Anda di halaman 1dari 8

RESPON IMUN TERHADAP BAKTERI DAN JAMUR

A. BAKTERI
Bakteri dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok
terbanyak dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan
kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana
tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan
kloroplas. Struktur sel mereka dijelaskan lebih lanjut dalam artikel mengenai
prokariota, karena bakteri merupakan prokariota, untuk membedakan mereka
dengan organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota. Istilah
bakteri telah diterapkan untuk semua prokariota atau untuk kelompok besar
mereka, tergantung pada gagasan mengenai hubungan mereka. Bakteri adalah yang
paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka tersebar (berada di mana-
mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak patogen
merupakan bakteri. Kebanyakan dari mereka kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5
m, meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita).
Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi
dengan komposisi sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak yang bergerak
menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain.
1. Bakteri Ekstraselular dan Intraseluler
a. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular
Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui
mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan.
Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan penghancuran dalam makrofag
menunjukkan virulensi bakteri. Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin
yang dihasilkan oleh makrofag adalah merangsang inflamasi non-spesifik
serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri.
b. Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular
Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons kekebalan
spesifik terhadap bakteri ekstraselular.
c. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular
Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme
intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif
resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu
mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran
infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.
2. Respons Imun terhadap Bakteri Ekstraselular
Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme
yaitu
a. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat
infeksi. Sebagai contoh misalnya kokus piogenik yang sering menimbulkan
infeksi supuratif yang hebat.
b. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat
berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen
dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator
produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktivator poliklonal sel
limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan
mekanisme yang belum jelas benar. Toksin klostridium dapat menyebabkan
nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas gangren. Respons imun
terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta
netralisasi efek toksin.
3. Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular
Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan
replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang
resisten terhadap degradasi dalam makrofag. Sebagai contoh adalah
mikrobakteria serta Listeria monocytogenes.
4. Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Bakteri
Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung
mikroba patogen di sekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan
penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan
kompleks. Oleh karena itu respons imun tubuh manusia terhadap berbagai
macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik spesifik
mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi.
Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraselular atau
bakteri intraselular mempunyai karakteristik tertentu pula.
5. Contoh :
Secara singkat perjalanan infeksi sistemik Salmonella dapat digambarkan
dalam beberapa fase. Fase I terjadi sekitar 1 jam setelah diinfeksi secara
intravena atau intraperitoneal. Lebih dari 90 % kuman yang diinokulasi
ditangkap dan dirusak oleh fagosit residen. Fase II dimulai sejak hari I infeksi
yang disebut tahap pertumbuhan eksponensial. Kuman masuk ke dalam sirkulasi
melalui pembuluh limfe melakukan invasi ke hepar dan limpa untuk selanjutnya
melakukan multiplikasi. Neutrofil sangat penting pada fase ini sebagai
pertahanan host dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Fase III terjadi setelah
3-7 hari, pertumbuhan bakteri pesat di hati dan limpa serta menjadi pertumbuhan
