Anda di halaman 1dari 14

PERTUMBUHAN UNI EROPA DAN KEBANGKITAN RUSSIA

SEBAGAI NEGARA DEMOKRASI SAAT INI

Akbar Soekarno Putra


XII IPS 2
03

SMAN 98 Jakarta
A. Pertumbuhan Uni Eropa

Negara-negara Eropa terkungkung dalam peperangan berdarah antara negara


tetangga yang bermuara pada perang dunia II (PD II). Eropa terbagi menjadi 2 kubu,
yaitu barat dan timur. Di barat mereka mendirikan sebuah organisasi dengan nama
Council of Europe atau disebut juga dengan Dewan Eropa pada tahun 1949.
Berakhirnya PD II yang menyisakan abu dengan kemenangan di tangan sekutu
dan munculnya perang dingin antara sekutu dan Rusia memunculkan ide tentang cara
terbaik untuk menyelematkan Eropa di masa depan. Robert Schuman, adalah menlu
Perancis yang mengemukan ide-ide nya dalam sebuah presentasi pada tanggal 9 May
1950 (Europe Day). Ide tersebut akhirnya tertuang ke dalam terbentuknya
European Coal and Steel Community (ECSC) yang ditanda tangani pada tanggal 18
April 1951. ECSC yang dibentuk oleh 6 negara pionir yang juga merupakan
anggota Dewan Eropa yaitu Perancis, Jerman, Belgia, Belanda, Luxemburg dan Italia
terbukti setelah lebih dari setengah abad, berhasil menyatukan Eropa secara politik
dan ekonomi sekaligus meningkatkan martabat negara-negara Eropa. Karena pada
dasarnya peperangan adalah pilihan negara-negara yang tidak beradap dan
bermartabat.
Ditandai dengan peluncuran pesawat ulang alik Rusia Sputnik I pada tanggal
25 Maret 1957, melalui Traktat Roma dibentuklah European Economic Community
(EEC) dengan prinsip menuju kepada terciptanya Common Market (CM). CM
adalah tahap integrasi suatu wilayah atau negara-negara dimana pergerakan barang
dagang, jasa, modal dan penduduk dibebaskan secara bertahap sampai tidak ada lagi
hambatan. Sampai saat ini proyek CM masih dalam proses penyempurnaan.
Artinya, pergerakan barang dagang, jasa, modal dan orang di Eropa belum
sepenuhnya bebas untuk semua negara anggota.
Pada bulan Agustus 1961, pemerintahan komunis di Berlin timur membangun
tembok yang memisahkan antara eropa timur dan barat dengan tujuan membatasi
pengikut mereka untuk bersentuhan dengan angin kebebasan yang berhembus di
Eropa barat yang dikenal dengan Tembok Berlin.
Tindakan pemerintahan komunis tidak menyurutkan usaha 6 negara untuk
memperkuat kerjasama ekonomi dan politik mereka. Pada tanggal 30 Juli 1962,
negara anggota sepakat untuk membentuk usaha bersama dalam kerangka Common
Agriculture Policy (CAP). Usaha bersama ini memungkinkan negara-negara
anggota secara bersama-sama untuk mengontrol produksi makanan dengan sistim
memberikan harga yang setara untuk semua petani. Kebijakan ini berhasil dalam
menjamin tersedianya pasokan makanan di Eropa, bahkan kelebihan suplai. Sejak
tahun 90-an, kebjikanan diarahkan kepada pengurangan surplus produksi dan
peningkatan kualitas pangan.
Pada bulan Juli 1968, enam anggota UE setuju untuk menghilangkan bea
cukai dan menyamaratakan tarif untuk negara ketiga (Custom Union). Sejak itu
perdagangan antara negara anggota bertumbuh secara cepat. Pertumbuhan ini juga
terlihat dengan negara ketiga dan sekarang menjadikan UE sebagai salah satu pasar
tujuan ekspor terbesar di dunia termasuk Indonesia.
Untuk mempertahankan stabilitas mata uang serta menghapus biaya transaksi
perdagangan, UE untuk pertamakali merencanakan pembentukan mata uang tunggal
pada tahun 1970. Rencana ini kemudian direalisasikan dengan pelaksanaan European
Exchange Rate Mechanism (ERM) pada tanggal 24 April 1972 yang pada prinsipnya
membatasi fluktuasi nilai antar mata uang anggota. ERM merupakan langkah awal
terbentuknya Euro (30 tahun kemudian)
Ada juga yang berpendapat tujuan EMU adalah untuk meningkatkan peranan
UE dalam sistem keuangan dunia. Pendapat lainya adalah sebagai syarat mutlak untuk
terjadinya pasar tunggal yang efektif dan efisien.
Tahun 1973 merupakan tahun pertama ekspansi UE menjadi 9 anggota dengan
bergabungnya Denmark, Inggris dan Irlandia yang otomatis meninggalkan
keanggotaan mereka di European Free Trade Area (EFTA). Sebagai catatan, EFTA
sekarang masih ada dengan jumlah yang semakin menipis (4 anggota). Kegagalan
EFTA disinyalir karena kurangnya landasan hukum untuk berintegrasi secara politik
seperti yang dilakukan UE.
Untuk mengurangi jurang antara si kaya dan si miskin, pimpinan UE sepakat
