badan Narkotika Nasional, 2008)
Data epidemiologis menunjukan penularan HIV dikalangan pengguna NAPZA
suntik semakin meningkat, Di perkirakan terdapat 13 juta penggguna NAPZA
suntik di seluruh dunia, dimana empat juta diantaranya hidup dengan HIV/AIDS.
Setiap tahun 10 persen dari infeksi HIV di dunia berasal dari NAPZA suntik.
Ledakan epidemik HIV pada kalangan pengguna NAPZA suntik (IDUs) karena
mereka biasa menggunakan berkali-kali alat suntik yang sama secara bergantian
dengan orang lain, katanya. Dia menambahkan dari 8.988 kasus AIDS di
Indonesia saat ini, 50 persen penularannya terjadi melalui napza suntik, 45 persen
melalui kontak seksual dan sisanya melalui transfusi darah dan transmisi
perinatal. Peningkatan kasus penularan HIV melalui NAPZA suntik di Indonesia
tidaklah mengherankan karena menurut estimasi nasional yang dikeluarkan
Departemen Kesehatan RI tahun 2006, populasi pengguna NAPZA suntik
berjumlah 219.130 dengan prevalensi 41,07%. Ini berarti pada tahun 2006
diperkirakan terdapat 90.002 ODHA pertahun (46 persen) dari total 193.940
ODHA di Indonesia. (Teddy Hidayat, 2008)
Angka penyalahgunaan bervariasi tergantung dari umur, Angka
ketergantungan atau penyalahgunaan adalah 13 % pada umur pada tahun 12
tahun, dan angka umumnya meningkat sampai angka tertinggi (25.4 % ) pada
umur 21 tahun. Setelah umur 21, umumnya mengalami penurunan sesuai dengan
pertambahan umur dan juga dikarenakan kepribadian lebih matang. Pada umur 65
tahun, hanya 1 % yang masih menggunakan zat gelap pada tahun terakhir.
(Kaplan & Sadocks, 2007)
Kabupaten Subang termasuk salah satu daerah rawan dari peredaran illegal
narkotika dan psikotropika. Menurut Polres Subang meningkatnya kasus Napza di
Kabupaten Subang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tahun Kasus
2001 27
2002 41
2003 55
2004 74

14
2005 65
2006 120
2007 135
2008 198
26 Kota/Kabupaten di Jawa Barat saat ini telah banyak ditemukan penderita
penyakit HIV/AIDS dengan jumlah kasus mencapai 5.382 kasus. Kota Bandung
dilaporkan terbanyak dengan jumlah penderita 1.385, Kota Bekasi sebanyak 516,
Kota Bogor sebanyak 251, Kota Sukabumi dengan 220 kasus, Kabupaten
Bandung sebanyak 156, dan Kabupaten Subang dengan 134 kasus. (Komisi
Kepolisian Indonesia, 2010)

2.1.5. Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA


2.1.5.1 Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Masalah penyalahgunaan NAPZA adalah masalah kesehatan yang kompleks
dan masalah sosial yang dapat dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Faktor Kepribadian
Dari hasil pengamatan dan penelitian terungkap bahwa tipe kepribadian
tertentu dari anak yang memiliki kemungkinan untuk dengan mudah
menyalahgunakan NAPZA, seperti :
Mudah kecewa, mudah bosan dan jenuh.
Ingin dianggap orang hebat.
Kepribadian ingin melanggar, suka mengambil resiko berlebihan.
Tidak tahu bagaimana mengambil keputusan yang bijaksana dan juga tidak
dapat memahami dan mengungkapkan perasaan hatinya kepada orang lain.
Mengalami kesulitan dalam bergaul sehingga mudah terbawa dalam
menggunakan obat, untuk dapat diterima dalam suatu kelompok.
Pola hidup keluarga, termasuk pola asuhan orangtua sangat besar
pengaruhnya terhadap pembentukan dan kepribadian anak.
2. Tersedianya NAPZA dan zat adiktif lainnya

15
Meningkatnya penyalahgunaan narkotika atau obat disebabkan oleh
tersedianya narkotika atau obat dimana-mana (dipemukiman, sekolah SMP /
SMU, dikampus, diwarung-warung kecil pun ada).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan remaja menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan dalam
konteks memengaruhi remaja untuk mengonsumsi atau menyalahgunakan
NAPZA. Setidaknya terdapat 3 lingkungan yang dapat memengaruhi remaja
menyalahgunakan NAPZA, yaitu Lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Karena itu, ketiga lingkungan tersebut dituntut untuk peduli
dalam membina remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan.
(Abdul Rozak, 2005 )

2.1.5.2. Alasan Menggunakan NAPZA


Ada beberapa alasan yang mendorong untuk menggunakan NAPZA :
1. Anticiptarory beliefs, supaya dirinya dinilai hebat, ikut mode,
sudah dewasa dan lain sebagainya
2. Belief oriented beliefs, untuk mengatasi rasa tegang, cemas, depresi
akibat stressor psiko-sosial.
3. Facilitative/permissive beliefs, dapat menerima pengguna NAPZA
sebagai suatu kebiasaan dalam hidup (akibat perubahan nilai).
(Abdul Rozak, 2005 )

2.1.5.3. Ciri Ciri Orang Yang Menggunakan NAPZA


Dibawah ini adalah ciri-ciri seseorang yang mempunyai kemungkinan besar
mengalami gangguan penggunaan NAPZA :
Sifat mudah kecewa dan kecenderungan menjadi agresif dan
destruktif.
Perasaan rendah diri
Suka tidur pada malam hari atau begadang
Cenderung mengabaikan peraturan peraturan

