Anda di halaman 1dari 15

PENENTUAN POTENSI TIGA DOSIS DARI ANTIBIOTIKA

TETRASIKLIN TERHADAP AKTIVITAS BAKTERI


Staphylococcus aureus

I. TUJUAN
Menentukan besarnya potensi sampel antibiotika tetrasiklin di
pasaran terhadap antibiotika standar.

II. PRINSIP
1. Membandingkan respon yaitu derajat hambatan pertumbuhan dari jasad
renik yang peka dan sesuai dalam kondisi pertumbuhan yang sama dari
dosis sediaan yang diperiksa (control) terhadap dosis sediaan baku.
2. Metode penetapan dengan metode lempeng silinder/difusi, dimana zat
yang diperiksa akan berdifusi dari reservoir ke dalam media agar yang
telah diinokulasikan dengan bakteri, diameter zona bening diukur dan
dibandingkan dengan larutan standar baku.
3. Pengenceran Bertingkat
Memperoleh konsentrasi yang lebih kecil dengan cara menambahkan
pelarutnya.
M 1V1 M 2V 2

M1
= Konsentrasi awal
V1
= Volume awal

M2
= Keonsentrasi campuran
V2
= Volume pencampuran

III. TEORI
Potensi adalah perbandingan dosis sedian uji dengan dosis larutan
standar atau larutan pembanding yang menghasilkan derajat hambatan
pertumbuhan pada kondisi yang sama, pada biakan jasad renik yang peka
dan sesuai (Prescott, H. K. and Langsing, M. P. 1999)
Antibiotika berasal dari kata anti = lawan dan, bios = hidup.
Sehingga mempunyai pengertian zat-zat kimia yang dihasilkan oleh
bakeri dan fungi, yang mempunyai khasiat mematikan atau menghambat
pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relative
kecil. Turunan zat tersebut yang dibuat secara semi-sintesis, termasuk
kelompok ini; begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat anti bakteri
lazimnya disebut antibiotika (Mutschler,1991).
Antibiotika menurut ensiklopedia Indonesia adalah zat-zat yang
berasal dari jasad renik yang mempunyai daya menghalangi timbulnya
jasad renik lain (Mutschler,1991).
Antibiotika menurut Kamus Besar Indonesia adalah zat kimia yang
dalam kadar rendah sudah mempunyai kemampuan untuk menghambat
kehidupan atau menghancurkan bakteri atau mikroorganisme
(Mutschler,1991).
Antibiotika menurut Obat-obat penting, Khasiat, Penggunaan,dan
Efek-efek sampingnya adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi
dan bakteri yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat
pertumbuhan sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil
(Mutschler,1991).
Kegiatan antibiotis untuk pertama kalinya ditemukan secara
kebetulan oleh dr. Alexander Flemming (Inggris. 1928, penisilin).
Kemudian para peneliti lainnya memperoleh zat lain diantaranya yang
terpenting : streptomisin (1944), kloramfenikol (1947), tetrasiklin (1948),
eritromisin (1952), rifampisin (1960), bleomisin (1965), dan
doksorubisin (1969), niinosiklin (1972), dan tobramisin (1974).
Syarat untuk antibiotik yaitu :
Mempunyai toksisitas selektif, minimal untuk hospes dan maksimal
untuk bakteri.
Mempunyai potensi yang baik.
Memenuhi persyaratan kualitas sesuai dengan yang tertera pada
farmakope (Mutschler,1991).
Pada keadaan awal kekuatan antibiotik bisa ditentukan karena
kadarnya ekuivalen dengan konsentrasinya. Tetapi uji yang paling tepat
adalah uji secara mikrobiologi untuk mengetahui efeknya secara
langsung terhadap mikroba (in vitro) dan berapa MIC-nya. Bila diuji
secara in vitro perlu dilihat waktu pemberian obat sehingga didapatkan
potensi maksimumnya yang mempunyai daya kerja yang optimal jangan
sampai pada pemberian berikutnya diberikan pada saat konsentrasi obat
dalam darah habis., karena itu konsentrasi obat dalam darah diusahakan
selalu tetap stabil dengan menggunakan aturan pakai obat antibiotik.
Farmakope menentukan potensi antibiotik standar antara 85 %-105 %
(Warsa, U.C., 1994).
Untuk menguji potensi antibiotik obat tersebut dibandingkan
dengan obat standar internasional, di Indonesia digunakan standar baku
