sampai revormasi.
Pada masa Orde Lama, strategi pembangunan didasarkan atas pendekatan perencanaan
pembangunan yang lebih menekankan pada usaha pembangunan politik, hal ini sesuai
dengan situasi saat itu yaitu masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan
nasional sehingga tidak memungkinkan pelaksanaannya secara baik.
a. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947. Badan ini
dibentuk atas usul dari menetri kemakmuran AK. Gani. Badan ini merupakan badan tetap
yang bertugas membuat rencana pembangunan ekonomi untuk jangka waktu 2 sampai 3
tahun yang akhirnya disepakati Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun.
Bangunan umum vital milik asing dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti rugi
Perusahaan milik Jepang akan disita sebagai ganti rugi terhadap RI. Perusahaan modal asing
lainnya dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian Republik Indonesia
dengan Belanda. Badan ini bertujuan untuk menasionalisasikan semua cabang produksi yang
telah ada dengan mengubah ke dalam bentuk badan hukum.
Hal ini dilakukan dengan harapan agar Indonesia dapat menggunakan semua cabang
produksi secara maksimal dan kuat di mata hukum internasional. Pendanaan untuk Rencana
Pembangunan ini terbuka baik bagi pemodal dalam negeri maupun pemodal asing. Inti
rencana ini adalah agar Indonesia membuka diri terhadap penanaman modal asing dan
melakukan pinjaman baik ke dalam maupun ke luar negeri.
Hal tersebut ditambah dengan adanya Pemberontakan PKI dan Agresi mIliter Belanda II
yang mengakibatkan kesulitan ekonomi semakin memuncak.
b. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 Program ini bertujuan untuk
mengurangi beban negara dalam bidang ekonomi, selain meningkatkan efisiensi.
Rasionalisasi meliputi penyempurnaan administrasi negara, angkatan perang, dan aparat
ekonomi.
Sejumlah angkatan perang dikurangi secara drastis untuk mengurangi beban negara di
bidang ekonomi dan meningkatkan effisiensi angkatan perang dengan menyalurkan para
bekas prajurit pada bidang-bidang produktif dan diurus oleh kementrian Pembangunan dan
Pemuda. Rasionalisasi yang diusulkan oleh Mohammad Hatta diikuti dengan intensifikasi
pertanian, penanaman bibit unggul, dan peningkatan peternakan.
c. Rencana Kasimo (Kasimo Plan) Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan
I.J.Kasimo. Program ini berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950) mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Inti dari Kasimo
Plan adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan menigkatkan produksi bahan
pangan. Rencana Kasimo ini adalah : Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera
Timur seluas 281.277 HA, Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul,
Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan. Di
setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit
2. Tahun 1952 dimulai usaha-usaha perencanaan yang lebih bersifat menyeluruh, biarpun
intinya adalah tetap sector public.
3. Tahun 1956-1960 telah berhasil disusun suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun. Masa
kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya
kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang
dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali
Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
yang disebut Biro Perancang Negara.
Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai
menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui
DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah
melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan
12,5 miliar rupiah.
Hasil-hasil yang diraih pun dapat dipilah dari segi politik dan ekonomi. Dari segi
politik yang utama adalah :
menjadikan Indonesia tulang-punggung kekuatan politik yang sangat
disegani di Dunia; dan
Indonesia mempunyai pengalaman dalam menjalankan kehidupan
demokrasi multipartai dan pemerintahan parlementer. Sementara dari segi
ekonomi telah dicapai:
meningkatnya investasi pemerintah hingga melampui sasaran lima
tahunan;
produksi beras dan jagung melebihi target.
peremajaan karet rakyat mengalami kemajuan di tengah
melemahnya produksi perkebunan akibat ditinggalkan para
pengusaha Belanda.
beberapa produksi peternakan telah mencapai sasaran.
produksi hasilhasil industri kurang mencapai sasaran.
pengeluaran untuk sektor perhubungan telah melampaui target
karena mendapat prioritas tinggi dalam APBN dan adanya dana
dari pampasan perang.
realisasi investasi di sektor listrik selama tiga tahun baru mencapai
sepertiga dari yang direncanakan; dan
pelaksanaan perbaikan kualitas pendidikan masih jauh di bawah
sasaran walaupun telah dikeluarkan biaya yang melebihi rencana.
