5 7 1 SM
5 7 1 SM
Abstrak
The focus of this study is about prostitution according to criminal law and so
about the responsibilities to them who involved in prostitution. This study
shows that prostitution has been a law issue, not just a social issue.
Prostitution had approach the terminology of criminal law based on the
regulation on Local regulation (Peraturan Daerah). Even though it does not
written on the penal code (KUHP), part of activity in prostitution, which
related to sexual activity, had been written on the penal code as a criminal act,
with few conditions. With those reasons, so the people who involved in
prostitution can be punished by the penal code.
Abstrak
Fokus penelitian ini adalah tentang prostitusi menurut hukum pidana dan
tentang tanggung jawab kepada mereka yang terlibat dalam prostitusi. Studi
ini menunjukkan bahwa prostitusi telah menjadi isu hukum, bukan hanya
masalah sosial. Prostitusi memiliki pendekatan terminologi hukum pidana
berdasarkan peraturan peraturan lokal (Peraturan Daerah). Meskipun tidak
tertulis di KUHP, bagian dari kegiatan prostitusi, yang berkaitan dengan
aktivitas seksual, telah ditulis pada hukum pidana sebagai tindak pidana,
dengan beberapa kondisi. Dengan alasan-alasan, sehingga orang-orang yang
terlibat dalam prostitusi dapat dihukum oleh hukum pidana.
I. Pendahuluan
1
Syafruddin, Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan Hukum,
<http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=get
it&lid=196>, 1 Oktober 2007.
2
Soedjono D., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam Masyarakat
(Bandung: Karya Nusantara, 1997), hal. 109.
3
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 3.
4
H.B. Jassin, Al-Quran Bacaan Mulia (Jakarta: Djambatan, 1978), hal. 429.
5
Ibid., hal. 270.
278 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015
diantaranya gonorhoe atau kencing nanah, dan syphylis. Kedua jenis penyakit
tersebut secara mudah dapat diketahui sarangnya terdapat pada diri Pekerja
Seks Komersil (PSK).6
Ditinjau dari segi hukum sendiri, prostitusi dipandang sebagai perbuatan
yang bisa dikatakan bertentangan dengan kaidah hukum pidana. 7 Tindak
pidana yang terkait dengan prostitusi termuat dalam Pasal 296 KUHP yang
mengancam dengan hukuman penjara kepada siapa saja yang pekerjaannya
atau kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan
cabul oleh orang lain dengan orang ketiga.8 Kemudian Pasal 506 KUHP yang
mengatur pidana terhadap mucikari yang mengambil keuntungan dari tindakan
prostitusi.9
Selain dari pasal-pasal tersebut, terdapat pula beberapa pasal lainnya
dalam KUHP yang berkaitan dengan prostitusi, yaitu Pasal 297 yang mengatur
tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki untuk dijadikan pekerja
seks; dan Pasal 295 yang mengatur ketentuan yang mirip dengan Pasal 296
namun berbeda pada obyeknya, yang mana pada Pasal 295 ini ditujukan
kepada anak yang belum dewasa.10
Telah dikatakan sebelumnya juga bahwa dari segi agama prostitusi itu
dianggap sebagai perbuatan yang haram, dengan dasar surat dalam Al-Quran
yang membicarakan mengenai zina. Jadi, jika prostitusi itu terkait dengan
perbuatan zina, yang diartikan sebagai perbuatan persetubuhan di luar ikatan
perkawinan, maka prostitusi itu juga bisa dianggap terkait dengan ketentuan
Pasal 284 KUHP, yang juga mengatur mengenai tindakan zina. Dalam
ketentuan pasal tersebut, perbuatan zina diartikan lebih sempit dibandingkan
pengertian zina yang telah disebutkan sebelumnya. Pengertian tentang zina di
dalam ketentuan Pasal 284 KUHP ini dipersempit dengan adanya ketentuan
bahwa persetubuhan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan itu haruslah
dilakukan oleh seseorang yang telah kawin dengan orang lain yang belum
kawin.11
Prostitusi juga dianggap terkait dengan ketentuan Pasal 281 KUHP
tentang tindakan merusak kesopanan. Kesopanan dalam pasal ini diartikan
sebagai kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu seksual
misalnya bersetubuh, meraba-raba kemaluan wanita atau pria, dan lain-lain.