membentuk European Regional Development Fund (ERDF) pada tahun 1974.
Program ini berlanjut sampai sekarang dengan prioritas peningkatan kualitas
infrastruktur didaerah-daerah periferi (tertinggal). Jumlah dana yang dikeluarkan
kurang lebih sepertiga dari total belanja UE.
Sejak 1979, masyarakat eropa diberikan hak untuk memilih langsung wakil
mereka di parlemen UE yang sebelum merupakan delegasi parlemen negara anggota.
Dengan demikian, anggota parlemen UE bukan lagi delegasi negara anggota,
melainkan delegasi dari lintas partai yang ada di negara-negara anggota seperti partai
sosialis, konservatif, liberal, hijau dan sebagainya.
Pada dekade 80-an, anggota UE bertambah menjadi 12 negara dengan
masuknya Yunani tahun 1981 serta Spanyol dan Portugal tahun 1986. Walaupun bea
cukai sudah dihapuskan tahun 1968, namun hambatan dagang masih tetap dirasakan
dikarenakan perbedaan peraturan pada masing-masing negara anggota. Oleh karena
itu ditandatanganilah Single European Act (SEA). SEA juga memberikan
wewenang lebih kepada parlemen UE untuk mengatur masalah pelestarian
lingkungan.
Seiring dengan berhasilnya kerjasama ekonomi dan politik di Eropa Barat,
keruntuhan komunis di Eropa tengah dan timur berawal di Polandia dan Hungaria
yang kemudian berlanjut dengan runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 diikuti
eksodus penduduk dari timur ke barat. Bebaslah mereka dari kungkungan komunis.
Mengawali tahun 90-an, peperangan terjadi di wilayah Balkan termasuk Yugoslavia,
Kroasia dan Bosnia tahun1991. Berbeda dengan UE, negara-negara anggota UE
sepakat memperkuat integrasi mereka melalui penandatanganan Traktat Uni Eropa
atau Traktat Maastricht pada 7 Februari 1992. Melalui traktat ini, UE berhasil
menetapkan aturan main untuk rencana mata uang tunggal, komunitas kerjasama luar
negeri dan kerjasama di bidang keamanan dan peradilan yang terkenal dengan tiga
pilar kebijakan UE. Ini sekaligus menjadi moment perubahan nama dari Komunitas
Masyarakat Eropa menjadi Uni Eropa.
Pasar tunggal Eropa menjadi kenyataan pada tahun 1993 dengan
diratifikasinya perangkat hukum untuk menjamin bergerak dengan bebasnya faktor
produksi yang mengarah kepada skala ekonomis, distribusi dan efisiensi ekonomi.
Ekspansi ketiga UE ditandai dengan bergabungnya Austria, Finlandia dan
Swedia pada tahun 1995 sehingga menjadi 15 negara anggota (hampir seluruh negara
Eropa Barat). Perjanjian schengen dimana visa tidak dibutuhkan lagi untuk
memasuki wilayah anggota yang meratifikasi ditandatangani oleh tujuh negara
anggota yaitu Belgia, Jerman, Spanyol, Perancis, Luxemburg, Belanda dan Portugal.
Reformasi institusi dilakukan melalui penandatanganan Traktat Amsterdam
pada tahun 1997. Traktat ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kuasa kepada
UE untuk bersuara di pentas dunia, meberikan prioritas pada peluang kerja dan hak-
hak warga negara anggota.
Eskpansi terbesar dalam sejarah UE dimulai prosesnya pada Desember 1997
yang kali ini melibatkan 10 negara eropa timur yang baru terbebas dari perang sipil.
Mata uang EURO untuk pertama kali digunakan hanya untuk transaksi komersial dan
keuangan pada tanggal 1 Januari 1999. Sedangkan mata uang kertas dan koin akan
dicetak belakangan. Negara yang setuju memakai EURO sebagai mata uang ada 12
negara (Yunani masuk tahun 2001). Inggris, Denmark dan Swedia berjibaku untuk
berdiri di luar kerangka EURO dengan alasan politis (kedaulatan keuangan) untuk
mensukseskan peluncuran EURO sebagai mata uang masa depan Eropa dan Dunia
digunakanlah European Currency Unit (ECU) sebagai satuan nilai tukar mata uang
negara anggota dengan EURO. Misal 1 Deutsche Mark = 0,68 dstnya. Sementara
European Exchange Rate Mechanis m (EERM) diterapkan untuk menahan fluktuasi
kurs antara mata uang anggota dengan ECU.
Perayaan tahun baru 2002 sekaligus menjadi momentum peluncuran EURO
sebagai mata uang tunggal di 12 negara UE. Uang kertas EURO memiliki fitur yang
sama di semua negara, sedangkan koin memiliki ciri khas negara anggota. Aktifitas
penyedotan mata uang lama seperti Deutsche Mark (DM) dilakukan dalam kurun
waktu tertentu. Sementara pencetakan dan distribusi mata uang baru merupakan tugas
logistik baru yang menyenangkan, karena akan berdampak positif terhadap
pengurangan transaksi perdagangan dan stabilitas mata uang.