Periode ini ditutup dengan situasi politik yang genting dan
memaksa dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
a. Jangka pendek
Juli Desember 1966 untuk program pemulihan .
Januari Juni 1967 untuk tahap rehabilitasi.
Juli Desember 1967 untuk tahap konsolidasi.
Januari Juni 1968 untuk tahap stabilisasi Dalam rangka mendukung kebijakan
jangka pendek, pemerintah melakukan beberapa hal di antaranya :
1. Memperkenalkan kebijakan anggaran berimbang (balanced budget
policy).
2. Pembentukan IGGI.
3. Melakukan reformasi terhadap sistem perbankan UU tahun 1967
tentang Perbankan UU tahun 1968 tentang Bank Sentral Uu tahun
1968 tentang Bank Asing.
4. Menjadi anggota kembali IMF.
5. Pemberian peran yang lebih besar kepada bank bank dan lembaga
keuangan lain sebagai agen pembangunan.
Dengan memobilisasi tabungan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan
memainkan peranan penting untuk pembangunan pasar uang dan pasar modal.
Skala Prioritasnya
1) Pengendalian inflasi.
Komponen Rencananya
1) Tindakan pemerintah banting stir dari ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari
ekonomi tertutup ke ekonomi terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto,
1988).
2) Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966, Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
a. Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif (penentuan jumlah, arah, suku bunga)
b. Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1%
(1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994).
c. Mengesahkan / memberlakukan undang-undang : (1) UU Pokok Perbankan No. 14/ 1967 (2)
UU Perkoperasian no. 12/ 1967 (3) UU Bank Sentral No. 13/ 1968
e. Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967. (b)Jangka panjang yang berupa Rencana Pembangunan
Lima Tahun (REPELITA) mulai April tahun 1969.
Mulai 1 April 1969, Program pembangunan jangka panjang terdiri dari tahapan-tahapan
REPELITA dengan sasaran:
REPELITA I
b. pertumbuhan ekonomi; dan
c. pemerataan hasil pembangunan 1974 1979 dengan sasaran:
pertumbuhan ekonomi;
REPELITA II
pemerataan hasil pembangunan; dan stabilitas perekonomian 1979 1984,
REPELITA III 1984 1989, REPELITA V REPELITA IV 1994 1999 dengan sasaran:
pemerataan 1989 1994, REPELITA VI hasil pembangunan;
pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas perekonomian Prestasi Ekonomi dan Kondisi Ekonomi Per
REPELITA. REPELITA I dan II Prestasi:
Pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun
Investasi meningkat dari 11 persen menjadi 24 persen dari PDB selama 10
tahun
Kontribusi tabungan meningkat dari 23 persen menjadi 55 persen Sumber
penghasilan utama devisa adalah ekspor minyak bumi kurang lebih 2/3 dari
total penerimaan
Inflasi rata-rata 17 persen
Porsi pelunasan hutang 9,3 persen dan 11,8 persen dari pengeluaran Kondisi:
Boom minyak tahun 1973 dan 1978 Kibijakan:
Devaluasi rupiah dari Rp 415 menjadi Rp 625/$
REPELITA IV Prestasi:
Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,32 persen
Beban hutang luar negeri menjadi membesar
Penghematan anggaran dan pengawasan serta penertiban penggunaan anggaran
Perkembangan pasar modal dan sektor perbankan yang luar biasa Laju inflasi rata-rata
9 persen
Porsi pelunasan hutang 41,2 persen dari pengeluaran Kondisi:
Harga minyak turun menjadi US $10 Kibijakan:
Deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi cambur tangan pemerintah
untuk memberikan kesempatan pihak swasta dan investor asing dalam
pembangunan
Devaluasi untuk meningkatkan ekspor non migas
REPELITA VI
REPELITA VI
Tingkat rata-rata pertumbuhan per tahun:
Pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan 6,2 persen
Sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan 3,5 persen
Sektor industri 9 persen
Sektor manufaktur diluar migas 10 persen
Sektor jasa 6,5 persen
Inflasi rata-rata 5 persen
Ekspor nonmigas 16,5 persen
Ekspor manufaktur 17,5 persen
Debt Service Ratio 20 persen
PDB Rp 2,150 trilliun
Nilai Investasi Rp 660,1 trilliun atau 30,7 % dari PDB
Dana dalam negeri : (a) Pemerintah (25,5 %) Rp 169,4 trilliun (b) Swasta (69 %)
Rp454,1 trilliun
Dana luar negeri (5,5 %) Rp 36,6 trilliun Era PJPT II, BAPPENAS telah
mensimulasikan 2 skenario terhadap pertumbuhan ekonomi; (a) Skenario pertama
(Optimis) menyatakan
REPELITA VI sampai X, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7,9 persen per tahun,
penekanan pertumbuhan penduduk dari 1,6 % akhir REPELITA VI menjadi 0,9 % akhir
REPELITA X, pengangguran REPELITA VI 2,2 % dan akhir REPELITA X 0,5 %, dan
akhir REPELITA X pendapatan perkapita Indonesia US $3,000. (b) Skenario kedua
(Pesimis) menyatakan REPELITA VI sampai X, pertumbuhan ekonomi rata-rata
mencapai 6,8 persen per tahun, penekanan pertumbuhan penduduk dari 1,6 % akhir
REPELITA VI menjadi 0,9 % akhir REPELITA X, pengangguran REPELITA VI 2,6 %
dan akhir REPELITA X 4 %, dan akhir REPELITA X pendapatan perkapita Indonesia US
$2,330 Kondisi utama yang harus dipenuhi untuk pembangunan ekonomi yang baik: a)
Kemauan politik yang kuat b) Stabilitas ekonomi dan politik c) SDM yang lebih baik d)
Sistem politik dan ekonomi yang terbuka yang beroorientasi ke barat e) Kondisi ekonomi
dan politik dunia yang lebih baik.
Dengan diluncurkannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 oleh Kabinet Reformasi bersama
dengan pengaturan-pengaturan lainnya yang berkaitan, di dalam negeri secara dramatik telah
terjadi perubahan keseimbangan dari tanggung jawab antara berbagai tingkatan (level) pada
sistem pemerintahan. Berkaitan dengan reformasi dan komitmen yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat serta beberapa Pemerintah Daerah dan DPRD agar mampu memberikan bukti dan
mendorong kearah terjadinya transparansi, partisipasi, dan sistem manajemen
sumbersumberdaya yang melibatkan kepentingan masyarakat secara berimbang masih
mengalami hambatan karena terjadinya aktivitas mempertahankan surplus keuntungan (rent
seeking activities) terutama dari para pejabat birokrasi pusat maupun daerah setelah terjadinya
proses desentralisasi sesuai dengan kebijaksanaan otonomi daerah.
Dengan terjadinya proses perubahan yang dipelopori oleh semangat reformasi dalam
perkembangan berikutnya telah terjadi perubahan besar dalam kehidupan bernegara dengan
dibuatnya sejumlah amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945, dimana saat ini telah mencapai
amandemen ke-4. Salah satu butir penting dalam amandemen ke-4 UUD 1945 ini adalah
Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini membawa konsekuensi yang
cukup besar terhadap terjadinya perubahan dalam kebijakan perencanaan pembangunan di
Indonesia.
Dimana setiap calon Presiden akan dipilih oleh rakyat berdasarkan pada programprogram
kebijakan dan pembangunan yang akan dilakukannya. Sebagai akibatnya Presiden bukan lagi
merupakan mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang harus melaksanakan
GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Presiden mempertanggungjawabkan secara langsung hasil
dari pelaksanaan program-program pembangunan yang dilaksanakannya kepada masyarakat
yang memilihnya melalui MPR yang beranggotakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan demikian MPR hanya berfungsi seperti lembaga
legislatif yang tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan
Presiden dan Wakil Presiden.