Kemudian ditentukan juga bahwa perbuatan merusak kesopanan haruslah
memenuhi dua hal, yaitu pertama, perbuatan merusak kesopanan ini dilakukan
6
Soedjono D, op. cit., hal. 110.
7
Ibid., hal. 7.
8
Ibid., hal. 60.
9
Ibid., hal. 110.
10
Ibid., hal. 61-62.
11
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal-demi Pasal (Bogor: Politeia, 1996), hal. 209.
Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 279
di tempat umum, artinya perbuatan itu sengaja dilakukan di tempat yang dapat
dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, gedung bioskop,
dan lain-lain. Kedua, perbuatan merusak kesopanan sengaja dilakukan di muka
orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu
di muka umum (seorang sudah cukup), asal orang ini tidak menghendaki
perbuatan itu.12
Pengaturan mengenai prostitusi ini juga termuat dalam peraturan yang
dibuat oleh Pemerintah Daerah, diantaranya adalah Pemerintah Daerah Kota
Tangerang dan Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu. Adapun peraturan
Pemerintah Daerah (PERDA) tersebut dimuat dalam:
1. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Prostitusi yang
berlaku di wilayah Kota Tangerang;
2. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 tahun
1999 Tentang Prostitusi.
Ketentuan yang terkait dengan prostitusi antara lain disebutkan dalam
Pasal 2 ayat 2 PERDA Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 dan Pasal 7 PERDA
Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999. Kedua pasal tersebut menyebutkan
bahwa:
12
Ibid., hal. 205.
280 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015
II. Permasalahan
13
Terjaring, 73 PSK di Bogor, <http://wwwkompas.com/kompascetak/0204/25/metro/terj18 htm
>, 2 Januari 2007.
14
R. Soesilo, op.cit., hal. 327.
15
Seseorang sudah dapat dikatakan melakukan perbuatan sebagai pencarian jika dari
perbuatannya itu ia mendapatkan bayaran. Lihat Ibid., hal. 217 dan 327.
Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 281
dilimpahkan kepada seluruh pihak yang terlibat pun akan menjadi kajian utama
dalam penelitian ini. Ada 3 hal yang akan di kaji dan di cari jawabannya dalam
penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana prostitusi ditinjau menurut hukum pidana?
2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam prostitusi?
3. Bagaimana pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam prostitusi?
1. Kasus Posisi
16
R Soesilo, op cit, hal. 62.
17
Adami Chazawi, (b), op.cit., hal. 119.
284 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015
di lokasi ini semuanya telah dewasa18. Ketentuan yang pantas bagi calo
lokasi X adalah Pasal 296 KUHP.
Perbuatan para calo ini bisa dikategorikan sebagai pemenuhan unsur
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, sebab
banyak diantara calon pelanggan yang untuk memperlancar niatnya
bersetubuh, datang ke lokasi X dengan menjadi pelanggan dalam
prostitusi. Kemudian dengan tindakannya mencarikan PSK untuk
disetubuhi sesuai permintaan pelanggan, para calo tersebut dapat
dikatakan telah mempermudah terjadinya perbuatan cabul antara
pelanggannya dengan PSK. Selanjutnya dari hasil pembayaran yang
dilakukan kepada PSK oleh pelanggan, seorang calo mendapatkan
imbalan sebesar Rp 20.000,00 yang dapat dikatakan bahwa hal ini
memenuhi unsur sebagai pencarian, bahkan juga sebagai kebiasaan,
karena perbuatannya dilakukan lebih dari satu kali.
Unsur-unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi oleh calo yang ada di lokasi
X dengan jelas. Dengan demikian, calo lokasi X dapat dikenakan
ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Jika calo prostitusi ini, baik para terdakwa maupun calo di lokasi
X, melakukan tindakannya di wilayah Tangerang, perbuatan mereka
dianggap melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERDA Kota Tangerang
Nomor 8 Tahun 2005, yang unsur-unsurnya adalah:
1. Setiap orang di Daerah;
merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal
ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga para
terdakwa kasus Cucu Sulastri dan calo prostitusi yang ada di lokasi X.
Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan kata di
Daerah, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah Kota
Tangerang.