Uni Eropa Masa Kini

Bergabungnya 10 negara Eropa Timur May, 2004 merupakan ekspansi terbesar UE.
Sebagimanan disebutkan sebelumnya, negara-negara anggota baru ini sudah antri sejak tahun
1997. Dengan keanggotaan yang semakin besar, traktat baru yang mampu mengakomodasi
kondisi baru institusi. Gagalnya referendum di Belanda dan Perancis 2005 merupakan
peringatan bagi UE bahwa segala sesuatu ada batasnya termasuk integrasi. Walau perwakilan
ke-25 negara anggota UE telah menandatangani konstitusi UE oktober 2004, ternyata rakyat
di negara anggota jauh lebih berkuasa. Konstitusi yang sudah ditandatangani itu untuk
sementara belum bisa diratifikasi. Pimpinan UE mendeklarasikan period of reflection untuk
sementara masing-masing anggota memikirkan ulang secara seksama alasan kegagalan
ratifikasi ini yang merupakan hal yang cukup memprihatinkan pemimpin UE. Apakah rakyat
masih bersama mereka?

Terlepas dari gagal diratifikasinya konstitusi UE pertama yang sudah ditandatangani,


ekspansi ke timur terus bergulir. Kali ini Bulgaria dan Romania resmi menjadi anggota baru
Januari 2007 yang menjadikan UE sekarang beranggotakan 27 negara anggota.

UE sangat berhasil memperluas integrasi dari segi kwantitas, namun belum tentu
berhasil dalam mempertahankan kwalitas integrasinya. Kekhawatiran tentang adanya
keterbatasan UE dalam memperdalam integrasi dan adanya defisit demokrasi dalam sistem
pengambilan keputusan UE yang cenderung Top Down mulai mengemuka. Usaha UE
untuk meingkatkan kwalitas integrasinya sejak anggotanya berjumlah 27 yaitu dengan
menampung aspirasi di Perancis dan Belanda dan merevisi konstitusi UE yang ditolak tahun
2005 menjadi Traktat Lisbon (TL) kembali mendapatkan batu sandungan setelah referendum
di Irlandia menyatakan tidak untuk TL.

Pada tahun 2016, Inggris menyatakan keluar dari Uni Eropa dengan alasan pertama,
mereka yang menginginkan Brexit terjadi percaya bahwa jangkauan kekuasaan UE begitu
besar hingga berdampak pada kedaulatan Inggris.

Kedua, kelompok pro-Brexit merasa terganggu dengan aturan yang ditetapkan di


Brussels, markas UE, di mana mereka meyakini hal itu mencegah bisnis beroperasi secara
efisien. Isu migran adalah alasan ketiga.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu prinsip kunci dari UE adalah pergerakan
bebas setiap warganya. Ini berarti warga Inggris dapat bekerja dan hidup di negara mana saja
yang tergabung dalam UE, begitu juga sebaliknya.

Terdapat sekitar 3 juta warga UE lainnya yang hidup di Inggris, sementara terdapat
1,2 juta warga Inggris yang tersebar di sejumlah negara UE. Briton, sebutan untuk warga
Inggris, menyalahkan para migran terkait dengan sejumlah isu seperti pengangguran, upah
rendah, dan rusaknya sistem pendidikan serta kesehatan bahkan kemacetan lalu lintas.
Meskipun begitu, Uni Eropa tetap bertekad solid setelah hengkangnya Inggris dari Uni Eropa.

