Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ISU ADVOKASI DAN PENATALAKSANAANNYA


STIGMA DAN DISKRIMINASI ANAK DENGAN HIV/AIDS

Disusun Oleh :
1. Endang Widianingsih (030216A042)
2. Erie Swastika (030216A043)
3. Eva Aprillia (030216A044)
4. Farida Puput F.S. (030216A045)
5. Fatimah Nur Rahma (030216A046)

Dosen Pengampu :
Sundari

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PRODI DIV KEBIDANAN TRANSFER
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbilalamin. Puji syukur kehadirat Allah
Subhanahuwataala, atas rahmat dan karunia-Nya, kepada Rasulullah Salallahu
alaihi waalihi yang telah membimbing umatnya dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang. Terimakasih atas anugrah yang diberikan pada
kami sehingga tugas ilmu kesehatan berjudul Isu Advokasi dan
Penatalaksanaannya Anak dengan HIV/AIDS dapat terselesaikan.
Dalam penyelesaian tugas ini, banyak pihak yang telah memberikan
bantuan berupa dorongan, arahan, dan data yang diperlukan mulai dari persiapan,
tempat, pelaksanaan kegiatan, dan penyelesaiannya. Apresiasi dan terima kasih
ditujukan kepada:
1. H. Asaat Pitoyo, M.Kes, selaku Pembina Yayasan Universitas Ngudi Waluyo
Ungaran,
2. Heni Setyowati, S.SiT., M.Kes., selaku Dekan Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Ngudi Waluyo Ungaran,
3. Seluruh dosen dan staf Program Studi D-IV Kebidanan Stikes Ngudi Waluyo
Ungaran,
4. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan tugas ini.
Menyadari akan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, baik
pengetahuan maupun pengalaman tentunya laporan tugas ini masih terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan. Semoga Allah Subhanahuwataala, senantiasa memberikan rahmat
dan hidayah yang tidak berkesudahan dan semoga dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin.

Ungaran, November 2017

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, jumlah kasus anak dengan Human Immunodeficiency
Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) memperlihatkan
kecenderungan yang semakin meningkat. Sampai dengan Maret 2010, jumlah
kasus AIDS anak berusia di bawah 15 tahun dilaporkan mencapai 576 kasus,
sedangkan untuk umur 15 19 tahun mencapai 637 kasus (Muhaimin, 2011).
Tantangan lain bagi kesehatan anak dan perempuan di Indonesia
adalah epidemi HIV, yang merupakan salah satu tercepat perkembangannya
di Asia. Hampir 10 orang meninggal karena AIDS setiap hari, dan di tahun
2008 diperkirakan sekitar 200.000 anak dan remaja hidup dengan HIV,
dimana tujuh orang anak terinfeksi HIV setiap harinya (Unicef, 2012).
Hal tersebut disebabkan oleh proporsi orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) perempuan, yang semakin meningkat, pada tahun 2007 (20%).
Proporsi perempuan di antara kasus-kasus HIV baru telah meningkat dari 34
persen pada tahun 2008 menjadi 44 persen pada tahun 2011(Muhaimin,
2011).
Kota Semarang, prevalensi pengidap HIV meningkat sejak tahun
2005-2008 mencapai 674 orang, sedangkan pengidap AIDS mencapai 96
orang. Dari jumlah tersebut 18 penderita diantaranya meninggal dunia.
Jumlah pengidap AIDS di kota Semarang juga ikut naik, terdapat 11 pengidap
pada tahun 2005, 25 pengidap pada tahun 2006, 33 pengidap pada tahun 2007
dan 15 pengidap tahun 2008. Bertambahnya jumlah penderita tersebut
mengindikasikan bahwa warga yang berisiko terkena HIV AIDS mulai
terbuka untuk mengikuti berbagai tes pemeriksaan penyakit ini (Dinkes,
2008).
Secara kesuluruhan, pada tahun 2015 jumlah penderita HIV/AIDS di
Kota Semarang mencapai 706 kasus. Dengan angka paling banyak pada ibu
rumah tangga yakni 199 kasus. Laki-laki dengan 189 kasus dan pekerja seks
komersial 152 kasus. Tahun 2015 mengalami peningkatan, karena tahun
2014 terdapat 249 kasus.
Program Manager LSM Graha Mitra Semarang, Dian Sulistianto
mengatakan jika data dari tahun 2011- 2015 lalu, di Semarang Utara
ditemukan 74 kasus HIV/AIDS,Semarang Barat, 71 kasus, Tembalang dan
Pedurungan 55 kasus,sementara Semarang Timur, 51 kasus. Lebih parahnya
kasus tersebut menyerang usia produktif antara 21-50 tahun.
Diperkirakan sekitar 35% anak akan terinfeksi HIV dari ibu yang
positif menderita HIV/AIDS. Selain itu, banyak anak-anak yang dilahirkan
oleh ibu penderita HIV/AIDS tidak mendapatkan: pengobatan/perawatan
yang mereka butuhkan, antiretroviral dan antibiotik, gizi yang cukup, air dan
sanitasi yang bersih dan aman. Stigma dan diskriminasi pada ODHA juga
memperburuk kondisi anak. Mereka juga bisa kehilangan kesempatan
pendidikan karena keuangan keluarga yang memburuk dan biaya pendidikan
yang tinggi. Anak-anak tersebut tentu saja akan mempunyai harapan hidup
yang lebih pendek dan kualitas hidup (KH) yang rendah daripada anak-anak
seusia mereka yang tidak menderita HIV/AIDS (Muhaimin, 2011).
Anak yang didiagnosis HIV juga akan menyebabkan terjadinya
trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus menghadapi
masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang,dan sebagainya
dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak (Nurs dan Kurniwan,
2013:161 dalam Huriati 2014:126).
Berdasarkan uraian masalah tersebut maka, perlu dilakukan
pembahasan tentang penularan HIV/AIDS pada Anak, sehingga untuk
meredam kecenderungan diperlukan komitmen dan koordinasi yang lebih
baik. Semua pihak perlu mengambil peran dalam aksi global menanggulangi
HIV dan AIDS sebagai upaya promotif dan preventif.