2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;
Dalam kasus, para terdakwa melakukannya secara bersama-sama,
sedangkan calo di lokasi X untuk karyawan villa dikatakan melakukan
perannya sendiri-sendiri, tetapi dalam keadaan tertentu, yaitu ketika ada
koordinasi antara karyawan villa dan SU dapat dikatakan bahwa calo di
lokasi X bekerja bersama-sama. Jadi, baik para terdakwa maupun calo
lokasi X memenuhi unsur ini.
3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau
orang untuk melakukan prostitusi;
Baik yang terjadi dalam kasus maupun praktik di lokasi X adalah
mengusahakan atau menyediakan orang untuk melakukan persetubuhan
dengan adanya pembayaran, yang kemudian disebut sebagai perbuatan
prostitusi. Dalam kasus, para terdakwa mengusahakan seorang wanita
untuk disetubuhi oleh Herman, kemudian Herman membayar jasa dari
persetubuhan tersebut. Begitu juga dengan calo yang ada di lokasi X.
18
Pengertian dewasa di sini dapat dilihat dengan memperlawankannya dengan ketentuan usia
anak dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak, yaitu antara 8-18
tahun, yang berarti usia di atas 18 tahun dapat dikatakan telah dewasa.
286 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015
Telah diketahui dari penjelasan sebelumnya, yang dapat dilihat juga dari
tabel 2.1 dan tabel 2.2, bahwa bagi pihak PSK dan pelanggan, menurut KUHP
diatur menurut Pasal 281 dan Pasal 284 KUHP. Jika melihat pada kasus dan
praktik di lokasi X, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan para pihak ini
tidak lah dilakukan di muka umum ataupun di muka orang lain, dan bahkan
tidak diketahui sama sekali apakah salah satu pihak dari PSK atau pelanggan
telah kawin. Jadi perbuatan pihak-pihak ini tidak dikenakan pidana menurut
KUHP. Jadi benar jika kemudian menjadikan Cucu sebagai saksi, dan Herman
tidak diperiksa sama sekali, karena berdasarkan KUHP, yang dijadikan acuan
dalam memidana terdakwa dalam kasus ini, Cucu (sebagai PSK) dan Herman
(sebagai pelanggan) tidak dapat dikenakan pidana.
Akan tetapi, jika perbuatan mereka dilakukan di wilayah kota Tangerang
dan Kabupaten Indramayu, kedua PERDA yang ada mengatur secara jelas
ketentuan larangan dan pemidanaan bagi mereka. Ketentuan-ketentuan tersebut
adalah:
1. Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005
Pasal 2 ayat (2)
Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Daerah ini, diancam kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
2. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999
Pasal 7
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling
banyak (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi
orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan
kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama
90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari
4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
Perbuatan Herman menyetubuhi Cucu Sulastri dan kemudian
melakukan pembayaran atas jasa yang diberikan oleh Cucu Sulastri,
tergolong sebagai perbuatan prostitusi. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan mengenai perbuatan prostitusi yang ada dalam PERDA seperti
telah disebutkan sebelumnya, yaitu yang diatur dalam Pasal 1 butir 4
PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 dan Pasal 1 butir e
PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999.
Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 289
Unsur-unsur Pasal 295 ayat (1) butir 2e KUHP terbukti dengan jelas
dan meyakinkan, maka Heriyati dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana berdasarkan pasal tersebut. Pertanggungjawaban yang dapat
dikenakan kepada Heriyati juga mengacu pada Pasal 45 KUHP. Dengan
demikian ia diancam dengan hukuman penjara paling lama dua tahun
delapan bulan.
Jika ditinjau dalam PERDA, perbuatan Heriyati ini bisa
dipertanggungjawabkan. Seperti halnya Cucu Sulastri, dalam membahas
pertanggungjawaban terhadap Heriyati, ketentuan mengenai
pertanggungjawaban orang yang belum dewasa mengacu pada Undang-
Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Ketentuan Pasal
45 KUHP menjadi tidak berlaku, mengingat bahwa kurun waktu
keberlakuan PERDA adalah pada waktu dimana Undang-Undang No. 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak berlaku.
Berdasarkan PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, jika
perbuatannya dilakukan di Kota Tangerang, perbuatan Heriyati
melanggar Pasal 2 ayat (1), yang unsur-unsurnya:
1. Setiap orang di Daerah;
merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal
ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga Heriyati.
Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan kata di
Daerah, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah Kota
Tangerang.