B. Kebangkitan Russia Sebagai Negara Demokrasi Saat Ini


Revolusi yang terjadi di akhir dekade abad XX telah membawa kehancuran
Uni Soviet yang telah dibangun selama lebih kurang tujuh dasawarsa. Uni Soviet
yang secara resmi beerakhir pada tanggal 25 Desember 1991 ketika Presiden Uni
Soviet Mikhail Gorbachev mengumumkan pengunduran dirinya menyusul kemelut
politik sebagai kelanjutan kudeta yang gagal pada pertengahan bulan Agustus 1991.
Kehancuran Uni Soviet mengembalikan rusia pada pertanyaan abadi
menyangkut eksistensi bangsa ini. Pertanyaan ini pada gilirannya berkaitan dengan
pencarian jati diri Rusia yang berakar di masa lalu untuk masa kini dan masa depan.
Saat ini, di kalangan masyarakat rusia ada berbagai pandangan terhadap apa
yang berlangsung hingga saat ini. Masa transisi yang tengah dihadapi sekarang ini,
oleh sebagian masyarakatnya diyakini sebagai proses menuju kelahiran kembali Rusia
sebagaimana kejayaan masa Imperium Rusia. Sebagian lagi pesimis dengan masa
depan Rusia dan menilai bahwa dewasa ini Rusia tengah menuju jurang kehancuran
yang tidak terhindarkan lagi. Hancurnya Uni Soviet merupakan titik awal dari
kehancuran total Rusia yang hingga saat ini masih digerogoti gejala gejala
disintegrasi.
Kebangkitan kembali Rusia dapat dicapai dengan 3 alternatif cara. Pertama,
adalah dengan kembalinya Rusia pada sistem pra-Bhoselvik dengan mengadopsi
elemen elemen imperium Rusia. Dengan cara ini diharapkan rusia dapat meraih
kembali kehormatan dan kejayaan Rusia pada masa lampau. Kedua, kembali ke
sistem sosialisme Soviet. Kaum Sovietis ini beranggapan bahwa sistem inilah yang
tepat untuk mengankat kembali Rusia ke posisinya sebagai negara adikuasa
(derzhava) yang disegani. Ketiga, adalah jalan demokratisasi dengan mengadopsi nilai
nilai demokrasi Barat.
Ketiga pandangan ini merupakan alternatif jawaban Rusia dalam pencarian
jalan menuju masa depannya. Hal ini terlihat dari berbagai aktivitas sosial politik
yang terjadi selepas runtuhnyasistem sosialime Uni Soviet.
Alternatif kedua dan ketika menemukan bentuknya dalam berbagai pergulatan
politik yang tajam hingga berakhirnya pemerintahan presiden pertama Boris Yeltsin.
Pada masa ini terlihat terjadinya berbagai upaya golongan sosialis untuk kembali
membawa negara ini ke sistem yang menjadi inti perjuangan mereka.
Begitu angin keterbukaan dihembuskan, aspirasi politik yang biasanya hanya
boleh disalurkan lewat partai komunis, kini boleh disuarakan oleh kekuatan politik
lain. Tercatat sejak tahun 1989 hingga 1993 muncul sedikitnya 36 partai politik dan
organisasi massa, yang siap menjadi corong aspirasi masyarakat Rusia.
Langkah reformasi dan liberalisasi pasar yang dikedepankan oleh Presiden
Yeltsin memperlihatkan penguatan versi ketiga arah perkembangan bangsa ini.
Demokratisasi yang merupkan pilar perestroika, dilanjutkan pada masa pasca-
komunis ini.
Sementara itu, masa komunisme yang selama 7 dasawarsa mempengaruhi
kehidupan masyarakat Rusia, kini seolah kehilangan makna eksistensinya. Walaupun
secara de jure organisasi komunis dibebaskan tetap beraktivitas, namun dukungan
masyarakat sudah menurun secara drastis. Dalam dua kali pemilihan presiden,
pemimpin Partai Komunis Federasi Rusia Gennady Zyuganov, selalu dikalahkan
oleh Boris Yeltsin. Bahkan dalam pemilu presiden tahun 2000, Zyuganov hanya
mengantongi 29, 21 % suara, jauh di bawah Vladimir Putin yang memperoleh 52, 94
% suara.
Walaupun merupakan partai mayoritas yang menguasai Duma Negara, partai
komunis tidak mampu membendung upaya reformasi yang dikedepankan Boris
Yeltsin.
Di era kepemimpinan Vladimir Putin partai komunis semakin ditinggalkan.
Pemilu parlemen terakhir (2003), partai komunis hanya memperoleh suara 12, 7 %.
Suara mayoritas di Duma dikuasai partai partai pro _ Kremin. Rusia pasca Uni
Soviet agaknya tengah dibangun menjadi sebuah Rusia Baru yang demokratis.
Rusia memang telah memilih satu jalan baru, menyusul disintegrasi Uni
Soviet. Sebuah negara demokrasi dengan sistem ekonomi pasar bebas sedang
dibangun dalam masa transisional. Berbagai langkah politik, baik nasional maupun
internasional telah dilakukan untuk menegaskan sosok Rusia Baru yang telah
menggantikan Rusia Soviet yang bercirikan komunisme dan sistem ekonomis sosialis
yang terpusat (ekonomi komando).
Berbagai atribut Soviet yang selama tujuh dasawarsa menempel berusaha
dilepaskan dan diganti dengan atribut baru, yang sebagian besar merupakan
revitalisasi atribut atribut lama pra bhoselvik. Lihat saja bendera kebangsaan
Rusia, bendera tiga warna ; putih, biru, merah, yang merupakan bendera Rusia pada
masa pra komunis. Lambang negara yang sebelumnya didominasi Palu Arit, kini
dikembalikan pada simbol elang berkepala dua, simbol imperium Rusia.
