Anda di halaman 1dari 12

V.

Learning Objective

1. M4. Syarat yang harus dipenuhi dalam mendirikan sarana pelayanan keSehatan

2. M4 Standar pelayanan kesehatan masyarakat

3. M4 Aspek hukum yang mengatuur tentang kegawatdaruratan

4. M4 Aspek hukum yang mengatur tentang kelalaian dan malpraktek

5. M4 Peran pemerintah dibidang kesehatan

VI. Mengumpulkan Informasi

VII. Pembahasan LO

1. M4 syarat yang harus dipenuhi dalam mendirikan sarana pelayanan kesehatan

Sebagaimana dalam permenkes bagian Bagian Ketiga, yaitu ttg

Prasarana

Pasal 8

(1) Prasarana Klinik meliputi:


a. instalasi sanitasi;
b. instalasi listrik;
c. pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
d. ambulans, khusus untuk Klinik yang menyelenggarakan rawat inap; dan
e. sistem gas medis;
f. sistem tata udara;
g. sistem pencahayaan;
h. prasarana lainnya sesuai kebutuhan.
(2) Sarana dan Prasarana Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan terpelihara
dan berfungsi dengan baik.

Bagian Keempat
Ketenagaan
Pasal 9

(1) Penanggung jawab teknis Klinik harus seorang tenaga medis.


(2) Penanggung jawab teknis Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki Surat Izin
Praktik (SIP) di Klinik tersebut, dan dapat merangkap sebagai pemberi pelayanan.

Pasal 10

Tenaga Medis hanya dapat menjadi penanggung jawab teknis pada 1 (satu) Klinik.
Pasal 11

(1) Ketenagaan Klinik rawat jalan terdiri atas tenaga medis, tenaga keperawatan, Tenaga Kesehatan lain,
dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
(2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan,
tenaga gizi, tenaga analis kesehatan, Tenaga Kesehatan lain dan tenaga non kesehatan sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Jenis, kualifikasi, dan jumlah Tenaga Kesehatan lain serta tenaga non kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan
oleh Klinik.

Pasal 12

(1) Tenaga medis pada Klinik pratama yang memberikan pelayanan kedokteran paling sedikit terdiri dari
2 (dua) orang dokter dan/atau dokter gigi sebagai pemberi pelayanan.
(2) Tenaga medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran paling sedikit terdiri dari 1
(satu) orang dokter spesialis dan 1 (satu) orang dokter sebagai pemberi pelayanan.
(3) Tenaga medis pada Klinik utama yang memberikan pelayanan kedokteran gigi paling sedikit terdiri
dari 1 (satu) orang dokter gigi spesialis dan 1 (satu) orang dokter gigi sebagai pemberi pelayanan.

Pasal 13

(1) Setiap tenaga medis yang berpraktik di Klinik harus mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR) dan
Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap tenaga kesehatan lain yang bekerja di Klinik harus mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR),
dan Surat Izin Kerja (SIK) atau Surat Izin Praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar
prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan
kepentingan dan keselamatan pasien.

Pasal 15

Pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing di Klinik dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 16

Klinik yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan 24 (dua puluh empat) jam harus menyediakan dokter
serta tenaga kesehatan lain sesuai kebutuhan pelayanan dan setiap saat berada di tempat.

Bagian Kelima
Peralatan
Pasal 17
(1) Klinik harus dilengkapi dengan peralatan medis dan nonmedis yang memadai sesuai dengan jenis
pelayanan yang diberikan.
(2) Peralatan medis dan nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar mutu,
keamanan, dan keselamatan.
(3) Selain memenuhi standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) peralatan medis harus memiliki izin
edar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

(1) Peralatan medis yang digunakan di Klinik harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh institusi
pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 19

Peralatan medis yang menggunakan sinar pengion harus mendapatkan izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 20

Penggunaan peralatan medis di Klinik harus dilakukan berdasarkan indikasi medis.

Bagian Keenam
Kefarmasian
Pasal 21

(1) Klinik rawat jalan tidak wajib melaksanakan pelayanan farmasi.


