MODUL III
ADISI-ALKALIMETRI
(Penentuan Kadar HCl Dengan Larutan Standar NaOH)
BAB I
PENDAHULUAN
Titrasi asam basa merupakan titrasi langsung dengan melibatkan asam maupun
basa sebagai titrat ataupun titran. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan.
Kadar larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Analisa volumetri suatu cara untuk menentukan kadar atau konsentrasi dari suatu
zat dengan menentukan vulome dari suatu larutan tertentu dengan konsentrasi
tertentu yang diperlukan pada suatu reaksi tertentu. Asidi-alkalimetri adalah salah
satu analisa volumetri yang bertujuan untuk menentukan kadar suatu asam/basa
dengan menggunakan volume dari basa/asam dengan konsentrasi tertentu yang
diperlukan pada reaksi asam-basa.
1. Teori Arrhenius
Menurut Arrhenius, asam adalah suatu zat yang bila dilarutkan dalam air
berdisosiasi menghasilkan ion hidrogen (H+) sebagai satu-satunya ion positif.
HCl H+ + Cl-
Basa adalah suatu zat yang bila dilarutkan dalam air berdisosiasi menghasilkan
ion hidroksil (OH-) sebagai satu-satunya ion negatif.
HCl H+ + Cl-
HCO3- H+ + CO32-
NH4+ H+ + NH3
Karena setiap reaksi adalah reaksi yang dapat balik, berarti hasil reaksi
pelepasan proton diatas dapat mengikat kembali proton, maka setiap asam selalu
mempunyai basa pasangannya yang dinamakan basa konjugasi.
Proton menurut teori atom adalah partikel yang sangat tidak stabil dan tidak dapat
berdiri sendiri. Karena itu jika ada pelepasan proton selalu harus di ikuti oleh
pengikatan proton tersebut. Dalam larutan asam dengan pelarut air, maka air
itulah yang akan berfungsi sebagai pengikat proton.
Karena itu berdasar teori Bronsted-Lowry, apa yang dinamakan reaksi ionisasi
asam sebenarnya adalah suatu reaksi asam basa. Hal yang sama untuk reaksi
ionisasi air, satu molekul air berfungsi sebagai asam dan melepaskan proton dan
satu molekul air yang lain berfungsi sebagai basa, penerima proton.
Zat yang dapat bersifat seperti H 2O, dapat bersifat asam dan pada saat yang sama
juga dapat bersifat sebagai basa dinamakan zat yang amfiprotik.
Secara keseluruhan, teori asam-basa bronsted-lowry ini lebih baik dari teori
arrhenius dan juga masih menyangkut konsep H + atau pH tapi dengan
catatanbahwa H+ harus dibaca sebagai H3O+.
3. Teori Lewis
Asam adlah semua zat yang dapat menerima pasangan elektron atau aseptor
pasangan elektron.
Basa adalah semua zat yang dapat memberikan pasangan elektron atau donor
pasangan elektron.
Semua zat yang memenuhi kriteria asam menurut teori lewis kemudian
dinamakan Asam Lewis.
Dapat dilihat dari reaksi-reaksi diatas bahwa reaksi akan berhenti apabila jumlah
H+ telah ekivalen dengan jumlah OH- dan dimana semua basa tepat bereaksi
dengan asam dinamakan titik ekivalen. Pada titik ekivalen akan berlaku :
Pada umumnya reaksi asam-basa sukar untuk dapat diamati karena itu diperlukan
bantuan indikator untuk dapat melihat perubahan pada reaksi ini. Indikator
terutama diperlukan untuk dapat melihat titik akhir dari suatu titrasi, dimana pada
titrasi tersebut mulai terjadi perubahan warna. Indikator yang baik adalah
indikator yang perubahan warnanya atau titik akhir titrasinya terletak sedekat
mungkin dengan titik ekivalen.
Pada titik ekivalen, tidak ada lagi kelebihan asam atau basa dan pada saat ini yang
kita punya adalah larutan garam, sehingga pH-nya juga sama dengan pH dari
larutan garam yang terjadi. Pada saat ini seharusnya penambahan asam atau basa
harus dihentikan dan pada saat ini juga warna harus sudah berubah. Dengan kata
lain indikator yang harus dipergunakan adalah indikator yang trayek pH-nya
sedekat mungkin dengan pH larutan garam yang akan terbentuk
Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun titrant.
Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan asam ditentukan
dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya. Titrant ditambahkan titer
sedikit demi sedikit sampai mencapai keadaan ekuivalen ( artinya secara
stokiometri titrant dan titer tepat habis bereaksi). Keadaan ini disebut sebagai
titik ekivalen. Pada saat titik ekivalen ini maka proses titrasi dihentikan,
kemudian kita mencatat volume titer yang diperlukan untuk mencapai keadaan
tersebut. Dengan menggunakan data volume titrant, volume dan konsentrasi titer
maka kita bisa menghitung kadar titrant.