Secara resmi kemerdekaan Rusia diproklamasikan pada tanggal 12 Juni 1990
dalam Sidang I Majelis Perwakilan rakyat Soviet Rusia, disaat masih berdirinya Uni
Soviet. Lembaga Legislatif itupun kemudian diubah namanya menjadi Duma Negara.
Lahirnya Federasi Rusia merupakan dampak dari runtuhnya USSR (Uni Soviet).
Dalam perjalanannya, Federasi Rusia kemudian mewarisi Uni Soviet, termasuk dalam
perkembangan sistem politik negaranya. Uni Soviet yang dulunya merupakan negara
komunis totaliter, saat ini lahir menjadi Rusia yang merupakan negara federal semi
presidensial. Dipimpin oleh seorang presiden sebagai kepala negara dan adanya
perdana mentri sebagai kepala pemerintahan.
Tidak adanya batasan yang jelas mengenai tugas kepresidenan, membuat
kepemimpinan presiden di Rusia menjadi sangat hegemonik, walaupun negara ini
juga mengadopsi sistem parlementer dalam pemerintahannya. Sistem pemerintahan
Rusia yang cukup unik .
Sistem kepresidenan di Rusia terdiri dari presiden dan aparatnya (perdana
mentri dan kabinetnya). Terdapat 5 badan institusi yang berdiri di bawah presiden
secara langsung.
Pertama : The Administration Presidential (yang merupakan inti dari
kepresinenan). Tugas agensi penting dalam institusi ini diantara lain : menyiapkan
dekrit dan draft UU presiden, pengawas masalah masalah domestik dan luar
negeri serta juga bertanggung jawab di bidang informasi dan dokumentasi.
Kedua : The Administration of Affairs (badan rumah tangga), yang berfungsi
mengalokasikan pegawai, barang, penghargaan dan bertanggung jawab terhadap
pembayaran gaji pegawai.
Ketiga : The Kremlin Property Management Department, yang bertugas
mengawasi properti yang ada di Rusia terutama properti bekas masa Tsar.
Keempat : The Presidential Council (badan konsultasi presiden), yang bertugas
memformulasikan prioritas kebijakan pemerintah dan menjalankan fungsi
memformulasikan prioritas kebijakan pemerintah dan mengontrol kekuasaan
kepresidenan.
Kelima : The Security Council (badan konsultasi di bidang hankam), yang
dipimpin langsung oleh presiden.
Pemerintah Rusia dipimpin oleh seorang perdana mentri, yang dipilih oleh
presiden berdasarkan persetujuan parlemen. Tidak seperti Presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat, perdana mentri serta mentri mentri yang mengisi pos pos di
kabinet Rusia dipilih dan ditentukan oleh presiden. Sehingga kecenderungan yang
terjadi adalah Perdana Mentri dan Kabinet bukan merupakan representasi kekuatan
Parlemen, namun lebih merupakan instrumen politik bagi eksekutif. Komposisi
parlemen tidak terlalu mempengaruhi pemerintahan karena kabinet lebih merupakan
hasil perhitungan politik presiden. Hal ini menunjukkan bahwa presiden dalam
pemerintahan Rusia masih memiliki dominasi atas perdana mentri dan kabinetnya.
Kondisi seperti ini juga didukung oleh Konstitusi rusia (Pasal 110 tahun
1993), yang menyatakan bahwa kekuasaan eksekutif berada di tangan pemerintah,
namun kepela pemerintahan (perdana mentri) dibatasi oleh kekuasaan kepresidenan.
Tanggung jawab pemerintah terbatas pada pengaturan di ranah ekonomi dan sosial,
yang mana hal ini sebenarnya telah terjadi sejak masa Kekaisaran Rusia maupun Uni
Soviet.
Fokus kepresidenan dalam konstitusi ini menyebutkan, mendukung kekuasaan
kepresidenan yang ekstentif, khususnya dalam pemilihan kabinet, pengusulan legislasi
dan pembuatan kebijakan. Presiden juga menikmati berbagai status, baik sebagai
kepala negara, penjamin konstitusi (pasal 80) dan sebagai panglima tertinggi angkatan
bersenjata. Presiden juga diberikan hak untuk mengeluarkan dekrit tanpa harus
disetujui oleh parlemen. Namun dekrit yang dikeluarkan tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi.
Melalui pasal 80, disebutkan bahwa konstitusi Rusia menjamin penuh presiden
terhadap 4 area isu ; keamanan, pertahanan, domestik dan luar negeri. Khususnya
dalam bidang luar negeri, presiden Rusia memiliki hak dan kontrol yang sama seperti
Tsar pada konstitusi 1906. Kekuasaan presiden yang terlalu kuat dan luas membuat
peran pemerintah terutama perdana mentri menjadi tidak terlalu diperhitungkan.
Tujuan utama penyusunan konstitusi ini dapat dianalisa untuk menghindari
pengulangan konflik antara eksekutif dengan legislatif yang terjadi di awal masa
pemerintahan Yeltsin, tepatnya pada 21 September 1993. Hal tersebut dilakukan
dengan cara menyusun konstitusi yang menjamin kekuasaan yang lebih kuat di
tangan presiden dan menempatkan pemerintah sebagai subordinasi dari
kepresidenan serta melemahkan parlemen dengan mengatur bahwa perdana
menteri bertanggung jawab terhadap presiden, bukan parlemen.
Terdapat kecenderungan bahwa pemerintahan Rusia pasca-komunisme masih
