Anda di halaman 1dari 21

A.

Fisiologi Miksi, Defekasi, dan Tidur


1. Miksi
Proses miksi merupakan aktifitas dari proses neurofisiologi yang kompleks dan
terkoordinasi dengan sangat tepat dan melibatkan aktifitas neuronal mulai dari korteks
serebri, batang otak, medula spinalis dan saraf-saraf tepi baik otonom maupun somatik.
Fungsi penyimpanan dan pengeluaran urine merupakan dua fungsi bulibuli yang
diatur oleh sistem refleks yang kompleks. Pengaturan ini menghasilkan koordinasi antara
kontraksi otot polos dan lurik yang berakhir dengan terjadinya miksi pada tekanan intra
uretra yang rendah dan fungsi kandung kemih yang terkontrol. Fisiologi kandung kemih
terdiri atas neurofisiologi mekanisme refleks miksi dan fisiologi detrusor serta otot lurik
periuretra.
Tekanan yang dihasilkan oleh otot polos dan lurik disekitar dan pada uretra
membuat jaringan penunjang dan pembuluh darah yang ada di bagian dalam dinding
uretra terjepit sehingga epitel uretra menjadi seperti tutup yang kedap air. Semua faktor
ini akan menjadi faktor penting terjadinya kontinensia. Tekanan intra uretra dalam
keadaan istirahat adalah antara 50-100 cm H2O, suatu tekanan yang cukup bila diingat
bahwa tekanan intravesika maksimal adalah 50 cm H2O.
Sfingter uretra disokong oleh otot, ligamen, dan fasia dasar panggul dan
pengalaman klinis menunjukkan bahwa hal ini penting untuk mekanisme kontinensia
yang efisien. Lebih dari itu kontraksi otot levator ani mengangkat, memanjangkan dan
menekan uretra sehingga berperan penting pada terjadinya kontinensia pada saat kondisi
stress misalnya pada peningkatan tekanan intraabdominal secara tiba-tiba.
Tekanan yang dihasilkan oleh mekanisme sfingter proksimal pada leher kandung
kemih jauh lebih rendah dibanding mekanisme sfingter distal. Tertutupnya leher kandung
kemih hanya tergantung fungsi detrusor. Selama detrusor tidak berkonsentrasi leher
kandung kemih akan tetap tertutup walaupun terjadinya kenaikan tekanan intravesikal
yang ekstrim seperti mengedan, batuk dan lain-lain. Hanya dengan kontraksi detrusor
terjadi pembukaan leher kandung kemih.
Kandung kemih dapat penyimpanan pertambahan jumlah urine tanpa diikuti
kenaikan tekanan intravesika. Hal ini dapat terjadi karena sifat elastisitas otot kandung
kemih yang dapat meregang. Selain itu kandung kemih dalam keadaan kosong bukanlah
berupa organ yang berkontraksi, tetapi lebih berupa kantong yang terlipat. Oleh
karenanya pengisian urine dalam jumlah yang sedikit hanya mengubah bentuk kandung
kemih yang terlipat tanpa perlu meregangkan dindingnya, begitu volume urinee
bertambah banyak barulah kandung kemih akan meregang untuk menjamin
tertampungnya urinee tanpa mengakibatkan kenaikan tekanan intervesika. Diluar kedua
faktor, elastisitas dan kemampuan merubah bentuk kandung kemih, diduga faktor
persarafan juga berperan dalam menghambat terjadinya kontraksi detrusor atau secara
aktif membuat relaksasi detrusor selama fase pengisian urine.
Kandung kemih terisi dengan kecepatan 1 ml/menit dan pada awalnya tanpa adanya
sensasi apapun. Sesuai dengan bertambahnya jumlah urine dalam kandung kemih akan
timbul sensasi samar yang timbul di daerah perineum atau dalam rongga pelvik. Lama
kelamaan sensasi ini makin jelas dan sulit untuk diabaikan dan dalam keadaan normal ini
saat untuk miksi. Bila kandung kemih dibiarkan terisi terus maka timbul sensasi regangan
daerah abdomen bawah yang timbul dari saraf simpatis ke kolum lateral dan mungkin
berasal dari reseptor regangan di trigonum. Bila tidak juga terjadi miksi akan terdapat
sensasi miksi yang sulit tertahan. Sensasi ini berasal dari uretra atau otot lurik periuretra.
Serat aferen untuk sensasi ini berjalan bersama nervus pudendus menuju kolum dorsal
medula spinalis. Ketiga sensasi ini mempunyai alur saraf berbeda dan dapat terjadi tanpa
kenaikan tekanan intravesikal. Sensasi pertama adalah yang terpenting. Rangsangan
untuk ketiga sensasi adalah distensi kandung kemih. Walaupun distensi saja sudah
merupakan rangsangan yang cukup tapi faktor pertambahan volume yang dihubungkan
dengan frekuensi kontraksi ritmin detrusor dengan amplitudo rendah juga memegang
peranan.