(2) Klinik rawat jalan yang menyelenggarakan pelayanan kefarmasian wajib memiliki apoteker yang
memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) sebagai penanggung jawab atau pendamping.

Pasal 22

(1) Klinik rawat inap wajib memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan apoteker.
(2) Instalasi farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melayani resep dari dokter Klinik yang
bersangkutan, serta dapat melayani resep dari dokter praktik perorangan maupun Klinik lain.

Pasal 23

Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medis pecandu narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya wajib memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan oleh apoteker.

Bagian Ketujuh
Laboratorium
Pasal 24

(1) Klinik rawat inap wajib menyelenggarakan pengelolaan dan pelayanan laboratorium klinik.
(2) Klinik rawat jalan dapat menyelenggarakan pengelolaan dan pelayanan laboratorium klinik.
(3) Laboratorium Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada klinik pratama
merupakan pelayanan laboratorium klinik umum pratama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Klinik utama dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium klinik umum pratama atau
laboratorium klinik umum madya.
(5) Perizinan laboratorium klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) terintegrasi dengan
perizinan Klinik.
(6) Dalam hal Klinik menyelenggarakan laboratorium klinik yang memiliki sarana, prasarana, ketenagaan
dan kemampuan pelayanan melebihi kriteria dan persyaratan Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4), maka laboratorium klinik tersebut harus memiliki izin tersendiri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PERIZINAN
Pasal 25

(1) Setiap penyelenggaraan Klinik wajib memiliki izin mendirikan dan izin operasional.
(2) Izin mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
(3) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.

Pasal 26

(1) Untuk mendapatkan izin mendirikan, penyelenggara Klinik harus melengkapi persyaratan:
a. identitas lengkap pemohon;
b. salinan/fotokopi pendirian badan hukum atau badan usaha, kecuali untuk kepemilikan perorangan;
c. salinan/fotokopi yang sah sertifikat tanah, bukti kepemilikan lain yang disahkan oleh notaris, atau bukti
surat kontrak minimal untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
d. dokumen SPPL untuk Klinik rawat jalan, atau dokumen UKL-UPL untuk Klinik rawat inap sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan; dan
e. profil Klinik yang akan didirikan meliputi pengorganisasian, lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan,
peralatan, kefarmasian, laboratorium, serta pelayanan yang diberikan;
f. persyaratan lainnya sesuai dengan peraturan daerah setempat.
(2) Izin mendirikan diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang paling lama 6
(enam) bulan apabila belum dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan pemohon tidak dapat memenuhi
persyaratan, maka pemohon harus mengajukan permohonan izin mendirikan yang baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pasal 27

(1) Untuk mendapatkan izin operasional, penyelenggara Klinik harus memenuhi persyaratan teknis dan
administrasi.
(2) Persyaratan teknis meliputi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, peralatan,
kefarmasian, dan laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 24.
(3) Persyaratan administrasi meliputi izin mendirikan dan rekomendasi dari dinas kesehatan
kabupaten/kota.
(4) Izin operasional diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama
memenuhi persyaratan.

Pasal 28

(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus mengeluarkan
keputusan atas permohonan izin operasional, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima permohonan izin.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penerbitan izin, penolakan izin atau
pemberitahuan untuk kelengkapan berkas.

Pasal 29

(1) Apabila dalam permohonan izin operasional, pemohon dinyatakan masih harus melengkapi
persyaratan sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3), maka Pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota harus segera memberitahukan kepada pemohon dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan
(2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak
pemberitahuan disampaikan, harus segera melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon tidak dapat memenuhi
persyaratan, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan
surat penolakan atas permohonan izin operasional dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.

Pasal 30

(1) Perpanjangan izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) harus diajukan
pemohon paling lama 3 (tiga) bulan sebelum habis masa berlaku izin operasional.
(2) Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima, pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus memberi
keputusan berupa penerbitan izin atau penolakan izin.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, pemerintah
daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota wajib memberikan alasan penolakan
secara tertulis.