B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menyusun rencana advokasi terhadap isu yang berada
di sekitar.
2. Mahasiswa mampu melakukan advokasi terhadap isu yang berada di
sekitar.
3. Mahasiswa mendapatkan gambaran dan berperan aktif dalam pelaksanaan
advokasi kesehatan.
4. Mahasiswa mampu mengurangi stigma dan diskriminasi masyarakat pada
anak dengan HIV/AIDS.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Advokasi
Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi
kebijakan publik, melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif.
Dengan kata lain advokasi adalah upaya atau proses untuk memperoleh
komitmen, yang dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi
yang akurat dan tepat (Notoatmodjo, 2010).
Sementara menurut Efendi dan Makhfudli (2009), advokasi yaitu
pendekatan pimpinan dengan tujuan untuk mengembangkan kebijakan publik
yang berwawasan kesehatan. Hasil yang diharapkan adalah kebijakan dan
peraturan-peraturan yang mendukung untuk mempengaruhi terciptanya
perilaku hidup bersih dan sehat, serta adanya dukungan dana dan sumber
daya lainnya.
B. Kerangka Isu
Isu Advokasi yang terdapat disekitar dan belum mendapatkan perhatian yang
cukup baik adalah mengenai stigma dan diskriminasi masyarakat tentang
anak dengan HIV/AIDS yang berdampak pada psikologis dan tidak
terpenuhinya hak anak. Berikut kerangka isu stigma anak dengan HIV/AIDS:
Tabel 2.1 Isu Stigma dan Diskriminasi Terhadap Anak dengan HIV/AIDS
Nilai
Kriteria untuk memilih isu-isu
T S R
Isu tersebut mempengaruhi banyak orang
Isu tsb mempunyai pengaruh yang besar terhadap