16
Adanya anggota keluarga lain yang juga meninum alkohol yang
berat atau pengguna NAPZA yang berlebihan
Adanya perilaku yang menyimpang, seperti hubungan seksual yang
tidak terlindung, putus sekolah, perilaku antisosial, sering berbohong dan
kenakalan remaja lainnya.
Cenderung memiliki gangguan jiwa, seperti kecemasan, obsesi,
apatis, menarik diri dalam pergaulan, depresi, kurang mampu menghadapi
stress atau sebaliknya hiperaktif.
Kurang motivasi atau dorongan untuk mencapai suatu keberhasilan
dalam pendidikan atau dalam lapangan kegiatan lainnya
Cepat menjadi bosan dan merasa tertekan, murung dan merasa
tidak sanggup berfungsi dalam kehidupan sehari hari.
Suka mencari sensasi, melakukan hal hal yang mengandung
resiko bahaya yang berlebihan.
Tidak bisa menunggu atau sabar yang berlebihan.
Berkawan dengan orang yang tergolong peminum berat atau
pemakai NAPZA.
Sudah mulai merokok pada usia yang didini daripada rata rata
perokok lainnya.
Kehidupan keluarganya atau dirinya yang kurang religius.
Adapun gejala-gejala dini dimana seseorang cenderung terlibat dalam
penyalahgunaan NAPZA, yaitu :
Selera makan berkurang
Pola tidurnya berubah : pagi susah dibangunkan, malam suka
begadang
Prestasi di sekolah, kampus, kerja menurun tajam.
Bersikap lebih kasar terhadap keluarga lainnya dibandingkan
sebelumnya.
Sekali- sekali dijumpai keadaan mabuk, bicara pelo (cadel) dan
jalan sempoyongan.

17
Banyak menghindar pertemuan dengan anggota keluarga lainnya
karena takut ketahuan bahwa ia menggunakan NAPZA. Banyak mengurung
diri di dalam kamar dan menolak ajakan makan bersama dengan keluarga
lainnya.
(Abdul Rozak, 2005 )

2.2. Narkotika
2.2.1. Definisi
Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika disebutkan
bahwa istilah narkotika diartikan dengan zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibagi
dalam 3 golongan, yaitu narkotika golongan I (alam), narkotika golongan II (semi
sintesis), dan narkotika golongan III (sintesis). ( Abdul Rozak, 2005 )
Narkotika adalah zat atau bahan aktif yang bekerja pada sistem saraf pusat
(otak), yang dapat menimbulkan penurunan kesadaran sampai hilangnya rasa
nyeri serta dapat menimbulkan ketergantungan. ( Edy Karsono, 2004)

2.2.2. Kanabis
2.2.2.1 Definisi
Sering disebut juga ganja, yakni sejenis tanaman yang dikeringkan yang
mengandung zat delta-9, yakni tetrahydrocannabinol (THC). Istilah yang sering
disebut selain ganja ialah rumput, grass, gele, daun jayus, gum, cimeng,
marijuana dan lain-lain. (Abdul Rozak, 2005)
Pada umumnya orang menghisap ganja bermaksud melarikan diri dari
kenyataan, ingin membebaskan diri dari beban pikiran yang kusut, ingin
memperoleh kegembiraan semu dan masa bodoh pada keadaan sekitar.
(Dadang Hawari, 2006)

2.2.2.2. Gambaran Klinis

18
Dapat menimbulkan beberapa dampak, diantaranya hilangnya konsentrasi,
peningkatan denyut jantung, kehilangan keseimbangan dan koordinasi diri, rasa
gelisah dan panik, depresi, dan kebingungan.
(Edy Karsono, 2005)

2.2.2.3. Gejala Putus Kanabis


Gejala putus kanabis pada manusia adalah terbatas sampai peningkatan ringan,
iritabilitas, kegelisahan, insomnia, anoreksia dan mual ringan. Semua gejala
tersebut ditemukan hanya jika seseorang menghentikan kanabis dosis tinggi
secara mendadak. ( Kaplan & Sadocks 2007)

2.2.2.5. Efek Merugikan


Efek merugikan potensial yang paling serius dari pengguna kanabis yang berat
ialah resiko pernafasan kronis dan kanker paru-paru. Intoksikasi kanabis pun
dapat menyebabkan delirium, gangguan kognitif, dan tugas kinerja yang jelas,
mengganggu tingkat kesadaran mempunyai efek nyata pada pengukuran kognitif
tersebut. Penggunaan kanabis jangka panjang dapat menyebabkan atrofi serebral.
( Kaplan & Sadocks, 2007)

2.2.3. Kokain
2.2.3.1. Definisi
Kokain meripakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar
erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan. Sebelumnya, daun tanaman
belukar tersebut biasa sikunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek
stimulan. Cocaine hydrochloride merupakan zat perangsang yang sangat kuat
yang terbentuk dari kristalisasi bubuk putih yang disuling dari daun coca.
(Edy Karsono, 2005)
2.2.3.2. Gambaran Klinis
Mereka yang mengkonsumsi narkotika jenis kokain akan mengalami gejala-
gejala perubahan psikologik, yaitu :

19
Euforia ialah gangguan pada afektif (alam/perasaan/mood), yang
bersangkutan merasakan kegembiraan dan kenyamanan tanpa sebab dan tidak
wajar.
Agitasi psikomotor, dimana yang bersangkutan menunjukan
kegelisahan, tidak tenang, tidak dfapat diam, dan tidak agitatif.
Rasa gembira (elation), dimana yang bersangkutan merasakan
kegembiraan yang berlebihan sehingga ketelitian dan ketekunan menurun,
fungsi kontrol diri menurun.
Rasa harga diri yang meningkat (grandiosity). Disini yang
bersangkutan merasa dirinya hebat (superior) sehingga permasalahan-
permasalahan kehidupan yang dihadapinya tidak ditanggapi secara wajar dan
cenderung meremehkan. Banyak kesalahan yang dilakukan karena dia
memepunyai rasa percaya diri yang berlebihan (over confidence).
Banyak bicara
Kewaspadaan meningkat
Halusinasi dapat terjadi 50 % dari semua pemakai kokain.
Gangguan psikotik akibat kokain paling sering pada pemakai intravena dan
pemakai crack.
Disfungsi seksual (impotensi) dan gangguan tidur.
(Kaplan & Sadocks, 2007 ; Dadang Hawari, 2006 )