nasional, untuk skala labolatorium bisa juga digunakan standar baku
labolatorium. Standar obat yang ditetapkan oleh WHO adalah Standar
Internasional, obat-obat di negara kita ditara dengan standar internasional
dengan menggunakan jenis obat yang sama maka didapat Standar
Nasional. Obat yang ada di laboratorium ditara dengan Standar Nasional
maka didapat Standar Laboratorium (Merchant, I. A. And Parker, R.A.,
1961).
Antibiotik dapat memberikan potensi yang lebih basar dari nilai
ini, hal ini disebabkan karena antibiotik itu terurai menjadi zat lain yang
lebih bagus potensinya, jadi yang terjadi adalah suatu potensi campuran.
Bila suatu antibiotik dikonsumsi dalam jumlah besar tetapi potensinya
tetap dibandingkan dengan antibiotik lain maka dapat berakibat
menambah besarnya efek samping dengan potensi yang tetap (Warsa,
U.C., 1994).
Potensi suatu antibiotik lama-lama dapat menurun, hal ini
disebabkan oleh:
1. Waktu kadaluwarsa telah dicapai.
2. Penyimpanan yang tidak baik.
3. Terjadi penguraian obat yang menghasilkan zat lain sehingga tidak
memiliki efek lagi (Pelczar, Michael.J, dan Chan, E.C.S, 1988).
Selain itu suatu zat antibiotik kemoterapeutik yang ideal
hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Mempunyai kemampuan untuk merusak atau menghambat
mikroorganisme patogen spesifik. Makin luas spectrum kerjanya,
makin baik.
b. Tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk-bentuk resisten parasit.
c. Tidak menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki.
d. Tidak melenyapkan flora normal pada inang.
e. Dapat diberikan melalui mulut tanpa diinaktifkan oleh asam lambung
atau melalui suntikan tanpa terjadi pengikatan dengan protein darah.
f. Memiliki kelarutan yang tinggi dalam zat alir tubuh.
g. Konsentrasi antibiotik di dalam darah atau jaringan harus dapat
mencapai taraf cukup tinggi sehingga mampu menghambat atau
mematikan penyebab infeksi (Pelczar, Michael.J, dan Chan, E.C.S,
1988).
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi
bentuk garam natrium atau garam HClnya mudah larut. Dalam keadaan
kering, bentuk basa dan garam HCl tetrasiklin bersifat relatif stabil.
Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin sangat labil sehingga cepat
berkurang potensinya (Anonim, 2007).
Tetrasiklin adalah zat anti mikroba yang diperolah denga cara
deklorrinasi klortetrasiklina, reduksi oksitetrasiklina, atau denga
fermentasi (Anonim, 1979).
Tetrasiklin mempunyai mempunyai potensi setara dengan tidak
kurang dari 975 g tetrasiklin hidroklorida,(C22H24N2O8.HCl),per mg
di hitung terhadap zat anhidrat. Tetrasiklin memiliki struktur dasar seperti
yang diperlihatkan di bawah ini. Bentuk-bentuk radikal terjadi dalam
bentuk yang berbeda:
(Anonim, 1995).
Tetrasiklin mempunyai toksisitas kecil yang sama seperti pada
antibiotika spektrum luas lainnya. Gangguan kesetimbangan biologik flora
usus fisiologik akan bertambah banyak karena galur yang resisten dari
mikroba dan jamur. Kerusakan hati hanya tampak pada penggunaan
dengan dosis tinggi. Reaksi alergi jarang terjadi. Tetrasiklin dapat
menyebabkan perubahan gigi yang ireversibel, berwarna kuning sampai
coklat, hipoplasia email gigi dan kadang-kadang gangguan pertumbuhan
Oleh karena itu tetrasiklin tidak digunakan saat kehamilan, pada bayi dan
anak-anak sampai usia 8 tahun. Tetrasiklin tidak digunakan pada gangguan
fungsi ginjal dan hati yang parah (Mutschler, 1991).
Suatu zat antimikroba yang ideal memiliki toksisitas selektif.
Istilah ini berarti bahwa suatu obat berbahaya bagi parasit, tetapi tidak
membahayakan inang. Seringkali, toksisitas selektif lebih bersifat relative
dan bukan absolut; ini berarti bahwa suatu obat yang pada konsentrasi
tertentu dapt ditoleransi oleh inang, dapat merusak parasit (Jawetz et. al.,
1996).
Staphylococcus aureus berbentuk sel bulat gerombol seperti buah