program kesehatan
Isu tersebut sesuai dengan misi/mandat organisasi

anda
Isu tersebut sesui dengan tujuan pembangunan

berwawasan kesehatan
Isu tersebut dapat dipertanggungjaawabkan dengan

intervensi advokasi
Isu tersebut dapat memobilasasi secara besar para

mitra dan pihak berwenang lainnya
Total nilai 3 3
C. Tujuan Advokasi
Tujuan dilakukan advokasi stigma anak dengan HIV/AIDS, yaitu:
1. Mengurangi stigma sosial dan diskriminasi terhadap anak dengan
HIV/AIDS di Kabupaten Semarang dengan cara memberikan pengetahuan
kepada masyarakat mengenai HIV/AIDS.
2. Menjalin kerjasama dengan lembaga kesehatan seperti dinas kesehatan
agar membangun rumah singgah supaya hak anak terpenuhi, misalnya
dengan pengadaan pembelajaran di rumah singgah (home schooling)
sehingga mereka mendapat pendidikan yang layak.
3. Melakukan kerjasama dengan Puskesmas, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan masyarakat dalam meningkatkan peran untuk mengikuti
sosialisasi dan pemeriksaan vct.
4. Tersedianya organisasi/pendamping sebagai reminder (pengingat) untuk
konsumsi obat ARV (Antiretroviral).
5. Terlaksananya tindak lanjut dan evaluasi follow up kegiatan.
D. Sasaran Advokasi
1. Sasaran Primer
a) Kepala Puskesmas yang ada di Kabupaten Semarang.
b) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang.
c) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
2. Sasaran Sekunder
Bidan Desa, Perangkat Desa, Tokoh Masyarakat
a) Tujuan:
1) Meningkatkan pengetahuan mengenai HIV/AIDS.
2) Melakukan sosialisasi yang tepat dan efektif.
3) Penerima advokasi dapat berperan aktif dalam kegiatan.
b) Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui:
1) Pengamatan situasi/latar belakang masalah sosial budaya setempat.
2) Cara/teknik pelatihan menggunakan cara belajar orang dewasa,
antara lain menggali informasi dari para peserta pelatihan tentang
HIV/AIDS dan kebutuhan anak.
E. Tempat Advokasi
Advokasi akan dilakukan di wilayah Kabupaten Semarang dan pemusatan
pada 5 kecamatan Semarang Utara, Semarang Barat, Tembalang, Pedurungan
dan disusul Semarang Timur.
F. Langkah-langkah Advokasi
Langkah-langkah Advokasi yang akan dilakukan yaitu sebagai berikut :
1. Analisis masalah dan perumusan posisi(positioning).
2. Analisis stakeholders terhadap pengambil keputusan, sekutu dan teman
kelompok yang menolak (lawan).
3. Membuat pesan Advokasi.
4. Melaksanakan kegiatan Advokasi.
G. Bentuk kegiatan Advokasi
1. Lobi politik 5. Negosiasi
2. Penyuluhan 6. Petisi/resolusi
3. Debat 7. Mobilisasi
4. Dialog 8. Penggunaan media massa
H. Indikator Hasil Advokasi
1. Adanya peningkatan pengetahuan sasaran setelah penyuluhan.
2. Pembentukan rumah singgah anak HIV/AIDS.
3. Peningkatan intensitas penyuluhan dan pelatihan khususnya tentang
HIV/AIDS dan kebutuhan ADHA.
4. Adanya partisipasi masyarakat dalam membantu pemenuhan kebutuhan
ADHA.
I. Bentuk Kebijakan Advokasi
1. Pembuatan pohon pemikiran dan harapan.
Advokator menyampaikan harapan-harapan besar serta pengadaan
kegiatan sehingga ada keikutsertaan dan kepedulian masyarakat. Pada
kegiatan, advokator melakukan diskusi masalah untuk membuka
pemikiran masyarakat atau harapan yang ingin dilakukan dalam
mengurangi stigma dan diskriminasi anak dengan HIV/AIDS (ADHA).
Hal ini dapat dilakukan dengan cara seperti pembuatan pohon harapan atau
pohon diskusi masalah.
2. Mengajak bermain peran.
Dalam bermain peran, dibutuhkan kerjasama yang baik. Pada saat bermain
peran, fasilitator dapat merekam video dan melakukan dokumentasi
sebagai bukti kegiatan. Tidak hanya itu, di akhir sesi fasilitator dapat
mengunggah video ke media sosial untuk menarik perhatian orang lain
sebagai pesan komunikasi tentang stigma dan diskriminasi anak dengan
HIV/AIDS. Video juga dapat diperlihatkan di lembaga terkait sebagai
bukti kegiatan yang telah dilakukan.
3. Pembentukan kerjasama dengan pihak lain
Dengan adanya kegiatan yang telah kita lakukan di masyarakat dan sudah
ada perubahan pemikiran serta tindakan akan membuat ketertarikan bagi
pihak lain untuk menjalin hubungan kerjasama sebagai bentuk
kepeduliaan. Dengan adanya kerjasama yang baik, tidak hanya stigma dan
diskriminasi ADHA berkurang, melainkan psikologis, ekonomi ODHA
dapat mengalami peningkatan. Derajat kesehatan pun akan meningkat
karena angka kesakitan dan kematian menurun. Hal ini karena angka
HIV/AIDS dapat mempengaruhi siklus kehidupan.
J. Pesan
1. Sisi HIV/AIDS
Advokasi adalah serangkaian kegiatan strategis
untuk mempengaruhi berbagai pihak (multi stakeholder) sehingga tercipta
perubahan kebijakan atau norma sosial yang memberikan manfaat
terhadap kelompok marjinal (kelompok yang dirugikan secara struktural).
Secara ringkas, advokasi bertujuan untuk merubah kebijakan, anggaran
dan norma sosial (masyarakat).