2.2.3.3. Gejala Putus Kokain


Gejala putus kokain ditandai disforia, kadang-kadang agitasi, kecemasan,
depresi, anhedonia, kelelahan, iritabilitas, hipersomnolen. Disini juga dapat terjadi
gangguan tidur (insomnia) dan gangguan mimpi bertambah. Gejala putus kokain
dapat disertai dengan kecenderungan bunuh diri. (Kaplan & Sadocks, 2007)

2.2.3.4. Efek Merugikan


Efek merugikan yang umum berhubungan dengan pemakaian kokaian ialah
kongesti hidung, walaupun peradangan, pembengkakan, perdarahan dan ulserasi

20
berat pada mukosa hidung juga dapat terjadi. Pemakaian kokain jangka panjang
juga dapat menyebabkan perforasi septum hidung. Penggunaan kokain intravena
adalah disertai infeksi, embolisme dan penularan sindroma imunodefisiensi
didapat (AIDS).
Komplikasi penggunaan kokain adalah adanya gangguan neurologis ringan
seperti perkembangan distonia akut, tics, dan nyeri kepala ringan mirip migrain.
(Kaplan & Sadock s, 2007)

2.2.4. Opioid (Opiat)


2.2.4.1. Definisi
Kata opioid dan opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium,
papaver somniferum, yang kira kira mengandung 20 alkaloid opium, termasuk
morfin. Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin
(diacetylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphine (Dilaudid).
Opiat dan opioid dapat digunakan peroral, dihirup intranasal, disuntikkan
intravena, atau disuntikkan subkutan. Nama populer opioid adalah putaw, etep,
PT, putih. (Kaplan & Sadocks, 2007)

2.2.4.2. Gambaran Klinis


Mereka yang mengkonsumsi narkotika jenis opioid akan memperlihatkan
perubahan-perubahan fisik seperti pupil mengecil atau sebaliknya melebar,
depresi pernafasan, kontraksi otot polos (termasuk ureter dan saluran empedu),
nyeri otot, konstipasi, perubahan tekanan darah, kecepatan denyut jantung dan
temperatur tubuh. Mereka yang mengkonsumsi narkoba jenis opioid akan
memperlihatkan perubahan perubahan mental (gejala psikologik) sebagai
berikut :
a. Euforia yang tinggi (rush) atau sebaliknya disforia.
b. Apatis
c. Retardasi psikomotor. Orang yang merasakan kelesuan dan
ketidakadaan tenaga. Gerak dan aktivitas fisik merosot sehingga terkesan
malas

21
d. Mengantuk/tidur. Orang setelah mengkonsumsi narkotika jenis
opioid ini cenderung mengantuk dan tidur berkepanjangan. Pada umumnya
penyalahguna tidak dapat tidur pada malam hingga dini hari, tetapi setelah
mengkonsumsi narkotika jenis opioid ini yang bersangkutan dapat tertidur
hingga siang hari bahkan sore keesokan harinya.
e. Pembicaraan cadel (slurred speech).
f. Gangguan pemusatan perhatian dan konsentrasi, daya ingat
menurun.
g. Halusinasi dan waham.
(Kaplan & Sadocks, 2007 ; Dadang Hawari, 2006)

2.2.4.3. Gejala Putus Opioid (Opiat)


Gejalanya disini berupa kram otot parah dan nyeri tulang, nyeri kepala, diare
berat, kram abdomen, rhinorea dan lakrimasi, piloereksi atau gooseflesh,
menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi, takikardia, dan disregulasi temperatur
(termasuk hipotermia dan hipertermia). Seseorang dengan ketergantungan opioid
jarang meninggal karena ketergantungan opioid, kecuali orang tersebut memiliki
penyakit fisik dasar yang parah, seperti suatu penyakit jantung. Gambaran
penyerta putus opioid adalah kegelisahan, iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan,
mual dan muntah. (Kaplan & Sadocks, 2007 ; Dadang Hawari, 2006)

2.2.4.4. Efek Merugikan


Efek merugikan yang paling sering dan paling serius adalah kemungkinan
transmisi hepatitis dan HIV melalui penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi
oleh lebih dari satu orang.
Kematian seringkali disebabkan oleh overdosis dengan akibat berupa
komplikasi medik, yaitu edema (pembengkakan) paru akut sehingga pernafasan
berhenti. Gejala overdosis adalah hilangnya responsivitas yang nyata, koma,
pernafasan lambat, hipotermia, hipotensi, dan bradikardia.
(Kaplan & Sadocks, 2007 ; Dadang Hawari, 2006)

22
2.3. Psikotropika
2.3.1. Definisi
Psikotropika adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika, bekerja pada sistem
saraf pusat dan dapat menyebabkan perasaan khas pada aktivitas mental dan
perilaku serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan).
(Edy Karsono, 2004)
Psikotropika dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika disebutkan bahwa yang dimaksud psikotropika adalah zat atau obat,
baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku. ( Abdul Rozak, 2005)