yang menetap. Makrofag yang teraktivasi memproduksi sitokin proinflamasi.
Makrofag teraktivasi bukan untuk membunuh akan tetapi untuk meningkatkan
killing sel NK dengan produksi sitokinnya. Fase pembersihan terjadi setelah
minggu ketiga infeksi yang melibatkan imun adaptif khususnya sel T.
Respons imun terhadap salmonella meliputi sistem imun natural (innate)
dan sistem imun adaptif (acquired). Sistem imun natural berfungsi untuk
mengidentifikasi dan melawan mikroba serta penanda imun adaptif. Respons
imun natural dimulai dengan pengenalan komponen bakteri seperti LPS dan
DNA, diikuti pengambilan dan penghancuran bakteri oleh sel fagosit yang
memfasilitasi proteksi host terhadap infeksi. Peran ini dilakukan oleh makrofag,
sel NK, dan neutrofil.
Makrofag mensekresi IL-1, -6, -8, -12, -15, -18 dan TNF alfa. Interleukin -1,
-6, dan TNF alfa bekerja sinergis untuk meningkatkan aktivasi sel T dan respons
radang akut. Interleukin-8 membantu menarik neutrofil ke tempat infeksi.
Interleukin -12 mengaktivasi sel NK dan memicu diferensiasi CD4 menjadi Th1.
Interleukin -12 juga meningkatkan kemampuan bakterisidal fagosit,
meningkatkan IFN, dan meningkatkan sintesis NO. Interleukin -15 penting
untuk respons inflamasi, fungsi antimikrobial neutrofil, stimulasi CD8 serta
perkembangan, survival, dan fungsi sel NK. Interleukin -18 menginduksi IFN,
ko-aktivasi Th1, dan perkembangan sel NK. Makrofag juga mengeluarkan ROI
dan RNI yang dapat meningkatkan mekanisme membunuh bakteri. Makrofag
mampu menghancurkan bakteri dengan respiratory burst yang menghasilkan
reactive oxygen species (ROS) seperti superoksida, hidrogen peroksidase dan
NO. Sel NK berperan sebagai sel sitotoksik atau sitolitik yang dapat
menghancurkan sel yang terinfeksi. Sel NK juga memproduksi IFN , TNF alfa,
dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IFN
meningkatkan sejumlah reseptor TNF alfa dan transkripsi mRNA. Sebaliknya
TNF alfa dibutuhkan untuk produksi IFN. IFN meningkatkan respons CMI
dengan mengaktivasi makrofag dan menginduksi diferensiasi sel Th menjadi
Th1. Sel NK berperan sebagai jembatan antara imunitas alami dan imunitas
adaptif, memodulasi hematopoesis, dan meningkatkan granulosit makrofag.
Neutrofil mampu menghasilkan oxidative burst seperti makrofag yang
berkontribusi dalam membunuh bakteri. Nitrit oksida (NO) diproduksi bersama
dengan L-sitrulin melalui oksidasi enzimatik dari L-arginin. Produksi NO
distimulasi oleh IFN, TNF alfa, IL-1 dan IL-2. Nitrit oksida merupakan
implikasi respons terhadap bakteri intraseluler seperti Salmonella yang tercermin
dengan melimpahnya NO di bagian luar fagosom. Antara ROI dan NO dapat
berinteraksi dengan membentuk spesies antimikroba yang lebih toksik seperti
peroksi-nitrit yang dapat meningkatkan daya bunuh makrofag terhadap
Salmonella.
Sementara itu pada imun adaptif sel yang berperan adalah APC, sel T dan
sel B. Sel dendritik merupakan APC yang penting dalam inisiasi respons imun
yang diperantarai sel T dan bersama dengan makrofag mempresentasikan
antigen yang diproses dari bakteri intrasel gram negatif seperti Salmonella.
Pada infeksi bakteri intraseluler dan virus pada sediaan apus darah tepi
dapat terlihat limfosit atipik / teraktivasi dengan limfosit yang lebih besar dan
reaktif, sitoplasma lebih lebar, warna lebih biru atau abu-abu, inti oval, bentuk
ginjal atau lobulated, kadang kadang terdapat anak inti dan kromatin lebih kasar.
Faktor yang berperan dalam perubahan sel Th adalah limfokin yang
mengaktifasinya. Jika berupa IL-2 dan IFN, yang berkembang adalah Th1 dan
akan menekan Th2. Sebaliknya jika IL-4 yang dikeluarkan, maka Th2 yang akan
berkembang. Diferensiasi sel Th juga dipengaruhi jenis APC, jika APC-nya
makrofag (sumber IL-12), yang akan berkembang adalah Th1, tetapi jika APC-
nya sel B, yang berkembang Th2.
Sel T diperlukan untuk ekspresi penuh imunitas terhadap Salmonella. Sel T
dengan Cluster designation 4 (CD4) berfungsi dalam membantu aktivasi dan
diferensiasi sel B. Selain membantu sel B membentuk antibodi, juga membantu
pembentukan CD8 spesifik salmonella dan pengaturan pembentukan granuloma
untuk membatasi penyebaran bakteri. Cluster designation 8 (CD8) ini dapat
melisis sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin yang dibutuhkan untuk
pengerahan dan aktivasi fagosit. Ketika distimulasi, CD4 akan memproduksi IL-
2 yang dibutuhkan sel T untuk berkembang menjadi Th. Defisiensi CD4
menyebabkan terjadinya infeksi kronis, sedangkan pada defisiensi sel B masih
mampu mengontrol dan mengeliminasi infeksi Salmonella. Jadi dapat
disimpulkan bahwa CD4 juga berperan untuk mengaktivasi fagosit dan bukan
sekedar memberi bantuan sel B.