Namun sebelum melakukan langkah-langkah advokasi pada isu


HIV dan AIDS harus terlebih dahulu memahami peta peperangan yang
akan dihadapi dalam melakukan kegiatan advokasi.
Segenap pasukan di Planet Epidemiologi dan di Planet Politik telah
melancarkan peperangan secara terpisah. Yang satu berperang untuk
mencapai hal-hal yang efektif untuk mencapai, tetapi tidak populer,
seperti membagikan jarum suntik steril. Yang lain berperang untuk
hal-hal yang tidak efektif dalam memerangi HIV tetapi populer,
seperti menganjurkan berpantang seks. (Elisabeth Pinsani, Kearifan
Pelacur, Kisah Gelap di balik bisnis seks dan Narkoba, 2008).
Sejak ditemukan sindrom aneh di Copenhagen tahun 1979 dan di
susul beberapa kasus serupa di San Fransico, Los Angeles dan New York
tahun 1981 yang pada saat itu disebut GRIDS (Gay Related Immune
Deficiency Syndrome) atau Sindrom kelemahan sistem kekebalan tubuh
terkait dengan kaum gay. Sejarah kemunculan sidrom ini yang berawal di
kalangan gay menjadikan isu AIDS melekat dengan bentuk hukuman dari
Tuhan bagi kaum homoseksual. Mengulang cerita tentang Sodom dan
Gomora di zaman nabi Luth. AIDS tidak lagi sebatas masalah kesehatan
namun juga menyangkut masalah moral agama.
2. Ubah Sudut Pandang
Sejalan dengan meningkatnya prevalensi HIV di Indonesia,
dampak sosial ekonomi termasuk pendidikan untuk anak akibat infeksi
HIV mulai dirasakan oleh ODHA dan keluarganya. Indikasi ini antara lain
terlihat dari terjadinya kasus-kasus perlakuan diskriminatif terhadap
ODHA maupun keluarganya di beberapa wilayah di Indonesia. Kasus-
kasus perlakuan diskriminasi pada ODHA maupun rumah tangganya
merupakan indikasi adanya dampak sosial ekonomi yang harus diderita
oleh ODHA maupun keluarganya termasuk anak-anak.
Penentu kebijakan bagi para elit politik bertindak sebagai
pelindung dan pembela masyarakat. Dengan adanya kepedulian dan rasa
tanggung jawab terhadap semua masyarakat menganggap bahwa para elit
politik sangat memiliki dampak yang baik pada mereka.
3. Selamatkan para istri dan perempuan
Penyebaran dan penularan HIV di Indonesia secara cepat pada
umumnya terjadi pada populasi Pengguna Napza Suntik (Penasun). Di lain
pihak, peningkatan prevalensi HIV secara signifikan juga terjadi akibat
penularan melalui hubungan seksual yang dilakukan oleh Pekerja Seks
(PS) dan Penasun. Interaksi kelompok PS dan Penasun dalam penyebaran
dan penularan HIV memberikan kontribusi besar terjadinya gelombang
epidemi baru yang akan menjadi pemicu utama meningkatnya epidemi
HIV pada masa-masa yang akan datang.
Mengangkat isu HIV/AIDS dari sudut populasi istri/pasangan
pria pembeli seks yang berpotensi melahirkan anak-anak generasi
depan akan mampu mendorong keberpihakan elit politik. Dari sudut
pandang ini HIV/AIDS bukan lagi menjadi masalah perilaku yang
dengan moral agama, tapi menjadi upaya menyelamatkan perempuan (istri
dan calon ibu) dan anak-anak. Namun, di sisi lain saat ini perempuan
bekerja seks akan berpotensi dalam penularan HIV/AIDS.
4. Selamatkan pendidikan Anak Dengan HIV/ AIDS (ADHA) dan Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA)
Pentingnya pendidikan sebagai dasar utama pencegahan HIV
menyebabkan semakin besarnya kebutuhan untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap pendidikan. Pada tahun 2000, sebuah terminologi
baru di dalam pendidikan diperkenalkan, yaitu education vaccine.
Pendidikan dilihat sebagai ujung tombak upaya pencegahan penyebaran
HIV (World Bank, 2002; Boler Tania and Kate Carroll, undated;
Vandemoortele, Jan and Enrique Delamonica, 2000). Namun, fakta
menunjukkan hal yang menyedihkan. Walaupun pendidikan dipercaya bisa
mengurangi HIV, banyak ODHA terpaksa harus mengurangi bahkan
berhenti menjalani pendidikannya karena HIV dan AIDS. Secara global,
HIV dan AIDS dipandang sebagai tantangan yang sangat besar dalam
sektor pendidikan yang masih merupakan salah satu faktor penghambat
pencapaian MDG untuk pendidikan bagi semua (UNESCO, 2001;
Wijngaarden Jan and Sheldon Shaeffer, 2004).
HIV dan AIDS memberikan dampak negatif terhadap akses dan
kualitas pendidikan yang mungkin didapatkan oleh seorang anak. Sering
kali anak-anak dari rumah tangga ODHA terpaksa untuk mangkir dari
sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk
ikut membantu merawat anggota keluarga yang sakit. Biaya untuk
pendidikan anak sering juga dikorbankan untuk pemenuhan kebutuhan
pengobatan dan perawatan anggota keluarga yang sakit. Dari segi kualitas,
selain anak tidak bisa berkonsentrasi sekolah karena permasalahan dan
kondisi yang dia alami, sering juga anak harus menghadapi kondisi tidak
nyaman karena masih besarnya stigma di masyarakat terkait infeksi HIV
yang diderita salah seorang anggota keluarganya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak yang didiagnosis HIV juga akan menyebabkan terjadinya
trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Mengurangi stigma sosial
dan diskriminasi terhadap anak dengan HIV/AIDS adalah cara agar mereka
merasa bahwa orang lain juga peduli terhadap keadaannya dan memotivasi
mereka untuk menjalani kehidupannya dengan lebih baik.
Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi
kebijakan publik, melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif.
Dengan pengadaan advokasi ini diharapkan terdapat kebijakan sesuai dengan
harapan serta upaya atau proses untuk memperoleh komitmen, yang
dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi yang akurat dan
tepat.