2.3.2. Amphetamine
2.3.2.1. Definisi
Golongan stimulansia adalah jenis obat yang merangsang sistem syaraf pusat,
sehingga aktivitas seseorang semakin meningkat. Amphetamine beredar dengan
nama jalanan ice, khat, crystal, meth, pil ekstasi, eve, shabu-shabu dan speed.
Amphetamine digunakan untuk meningkatkan daya kerja dan untuk
menginduksi perasaan euforik, contohnya pada pelajar yang belajar untuk ujian,
pengendara truk jarak jauh, atlet dalam kompetisi, dan lain-lain.
Methamphetamine merupakan bentuk poten dari amphetamine yang dapat
diinhalasi, diisap sepert rokok, atau disuntik secara intravena.
(Kaplan & Sadocks, 2007 dan Dadang Hawari, 2006)
Bahan bahan amphetamine yang sering disalahgunakan diantaranya :
a. Ekstasi.
Rumus kimia ekstasi adalah 3,4-methylene-dioxymethamphetamine
(MDMA). Ekstasi mulai bereaksi setelah 20 60 menit diminum. Efeknya
berlangsung maksimum 1 jam.
b. Shabu-shabu.

23
Shabu-shabu berbentuk kristal, biasanya berwarna putih, dan dikonsumsi
dengan cara membakarnya diatas alumunium foil sehingga mengalir dari
ujung satu kearah ujung yang lainnya. Sebagian pemakai yang memilih
membakar shabu dengan pipa kaca karena takut efek yang mungkin
ditimbulkan alumunium foil yang terhirup (Dadang Hawari, 2006)

2.3.2.2. Gambaran Klinis


Mereka yang mengkonsumsi psikotropika jenis amphetamine akan
memperlihatkan perubahan-perubahan mental (gejala psikologik) sebagai berikut,
adanya ewaspadaan meningkat (paranoid), merupakan tanda utama gangguan
psikotik. Halusinasi visual yang menonjol juga dapat terjadi. Adanya
hiperaktivitas, dimana orang tidak dapat diam dan selalu bergerak. Selain itu
dapat juga terjadi gangguan kecemasan dan mood, delirium.
(Kaplan & Sadocks, 2007)

2.3.2.3. Gejala Putus Amphetamine


Gejala putus amphetamine ditandai dengan kecemasan, gemetar, mood
disforia, letargi, fatique, mimpi menakutkan, nyeri kepala, keringat banyak, kram
otot, dan rasa lapar yang tidak pernah kenyang. Gejala putus amphetamine yang
paling serius adalah depresi, yang dapat berat setelah penggunaan amphetamine
dosis tinggi secara terus menerus dan yang dapat disertai dengan ide atau usaha
bunuh diri. (Kaplan & Sadocks, 2007 ; Dadang Hawari, 2006)

2.3.2.4. Efek Merugikan


Kematian seringkali terjadi karena overdosis yang disebabkan rangsangan
susunan saraf otak yang berlebihan dengan akibat kegelisahan, pusing, refleks
meninggi, gemetar (tremor), tidak dapat tidur, pemarah, bingung, halusinasi,
panik, tekanan darah meninggi atau merendah, denyut jantung tidak teratur, nyeri
dada, kejang kejang ( Kaplan & Sadocks, 2007)

24
2.3.3. Halusinogen
2.3.3.1. Definisi
Halusinogen disebut psikodesleptika dan psikotomimetik karena disamping
menyebabkan halusinasi, obat tersebut menyebabkan hilangnya kontak dengan
realitas dan suatu perluasan dan peninggian kesadaran.
Halusinogen alami kalsik adalah psilosibina ( dari semacam jamur) dan
mescalin (dari kaktus peyote). Halusinogen alami lainnya adalah harmin,
harmaline, ibogaine, dan dimethyl-tryptamine (DMT). Halusinogen sintetik klasik
adalah lysergic acid diethylamide (LSD). (Kaplan & Sadocks, 2007)

2.3.3.2. Gambaran Klinis


Mereka yang mengkonsumsi psikotropika jenis halusinogen akan
memperlihatkan perubahan-perubahan fisik, seperti dilatasi pupil, takhikardi,
berkeringat, palpitasi, pandangan kabur, tremor, dan inkoordinasi.
(Dadang Hawari, 2006)

2.4. Zat Adiktif


2.4.1. Definisi
Zat adiktif adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika atau psikotropika yang
bekerja pada sistem syaraf pusat dan dapat menimbulkan ketergantungan psikis.
Zat adiktif menurut Undang Undang Republik Indonesia No 23 tahun 1992
tentang Kesehatan, yaitu bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan
ketergantungan psikis. ( Dadang Hawari, 2006 )

2.4.2. Inhalan
2.4.2.1. Definisi Inhalan
Inhalan merupakan zat adiktif dalam bentuk cair. Zat ini mudah menguap.
Penyalahgunaannya adalah dengan cara dihirup melalui hidung.

25
Zat-zat yang termasuk kedalam inhalan adalah bahan bakar, lem, cairan
pembersih, cat semporot, pengencer cat, semir sepatu, dan lain-lain.
Senyawa aktif dalam inhalan tersebut adalah toluene, actone, benzene,
trichlorthane, perchloroethylene, trichloroetylene, 1.2-dichloropropane, dan
hidrokarbon berhalogen. ( Kaplan & Sadocks, 2007 )

2.4.2.2. Gambaran Klinis


Mereka yang menggunakan zat adiktif jenis inhalan akan memperlihatkan
perubahan-perubahan fisik seperti pusing, nistagmus, inkoordinasi, bicara cadel,
gaya berjalan tidak mantap, anoreksia, bercak kemerahan disekitar hidung dan
mulut pasien, bau nafas yang tidak biasa, tremor, pandangan kabur, dan diplopia.
Mereka yang mengkonsumsi zat adiktif jenis inhalan akan memperlihatkan
perubahan perubahan mental (gejala psikologis) seperti delirium, anoreksia,
demensia menetap, depresi, dan gangguan panik. (Kaplan & Sadocks, 2007)

2.4.2.3. Gejala Putus Inhalan


Gejala putus inhalan tidak sering terjadi, kalaupun ada muncul dalam bentuk
gangguan tidur, iritabilitas, kegugupan, berkeringat, mual,muntah, takhikardia,
dan kadang-kadang waham dan halusinasi.