anggur, kadang terlihat sel tunggal atau berpasangan (Foster, 2004).
Staphylococcus aureus juga dapat bergerombol empat coccus,
secara khas membelah lebih dari satu bidang pada bentuk cluster yang
tidak beraturan (Prescott and Langsing, 1999).
Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif, non motil,
berbentuk sel bulat, dan ukurannya 0,5 hingga 1,5 m (Todar, 2002).
Staphylococcus aureus dapat tumbuh optimum pada pH 7,0-7,5
dan suhu 30C - 37C. Dinding sel tersusun dari peptidoglikan dan asam
teikoat. Staphylococcus aureus merupakan bakteri anaerob dan katalase
positif (Prescott and Langsing, 1999).
Pertumbuhan terbaik pada suasana aerob, tetapi juga bersifat
anaerob fakultatif, pada lempeng agar darah koloni lebih besar, dan pada
varietas tertentu koloninya dikelilingi oleh zona hemolisis (Warsa,1994).
Taksonomi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut :
Regnum : Plant
Filum : Protophyta
Kelas : Schyzomycetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Microccaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus mempunyai daya tahan yang lebih kuat jika
dibandingkan dengan bakteri lain yang tidak membentuk spora. Pada agar
miring masih dapat bertahan hidup sampai berbulanbulan baik di dalam
lemari es maupun pada suhu kamar (Warsa, 1994).
Pada media PAD Staphylococcus aureus memproduksi pigmen
lipochrome yang membuat koloni tampak berwarna kuning keemasan dan
kuning jeruk atau putih (Mahon et. al., 1995).
Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna abu-abu
sampai kuning emas tua (Jawetz et. al., 1996).
Pada uji katalase memberi hasil positif, uji koagulase positif,
memfermentasi glukosa dalam keadaan anaerobik fakultatif dan
membentuk asam dari fermentasi manitol secara anaerobik (Todar, 2005).
Staphylococcus aureus mempunyai sifat mengasamkan dan
mengkoagulasikan susu litmus dan secara perlahan akan membentuk
pepton pada beberapa strain. Sifat bakteri ini adalah indol negatif, NH3
positif, methyl red positif, Voges-Proskauer positif, mereduksi methylene
blue, mereduksi nitrat menjadi nitrit, menghasilkan H2S, menghidrolisis
gelatin dan mengkoagulasi plasma Staphylococcus aureus menghasilkan
asam dari glukosa, maltosa, manitol, laktosa, sukrosa dan gliserol, tetapi
tidak memfermentasi salisin, rafinosa ataupun inulin (Merchant and
Parker, 1961).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan lesi permukaan pada
kulit seperti melepuh dan furunkulosis. Patogenitas bakteri ini sering
dihubungkan dengan infeksi luka bernanah baik pada manusia maupun
pada hewan, yang merupakan penyebab utama kasus pyemia. Infeksi
serius dapat berupa pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran
perkencingan. Infeksi bagian dalam bisa berupa osteomyelitis dan
endocarditis. Staphylococcus aureus menyebabkan kerusakan jaringan
epitel mammae akibat adanya enzim koagulase, berbagai eksotoksin dan
toksin hemolisin. Hemolisin biasanya dihasilkan oleh Staphylococcus
aureus yang diisolasi dari manusia, sedangkan hemolisin diisolasi dari
hewan. Kadang-kadang dari radang ambing sapi dapat diisolasi
Staphylococcus aureus yang memproduksi hemolisin akibat tertular dari
manusia (Subronto, 2003).
Staphylococcus aureus menyebabkan keracunan makanan, karena
mengeluarkan enterotoksin, dan dapat menyebabkan toxic shock
syndrome, karena mengakibatkan sitokinin berlebihan dalam peredaran
darah. Flora normal Staphylococcus aureus yang terdapat pada saluran
pernafasan, kulit, dan membran mukosa, patogen untuk manusia sehingga
dapat menyebabkan infeksi yang bersifat supuratif (Todar, 2005).
Pada hewan, bakteri ini merupakan penyebab utama kasus mastitis
pada sapi dan kambing, pustular dermatitis pada anjing dan pembentukan
abses pada semua spesies hewan (Merchant and Parker, 1961).