a. Fase pengisisan
Persarafan menyebabkan kandung kemih mampu menahan urine di kandung
kemih sampai distensi kandung kemih mencapai titik batasnya. Mekanisme saraf
yang menjaga saraf parasimpatis postganglionik tetap tidak aktif melibatkan tiga
faktor. Pertama adanya inhibisi berulang terhadap saraf postganglionik dengan
menghambat hubungan antar saraf di intermediolateral grey columns. Penghambatan
ini terjadi pada volume kandung kemih kecil dan akan hilang waktu terjadinya miksi.
Faktor kedua adalah peranan ganglion parasimpatik yang berfungsi sebagai filter,
impuls preganglion yang rendah tidak akan diteruskan. Faktor ini merupakan faktor
terpenting yang juga akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor ketiga adalah
inhibisi oleh saraf simpatis terhadap parasimpatis ganglioner.
Tekanan penutupan uretra meningkat pada beberapa keadaan seperti pengisian
buli-buli secara cepat, peningkatan tekanan intra abdomen, aktifitas fisik dan
kontraksi volunter otot dasar panggul. Kenaikan tekanan sebagai respon terhadap
pengisian buli-buli terjadi melalui refleks eferen dan nervus pelvikus.
Aktivitas neural mempertahankan tekanan intravesikal lebih rendah dari
tekanan uretral. Perbedaan tekanan intravesikal dengan tekanan uretral disebut
sebagai urethral closure pressure. Tekanan intra uretral dipertahankan tinggi pada
proses pengisian kandung kemih disebabkan elastisitas jaringan ikat mukosa uretral,
sedang yang aktif mempertahankan tekanan intra uretral adalah tonus otot-otot polos
dan otot lurik intra uretral.
Peninggian mendadak tekanan intra andomen akan ditransmisikan dan
didistribusikan secara sama ke arah kandung kemih dan ke uretral, sehingga
pengaruh terhadap urethral closure pressure tidak ada. Transmisi tekanan ini
tergantung pada komponen aktif yaitu kontraksi otot-otot lurik dan komponen pasif
yaitu posisi intra abdominal leher buli-buli dan uretra. Jika 6 otot-otot dan fasia pada
dasar pelvis melemah, penurunan posisi leher kandung kemih dan uretral akan
disertai dengan distribusi tekanan intra abdominal yang tidak sama berakibat
timbulnya stress inkontinensia.
b. Fase pengosongan
Pengosongan kandung kemih terjadi dengan adanya peningkatan tekanan
intravesika yang bertahan sampai kandung kemih kosong disertai penurunan tekanan
intra uretra. Miksi dimulai dengan penurunan tekanan intra uretra yang mendahului
kenaikan tekanan intravesika beberapa detik walaupun kadang kadang terjadi
bersamaan. Bila tekanan intravesika sampai batas tertentu maka leher buli-buli akan
membuka dan miksi dimulai. Pada saat miksi selesai uretra pada daerah sfingter
distal akan menutup dan penutupan ini diikuti bagian yang lebih proksimal dan
terakhir tertutupnya leher kandung kemih.