2.4.2.4. Gejala Merugikan


Efek merugikan yang paling serius adalah kematian yang disebabkan kerena
depresi pernafasan, aritmia jantung, asfiksia, aspirasi muntah atau kecelakaan.
(Kaplan & Sadocks, 2007)

2.4.3. Kafein
2.4.3.1. Definisi
Kafein merupakan satu alkaloid yang berkhasiat sebagai stimulansia
psikomotor. Terdapat di berbagai makanan, minuman, dan juga obat yang dapat
dibeli bebas maupun dengan resep. Kafein merupakan zat psikoaktif yang paling
banyak digunakan. ( Kaplan & Sadocks, 2007)

26
Kafein menimbulkan toleransi, tetapi cepat hilang. Penggunann kafein sehari
sedikitnya 250 mg diperlukan untuk menimbulkan intoksikasi. (Kaplan &
Sadocks 2007)
Peminum kopi biasanya menghabiskan 2-3 gelas sehari dengan perkiraan
jumlah kafein 150 250 mg. Secangkir kopi rata rata mengandung 100 150
mg kafein, mendekati dosis terapi. (Kaplan & Sadocks 2007)

2.4.3.2. Gambaran Klinis


Reaksi panik akan timbul jika jumlah kafein yang diminum melebihi 500-600
mg, efek intoksikasi kafein berlangsung hanya untuk beberapa jam dan jarang
menimbulkan kematian. Dosis lethal akut pada orang dewasa antara 5 10 gram.
Reaksi yang tidak diinginkan mulai terlihat pada penggunaan kafein 1 gram ( 15
mg/kg BB), diantaranya seperti gelisah, eksitasi (penuh gairah), insomnia, muka
merah, mioklonus, poliuria, gangguan gastrointestinal, arus pikir cepat, banyak
bicara, takhikardia dan aritmia jantung, kegiatan tanpa lelah, agitasi. (Kaplan &
Sadocks 2007)

2.4.3.3. Gejala Putus Kafein


Gejala putus kafein seperti gelisah, gugup, mudah tersinggung, nyeri kepala,
kelelahan, gemetar, lethargi, tak mampu kerja efektif, turunnya kesiagaan, hidung
beringus, mual sampai muntah, penarikan diri secara sosial, kadang-kadang
timbul depresi.
Pada mereka yang telah ada penyakit jantung, pada pasien ulkus lambung,
wanita hamil dan menyusui dianjurkan untuk tidak menggunakan produk yang
menggunakan kafein. (Kaplan & Sadocks, 2007)

2.4.4. Nikotin
2.4.4.1. Definisi
Nikotin merupakan salah satu zat yang sangat tinggi sifat adiktifnya dan
penggunaannya luas di seluruh dunia, merupakan penyebab kanker paru,
emfisema, dan penyakit kardiovaskular.

27
Bagi mereka yang tidak merokok pun tetapi terkena asap rokok dari mereka
yang merokok (perokok pasif) juga akan mengalamu gangguan pada kesehatan
dengan resiko yang sama, oleh karena itu tembakau (rokok) disebut pula sebagai
racun yang menular. (Dadang Hawari, 2006)

2.4.4.2. Gejala Putus Nikotin


Gejala yang sering kita temukan ialah ketegangan, depresi, pencarian nikotin
yang kuat, sulit berkonsentrasi, gangguan tidur, mengantuk, penurunan kecepatan
denyut jantung dan tekanan darah, penambahan berat badan, dan peningkatan
ketegangan otot. (Dadang Hawari, 2006 ; Kaplan Sadocks, 2007)

2.4.4.3. Efek Merugikan


Nikotin adalah zat kimia yang sangat toksik. Dosis 60 mg pada orang dewasa
adalah mematikan sekunder karena paralisis otot pernafasan, dosis 0,5 mg
diberikan dengan menghisap rokok yang umum. Pada dosis rendah, tanda dan
gejala toksisitas nikotin adalah mual, muntah, salivasi, kelemahan, nyeri
abdominal, pusing, nyeri kepala dan keringat dingin. Penggunaan tembakau
selama kehamilan dapat terjadi peningkatan insidensi bayi dengan berat badan
lahir rendah. ( Kaplan & Sadocks, 2007)

2.5. Alkohol
2.5.1. Definisi
Alkohol merupakan jenis minuman yang mengandung unsur kimia etil alkohol
atau etanol yang sering disebut dengan grain alcohol. Etil alkohol atau etanol
etanol berbentuk cairan jernih, tidak berwarna dan rasanya pahit. Alkohol dapat
diperoleh dari hasil fermentasi (peragian) oleh mikroorganisme dari gula, sari
buah, biji-bijian, madu, umbi-umbian dan getah kaktus tertentu.
(Abdul Rozak, 2005)
Miras atau minuman keras adalah sejenis NAPZA dalam bentuk minuman
yang mengandung alkohol dan tidak peduli berapa kadar alkohol di dalamnya.
Alkohol termasuk ke dalam zat adiktif, artinya zat tersebut dapat menimbulkan

28
adiksi (addiction) yaitu ketagihan dan dependensi (ketergantungan).
(Dadang Hawari, 2006)