B. Saran
1. Saran kepada Lembaga Kesehatan dan LSM
a. Diharapkan terjadi peningkatan kualitas terhadap penanganan ADHA.
b. Diharapkan ada kejelasan dan tindak tegas dalam kebijakan sebagai
bentuk perlindungan serta kepedulian terhadap ADHA.
2. Saran kepada Masyarakat
a. Dengan adanya sosialisasi, diharapkan stigma dan diskriminasi pada
ADHA dapat berkurang.
b. Diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan
sosialisasi ADHA.
3. Saran kepada ODHA
a. Diharapkan orang tua dengan HIV/AIDS lebih memberikan kasih
sayang kepada anaknya untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya.
b. Diharapkan orang tau mau melakukan pemeriksaan dan pengobatan
rutin.
DAFTAR PUSTAKA

Asia Pacific Council of AIDS Service Organizations. 2009. Advokasi HIB dari
Akar Rumput ke Atas. Surabaya: Yayasan GAYa Nusantara

Huriati. 2014. HIV/AIDS pada Anak. Sulesana Vol. 9 No. 2 hal 126-131
Katili, M. I., dkk. 2012. Sikap dan Tindakan Ibu dengan HIV/AIDS Terhadap
Stigma dan Diskriminasi Masyarakat di Kota Semarang LINK Vol. 8 No.
1 hal 215-220

Kemenkes. 2014. Situasi dan Analisis HIV/AIDS. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan

Muhaimin, T. dkk. 2015. Instrumen Pengukuran Kualitas Hidup Anak


Terinfeksi HIV. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 6 No. 3 hal 126-132

S. Aang. 2015. Dampak HIV pada Pendidikan Anak di Indonesia Child


Proverty and Social Protection Conference

Unicef Indonesia. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak Ringkasan Kajian


Unicef Indonesia Oktober 2012

_____________. 2012. Laporan Tahunan Indonesia Tahun 2012


Laporan Tahunan Unicef Indonesia 2012

Anda mungkin juga menyukai