menerapkan pola pemerintahan di masa lalu. Selain terlalu banyaknya aparat
kepresidenan saat ini, fungsi kepresidenan yang sangat luas sedikit banyak
mengadopsi peran Biro Politik / Presidium Komisi Sentral merupakan lembaga
tertinggi negara membawahi tiga dewan besar (Presidium Komite Sentra l-Politburo,
Dewan Uni dan Dewan Kebangsaan).
Sesuai dengan sifat pemerintahan Uni Soviet yang sentralistik, Politburo
memegang peranan penting sebagai badan tertinggi pembuat keputusan Uni
Soviet. Politburo melingkupi seluruh sektor pemerintahan di Uni Soviet dengan
menjadi badan pembuat kebijakan dan badan pemerintah. Pada masa Lenin,
kekuasaan final untuk memutuskan kebijakan berada di tangan Politburo. Politburo
pada akhirnya memegang peranan penting di dalam partai Komunis Uni Soviet dan
administrasi Uni Soviet sendiri serta membayangi peran Komite Sentral. Ketua
Politburo merupakan sekretaris jendral Partai Komunis Uni Soviet dan biasanya
merupakan pemimpin Uni Soviet.
Luasnya cakupan Politburo menyebabkan timbulnya lemahnya mobilisasi
birokrasi di Uni Soviet. Dampaknya, tersentralisasinya kekuasaan menggangu
kekuasaan pemimpin untuk menjalankan kebijakan secara efektif. Kemampuan
pusat untuk mengkoordinasi pejabat pemerintah dalam eksekusi perintah maupun
kebijakan seringkali terganggu oleh adanya resistensi terhadap perintah pusat
oleh para pejabat pemerintah di level yang lebih rendah dan distorsi dalam arus
informasi, baik dari atas maupun bawah struktur hierarki. Para pejabat pemerintah
cenderung lebih berusaha untuk menjaga dan mendahulukan kepentingan pribadi
dan jabatan daipada bekerja melayani masyarakat.
Selain masih lestarinya warisan masa lalu, terlalu kuatnya kepresidenan di
Rusia juga disebabkan oleh bentuk pemerintahannya itu sendiri. Sejak runtuhnya
Uni Soviet, Rusia berusaha menghapuskan kenangan buruk di masa lalu, berupa
komunisme dan pemerintahan yang totalitarian. Rusia, pada saat itu dipimpin
oleh Boris Yeltsin, mencoba untuk membangun Rusia, sebagai pewaris garis
politik Uni Soviet dengan menerapkan sistem pemerintahan yang lebih demokratis.
Rusia mengadopsi bentuk pemerintahan parlementer yang banyak diterapkan di
negara-negara Eropa sebagai manifestasi demokratisasi. Namun, Rusia tidak
menerapkan sistem parlementer yang dikenal secara umum. Sistem parlementer,
yang menitikberatkan pada fusi kekuasaan dan mutual dependence antara
eksekutif (pemerintah) dan legislatif, tidak diterapkan secara sepenuhnya oleh
Yeltsin. Sistem parlementer harus berbagi kekuasaan dengan kuatnya peran
presiden dan staf-staf serta komite-komite kepresidenannya. Terlebih saat
Konstitusi Rusia tahun 1993 yang mengatur kepresidenan yang kuat disahkan pada
Desember 1993. Yeltsin menyatakan bahwa (rakyat) Rusia menginginkan struktur
kekuasaan yang vertikal dan strong hand (badan eksekutif yang kuat) serta
menyatakan bahwa pemerintahan parlementer akan menghasilkan pembahasan yang
tidak akan berujung sebuah keputusan (indecisive talk).
Pada akhirnya, Rusia saat ini tengah muncul menjadi negara dengan sistem
pemerintahan yang cukup membingungkan. Berdasarkan aspek non-konstitusional,
pembagian kekuatan kekuasaan pemerintah (presiden dan perdana menteri) dapat
dilihat dari peran presiden yang lebih banyak mengatur dan menentukan,
sedangkan perdana menteri dan kabinetnya terkesan hanya menjalankan apa yang
dimandatkan oleh presiden. Walaupun tidak tertulis di konstitusi, selama ini
terdapat konsensus di antara dua badan eksekutif ini mengenai division of
power. Menindak lanjuti fungsi presiden yang telah disebutkan sebelumnya,
presiden bertugas mengawasi kinerja seluruh kementerian, dan badan-badan lain yang
berhubungan langsung dengan isu koersi, penegakan hukum, dan keamanan
negara. Sedangkan pemerintah kekuasaannya terbatas implementasi kebijakan dan
pengawasan pada isu ekonomi dan sosial saja. Terlepas dari aspek konstitusional
maupun non-konstitusional, ambiguitas disivion of power dapat ditilik kembali
dari struktur pemerintahan Rusia. Dengan menganut sistem semi-presidensial,
terdapat keseimbangan konstitusi yang asimetris antara presiden, pemerintah
yang dipimpin oleh perdana menteri dan parlemen.
Sebagai kesimpulan, Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet saat ini seolah
kehilangan ideologi sejati negaranya. Untuk berhubungan dengan negara luar, mereka
mencoba untuk mulai terbuka, namun dalam praktek domestiknya, Rusia masih tetap
otoriter dengan menganut sistem sistem komunis di era Uni Soviet. Rusia
bagaimanapun juga akan tetap dan masih menjadi negara yang Komunis (yang
otoriter) karena sejarah, namun kemudian demokrasi dipilih sebagai tuntutan
perkembangan era globalisasi saat ini.
C. Rusia dan Eropa