2.5.2. Gambaran Klinis


Mereka yang menggunakan NAPZA jenis alkohol akan memperlihatkan gejala
psikologik sebagai berikut, yaitu disfungsi seksual, gangguan tidur, gangguan
kecemasan (serangan panik, gejala obsesif-kompulsif), gangguan mood, gangguan
amnestik menetap (gangguan daya ingat jangka pendek), demensia memetap,
delirium, waham dan halusinasi.
( Dadang Hawari, 2006 & Kaplan Sadocks, 2007)

2.5.3. Gejala Putus Alkohol


Tanda klasik dari putus alkohol adalah gemetar, meluas sampai termasuk
gejala psikotik dan persepsi, kejang, midriasis, berkeringat, kemerahan wajah dan
delirium tremens (DTs). Keadaan yang dapat mempredisposisikan atau
memperberat gejala putus alkohol ialah kelelahan, malnutrisi, penyakit fisik dan
depresi. ( Kaplan & Sadocks, 2007 ; Dadang Hawari, 2006)

2.5.4. Efek Merugikan


Penyalahgunaan NAPZA jenis alkohol ini tidak hanya menimbulkan gangguan
mental dan perilaku, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan
pada otak, liver ( hati), alat pencernaan, pankreas, otot, janin, endokrin, nutrisi,
metabolisme dan resiko kanker. ( Dadang hawari, 2006 ; Warren Thompson,
2007)

2.6. Dampak Dari NAPZA


Dampak dari masalah NAPZA adalah multidimensi, meliputi :
1. Dimensi Kesehatan
Ditinjau dari dimensi kesehatan NAPZA terbagi dua dampak, yaitu dampak
negatif dan dampak positif.

29
Penggunaan penyalahgunaan NAPZA dapat menimbulkan dampak negatif
bagi individu yang mengkonsumsi sebagai berikut :
a) Dapat merusak kesehatan manusia baik secara jasmani maupun
mental dan emosional.
b) Merusak susunan syaraf pusat di otak.
c) Merusak sistem reproduksi, yaitu produksi sperma menurun,
penurunan hormon testosteron, kerusakan kromosom, dan aborsi.
d) Infeksi saluran nafas bawah.
e) Menimbulkan gangguan pada perkembangan normal remaja.
f) Hepatitis C, Sirosis Hepatis, HIV, AIDS.
Dampak positif NAPZA adalah apabila pemakaiannya di bidang kedokteran
dipakai, antara lain mengontrol penyakit diare, sebagai obat premedikasi
sebelum anestesi dan pembedahan, morfin dapat digunakan meringankan
dispnea karena edema paru, sebagai analgesia dimana dpat menghilangkan
rasa nyeri, dan banyak digunakan selama proses persalinan.
(Abdul Razak, 2005)
2. Dimensi Sosial dan Pendidikan
Dari segi dimensi sosial dan pendidikan penyalahgunaan NAPZA dapat
menimbulkan berbagai macam hal sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan NAPZA dapat memperburuk kondisi keluarga
yang pada umumnya tidak harmonis. Keluarga-keluarga yang penuh
masalah ini akan mempengaruhi kehidupan di lingkungan masyarakat.
2. Untuk membiayai ketergantungan NAPZA seseorang memerlukan
banyak biaya untuk membeli NAPZA, sehingga para pecandu NAPZA
mencuri, merampok, mengedarkan NAPZA bahkan bisa membunuh untuk
mendapatkan uang. Hal ini yang sangatlah merugikan masyarakat.
3. Para pecandu NAPZA pada umumnya menjadi orang yang asosial.
4. Kerugian didlalam bidang pendidikan juga dapat menjadi
persentase yang cukup tinggi, yaitu prestasi sekolah merosot 96% bagi
mereka yang menyalahgunakan NAPZA, sering tidak masuk sekolah, dan
dikelas pun mereka tidak dapat berkonsentrasi dengan baik.

30
5. Keadaan sekolah yang tidak kondusif dapat mengganggu proses
belajar mengajar anak didik, yang pada gilirannya dapat memberikan
peluang pada anak didik untuk berperilaku menyimpang. Contohnya :
sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai, jumlah kualitas tenaga
pendidik atau pengajar yang tidak memadai, kurikulum sekolah yang
sering berganti ganti, jumlah mata pelajaran yang berlebihan, lokasi
sekolah didaerah yang tidak sesuai dengan suasana belajar mengajar,
misalnya di daerah rawan, dipusat perbelanjaan, dan hiburan.
(Edy Karsono, 2004 ; Dadang Hawari, 2006)

2.7 Tindakan Preventif terhadap NAPZA


Langkah langkah yang dapat dipersiapkan dalam rangka prevensi dan
promosi akan bahaya penyalahgunaan NAPZA ialah :
A. Program Informasi
Materi dan cara memberikan informasi hendaklah sesuai dengan penerima
informasi. Suatu pesan yang sifatnya sama, misalnya pesan melalui media
massa akan diterima berbagai kelompok dalam masyarakat yang berbeda-
beda, bisa diartikan secara berbeda pula, sehingga timbul dampak yang tidak
diinginkan.
B. Program Pendidikan Afektif
Bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, mendewasakan kepribadian,
meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan yang bijak,
menghilangkan gambaran negatif mengenal diri sendiri dan meningkatkan
kemempuan komunikasi interpersonal.
C. Program Penyediaan Pilihan yang Bermakna
Konsep ini bertujuan untuk mengalihkan penggunaan NAPZA kepada pilihan
lain yang diharapkan dapat memberikan kepuasan bagi kebutuhan manusiawi
yang mendasar, fisik maupun psikologis. Kebutuhan yang dimaksud antara
lain ialah kebutuhan ingin tahu, kebutuhan mengalami hal-hal dalam
hidupnya, kebutuhan terbentuknya ideantitas diri, kebutuhan akan bebas