Bobot ekivalen adalah suatu zat pada reaksi asam basa adalah banyaknya mol zat
itu yang ekivalen dengan 1 mol H+ atau 1 mol OH-. Cara mengetahui bobot
ekivalen ada dua cara yaitu:
Indikator asam basa adalah asam atau basa organik lemah yang mempunyai warna
molekul (warna asam) berbeda dengan warna ionnya (warna basa).
HIn H+ + In-
Pada contoh di atas, warna molekul lebih kuat dalam suasana asam, sedangkan
warna ion lebih kuat dalam suasana basa, yaitu bila indikator dinetralkan. Pada pH
tertentu, dimana kedua bentuk ada dalam jumlah yang hampir sama, maka akan
terjadi warna kombinasi dari warna molekul dan warna ionnya. Daerah transisi
dari perubahan warna indikator meliputi lebih kurang 2 unit pH dan daerah ini
disebut trayek pH. Beberapa contoh indikator asam basa beserta trayek pH dan
perubahan warnanya dapat dilihat pada tabel berikut :
Pemilihan indikator ditentukan oleh pH larutan pada titik ekuivalen. Pada titrasi
asam lemah dengan basa kuat, maka pH larutan pada titik ekuivalen diatas 7
(misalkan pH = 9), maka indikator yang dapat dipakai adalah biru timol atau
fenolftalein. Indikator ini biasanya digunakan hanya beberapa tetes sebagai
larutan dalam air atau alkohol (70 % - 90% h/v) dengan kadar 0,05 0,1 %.
Sebaliknya pada titrasi basa lemah dengan asam kuat, maka pH larutan pada titik
ekuivalen di bawah 7 (misalkan pH = 4), maka indikator yang dapat digunakan
adalah biru bromfenol atau jingga metil.
Larutan Baku
Dalam analisis ini, harus menggunakan suatu larutan yang disebut larutan baku,
yaitu suatu larutan yang dapat dipakai untuk menentukan konsentrasi dari larutan
lain. Ada 2 macam larutan baku, yaitu larutan baku primer dan larutan baku
sekunder. Larutan baku primer adalah suatu larutan/zat yang dapat dipakai untuk
menentukan kadar yang dapat dipakai untuk menentukan kadar atau konsentrasi
larutan/zat lain, tetapi harus distandarkan dahulu pada larutan baku primer.
Sebagai larutan/zat baku primer asam biasanya dipakai Asam Oksalat (H2C2O4)
Pada saat titik ekivalen maka mol-ekuivalent asam akan sama dengan mol-
ekivalen basa, maka hal ini dapat kita tulis sebagai berikut:
Mol ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan volume
maka rumus diatas dapat kita tulis sebagai:
N x V asam = N x V basa
Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah ion
H+ pada asam atau jumlah ion OH pada basa, sehingga rumus diatas menjadi:
n x M x V asam = n x V x M basa
Keterangan :
N = Normalitas
V = Volume
M = Molaritas
n = jumlah ion H+ (pada asam) atau OH (pada basa)
BAB III
METODELOGI PERCOBAAN
1. Alat Percobaan
a. Erlenmeyer 250 mL
b. Buret 50 mL
c. Statif
d. Klem
e. Labu Ukur 100 mL
f. Pipet Gondok 10 mL
g. Gelas Kimia 250 dan 100 mL
h. Botol Semprot
2. Bahan Percobaan
a. Larutan NaOH
b. Larutan HCl
c. Larutan Asam Oksalat
d. Indikator Fenolptalien (pp)
e. Aquadest
BAB IV
4.1 HASILPERCOBAAN
Konsentrasi H2C2O4
Konsentrasi awal =1N
Volume pemipetan = 10 mL
Volume labu ukur = 100 mL
10 mL Asam Oksalat 1 N diencerkan menjadi 100 mL, maka konsentrasi
Asam Oksalat menjadi :
V1 x N1 = V2 x N2
10 mL x 1N = 100 mL x N2
N2 = (10 mL x 1N) / 100 mL
= 0,1 N
Hasil Titrasi
N Volume asam oksalat (mL) Volume NaOH (mL)
o
1 10 9,60
2 10 9,55
3 10 9,60
Hasil Titrasi
N Volume HCl (mL) Volume NaOH (mL)
o
1 10 8,00
2 10 7,95
3 10 8,00
4.2 PEMBAHASAN
Perhitungan :
Untuk mengetahui konsentrasi NaOH digunakan rumus:
1. Vasam oksalat x Nasam oksalat = V NaOH x N NaOH
10 mL x 0,1 N = 9,60 mL x N NaOH
N NaOH = (10 N x 0,1 N) / 9,60 mL
N NaOH = 0,1042 N
2. Vasam oksalat x Nasam oksalat = V NaOH x N NaOH
10 mL x 0,1 N = 9,55 mL x N NaOH
N NaOH = (10 N x 0,1 N) / 9,55 mL
N NaOH = 0,1047 N
3. Vasam oksalat x Nasam oksalat = V NaOH x N NaOH
10 mL x 0,1 N = 9,60 mL x N NaOH
N NaOH = (10 N x 0,1 N) / 9,60 mL
N NaOH = 0,1042 N
Reaksi :
H2C2O4 (aq) + NaOH (aq) Na2C2O4 (aq) + 2H2O
Perhitungan:
Untuk mengetahui konsentrasi HCl digunakan rumus:
1. VHCl x NHCl = V NaOH x NNaOH
Reaksi :
NaOH (aq) + HCl (aq) NaCl (s) + H2O
BAB V
KESIMPULAN
MODUL IV
ASAM-BASA
(Aplikasi titrasi Asam-Basa dalam penentuan angka asam
dari minyak goreng)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum lemak diartikan sebagai trigliserida yang dalam kondisi suhu
ruang berada dalam keadaan padat. Sedangkan minyak adalah trigliserida
yang daklam suhu ruang berbentuk cair. Secara lebih pasti tidak ada batasan
yang jelas untuk membedakan minyak dan lemak (Julianty, 2008).
Angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk
menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram minyak atau
lemak. Angka asam besar menunjukan asam lemak bebas (FFA) yang besar
yang berasal dari hidrolisis minyak atupun karena proses pengolahan yang
kurang baik. Makin tinggi angka asam makin rendah kualitasnya (Julianty,
2008).
gram minyak
goreng. Weiss (1983) melaporkan bahwa salah satu indikator minyak goreng
mencapai batas pemakaian (frying life) adalah dicapainya kosentrasi asam
lemak bebas (FFA) sebesar 0,5 % (Budiyanto, 2008).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
1. Minyak goreng
2. Alkohol 95%
3. KOH 0,1 N
4. Ind. Phenolptalein
- Tambahkan 50 mL alcohol
- Pasang pendingin leibig terbalik di atas Erlenmeyer, lakukan
pemanasan sampai mendidih dan dikocok kuat-kuat
- Dinginkan, tambahkan 3 tetes indicator phenolptalein dan
titrasi dengan KOH 0,1 N
BAB IV
4.2 PEMBAHASAN
H+
20 gram
R3 Gliserol
COO CH2
Trigliserida
Reaksi H2O
+ 3 RCOOH
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh data angka asam dari minyak goreng
sebagai berikut :
1. 0,4488
2. 0,4460
3. 0,4460
MODUL V
PERMANGANOMETRI
I. PRINSIP PERCOBAAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dan dalam suasana basa atau [OH-] 0,1 N, ion permanganat akan mengalami
reduksi sebagai berikut:
Untuk pengasaman sebaiknya dipakai Asam Sulfat, karena asam ini tidak
menghasilkan reaksi samping. Sebaliknya jika dipakai Asam Klorida dapat terjadi
kemungkinan teroksidasinya ion klorida menjadi gas klor dan reaksi ini
mengakibatkan dipakainya larutan Permanganat dalam jumlah berlebih. Meskipun
untuk beberapa reaksi dengan Arsen (II) Oksida, Antimoni (II) dan Hidrogen
Peroksida, karena pemakaian Asam Sulfat justru akan menghasilkan beberapa
tambahan kesulitan.
Kalium Pemanganat adalah oksidator kuat, oleh karena itu jika berada dalam HCl
akan mengoksidasi ion Cl- yang menyebabkan terbentuknya gas klor dan
kestabilan ion ini juga terbatas. Biasanya digunakan pada medium asam 0,1 N.
Namun, beberapa zat memerlukan pemanasan atau katalis untuk mempercepat
reaksi. Seandainya banyak reaksi itu tidak lambat, akan dijumpai lebih banyak
kesulitan dalam menggunakan reagensia ini
Sehingga Asam Sulfat adalah asam yang paling sesuai, karena tidak bereaksi
terhadap permanganat dalam larutan encer. Dengan Asam Klorida, ada
kemungkinan terjadi reaksi :
Akhir titrasi ditandai dengan timbulnya warna merah muda yang disebabkan
kelebihan permanganat.