2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;
Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan,
baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Dalam kasus, perbuatannya
dilakukan oleh Heriyati seorang diri.
3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau
orang untuk melakukan prostitusi.
Perbuatan yang Heriyati lakukan adalah mengusahakan seseorang untuk
diprostitusikan oleh para terdakwa. Orang itu adalah Cucu Sulastri.
Unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) PERDA tersebut terpenuhi dengan jelas
dan meyakinkan. Dengan demikian Heiyati dapat dikenakan ancaman
hukuman berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA ini, yang juga mengacu
pada Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Ancaman pidana yang dapat dikenakan
kepadanya menjadi kurungan paling lama satu bulan lima belas hari atau
denda setinggi-tingginya Rp 7.500.000,00.
Jika seandainya perbuatan Heriyati dilakukan di Kabupaten
Indramayu, maka berdasarkan PERDA Kabupaten Indramayu Nomor 7
tahun 1999, perbuatan Heriyati melanggar ketentuan Pasal 3, yang unsur-
unsurnya:
1. Siapapun;
merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal
ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga Heriyati.
2. Baik sendiri-sendiri maupun kelompok;
292 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015
Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan,
baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Dalam kasus, perbuatannya
dilakukan oleh Heriyati seorang diri.
3. Melakukan, menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang
untuk melakukan Perbuatan Prostitusi.
Perbuatan yang Heriyati lakukan adalah mengusahakan seseorang untuk
diprostitusikan oleh para terdakwa. Orang itu adalah Cucu Sulastri.
Unsur-unsur Pasal 3 PERDA tersebut terpenuhi dengan jelas dan
meyakinkan. Dengan demikian Heriyati dapat dikenakan ancaman
hukuman berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA ini, yang juga mengacu
pada Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Ancaman pidana yang dapat dikenakan
kepadanya menjadi kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp 2.500.000,00.
Pihak lain yang juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,
namun tidak ada dalam kasus, melainkan terdapat di lokasi X. Pihak-
pihak tersebut adalah Mucikari, pihak keamanan, dan pemilik lokasi.
Dari keterangan tabel 2.1 dan tabel 2.2 dapat dilihat bahwa ketentuan
dalam Undang-Undang yang dapat dikenakan kepada pihak keamanan ini
hanyalah ketentuan dalam KUHP. Perbuatannya mengamankan lokasi
prostitusi dapat dikatakan sebagai perbuatan yang memperlancar atau
memudahkan jalannya aktivitas prostitusi. Perbuatannya memudahkan
terjadinya prostitusi tersebut merupakan pelanggaran Pasal 295 KUHP
atau Pasal 296 KUHP. Mengingat orang-orang yang berada dilokasi X
yang melakukan perbuatan cabul keseluruhannya adalah orang dewasa,
maka pihak keamanan ini melanggar ketentuan Pasal 296 KUHP, yang
unsur-unsurnya:
Barangsiapa;
Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan
menurut pasal ini adalah umum, dan mencakup juga pihak keamanan.
Dengan sengaja;
Kesengajaan yang dilakukan oleh pihak keamanan ditunjukkan
dengan sikap mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang
mereka lakukan. Kesengajaannya merupakan bentuk kesengajaan sebagai
maksud, yaitu bermaksud untuk mengamankan sehingga dapat
Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 295
3. Pedagang atau penjual wanita yang dalam kasus perannya dijalankan oleh
Heriyati;
4. Mucikari, yaitu mucikari yang ada di lokasi X;
5. Pihak keamananan di lokasi X; dan
6. Pemilik lokasi, yaitu pemilik lokasi X.
XI. Pembahasan
19
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 250.
20
Roeslan Saleh, op.cit., hal. 76.
21
Ibid., hal. 77.
22
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 162.
298 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015
23
Roeslan Saleh, op.cit., hal. 80.
24
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 251.
25
Ibid., hal. 249.
Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 299
b. Kemampuan jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2. Dapat menentukan kehendak atas tindakannya;
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya tersebut.
26
Ibid., hal. 167.
27
Ibid., hal. 192.
28
Lihat Ibid., hal 172.
29
Ibid., hal. 251.
300 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015
lain agar terjadinya perbuatan cabul antara Herman dengan Cucu, ada
kerjasama antara Hwa Yin, Komala Kamaludin, dan Heriyati.