31
berpikir dan berbuat, kebutuhan akan penghargaan serta kebutuhan diterima
dalam kelompok.
D. Pengenalan Dini dan Intervensi Dini
Mengenal baik ciri anak-anak yang mempunyai resiko tinggi terhadap
penggunaan NAPZA. Termasuk mereka yang telah berada dalam taraf
eksperimental. Segera memberikan dukungan moril bilamana anak
mengalami/menghadapi masa krisis dalam hidupnya. Disini sangat penting
peran guru BP dan orang tua. Bila tak teratasi segera rujuk tenaga ahli.
E. Program Latihan Keterampilan Psikososial
Latihan ini diterapkan atas dasar teori bahwa gangguan penggunaan obat
merupakan perilaku dipelajari seseorang dalam lingkup pergaulan sosialnya
dan mempunyai maksud dan makna tertentu bagi yang bersangkutan.
Pschological inoculation :
Dalam pelatihan ini diperlihatkan bagaimana remaja mendapat tekanan dari
pergaulannya agar mereka merokok. Lalu di kembangkan sikap dorongan dan
tekanan untuk merokok itu. Dalam hal ini dipergunakan persepsi yang salah
mengenai rokok dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh rokok baik bagi
perokok sesaat maupun kronis.
Personal and social skill training :
Kepada remaja dikembangkan sikap suatu keterampilan dalam menghadapi
problema hidup menyebabkan mereka mampu menolak suatu ajakan (just say
NO) serta mengembangkan keberanian dan keterampilan untuk
mengekspresikan keberanian sehingga ia terbebas dari bujukan atau tekanan
sekelompoknya.
(Dadang Hawari, 2004)

2.8 Rehabilitasi dan Terapi


2.8.1. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para
mantan penyalahguna/ketergantungan NAPZA kembali sehat, dalam arti sehat
fisik, psikologik, sosial dan spiritual/agama (keimanan). Dengan kondisi sehat

32
diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan
sehari hari baik di rumah, di sekolah, di kampus, di tempat kerja dan di
lingkungan sosialnya
Program rehabilitasi lamanya tergantung dari metode dan program dari
lembaga yang bersangkutan, biasanya lama rehabilitasi antara 3 -6 bulan.
a. Rehabilitasi Medik
Dengan rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahguna/
ketergantungan NAPZA benar-benar sehat secara fisik dan dalam arti
komplikasi mesik diobati dan disembuhkan, atau dengan kata lain terapi
medik masih dapat dilanjutkan. (Dadang Hawari, 2004 dan 2006 )
b. Rehabilitasi Psikiatrik
Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang semula
berperilaku maladatif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan
tindakan anti sosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi
dengan baik dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan
mengasuhnya.
Adapun konsultasi keluarga yang penting dilakukan agar keluarga memahami
aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA, bagaimana mengatasinya apabila di
lain waktu kembali menggunakan NAPZA dan bagaimana cara untuk tidak
kambuh terhadap NAPZA. ( Dadang Hawari, 2004 dan 2006)

2.8.2. Terapi
Terapi (pengobatan) terhadap penyalahguna dan ketergantungan NAPZA
haruslah rasional dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi medik, psikiatrik,
sosial dan agama. Terapi yang di maksud diatas terdiri dari 2 tahapan. Yaitu
detoksifikasi dan pasca detoksifikasi ( pemantapan) yang mencakup komponen-
komponen sebagai berikut :
A. Terapi Medik Psikiatrik ( detoksifikasi)
Metode detoksifikasi ini memakai system blok total (abstinentia totalis),
artinya pasien pengguna NAPZA tidak boleh lagi menggunakan NAPZA dan

33
turunannya, dan juga tidak menggunakan obat-obatan sebagai
pengganti/substitusi.
B. Terapi Medik- Psikiatri
Telah diuraikan bahwa di muka akibat NAPZA adalah terganggunya sistem
syaraf neurotransmitter pada susunan syaraf otak yang menimbulkan
gangguan mental dan perilaku.
Untuk mengatasi gangguan tersebut diatas digunakan obat-obatan yang
berkhasiat memperbaiki gangguan fungsi neuro-transmiter pada susunan saraf
pusat (otak), yaitu yang dinamakan psikofarmaka golongan major
transquilizer yang tidak menimbulkan adiksi dan dependensi ( tidak berakibat
ketagihan dan ketergantungan).
C. Terapi Medik- Somatik
Terapi medik-somatik disini adalah penggunaan obat-obatan yang berkhasiat
terhadap kelainan-kelainan fisik baik sebagai akibat dilepaskannya NAPZA
dari tubuh (detoksifikasi) yaitu gejala putus NAPZA (withdrawal symptoms)
maupun komplikasi medik berupa kelainan oragn tubuh akibat
penyalahgunaan dan ketergantunagn NAPZA.
D. Terapi Psikososial
Terapi psikososial disini adalah upaya untuk memulihkan kembali
kemampuan adaptasi ketergantungan NAPZA kedalam kehidupannya sehari-
hari. Diharapkan antisosial tersebut dapat berubah menjadi perilaku yang
secara sosial dapat diterima (adaptive behaviour).
E. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap para pasien penyalahgunaan/
ketergantungan NAPZA ternyata memegang peranan penting, baik dari segi
pencegahan (prevensi), terapi maupun rehabilitasi.
( Dadang Hawari, 2004 dan 2006)