"For us, Europe is a major trade and economic partner and our natural, most important
partner, including in the political sphere." (Vladimir Putin)

Sebagaimana tercermin dari kutipan di atas, Rusia selalu berupaya meningkatkan


intensitas hubungannya dengan Uni Eropa (UE) dalam berbagai bidang, khususnya
ekonomi dan politik (forging deeper ties). Namun, di sisi lain, Rusia juga tetap berupaya
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara besar dalam menegosiasikan bidang-
bidang kemitraan yang dilakukannya dengan UE (retaining complete souvereignty).

Dua elemen utama kebijakan luar negeri Rusia terhadap Eropa inilah yang kemudian
mendasari pembentukan Partnership and Cooperation Agreement (PCA) antara Rusia dan
UE pada tahun 1997 (yang akan berakhir pada 30 November 2007) dan kemudian
membentuk kemitraan strategis di antara kedua aktor politik ini pada tahun 1999.

Dalam perjalanannya, kemitraan strategis Rusia dan UE terus mengalami pasang surut.
Rusia dan UE memiliki banyak kesamaan kepentingan ekonomi dan politik. Namun, di
sisi lain, kedua entitas politik ini juga memiliki beragam perbedaan persepsi dan
implementasi nilai-nilai demokrasi, standar politik, dan penegakan hukum.