IV. ALAT DAN BAHAN


1. Alkohol
2. Antibiotik Tertrasiklin
3. Bakteri Staphylococcus aureus
4. Botol vial
5. Cawan petri
6. Jangka sorong
7. Media agar
8. Mikropipet
9. Pembakar spiritus
10. Tabung reaksi
11. Volume pipet 10 ml dan 1 ml

V. PROSEDUR
Suspensi bakteri disiapkan dalam Nutrient Broth. Bakteri ini harus
dalam keadaan homogen. Sediaan uji dimasukan ke dalam botol vial dan
dilarutkan dengan sedikit pelarutnya. Pengenceran larutan sampel dan
baku direncanakan hingga didapat variasi 3 seri dosis yang diinginkan
( dosis tinggi, dosis sedang, dan dosis rendah ). Larutan inokulum dibuat
dengan cara, suspensi biakan bakteri dimasukan ke dalam nutrient agar
yang telah disterilisasi. Dalam keadaan masih cair, nutrient agar yang
telah mengandung suspensi tersebut dituangkan dalam cawan petri secara
aseptis sebanyak 20 mL. Dibiarkan sampai membeku. Permukaan dasar
cawan dibagi menjadi 6 area sama besar. Masing-masing area tersebut
diberi label tergantung variasi seri dosis yang akan digunakan. Enam
cetakan reservoir (lubang) dibuat pada masing-masing cawan petri
dengan menggunakan perforator secara aseptis. Reservoir tersebut dibuat
dengan cara membuang agar dalam cetakan reservoir tersebut dengan
menggunakan spatel. Hasil buangan dimasukan ke dalam desinfektan
yang telah disediakan. Larutan sampel dan baku dimasukan pada masing-
masing reservoir sesuai dosis yang ditentukan dengan menggunakan
mikropipet secara aseptis. Kemudian diinkubasikan dalam inkubator
pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Diameter daerah bening (zona lisis)
yang terjadi di sekeliling reservoir yang telah mengandung antibiotika
tersebut, diukur dan dicatat dengan menggunakan jangka sorong. Potensi
antibiotik dihitung.