Kerjasama yang terjadi antara mereka itu jika dikaitkan dengan
ajaran penyertaan dalam tindak pidana, maka mereka itu tergolong
sebagai mereka yang melakukan (pleger) dalam Pasal 55 KUHP.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa pleger itu setiap petindaknya dapat
memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan suatu tindak pidana. Seperti
yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringga juga, bahwa pleger itu jika
terlepas dari bentuk penyertaan, juga dapat dipidana karena telah
memenuhi unsur tindak pidana.
Begitu juga dengan pihak-pihak yang ada di lokasi X, yaitu
mucikari, calo, pemilik lokasi, dan keamanan, yang dalam analisa di atas
pihak-pihak tersebut bahkan dapat dikenakan ketentuan pasal yang sama,
yaitu Pasal 296 KUHP, dan mereka masing-masing memenuhi unsur-
unsur Pasal 296 KUHP. Perbuatan yang mereka lakukan adalah bentuk
kerjasama dalam mewujudkan hubungan yang terjadi antara PSK dengan
pelanggan, yaitu mucikari yang siap menyediakan PSK, dan dengan calo
yang siap menunggu pelanggan dan menjadi perantara. Pihak pemilik
lokasi yang menyediakan tempat, dan keamanan yang mengamankan
jalannya aktivitas PSK dan pelanggan. Jadi, dapat dilihat bahwa mereka
merupakan pleger, dengan adanya kerjasama dan masing-masing dari
mereka memenuhi unsur tindak pidana dalam memenuhi perannya.
Bentuk penyertaan mutlak perlu ini jika dikaitkan dengan prostitusi,
baik menurut kasus maupun praktik di lokasi X, dapat dilihat dalam
hubungan antara Cucu Sulastri dan Herman dengan Hwa Yin dan
Komala Kamaludin, juga hubungan antara Cucu Sulastri dan Herman
dengan Heriyati. Di lokasi X penyertaan mutlak perlu ini nampak dari
hubungan antara mucikari dengan PSK dan/atau pelanggan, hubungan
antara calo dengan PSK dan/atau pelanggan, hubungan antara pemilik
lokasi dengan PSK dan/atau pelanggan, serta hubungan antara pihak
keamanan dengan PSK dan/atau pelanggan.
Dapat dilihat bahwa semua hubungan itu terkait dengan ketentuan
yang ada dalam Undang-Undang, yang dalam hal ini antara lain Pasal
295 KUHP, Pasal 296 KUHP, Pasal 506 KUHP, Pasal 2 ayat 1 PERDA
Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, serta Pasal 3 PERDA Kabupaten
Indramayu No. 7 Tahun 1999. Masing-masing ketentuan tersebut
menujukkan keterkaitan antara pihak-pihak yang disebutkan di atas.
Pasal 295, khususnya ayat 1 butir 2e menyebutkan:
Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barangsiapa yang
dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang
belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia belum
dewasa.
Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa pelaku
perbuatan yang melanggar pasal tersebut adalah Hwa Yin dan Komala
302 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015
Kamaludin, serta Heriyati. Orang yang belum dewasa dan orang lain
yang dimaksud dalam pasal tersebut dalam kasus adalah Cucu Sulastri
dan Herman.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat dilihat bahwa keberadaan
Cucu Sulastri dan Herman sangat mempengaruhi terpenuhi atau tidaknya
unsur-unsur pasal tersebut atas perbuatan yang dilakukan oleh Hwa Yin
dan Komala Kamaludin maupun Heriyati. Meskipun demikian Cucu dan
Herman tidak serta merta dianggap sebagai pelaku yang membantu
terjadinya tindak pidana tersebut. Keberadaan mereka hanya merupakan
bagian dari unsur pasal tersebut, yang menjadikan keikutsertaan mereka
merupakan bentuk penyertaan mutlak perlu.
Kemudian juga ketentuan dalam Pasal 296 yang menyebutkan
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan
menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Kata-kata ...orang lain dengan orang lain... dalam Pasal 296 KUHP
tersebut tertuju pada PSK dan pelanggan di lokasi X yang perbuatan
cabul keduanya dimudahkan oleh pihak-pihak yang dalam penjelasan
sebelumnya dikenakan pertanggungjawaban atas pasal ini, yaitu mucikari
lokasi X, calo lokasi X, pemilik lokasi X, dan pihak keamanan
lokasi X.