Beberapa ion logam yang tidak dioksidasi dapat dititrasi secara tidak langsung
dengan Permanganometri seperti: ion-ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (I) yang
dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah endapan disaring dan dicuci, dilarutkan
dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk Asam Oksalat secara kuantitatif. Asam
Oksalat inilah yang akhirnya dititrasi dan hasil titrasi dapat dihitung banyaknya
ion logam yang bersangkutan.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
a. Erlenmeyer 250 mL \
b. Buret 50 mL
c. Statif
d. Klem
e. Labu Ukur 100 mL
f. Pipet Volume 10 mL
g. Gelas Kimia 250 mL
h. Botol Semprot
i. Kaki tiga
j. Pembakar spirtus
k. Kassa asbes
l. Corong gelas
m. Termometer
1. Pipet 10 mL larutan besi (II) ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai
tanda batas, homogenkan.
2. Pipet 10 mL larutan besi (II) dari labu ukur 100 mL, masukan ke dalam
Erlenmeyer 250 mL.
3. Tambahkan 5 mL H2SO4 4 N dan 1 mL H3PO4 pekat.
4. Panaskan larutan tersebut sampai mencapai suhu 70 80 oC.
5. Dalam keadaan panas, tambahkan KMnO4 dari buret tetes demi tetes.
6. Kocok sampai terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang. Catat
volume KMnO4 yang diperlukan.
7. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume KMnO 4 konstan.
Hitung konsentrasi larutan besi (II) dengan perbandingan dari konsentrasi
KMnO4.
Hitung Konsentrasi Fe
BAB IV
A. HASIL PERCOBAAN
Hasil Titrasi
N Volume asam oksalat (mL) Volume NaOH (mL)
o
1 10 40
2 10 40
3 10 40
Hasil titrasi
4.2 PEMBAHASAN
Reaksi :
BAB V
KESIMPULAN
akan mengoksidasi berbagai zat yang bersifat reduktor dan pada saat itu
warna lembayung dari Kalium Permanganat akan hilang.
Penentuan konsentrasi Fe (II) menggunakan KMnO4 0,025 N volume
KMnO4 40 mL, hal ini disebabkan konsentrasi KMnO4 terlalu encer.
Seharusnya KMnO4 dipekatkan lagi namun karena keterbatasan waktu
dalam praktikum hal ini tidak sempat dilakukan.
Konsentrasi Fe (II) yang didapat dengan menggunakan KMnO 4 0,025 N
adalah 0,025 N.
MODUL6
IODOMETRI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Titrasi Iodimetri atau titrasi langsung yaitu suatu titrasi dimana penitrasi
ialah larutan baku iodium yang merupakan pengoksid atau oksidator.
Sebagai indicator dipakai larutan kanji atau amilum. Dalam iodometri terjadi
perubahan warna dari tidak berwarna menjadi biru, sedangkan pada iodimetri
terjadi sebaliknya.
Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat
bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk secara
kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka
titrasi iodometri adalah dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali.
Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika
direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini
disebabkan karena factor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indicator yang
dapat dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu titrasi kembali merubakan proses
titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodide. Senyawaan
Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah
sebagai berikut:
Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat
bereaksi dengan 6 mmol S2O32- (ingat 1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2
mmol S2O32-) sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol
S2O32-.
yang akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi,
alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat
sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis amilum
Bila digunakan Cu(II) maka pH harus dibuffer pada pH 3 dan dipakai tiosianat
untuk masking agent, KSCN ditambahkan pada waktu mendektitik akhir
titrasi dengan tujuan untuk menggantikan I2 yang teradsorbsi oleh CuI. Bila
pH yang digunakan tinggi maka tembaga(II) akan terhidrolisis dan akan
terbentuk hidroksidanya. Jika keasaman larutan sangat tinggi maka cenderung
terjadi reaksi I- sebagai akibat adanya Cu(II) dalam larutan yang megkatalis
reaksi tersebut.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
a. Buret 50 mL
c. Erlenmeyer
d. Labu ukur
e. Gelas Ukur
f. Corong gelas
g. Pipet volume
h. Pipet tetes
i. Batang pengaduk
j. Spatula
k. Gelas kimia
l. Botol semprot
1. Na2S2O3 0.1 N
2. K2Cr2O7 1.0 N
3. KI padat (bebas iodat)
4. Amilum / kanji
5. CuSO4
1. Pipet 10 mL larutan K2Cr2O7 1.0 N ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan
sampai tanda batas dan homogenkan.
2. Pipet 10 mL larutan tersebut ke dalam erlenmeyer secara triplo.
3. Tambahkan 1-2 gram KI (bebas iodat)dan 1 mL HCl pekat.
4. Titrasi sesegera mungkin dengan larutan thiosulfat sampai warna kuning.
5. Tambahkan 1 mL larutan kanji, sehingga warna akan menjadi biru
6. Lanjutkan titrasi dengan thiosulfat sampai warna biru tepat hilang.
7. Hitung konsentrasi thiosulfat.
BAB IV
4.2 PEMBAHASAN
A. Standarisasi Thiosulfat
NNaCl = 0,0425 N
BAB V
KESIMPULAN