B. JAMUR
Jamur merupakan mikroorganisme saprofit pada manusia yang terdapat luas
pada permukaan tubuh maupun pada mukosa. Infeksi jamur pada manusia lebih sulit
ditangani dibandingkan dengan infeksi bakteri. Manusia dan jamur merupakan
organisme eukariotik yang memiliki kesamaan dalam mekanisme pembentukan
protein
1. Respon imun terhadap jamur
Seperti pada umumnya infeksi oleh mikroorganisme lain seperti bakteri dan
parasit, respon imun tubuh terhadap jamur terdiri atas respon alamiah dan juga
adaptif.
Respon imun alamiah berperan sebagai barier pertahanan pertama yang
melawan masuknya patogen ke dalam tubuh. Respon imun adaptif merupakan
mekanisme lanjutan dari respon imun alamiah untuk dapat mengeradikasi
patogen di dalam tubuh. Produk akhirnya pada respon imun adaptif adalah
terbentuknya sel memori terhadap antigen spesifik

2. Contoh : Aspergillus
Infeksi Aspergilus pada host diawali dengan inhalasi konidia Aspergillus
dan internalisasi ke dalam sel host. Sebagian besar konidia yang masuk dalam
saluran nafas bagian atas dapat dieliminasi oleh gerakan silia epitel
pseudokolumner kompleks. Respon untuk menghindari sistem eliminasi oleh
host terjadi melalui produksi protein tertentu. A. fumigatus mampu mensintesis
protein gliotoksin, fumagillin, serta asam helvoik yang mampu menghambat
pergerakan silia, serta memfasilitasi proses internalisasi konidia pada sel endotel
dan sel epitel.
Tahap yang paling pertama dari aktivasi sistem imun terhadap konidia
adalah tahap pengenalan molekul permukaan yang khas antara sel imun
(makrofag) dengan konidia. Konidia yang masuk ke dalam jaringan tubuh host
dapat dikenali melalui struktur Pathogen Associated Molecular Patterns
(PAMPS) khas yang tidak dimiliki oleh organisme lain. Makrofag akan
mengenali struktur PAPMS konidia melalui Pattern Recognition Receptor
(PRRs) yang spesifik. Terdapat 2 bentuk PPRs yaitu bentuk yang melekat pada
permukaan sel serta bentuk yang disekresikan. PPRs yang melekat pada
permukaan sel imun antara lain Toll like receptors (TLRs), Mannan binding
lectin (MBL) dan C-type lectin receptor/ CLR (dectin-1). PPRs yang terdapat
dalam bentuk sekresi antara lain Lung surfactant proteins A dan D (SP-A and
SP-D).
PPRs yang spesifik akan mengenali stuktur yang terdapat pada permukaan
dinding sel jamur. TLR merupakan kelas mayor PRRs yang berperan penting
dalam respon imun terhadap jamur. Dua subtipe TLR yang berperan penting
dalam proses ini antara lain TLR2 dan TLR4. TLR2 berperan penting untuk
mengenali struktur zimosan, fosfolipomanan serta glukuronoksilomanan (GXM)
pada dinding sel jamur. TLR4 berperan penting untuk mengenali struktur
glukoronoksilomanan dan O-linked mannan. Dectin-1 akan mengenali struktur
-glucan sedangkan ketiga bentuk PRRs yang tersekresi (SP-A, SP-D dan MBL)
akan mengenali gugus karbohidrat pada permukaan jamur.
Pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS akan menginduksi
berbagai proses imun dalam rangka mengeliminasi patogen. Pengenalan PAMPS
melalui dektin-1 , TLR2, dan TLR4 akan meningkatkan pembentukan sitokin
proinflamatori tumor necrotic factor-/ TNF-.
Pengenalan PAMPS melalui SP-A dan SPD berperan penting untuk
meningkatkan kemotaksis, fagositosis, oxidative killing, serta aglutinasi konidia.
Selain itu, pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS juga berperan
tenting dalam peningkatan sekresi kemokin Macrophage Inflammatory Protein
(MIP) dan protein antimikrobial. MIP-1 dan MIP-2 berperan penting dalam
induksi kemotaksis ke jaringan lesi. Selain itu, kemokin ini juga berperan
penting untuk menginduksi diferensiasi netrofil dan monosit menjadi makrofag.
Eradikasi konidia oleh sel makrofag terjadi melalui proses fagositosis. Pada
tahap awal, konidia yang telah diinternalisasi oleh makrofag akan berada di
dalam fagosom. Pada tahap lanjut, eradikasi konidia terjadi melalui proses
asidifikasi dan pembentukan Reactive Oxygen Intermediet (ROI) di
fagolisosom. Fagolisosom sendiri terbentuk dari fusi antara fagosom dengan
lisosom. Sebanyak 90% konidia yang diinternalisasi oleh makrofag akan mati
dalam 24 jam. Sepuluh persen sisanya akan berkembang menjadi bentuk hifa
atau tetap bertahan dalam bentuk resting conidia.
Bentuk morfologi resting conidia, germinating conidia serta hifa merupakan
aktivator potensial kaskade komplemen. Bentuk morfologi yang berbeda akan
mengaktivasi komplemen dari jalur yang berbeda pula. Bentuk resting conidia
akan menginduksi aktivasi komplemen melalui jalur alternatif (alternative
pathways), sedangkan bentuk hifa akan menginduksi aktivasi komplemen
melalui jalur klasik (classical pathways).
Hifa yang tumbuh ke ruang ekstraseluler (menembus makrofag) akan
menginduksi aktivasi sistem imun ekstraseluler. Aktivasi sistem imun
ekstraseluler ditandai dengan terjadinya proses inflamasi, sekresi ROI ke
ekstraseluler, peningkatan kemotaksis netrofil dan peningkatan produksi peptide
antimikrobial. Terjadinya proses inflamasi ditandai dengan peningkatan sitokin
TNF- , interleukin-15 (IL-15) dan IL-8.2 Sebanyak 50% hifa yang tumbuh ke
ruang ekstraseluler akan mati dalam 2 jam.
Resting conidia berupakan bentuk yang resisten terhadap proses eradikasi
oleh sel imun. Bentuk morfologi ini lebih resisten terhadap sekresi ROI dan
kationik peptide oleh sel netrofil. Selain itu, internalisasi resting konidia oleh
netrofil hanya mampu menginduksi proses degranulasi dan respiratory burst
yang lemah. Respon netrofil akan meningkat jika bentuk morfologi resting
konidia ini berubah menjadi bentuk morfologi resting conidia swelling.
Pada pasien neutropeni, peranan netrofil akan digantikan oleh sel Natural
killer (NK) dan platelet. Namun bagaimana mekanisme imun pada NK maupun
platelet ini masih belum jelas.