Pasal 31

(1) Perubahan izin operasional Klinik harus dilakukan apabila terjadi:


a. perubahan nama;
b. perubahan jenis badan usaha; dan/atau
c. perubahan alamat dan tempat.
(2) Perubahan izin operasional Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b
dilakukan dengan mengajukan permohonan izin operasional serta harus melampirkan:
a. surat pernyataan penggantian nama dan/atau jenis badan usaha Klinik yang ditandatangani oleh
pemilik;
b. perubahan Akta Notaris; dan
c. izin operasional Klinik yang asli, sebelum perubahan.
(3) Perubahan izin operasional Klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan
dengan mengajukan permohonan izin mendirikan, izin operasional, serta harus melampirkan:
a. surat pernyataan penggantian alamat dan tempat Klinik yang ditandatangani oleh pemilik; dan
b. izin operasional Klinik yang asli, sebelum perubahan (4) Perubahan kepemilikan dan/atau
penanggung jawab teknis Klinik harus dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.

LIMBAH MEDIS

Karena banyaknya limbah medis, maka dilakukan pengelompokan sebagai berikut:

- Limbah Rumah Sakit / Fasilitas Kesehatan:

Semua limbah, baik biologis maupun non-biologis, yang dibuang oleh suatu fasilitas kesehatan dan tidak
ditujukan untuk penggunaan lebih lanjut.

Limbah Medis: Material yang ditimbulkan dari hasil kegiatan diagnosa pasien, pengobatan atau
pemberian imunisasi kepada manusia atau hewan.

- Limbah Infeksius / Regulated Medical Waste:


- Limbah medis yang dapat menyebarkan wabah infeksi.

Semua limbah medis hanya boleh dibuang menggunakan kemasan khusus berlogo biohazard (yang
dimaksud bihazard sendiri adalah substansi biologis yang mengandung bahaya yang dapat mengancam
makhluk hidup terutama manusia)

Limbah medis tajam seperti jarum, pisau bedah, alat suntik (dengan atau tanpa jarum), dan limbah medis
lainnya yang dapat menyayat dan menusuk kulit, serta limbah medis seperti sisa preparat dan kultur
bakteri, harus dikemas menggunakan kemasan yang keras, tahan pecah, tahan tusuk, anti bocor dan kedap
air.

Limbah infeksius non tajam seperti kapas, masker dan sarung tangan, dapat dibuang menggunakan plastic
bag. Unutk Batas pengisian maksimal adalah penuh.

2. M4 Standar pelayanan kesehatan masyarakat


- Standar Pokok Pelayanan Kesehatan

Azwar (1999) menjelaskan suatu pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai persyaratan
pokok, yaitu: persyaratan pokok yang memberi pengaruh kepada masyarakat dalam menentukan
pilihannya terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan yakni :

- Ketersediaan dan Kesinambungan Pelayanan

pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat (acceptable) serta berkesinambungan


(sustainable). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat ditemukan
serta keberadaannya dalam masyarakat adalah ada pada tiap saat dibutuhkan.
- Kewajaran dan Penerimaan Masyarakat

Pelayanan kesehatan yang baik adalah bersifat wajar (appropriate) dan dapat diterima
(acceptable) oleh masyarakat. Artinya pelayanan kesehatan tersebut dapat mengatasi masalah
kesehatan yang dihadapi, tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan
kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu keadaan pelayanan kesehatan
yang baik.

- Mudah Dicapai oleh Masyarakat

Pengertian dicapai yang dimaksud disini terutama dari letak sudut lokasi mudah dijangkau oleh
masyarakat, sehingga distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Jangkauan fasilitas
pembantu untuk menentukan permintaan yang efektif. Bila fasilitas mudah dijangkau dengan
menggunakan alat transportasi yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan.
Tingkat pengguna di masa lalu dan kecenderungan merupakan indikator terbaik untuk perubahan
jangka panjang dan pendek dari permintaan pada masa akan datang.

- Terjangkau

Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan yang terjangkau (affordable) oleh masyarakat, dimana
diupayakan biaya pelayanan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan
kesehatan yang mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.