34
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia


menunjukan adanya kecenderungan yang terus meningkat, bahkan sudah sangat
memprihatinkan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan Laporan Narkoba Dunia (World Drug Report) dari UNODC (2007)
jumlah penyalahguna narkoba di dunia sebesar 200 juta orang (4.8% dari populasi
dunia) yang terdiri dari : 158.8 juta orang (ganja), 24.9 juta orang (amfetamin),
8.6 juta orang (ecstasy), 14.3 juta orang (kokain), 15.6 juta orang (opiat) dan 11,1
juta orang (heroin). Adanya peningkatan jumlah penyalahguna narkoba, dari 210
juta akhir tahun 1990 menjadi 230 juta tahun 2006. Di Indonesia, prevalensi
penyalahgunaan obat tahun 2005 terhadap penduduk dunia usia 15-64 tahun ialah
opium 0.2%, kokain 0.03%, amfetamin 0.3%, ecstasy 0.3%, ganja 0.7%. Data
Badan Narkotika Provinsi (BNP) Jabar mencatat 4.499 kasus NAPZA dari tahun
2005-2008, angkanya bisa mencapai 7.056 kasus jika dihitung dari jumlah
tersangka. (UNODC, 2007 ; Teddy Hidayat, 2008)
Kabupaten Subang termasuk salah satu daerah rawan dari peredaran illegal
narkotika dan psikotropika. Menurut Polres Subang meningkatnya kasus Napza di
Kabupaten Subang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tahun Kasus
2001 27
2002 41
2003 55
2004 74
2005 65
2006 120
2007 135
2008 198
(Komisi Kepolisian Indonesia, 2010)
Puskesmas Cikalapa kabupaten Subang membawahi 4 desa, diantaranya desa
Soklat 819 kepala keluarga, desa Wanareja 1070 kepala keluarga, desa Parung 674
kepala keluarga, dan desa Pasir Kareumbi 774 kepala keluarga. Puskesmas
Cikalapa tidak mempunyai fasilitas tempat rehabilitasi dan terapi bagi pengguna

35
NAPZA, tetapi disini dilakukan promosi kesehatan melalui penyuluhan di daerah
wilayah kerja dengan melibatkan remaja sebagai sasaran utama, orang tua, guru,
tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Selain itu disini juga dibentuk bimbingan
konseling di tempat-tempat pendidikan untuk pendekatan terhadap remaja karena
remaja seringkali terlibat masalah ini. Angka kejadian mengenai
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA yang didapatkan di Puskesmas Cikalapa
tidak ada. Adapun data yang didapatkan pada Puskesmas Cikalapa adalah data
mengenai banyaknya orang yang merokok, diantaranya desa Soklat 403 kepala
keluarga, desa Wanareja 824 kepala keluarga, desa Parung 470 kepala keluarga,
dan desa Pasir Kareumbi 505 kepala keluarga. Sulit sekali untuk mengungkapkan
data penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA karena orang yang terlibat biasanya
sangatlah tertutup, sehingga perlu dilakukan pendekatan yang baik. Maka dari itu
biasanya hasil akhir adalah tidak didapatkannya data yang maksimal. Hal ini
bagaikan fenomena gunung es (ice berg) artinya yang tampak dipermukaan lebih
kecil dibandingkan yang tidak tampak.
Saran untuk puskesmas Cikalapa adalah mempererat dukungan dan partisipasi
masyarakat, organisasi masyarakat ataupun badan-badan penegak hukum, badan-
badan kesehatan sosial dalam program pemberantasan dan pencegahan
penyalahgunaan NAPZA, dan juga mengadakan penyuluhan-penyuluhan
mengenai NAPZA. Selain itu, peran bimbingan konseling di sekolah dapat
ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak. 2005. Remaja dan Bahaya Narkoba. Jakarta : Prenada Media

36
Badan Narkotika Nasional. 2008. Situasi Permasalahan Penyalahgunaan Dan
Peredaran Gelap Narkoba. www.bnn.go.id/file/statistik/Himpunan%20%Lit%20BNN
%202003%20&%202004.pdf. 18 Oktober, 2010.

Badan Narkotika Nasional. 2009. http://www.bnn.go.id/konten.php?


nama=Statistik&op=dl_statistik&namafile=DATA%20PELAKU%20&%20KORBAN
%20NARKOBA_desember%2008_update%20250407.xls. 18 Oktober, 2010.

Dadang Hawari. 2006. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA ( Narkotika, Alkohol,


dan Zat Adiktif). Edisi 2. Jakarta : Gaya Baru.

Dadang Hawari. 2004. TERAPI (Detoksifikasi) dan REHABILITASI (Pesantren)


MUTAKHIR (Sistem Terpadu) PASIEN NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif lain).
Edisi 6. Jakarta : UI PRESS.

Ditjen PPM & PL Depkes RI. 2007. http://www.aids/ina.org/files/datakasus/jun2007. 18


Oktober, 2010.

Edy Karsono. 2007. Mengenal Kecanduan NARKOBA & MINUMAN KERAS. Edisi 1.
Bandung : CV YRAMA WIDYA.

Kaplan, H.I., Sadock, BJ., Grebb, J.A. 2007. Synopsis of Psychiatry : Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 10 th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, a
Wolters Kluwer Bussiness.

Komisi Kepolisian Indonesia. 2010.


http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=artikle&id=2712. October
18, 2010.

Marviana, Dian M. 2002. Pengetahuan Dasar NAPZA. Jakarta : PT. Bpk Gunung Mulia.

Soekidjo Notoadmojo. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta : PT Rineka
Cipta.

Teddy Hidayat. 2008. Ketergantungan Narkoba. http://www.pikiran-


rakyat.com/cetak/0503/31/hikmah/lainnya.htm. October 18 , 2010.

UNODC. 2007. http://www.bnn.go.id/konten.php?


nama=Buku&op=dl_buku&namafile=WDR_2007.pdf

Zainal Fikri, 2007. Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Jakarta : CV.
Sagung Seto.

37

Anda mungkin juga menyukai