2. Defekasi
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup
untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari
sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).
Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai
kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang
sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja
sesudah makan pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan
dimulai maka peristaltik di dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan
dari hari kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon
pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan
terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal bertambah dengan
penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal, sfinkter anus mengendor
dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).
Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada
sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat
kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan
kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung
persisten yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya
dari katup ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi
berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan setengah cair.
Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai
timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum,
kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat
konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan berkontraksi sebagai satu unit,
mendorong materi feses dalam segmen itu untuk menuruni kolon.
Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira
30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi
pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian
pergerakan massa biasanya menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin
timbul kembali setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan
sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi
(Guyton, 1997).

3. Tidur
Berdasarkan proses tidur terdapat dua jenis tidur. Pertama, jenis tidur yang
disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi retikularis atau aebut
dengan tidur gelombang lambat karena gelombang otaknya sangat lambat atau disebut
tidur NREM. Kedua, jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran isyarat-isyarat
abnormal dari dalam otak meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara disebut
dengan jenis tidur paradoks atau tidur REM (rapid eye moverment).
a. Tidur gelombang lambat (Slow wave sleep)
Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam. Istirahat penuh, dengan
gelombang otak yang lebih lambat, tidur nyenyak. Ciri-ciri tidur nyenyak adalah
menyegarkan, tanpa mimpi atau tidur dengan gelombang delta. Ciri lainnya berada
dalam keadaan istirahat penuh, tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun,
pergerakan bola mata melambat, mimpi berkurang, metabolisme turun.
Tahapan tidur jenis NREM
1) Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup.
Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik.
Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk.
Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.
2) Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1
NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari
total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa
(gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran,
predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik.
Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5
menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun
merasa seperti setengah tidur.
3) Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh
aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan
tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik.
Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh
gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan
durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung
menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini menduduki
sekitar 50% total tidur.
4) Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per
detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi
tidak ada gerakan bola mata.
5) Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit
dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta.
Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium
ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara
sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila
seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG
yang hampir sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan
periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah
b. Tidur paradoks /tidur REM (rapid eye movement)
Tidur jenis ini dapat bcrlangsung pada tidur malam yang terjadi selama 5 - 20 menit,
rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi 80-100 menit, akan tetapi apabila
kondisi orang sangat lelah maka awal tidur sangat cepat bahkan jemis tidur ini tidak ada.
Ciri tidur REM adalah sebagai berikut:
1) Biasanya disertai dengan mimpi aktif.
2) Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak.
3) Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi
spinal atas sistcm pengaktivasi retikularis.
4) Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur.
5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.
6) Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan darah meningkat
atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat.
Tidur ini penting untuk kescimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori, dan
adaptasi
B. Inkontinensia
1. Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang
mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).
Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf pusat
(SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin berkemih timbul saat
volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas
VU normal bervariasi sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi,
otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari
otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar
keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra
eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf
pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di
bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Setiati
dan Pramantara, 2007).
Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras aferen
lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU ke medulla
spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang
saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan
subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU
relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan
untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan
pusat kortikal (pada lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan
pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi
kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007).
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan melalui medulla
spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian
menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung
pada inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu,
prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga
calcium-channel dependent, karena itu calcium-channel blockers dapat mengganggu
kontraksi VU. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan
kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007).
Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karena itu,
pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi
sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi
adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking
(propanolol) dapat mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan
aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007).
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan
VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra
sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke
uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau
batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007).
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada pusat
berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang
mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta penghambatan aktivitas
parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase
pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis
meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher VU. Proses
refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks
serebri dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak
dan supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).
Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi
inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak
munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor risiko yang
mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka,
2000):
a. Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera, kemunduran
sistem lokomosi.
b. Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin
misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.
Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):
a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.
b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan
lain-lain.
c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak
memadai/jauh, dan sebagainya.
Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi
a. Inkontinensia urin akut
Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan
kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):
D : Delirium
R : Retriksi, mobilitas, retensi
I : Infeksi, inflamasi, impaksi feses
P : Pharmacy (obat-obatan), poliuri
Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk
diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan
antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut
terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat.
Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang
selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara,
2007).
b. Inkontinensia urin persisten
Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi
pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe,
yaitu (Pranarka, 2000):
1) Tipe stress
Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat
peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan
jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena
predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan
pembedahan.
2) Tipe urgensi
Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah
banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima
oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari
otot detrusor VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya
stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis.
3) Tipe luapan (overflow)
Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena
desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum
inkontinensia tipe ini antara lain:
- Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan
jalan keluar urin.
- Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes
mellitus.