- Mutu

Mutu (kualitas) yaitu menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan
menunjukkan kesembuhan penyakit serta keamanan tindakan yang dapat memuaskan para pemakai jasa
pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

3. M4 Aspek hukum yang mengatur tentang kegawatdaruratan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008


tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Persetujuan tindakan medik
kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang


Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas
dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa Dalam keadaan
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan
tindakan kedokteran.

Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes


sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan.
Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak
sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat.
Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat
perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila
seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera
dinetralisir dengan anti-venom ular.

Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang
dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :

a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga
terdekat (next of kin)

b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda

c. Suatu tindakan harus segera diambil

d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa
tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan
bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut
pasal 4 ayat (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien
sadar atau kepada keluarga terdekat. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk
penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan
penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat
sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga
mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau
perwalian sukarela yaitu Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan
orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan
dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya
sendiri. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan
pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter.

berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban
memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala
kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.

4. M4 Aspek hukum yang mengatur tentang kelalaian dan malpraktek


a. UU RI No.29 thn. 2004 tentang praktik kedokteran

b. KUHP

c. UUD 1945

Jadi malpraktek medic merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran dibawah standar.
Malpraktek medic murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai.

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:

- Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran
- Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi(tidak lege artis)
- Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati.
- Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah
melakukan malpraktek etik.
Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugatanharus dapat
membuktikan adanya 4 unsur berikut, yaitu:adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap
pasien, dokter telah melngagar standar pelayanan medic yang lazim dipergunakan, penggugat
telah menderita kerugian yang dapat diminta ganti ruginya, secara factual kerugian itu
disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang tergugat. Dalam hukum
terdapat suatu kaidah yang berbunyi Res Ipsa Loquitur, yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya
terdapat kain kasa yang tertinggal dirongga perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah.
Dalam hal ini maka dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana, kelalaian menunjukkan
kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap
yang sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan oranglain
terluka atau mati, sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan criminal negara.

Contoh kasus:

Seorang dokter memberi cuti sakit berulang-ulng kepada seorang tahanan, padahal orang tersebut mampu
menghadiri siding pengadilan perkaranya. Dalam hal ini dokter terkena pelanggaran Kode Etik
Kedokteran (KODEKI) bab-I pasal 7 dan KUHP pasal 267. KODEKI Bab-I pasal 7 :seorang dokter
hanya member keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya. KUHP pasal 267 Dokter
yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang adanya atau tidak peyakit, kelemahan
atau cacat, dihukum dengan hukuman penjara selama 4 tahun.

5. M4 Peran pemerintah dibidang kesehatan

- Peran pemerintah dalam pembangunan kesehatan


Sistem kesehatan dapat diidentifikasi dalam berbagai komponen yaitu: pemerintah, masyarakat, pihak
ketiga yang menjadi sumber pembiayaan seperti PT Askes Indonesia, JPKM; Penyedia pelayanan,
termasuk industri obat dan tempat-tempat pendidikan tenaga kesehatan, serta berbagai lembaga pemberi
hutan dan grant untuk pelayanan kesehatan.
Kovner menyatakan bahwa peran pemerintah ada 3, yaitu (1) regulator, (2) pemberi biaya; dan (3)
pelaksana kegiatan. Peran pemerintah sebagai regulator merupakan hal penting.
Rumahsakit dan berbagai lembaga pelayanan kesehatan termasuk perusahaan asuransi kesehatan dalam
konsep ini merupakan lembaga jasa pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta yang perlu diawasi
mutunya oleh pemerintah dan juga oleh masyarakat.

Oleh karena itu timbul berbagai mekanisme pengawasan, termasuk adanya lembaga bantuan hukum untuk
kesehatan, lembaga pengawas mutu pelayanan kesehatan, sampai ke sistem akreditasi rumahsakit. Di
dalam PP 25 tahun 2000 yang mengacu pada UU no 22 tahun 1999, terlihat mencolok peran pemerintah
dalam regulasi.

- Peran Pemerintah Sebagai Regulator

Pemerintah pusat berperan sebagai regulator dengan berbagai fungsi antara lain:

1. Penerapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi;
2. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan;
3. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan;
4. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan;
5. Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat;
6. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan, dan standar
etika penelitian kesehatan;
7. Pemberian ijin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi;
8. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan
penetapanpedoman pengawasan peredaran makanan;
9. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.