Dapat dilihat dari ketentuan tersebut, pihak-pihak seperti mucikari
lokasi X, calo lokasi X, pemilik lokasi X, dan pihak keamanan
lokasi X tidak dapat mewujudkan tindakan sebagaimana yang
dimaksud pada Pasal 296 KUHP tanpa adanya keikutsertaan PSK dan
pelanggan. Keberadaan PSK dan pelanggan ini merupakan bagian dari
unsur pasal tersebut, yang menjadikan keikutsertaan mereka merupakan
bentuk penyertaan mutlak perlu.
Demikian halnya juga dengan hubungan antar mucikari dengan PSK
menurut Pasal 506 KUHP. PSK di sini hanya berkedudukan sebagai
peserta mutlak, yang merupakan bagian dari unsur pasal tersebut, yang
disebutkan dengan kata wanita.
Hal yang sama juga berlaku pada hubungan antara Hwa Yin dan
Komala Kamaludin dengan Cucu, antara Heriyati dengan Cucu, antara
mucikari dengan PSK, dan antara calo dengan PSK, berdasarkan Pasal 2
ayat 1 PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, serta Pasal 3
PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999. Kata ...orang... yang
disebutkan dalam kedua pasal tersebut ditujukan kepada Cucu Sulastri
dan PSK di lokasi X. Kedudukan mereka di sini juga hanya sebagai
pelaku peserta mutlak yang merupakan bagian dari unsur pasal.
Jadi, masalah pertanggungjawaban pidana terhadap para pihak yang
terlibat dalam prostitusi jika ditinjau melalui pandangan ajaran
Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 303
1. Kesimpulan
2. Saran
Daftar Pustaka
Buku
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Murray, Alison J. Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta, Jakarta: LP3ES,
1994.
Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta-
Bandung: P.T. Eresco, 1967.
Reksodiputro, Mardjono. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
1997.
Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta:
Centra, 1968.
Schravendijk, H.J. Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta-
Groningen: J.B. Wolters, 1955.
Simons, D. Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek van Het Nederlandse
Strafrecht), diterjemahkan oleh P.A.F. Lamintang. Bandung: Pioner Jaya,
1992.
Soeperapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana SertaKomentar-
Komentarnya Lengkap Pasal-demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Tirtaamidjaja, M.H. Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955.
Tresna, R. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara, 1959.
Urbanski, Christopher. A. Peningkatan dan Penurunan Persekutuan Antara
Penjualan Teh Poci dan Pelacuran di Kawasan Simpang Lima
Semarang, Tesis Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah, Malang, 2006.
Utrecht,E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta
Mas, 1986.
____. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1997.
____. Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-
Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, Bandung: CV Mandar
Maju, 1990.
____. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 Penafsiran Hukum Pidana, Dasar
Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan
dan Ajaran Kausalitas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
____. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002.
____. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas,
1986.
Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 307
Peraturan Perundang-Undangan
Publikasi Elektronik
S.J., Hary Susanto. Wisata Seks:Tinjauan Moral, Center for Tourism Studies
Gadjah Mada University, 2003. <http://www.pusparugm.org/Pdln2003/
FullText/hary.htm>, diakses tangggal 1 November 2007.
Spillane, James J. Etika Bisnis dan Industri Seks Sebagai Kegagalan Pasar
Bebas, Center for Tourism Studies Gadjah Mada University. 2003
<http://www.pusparugm.org/Pdln2003/FullText/James%20J%20 Spillanehtm>,
diakses tangggal 28 Juli 2007.
Surtees, Rebecca. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, United
States Agency for International Development.
<www.medianet.or.id/ontrackfiles/manual/Perdagangan%20Perempuan%20D
an%20Anak%20 di%20Indonesia.pdf>, diakses tangggal 28 Juli 2007.
Syafruddin. Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan
Hukum, <http://library.usu.ac.id/modules.php?op=
modload&name=Downloads&file =index&req=get it&lid=196>, diakses
tangggal 1 Oktober 2007.
_____. Terjaring, 73 PSK di Bogor, <http://wwwkompas.com/
kompascetak/0204/25/metro/ terj18.htm>, diakses tanggal 2 Januari
2007.