VI. DATA PENGAMATAN


CAWAN BAKU (mm) SAMPEL (mm)
BT BS BR ST SS SR
1 21,5 21,4 18,8 20,4 19,5 17,8
2 21,1 20,6 20,4 20,9 20,5 18,1
JUMLAH 42,6 42 39,2 41,3 40 35,9
RATA-RATA 21,3 21 19,6 20,65 20 17,95

Cawan 1

Cawan 2

VII. PERHITUNGAN
1. Dosis Tetrasiklin
2,5g / 50mL 50 g / mL
Dosis tinggi =
1,25g / 50 L 25g / mL
Dosis menengah =
0,625g / 50 L 12,5g / mL
Dosis rendah =
2. Pengenceran
Rumus umum : V1 N1 = V2 N2
Pengenceran larutan sampel dan baku
V1 N1 = V2 N2
2500 . 1 = V2 . 500
V2 = 5 ml

Volume antibiotika dosis 2500 g /mL yang diambil = 1 mL

Volume aquadest = 4 mL

a. Dosis tinggi
V1 N1 = V2 N2
0,5 . 500 = V2 . 50
V2 = 5 mL
Volume antibiotika dosis 500 g/mL yang diambil = 0,5 mL
Volume aquadest = 4,5 mL
b. Dosis sedang
V1 N1 = V2 N2
1 . 50 = V2 . 25
V2 = 2 mL
Volume antibiotika dosis 43,2 g/mL yang diambil = 1 mL
Volume aquadest = 1 mL
c. Dosis rendah
V1 N1= V2 N2
1 . 25 = V2 . 12,5
V2 = 2 mL
Volume antibiotika dosis 14,4 g/mL yang diambil = 1 mL
Volume aquadest = 1 mL
3. Perhitungan Potensi Tetrasiklin
DT DM
DM DR
I = log = log
= log 2 = 0,301
E = ( ( ST SR) + (BT - BR) )
= ( (20,65 17,95) + (21,3 19,6) )
= 1,1
E 1,1
3,654
I 0,301
b=
F = 1/3 [(ST+SM+SR) (BT+BM+BR)]

= 1/3 [ ( 20,65+20+17,95 )(21,3+21+19,6)]

= -1,1
F 1,1
0,301
b 3,654
M=
POTENSI = anti log M x 100%
= anti log (-0,301) x 100%
= 0,50 x 100%
= 50 %

VIII. PEMBAHASAN
Percobaan ini dilakukan untuk menentukan besarnya potensi
sampel terhadap antibiotika standar. Pada percobaan digunakan antibiotik
tetrasiklin dengan bakteri ujinya Staphylococcus aureus. Bakteri
Staphylococcus aureus dipilih sebagai bakteri uji karena merupakan
bakteri yang peka terhadap tetrasiklin. Antibiotik sampel maupun baku
dibuat dalam tiga konsentrasi yang berbeda (dosis tinggi, dosis sedang,
dan dosis rendah). Antibiotik baku yang digunakan adalah antibiotik
dengan konsentrasi 12,5 g/mL sebagai dosis rendah, 25 g/mL