4) Tipe fungsional
Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih
karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan
situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik
seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.
2. Inkontinensia Alvi
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):
a. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
b. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau
ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat
mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis.
Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok
(Pranarka, 2000):
a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Konstipasi bila berlangsung lama menyebabkan sumbatan/impaksi dari massa
feses yang keras (skibala). Skibala akan menyumbat lubang bawah anus dan
menyebabkan perubahan besar sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul,
tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair
akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum, kemudian terjadi
produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui sela-sela dari feses yang impaksi,
yang menyebabkan inkontinensia alvi.
Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi serat dengan
cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas. Saat yang teratur untuk
buang air besar dengan menyesuaikan dengan refleks gaster-kolon yang timbul
beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi
buang air besar pada waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi
juga akan mendukung.
b. Inkontinensia alvi simtomatik
Dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan patologik yang
dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan
inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, diverticulitis, proktitis,
kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya
kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti
tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang
kurang berhasil, dan prolapsis rekti.
Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan
penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan
terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi.
c. Inkontinensia alvi neurogenik
Terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi
regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan diikuti relaksasi sfingter interna.
Pada orang dewasa normal, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada
hambatan/inhibisi dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak
memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap
kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia, kemampuan untuk
menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.
Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple,
atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang
sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.
Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan menyiapkan penderita
pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain sebatas lutut,
kemudian diberi minuman hangat, relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses
keluar.
d. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal
Terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran
lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang berfungsi motorik pada
otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya
refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini
berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps
dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk
pengobatannya.