Sel dendritik (DCs) merupakan sel yang menghubungkan antara sistem


imun alamiah dan adaptif. DCs mampu memfagositosis jamur dalam bentuk
bentuk konidia maupun hifa melalui PRRs yang berbeda. DCs pulmoner yang
telah menginternalisasi Aspergillus akan menjadi matur dan bermigrasi ke organ
limfoid sekunder untuk menginduksi sistem imun adaptif (pembentukan sel T
helper). Pengenalan morfologi tertentu oleh TLR2 dan TLR4 pada permukaan
DCs akan menstimulus respon imun yang berbeda.
Respon imun seluler (Cell Mediated Immunity/ CMI) akan terinduksi oleh
pengenalan konidia Aspergillus oleh DCs melalui TLR4. Sel imun yang
berperan dalam pada mekanisme imun ini adalah Sel Th1. Aktivasi sel Th1 akan
menginduksi terjadinya proses inflamasi untuk menghilangkan patogen
intraseluler. Beberapa sitokin proinflamasi yang perperan dalam mekanisme ini
antara lain interferon- (IFN-), IL-6, IL-12, TNF- serta Granulocyte-
Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF).
Respon imun humoral akan terinduksi oleh pengenalan hifa Aspergillus oleh
DCs melalui TLR 2. Sel imun yang berperan dalam mekanisme imun ini adalah
Sel Th2. Aktivasi sel Th2 akan menginduksi aktivasi sel plasma (sel efektor)
untuk mensekresikan immunoglobulin pada permukaan selnya untuk menjadi
antibodi. Proses isotope switching akan memfasilitasi terbentuknya berbagai
antibodi oleh sel plasma. Antibodi utama yang berperan pada infeksi jamur
adalah IgE. IgE akan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (alergi)
melalui mekanisme Antibody Derived Cell Cytotoxicity (ADCC). Mekanisme
ADCC dimulai dengan pengenalan antara kompleks IgE pada permukaan hifa
Aspergillus dengan sel efektor (eosinofil, basofil, sel mast) melalui Fc reseptor.
Proses ini akan menginduksi terjadinya degranulasi mediator histamin,
leukotrien, dan Major Basic Protein (MBP) dari sel efektor. Proses degranulasi
akan menginduksi terjadinya kerusakan jaringan.
Bentuk morfologi hifa memiliki karakteristik khas yang mampu
menginduksi terjadinya infeksi kronis. Bentuk hifa mampu memproduksi
kolagenase, elastase dan protease yang berperan penting dalam destruksi matriks
ekstraseluler secara lansung. Bentuk morfologi hifa juga mampu melekat pada
matriks ekstraseluler. Kedua hal inilah yang akan memfasilitasi terjadinya
infeksi yang kronis dan progresif, dimana proses remodeling jaringan akan
diikuti oleh terjadinya kerusakan jaringan kembali.
Gambar 2. Respon imun humoral pada infeksi jamur. Respon imun humoral
terjadi melalui pembentukan Th2, differensiasi sel B, produksi IgE serta aktivasi
sel efektor eosinofil dan sel mast untuk proses degranulasi.

Respon imun Th1 berperan sebagai faktor proteksi terhadap infeksi jamur
dibandingkan dengan Th2. Aktivasi pada sistem imun hormonal digunakan oleh
jamur untuk menghindar dari sistem imun seluler. Hal ini dianggap
menguntungkan bagi jamur oleh karena jamur dapat menghindar dari aktivitas
respiratory burst dan juga menghindar dari terdapatnya sekresi antifungal yang
diinduksi oleh aktivasi sel Th1

Anda mungkin juga menyukai

  • 01a. AKN Eropa, Amrik & Asia
    01a. AKN Eropa, Amrik & Asia
    Dokumen25 halaman
    01a. AKN Eropa, Amrik & Asia
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen1 halaman
    Bab Ii
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen4 halaman
    Bab Iii
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen24 halaman
    Bab Iii
    sulton
    Belum ada peringkat
  • ZOONOSIS
    ZOONOSIS
    Dokumen17 halaman
    ZOONOSIS
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Flora Normal
    Flora Normal
    Dokumen19 halaman
    Flora Normal
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Tugas Kompre
    Tugas Kompre
    Dokumen5 halaman
    Tugas Kompre
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Adm
    Adm
    Dokumen4 halaman
    Adm
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Tugas Kompre
    Tugas Kompre
    Dokumen5 halaman
    Tugas Kompre
    sulton
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Asi
    Kuesioner Asi
    Dokumen2 halaman
    Kuesioner Asi
    sulton
    Belum ada peringkat