Kewenangan Propinsi sebagai regulator adalah:

1. Penetapan pedoman penyuluhan dan kampanye kesehatan;


2. Pengelolaan dan pemberian ijin sarana dan prasarana kesehatan khusus seperti rumahsakit jiwa,
rumahsakit kusta, dan rumahsakit kanker;
3. Steknologi kesehatan dan gizi.

Aspek tata hukum yang kuat dalam konsep good-governance ini akan mempengaruhi rumahsakit sebagai
lembaga usaha untuk memperkuat sistem manajemennya sehingga dapat menjadi efektif, bermutu,
transparan dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Peran pemerintah sebagai pembayar di sektor kesehatan tergantung pada kekuatan dan situasi ekonomi
negara. Dalam hal ini negara-negara sedang berkembang relatif mempunyai kemampuan ekonomi rendah
sehingga pembiayaan pelayanan kesehatan cenderung dibiayai oleh masyarakat.
Hal ini berarti sistem pelayanan kesehatan bertumpu pada kemampuan untuk membeli atau sistem pasar.
Tabel 1 menunjukkan bahwa di negara-negara sedang berkembang peranan pemerintah lebih rendah
dibanding swasta, kecuali di Kuba yang merupakan negara sosialis.
China sebagai negara komunis peranan swasta meningkat karena mulai menggunakan ekonomi pasar.
Sebaliknya di negara maju peranan pemerintah sangat besar, kecuali di Amerika Serikat yang
mengandlkan pada kekuatan masyarakat.
Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997 menyebabkan berbagai negara di Asia Timur, terutama negara
sedang berkembang semakin kekurangan kemampuan untuk membiayai pembangunan di berbagai sektor.
Indonesia merupakan negara yang paling parah keadaannya, termasuk dalam penurunan mata uang
terhadap dollar.
Sebagai gambaran, dibanding dengan negara-negara lain, pengeluaran perkapita Indonesia untuk
kesehatan sangat rendah, terutama setelah krisis ekonomi. Apabila negara-negara lain pengeluaran
kesehatan (diukur dengan dollar) meningkat, maka Indonesia justru menurun.
Satu catatan penting untuk peran pemerintah adalah bahwa dalam tahun-tahun krisis anggaran
Departemen Kesehatan RI banyak dibiayai oleh hutang. Pada tahun 1996, 23% anggaran pembangunan
berasal dari hutang luarnegeri. Angka ini naik terus menjadi 48% di tahun 2000.
Persentase yang cukup besar ini menimbulkan keadaan bahwa peran pemerintah sebagai pembayar
pelayanan kesehatan menjadi semakin tergantung pada lembaga-lembaga pemberi hutang seperti Bank
Dunia ataupun ADB.

- Peran Pemerintah Sebagai Pelaksana

Peran pemerintah sebagai pelaksanadi sektor rumahsakit dilakukan terutama oleh rumahsakit pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Di sektor rumahsakit Indonesia, jumlah rumahsakit milik pemerintah sejak
tahun 1995 berkurang sedikit.
Sebaliknya di sektor swasta antara 1995 2000 tercatat pendirian73 rumahsakit swasta baru.
Pertumbuhan ini berarti kenaikan 15%. Krisis ekonomi terlihat tidak mempengaruhi kenaikan jumlah
rumahsakit swasta.
Terlihat bahwa fungsi pemerintah sebagai pelaksana kegiatan relatif berkurang. Sektor swasta
berkembang, namun di Indonesia tidak terjadi proses privatisasi rumahsakit pemerintah.
Pemerintah tetap menjadi pemilik rumahsakit. Akan tetapi ada proses otonomi manajemen rumahsakit
dimana terjadi semacam pemisahan antara fungsi pemerintah sebagai pemberi biaya atau regulator
dengan fungsi pelayanan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain adanya perubahan RSUP menjadi
Perjan, atau RSD menjadi BUMD.
Daftar Pustaka

http://pkfi.net/?p=page&action=view&pid=32v

Anda mungkin juga menyukai