C. Gangguan Tidur
1. Gangguan Tidur pada Lansia
Pada kelompok lanjut usia (40 tahun) hanya dijumpai 7% kasus yang mengeluh
masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari). Hal yang sama di jumpai
pada 22% kasus pada kelompok usia 70 tahun. Demikian pula, kelompok lanjut usia lebih
banyak mengeluh terbangun lebih awal dari pukul 05.00 pagi. Selain itu, terdapat 30%
kelompok usia 70 tahun yang banyak terbagnun diwaktu malam hari. Anka ini ternyata 7x
lenih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun.
Gangguan tidak saja menunjukan indikasi akan adanya kelainan jiwa yang dini tetapi
merupakan keluhan dari hampir 30% penderita yang berobat ke dokter, disebabkan oleh :
a. Faktor Ekstrinsik (luar) misal: lingkungan yang kurang tenang.
b. Faktor intrinsik, mial bisa organik dan psikogenik.
1) Organik, misal: nyeri, gatal-gatal dan penyakit tertentu yang membuat
gelisah.
2) Psikogenik, misal: depresi, kecemasan dan iritabilitas.
Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes, artritis, atau
hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya buruk dan durasi tidurnya kurang
bila dibandingkan dengan lansia yang sehat. Gangguan tidur dapat meningkatkan biaya
penyakit secara keseluruhan. Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas
yang signifikan. Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya
mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood depresi, sering
terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Angka
kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama tidurnya
lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan seseorang yang
lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (Hardiwinoto, 2005).
Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor usia dan ada
pula gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada lansia. Ada beberapa gangguan
tidur yang sering ditemukan pada lansia.
a. Insomnia primer
Ditandai dengan:
1) Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak segar
meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu bulan.
2) Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau impairment sosial,
okupasional, atau fungsi penting lainnya.
3) Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan mental lainnya.
4) Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum atau zat.
Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur dan
terbangun berkali-kali. Bentuk keluhan tidur bervariasi dari waktu ke waktu. Misalnya,
seseorang yang saat ini mengeluh sulit masuk tidur mungkin suatu saat mengeluh sulit
mempertahankan tidur. Meskipun jarang, kadang-kadang seseorang mengeluh tetap
tidak segar meskipun sudah tertidur. Diagnosis gangguan insomnia dibuat bila
penderitaan atau impairmentnya bermakna. Seorang penderita insomnia sering
berpreokupasi dengan tidur. Makin berokupasi dengan tidur, makin berusaha keras
untuk tidur, makin frustrasi dan makin tidak bisa tidur. Akibatnya terjadi lingkaran
setan.
b. Insomnia kronik
Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat disebabkan
oleh kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi akibat bebiasaan atau pembelajaran atau
perilaku maladaptif di tempat tidur. Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat
tidur, kekhawatiran, atau pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa
tidur). Adanya kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan
seseorang berusaha keras untuk tidur tetapi ia semakin tidak bisa tidur.
Ketidakmampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha
tidur dapat pula menyebabkan insomnia psikofisiologik. Selain itu, ketika berusaha
untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik dan keluhan somatik lain sehingga
juga menyebabkan tidak bisa tidur. Penderita bisa tertidur ketika tidak ada usaha untuk
tidur. Insomnia ini disebut juga insomnia yang terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur
dapat pula terjadi. Diagnosis ditegakkan bila seseorang mengeluh tidak bisa masuk
atau mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif adanya gangguan tidur.
Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu jam), terbangun lebih
lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil
polisomnografi terlihat bahwa onset tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur
90%, dan waktu tidur totalnya lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini
dikatakan mengalami mispersepsi terhadap tidur.
c. Insomnia idiopatik
Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak kehidupan dini.
Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan dapat berlanjut selama
hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan disebabkan oleh ketidakseimbangan
neurokimia otak di formasio retikularis batang otak atau disfungsi forebrain. Lansia
yang tinggal sendiri atau adanya rasa ketakutan yang dieksaserbasi pada malam hari
dapat menyebabkan tidak bisa tidur. Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan
mood (risiko depresi dan anxietas), menurunkan motivasi, atensi, energi, dan
konsentrasi, serta menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang dan
menyebabkan lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan.
Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat gangguan tidur
sebelumnya. Sering penderita insomnia mengobati sendiri dengan obat sedatif-
hipnotik atau alkohol. Anksiolitik sering digunakan untuk mengatasi ketegangan dan
kecemasan. Kopi dan stimulansia digunakan untuk mengatasi rasa letih. Pada beberapa
kasus, penggunaan ini berlanjut menjadi ketergantungan zat. Pemeriksaan
polisomnografi menunjukkan kontinuitas tidur yang buruk (latensi tidur buruk, sering
terbangun, efisiensi tidur buruk), stadium 1 meningkat, dan stadium 3 dan 4 menurun.
Ketegangan otot meningkat dan jumlah aktivitas alfa dan beta juga meningkat 2,3
(Hardiwinoto, 2005).
D.Sering Marah-Marah