sebagai dosis menengah, dan 50 g/mL sebagai dosis tinggi. Ketiga

konsentrasi ini didapatkan melalui proses pengenceran dari larutan


sampel dan larutan baku. Proses pengenceran ini menggunakan
perhitungan rumus:
V1.N1 = V2.N2
Hasil pengenceran kemudian digunakan sebagai dasar perhitungan untuk
menentukan potensi antibiotik tetrasiklin dengan melihat zona bening
yang dihasilkan.
Semua tahap pengerjaan prosedur harus dilakukan secara aseptis,
agar tidak ada bakteri lain yang tercampur dan tumbuh pada hasil uji.
Alat yang digunakan juga harus steril. Sterilisasi peralatan dilakukan
dengan cara mencucinya dengan cairan desinfektan. Kemudian semua
alat dikeringkan dan dipanaskan di dalam autoklaf agar tidak ada
mikroorganisme yang tumbuh dalam peralatan yang akan digunakan.
Perforator yang digunakan diambil dari larutan desinfektan yang
kemudian dikeringkan dengan dibakar diatas api spiritus. Hal ini
dimaksudkan supaya tidak ada desinfektan yang tercampur pada
perforator. Cetakan yang dibuat dengan perforator digunakan untuk
menampung antibiotik.
Pada saat proses membuat cetakan reservoir pada cawan petri,
perforator harus difiksasi terlebih dahulu untuk menghidari kontaminasi
bakteri lain. Proses pencetakan dilakukan di dekat nyala api spiritus
supaya bakteri dari udara tidak mengkontaminasi media agar yang berisi
bakteri. Saat pencetakan posisi perforator harus benar-benar lurus agar
didapat zona bening yang bulat sempurna. Potongan agar bulat hasil
cetakan diambil dengan menggunakan spatel yang sebelumnya telah
difiksasi terlebih dahulu di atas api. Spatel hasil fiksasi tidak boleh
dimasukan kedalam agar dalam keadaan panas, karena dapat membunuh
bakteri uji Saat mengambil potongan agar harus dilakukan hati-hati
supaya tidak merusak lempeng agar. Setelah keenam lubang pada
lempeng agar selesai dibuat, kemudia dimasukkan 50 L larutan
antibiotik baku dan sampel pada lubang tersebut dengan menggunakan
mikropipet. Proses ini harus dilakukan secara hati-hati, dan ujung
mikropipet jangan sampai terfiksasi karena bagian tersebut terbuat dari
plastik sehingga akan meleleh. Ujung mikropipet yang menampung
cairan antibiotik cukup dicelupkan pada desinfektan untuk mencegahnya
dari kontaminasi. Setelah itu cawan petri dibungkus dengan koran
kemudian diinkubasikan pada suhu 370C selama 18-24 jam. Hal ini
bertujuan agar bakteri dapat tumbuh secara optimal.
Hasil dari inkubasi adalah berupa zona bening yang berada
mengelilingi daerah reservoir. Data yang digunakan untuk menghitung
potensi ialah rata-rata dari cawan 1 dan cawan 2. Dari perbandingan
diameter yang dihasilkan antibiotik sampel dengan antibiotik baku maka
diperoleh bahwa potensi sampel adalah 50 %. Dari hal ini dapat
dikatakan bahwa sampel memiliki potensi yang lebih rendah dari sediaan
baku. Kesalahan dapat terjadi diantaranya karena :
1. Pengenceran yang tidak tepat.
2. Perhitungan yang salah.
3. Prosedur kerja yang kurang aseptis.

IX. KESIMPULAN
Potensi sampel Tetrasiklin yang diperoleh terhadap baku adalah 50%.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Bagian


farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Gayabaru.
Jakarta
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi 3. Depkes RI. Jakarta
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi 4. Depkes RI. Jakarta
Foster, T. J. 2004. Staphylococcus. Medmicro, Chapter 12
Jawetz, E., J. L. Melnick, & L. N. Ornston. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
20, alih bahasa: Edi Nugroho & RF Maulany. EGC. Jakarta.
Mahon, C. R., and Manuselis, G. 1995. Staphylococcus aureus in Text Book of
Diagnostic Microbiology. Printed in USA, Pp. 325-331.
Merchant, I. A. And Parker, R.A., 1961. Veterinary Bacteriology and Virology.
The Iowa State University Press, Ames, Iowa, United States of America.
Pp 306-308.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Penerjemah : Mathilda B.W. dan Anna S.R.
Bandung: Penerbit ITB.
Pelczar, Michael.J, dan Chan, E.C.S. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi II.
Penerjemah : Ratna Sri Hadioetomo dkk. UI Press. Jakarta
Prescott, H. K. and Langsing, M. P. 1999. Microbiology. 4th ed. WBC, MC The
Graw Hill Companies, Inc. p. 771.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, Hal. 320-325.
Todar, K. 2005. Staphylococcus. J. Bacteriology. University of Wisconsinmadison
Departement of Bacteriology, Pp. 330.
Warsa, U.C., 1994. Buku Ajar Mikrobioligi Kedokteran. Edisi Revisi. Binarupa
Aksara. Jakarta. Hal 103

Anda mungkin juga menyukai