Sejak ditandatanganinya PCA pada tahun 1994, PCAyang menyajikan berbagai poin
penting dalam menata pola hubungan antara Rusia dan UEtelah menjadi cornerstone
bagi hubungan kedua aktor politik ini. Kendatipun demikian, banyak analis yang juga
menyatakan pola hubungan kedua aktor ini lebih cenderung bersifat asimetris. UE
merupakan partner dagang utama Rusia, sedangkan Rusia merupakan pemasok utama
kebutuhan energi UE. Dalam bidang perdagangan, misalnya, total perdagangan UE
terhadap Rusia mencapai 125 miliar euro pada tahun 2004 dengan defisit perdagangan
bagi UE sebesar 35 miliar euro.

Rusia selama ini memasok kebutuhan energi UE sejumlah 50 persen kebutuhan gas UE
dan 30 persen kebutuhan minyak mentah UE. Pada tahun 2030, diperkirakan Rusia
memenuhi 70 persen kebutuhan total energi UE. Guna mengantisipasi berbagai implikasi
negatif kebutuhan energi UE terhadap Rusia, kedua aktor telah bersepakat membentuk
sebuah komisi bersama untuk membicarakan harga energi Rusia agar sesuai dengan harga
pasar dunia, keamanan suplai energi, dan transfer teknologi. Arti penting energi dalam
hubungan kedua aktor ini bahkan dirumuskan ke dalam pembentukan "European Strategy
for Sustainable, Competitive and Secure Energy" yang akan diintegrasikan sebagai bagian
dari kerangka besar kerja sama Rusia dan UE.

Bidang kerja sama lain yang juga mendapa perhatian Rusia dan UE adalah kerja sama
dalam bidang internal security, freedom and justice, khususnya dalam aspek terorisme,
nonproliferasi senjata pemusnah massal, kriminalitas terorganisasi, serta kerja sama
kepolisian dan keimigrasian. Berbagai aspek keamanan tradisional, terutama
nontradisional, di atas memang menjadi fokus perhatian disebabkan kondisi ekonomi,
sosial, dan politik yang relatif belum stabil di Rusia yang telah mendorong munculnya
beragam ancaman keamanan individual di banyak negara UE.

Kemitraan antara Rusia dan UE juga merambah pada bidang-bidang politik keamanan
yang bertujuan memberikan kontribusi pada keamanan dan perdamaian global. Namun,
berbagai dialog di antara kedua aktor ini dalam bidang kebijakan luar negeri dan
pertahanan baru hanya mencapai tingkat konsultasi. Hal ini terutama karena masih
tajamnya perbedaan kepentingan antara Rusia dan UE. Rusia, misalnya, tetap
menginginkan keterlibatannya dalam berbagai fora yang membahas perkembangan
kebijakan pertahanan UE, khususnya yang membahas lingkungan keamanan di negara-
negara bekas satelitnya dan negara pecahan Uni Soviet, seperti Polandia, Bulgaria,
Moldova, dan Ukraina.

Sementara itu, UE pun menolak keterlibatan penuh Rusia dalam berbagai kebijakan
pertahanan UE, khususnya mengabaikan usulan Rusia untuk membentuk EU-Russia
Council. Usulan Rusia mengenai pembentukan dewan ini mengadopsi Permanent NATO-
Russia Council yang sudah terbentuk sebelumnya antara NATO dan Rusia. Kendatipun
memang telah banyak terbentuk beragam dialog politik keamanan antara Rusia dan UE,
dari sisi substansi, kemitraan antara Rusia dan UE dalam bidang politik keamanan masih
sangat lemah. Salah satu faktor utama masih lemahnya kerja sama dalam bidang politik
keamanan ini adalah masih tajamnya ketidaksepakatan antara di kedua aktor mengenai
bentuk (form) dan cakupan (scope) kerja sama yang ingin dibentuk.

Kemitraan Rusia dan UE kini memasuki masa transisi. Ketidakhatihatian dari kedua aktor
ini dalam menegosiasikan kembali berbagai kepentingan strategis mereka hanya akan
mendorong kemitraan ini menjadi sesuatu yang dapat mengganjal keutuhan UE dan pola
hubungannya dengan AS. Pemilihan umum presiden Rusia pada tahun 2008 dapat
menjadi salah satu indikator utama arah perjalanan kemitraan Rusia dan UE ini.
Sebaliknya, kemampuan Rusia dan UE dalam menyinergikan berbagai kepentingan
strategis mereka dapat menjadi faktor pendorong bagi terciptanya road map for a more
solid basis for the future partnership.

Anda mungkin juga menyukai