Sering marah-marah pada pasien tersebut biasa terjadi pada lansia. Hal ini
disebabkan oleh penurunan hormon serotonin ataupun faktor psikologik (kehilangan
pasangan hidup, kesepian, dan stress). Penurunan serotonin juga menyebabkan penderita
lebih cemas dan sulit tidur sehingga beberapa kasus diperlukan obat tidur. Namun, efek
samping obat tidur yang diberikan pada pasien tersebut dapat menyebabkan
inkontinensia urin oleh karena efek penurunan kontraksi otot dan sensasi berkemih pada
vesica urinaria.
E.Pengaruh Obat
Hipnotik Sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang
relatif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan kantuk, menidurkan,
hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung
kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon
terhadap rangsangan emosi dan menenangkan.
Obat Hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan
tidur yang menyerupai tidur fisiologis. Obat hipnotika dan sedatif biasanya merupakan
turunan Benzodiazepin. Beberapa obat Hipnotik Sedatif dari golongan Benzodiazepin
digunakan juga untuk indikasi lain, yaitu sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas
dan sebagai penginduksi anestesis (Ghana, 2009).
F. Stroke
1. Pendahuluan
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam,
berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia
atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak
yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami
oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh
penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus,
menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh
darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau
perdarahan subrakhnoid.

2. Epidemiologi Stroke
Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien stroke dari 28
rumah sakit di Indonesia Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari
258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab
kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke
rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di
Papua (RISKESDAS, 2007).

3. Patologi Stroke
a. Infark
Stroke infark terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak
normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per menit; jika turun hingga 18
mL/100 gram jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun
struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak
turun sampai <10 mL/100 gram jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian
perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel membentuk daerah infark.
b. Perdarahan Intraserebral
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi,
khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain adalah
pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia
darah, terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid.
c. Perdarahan Subaraknoid
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-
arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arteri-vena atau tumor.

4. Faktor Risiko Stroke


Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk pengobatan dan
perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya kualitas hidup. Kerugian ini
akan berkurang jika pengendalian faktor risiko dilaksanakan dengan ketat.
Tabel 1. Faktor risiko stroke
Bisa dikendalikan Potensial bisa Tidak bisa
dikendalikan dikendalikan
- Hipertensi - Diabetes melitus - Umur
- Penyakit jantung - Hiperhomosis- - Jenis
- Fibrilasi atrium
teinemia kelamin
- Endokarditis
- Hipertrofi - Herediter
- Stenosis mitralis
- Ras dan
- Infark jantung ventikel kiri
- Merokok etnis
- Anemia sel sabit - Geografi
- Transient Ischemic Attack (TIA)
- Stenosis karotis asimtomatik

5. Tanda dan Gejala Stroke


Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulkan defisit neurologis yang bersifat
akut (Tabel 2).

Tabel 2. Tanda dan Gejala Stroke


Tanda dan Gejala
Hemidefisit motorik;
Hemidefisit sensorik;
Penurunan kesadaran;
Kelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglossus (XII) yang bersifat sentral;
Gangguan fungsi luhur seperti kesulitan berbahasa (afasia), dan gangguan
fungsi intelektual (demensia);
Buta separuh lapangan pandang (hemianopsia);
Defisit batang otak.

6. Penatalaksanaan ( PERDOSSI, 2007 ):


a. Stadium hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan
tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak
tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan
kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah
perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah,
kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah.
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental
kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.
b. Stadium akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun penyulit.
Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial
untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien
perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara
perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.
1) Stroke Iskemik
Terapi umum:
Letakkan kepala pasien pada posisi 30 , kepala dan dada pada satu

bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi
dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung
kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000
mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin
isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang
nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu
150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.
Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi
segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya.
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan
sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan
sistolik 220 mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure
(MAP) 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit),
atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat
ACE, atau antagonis kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70
mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam
dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum
terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin
2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena
rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit
setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320
mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau
furosemid.

Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan
anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue
Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau
pirasetam (jika didapatkan afasia).
2) Stroke Hemoragik
Terapi umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis
cenderung memburuk.
Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-
20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg,
dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah
harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit)
sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-
1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala dinaikkan
30, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan
stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung
diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton;
komplikasi saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik
spektrum luas.

Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan
bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang
kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3,
hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-
shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial akut dan ancaman herniasi.
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium
(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma
knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena
(arteriovenous malformation, AVM).
c. Stadium subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara,
dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang
panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit
dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program
preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
1) Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya.
2) Penatalaksanaan komplikasi.
3) Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara,
terapi kognitif, dan terapi okupasi.
4) Prevensi sekunder.
Edukasi keluarga dan Discharge Planning (Setyopranoto, 2011).
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi (2000). Buku ajar geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) edisi
2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ghana (2009). Hipnotiva dan sedativa.
http://medicastore.com/apotik_online/obat_saraf_otot/obat_bius.htm - diakses Maret 2012
Guyton, Arthur C (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hardiwinoto, Setiabudi, Tony (2005). Tinjauan geriatri dari berbagai aspek. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
PERDOSSI (2007). Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.

Pranarka K (2000). Inkontinensia. Dalam Darmojo R.B. dan Martono H.H. Buku Ajar Geriatri
Ed.2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia (2007). Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Setiati S. dan Pramantara I.D.P (2007). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif
dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M., Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. hal: 1392-9
Setyopranoto I (2011). Stroke: Gejala dan penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran 185 vol.
38 no.4 Mei Juni 2011, pp: 247-250

Anda mungkin juga menyukai

  • No 7 64894-274105-1-PB
    No 7 64894-274105-1-PB
    Dokumen7 halaman
    No 7 64894-274105-1-PB
    Luthfi Nurwafi
    Belum ada peringkat
  • Kartu Pasien
    Kartu Pasien
    Dokumen2 halaman
    Kartu Pasien
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Laporan Puskesmas Final
    Laporan Puskesmas Final
    Dokumen22 halaman
    Laporan Puskesmas Final
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen2 halaman
    1
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Iv Kasber Rsud
    Bab I-Iv Kasber Rsud
    Dokumen48 halaman
    Bab I-Iv Kasber Rsud
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Laporan PSC 485a
    Laporan PSC 485a
    Dokumen17 halaman
    Laporan PSC 485a
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Modul Asi
    Modul Asi
    Dokumen4 halaman
    Modul Asi
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Judul Buku Edensor 2
    Judul Buku Edensor 2
    Dokumen4 halaman
    Judul Buku Edensor 2
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Modul Perawatan Payudara D
    Modul Perawatan Payudara D
    Dokumen8 halaman
    Modul Perawatan Payudara D
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Penilaian Baru
    Penilaian Baru
    Dokumen2 halaman
    Penilaian Baru
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Dandy
    Dandy
    Dokumen9 halaman
    Dandy
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Gita Gutawa Lirik
    Gita Gutawa Lirik
    Dokumen1 halaman
    Gita Gutawa Lirik
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen24 halaman
    TB Paru
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Genogram New
    Genogram New
    Dokumen1 halaman
    Genogram New
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen2 halaman
    COVER
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen24 halaman
    TB Paru
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Dandy
    Dandy
    Dokumen9 halaman
    Dandy
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Quesioner Dendy
    Quesioner Dendy
    Dokumen1 halaman
    Quesioner Dendy
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • 6
    6
    Dokumen1 halaman
    6
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • 5
    5
    Dokumen1 halaman
    5
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • J. Evolusi1
    J. Evolusi1
    Dokumen19 halaman
    J. Evolusi1
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • 4
    4
    Dokumen2 halaman
    4
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • Neonate Emergency
    Neonate Emergency
    Dokumen33 halaman
    Neonate Emergency
    Vidi Aditya Pamori
    Belum ada peringkat
  • 2
    2
    Dokumen1 halaman
    2
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • 2.pengertian Definisi Pedsos
    2.pengertian Definisi Pedsos
    Dokumen17 halaman
    2.pengertian Definisi Pedsos
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • CM 29 Juni
    CM 29 Juni
    Dokumen2 halaman
    CM 29 Juni
    Dendy Raharjo
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen2 halaman
    1
    Dendy
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen2 halaman
    COVER
    Dendy
    0% (1)
  • Pertanyaan Sirkuler (DR Anik L)
    Pertanyaan Sirkuler (DR Anik L)
    Dokumen15 halaman
    Pertanyaan Sirkuler (DR Anik L)
    Dendy
    Belum ada peringkat