Program-program yang disampaikan oleh Presiden terpilih pada saat Pemilihan Umum
(PEMILU), yang akan menjadi acuan bagi pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional selama
periode kepemimpinannya. Sehingga, keberhasilan pelaksanaan pembangunan sangat ditentukan
oleh kemampuan Presiden dalam membentuk tim yang menerjemahkan kebijakan politiknya
kedalam program-program pembangunan secara riil.
Selain amandemen ke-4 UUD 1945, perubahan lain yang mendasar adalah diberlakukannya
Rancangan Undang-Undang Keuangan No. 17 Tahun 2003 yang menyebabkan fungsi planning
dan budgeting menjadi wewenang DEPKEU. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan
dana sehingga alokasi dana untuk kegiatan pembangunan dapat diperhitungkan secara cermat
dan pemilihan prioritas pembangunan dapat disesuaikan dengan kemampuan pendanaan yang
tersedia. Dengan terjadinya berbagai perubahan tersebut di atas, ada beberapa hal yang harus
dicermati dalam pelaksanaan mekanisme perencanaan pembangunan: (1) Ide dasar pembentukan
institusi perencanaan pembangunan tingkat nasional. (2) Bagaimana sistem
perencanaan pembangunan nasional yang berbasis visi presiden terpilih ? (3) Bagaimana fungsi
lembaga legislatif dalam mekanisme penilaian, pengesahan, dan pengawasan perencanaan
pembangunan nasional presiden terpilih ?
Implikasi mendasar yang harus diantisipasi dalam sistem perencanaan pembangunan adalah
hilangnya GBHN yang selama ini mempunyai fungsi sebagai pemandu bagi arah perencanaan
pembangunan. Tidak adanya GBHN merupakan akibat langsung dari hilangnya eksistensi
lembaga tertinggi negara atau MPR. Oleh karena itu tidak akan ada lagi PROPENAS yang
merupakan penjabaran dari GBHN, dan tidak akan ada lagi PROPEDA yang merupakan
penjabaran dari PROPENAS.
Hilangnya koridor perencanaan makro yang selama ini telah menjadi arahan dan panduan bagi
pelaksanaan perencanaan pembangunan bisa menimbulkan kesemrawutan yang semakin parah.
Perubahan ini bisa menimbulkan kebingungan terutama ditingkat lokal dan di level operasional.
Beberapa pihak tetap merasa optimis karena pada dasarnya GBHN tidak hilang namun akan
digantikan oleh program-program pembangunan yang telah disampaikan oleh Presiden terpilih
pada saat Pemilu. Namun tentunya masih harus dikaji kembali apakah keberadaan program kerja
Presiden tersebut dapat menggantikan peranan GBHN atau bahkan menjadi lebih efektif.
1. Program-program yang diajukan oleh para calon presiden pada dasarnya merupakan
komoditas politik yang ditujukan untuk memperoleh suara. Sebagai akibatnya
programprogram yang ditawarkan akan lebih bersifat populis, dan bisa jadi akan kurang
realistis sehingga sulit untuk dilaksanakan.
3. Sebagian besar masyarakat kita adalah kelas menengah ke bawah yang kurang
mempunyai kemampuan untuk mengkaji program yang ditawarkan secara komprehensif.
Akibatnya pilihan akan dijatuhkan pada figur calon presiden yang mereka kenal,
meskipun program yang ditawarkan kurang relevan. Dalam kondisi demikian peluang
salah pilih akan menjadi tinggi
4. Setiap calon presiden mempunyai kendaraan politik dalam bentuk partai politik. Sebagai
akibatnya program-program yang akan ditawarkan dalam pemilu pada dasarnya
merupakan paltform dari partai yang bersangkutan. Sehingga menjadi pertanyaan apakah
platform dari partai politik merupakan suatu bentuk produk politik yang telah
mengemban amanat rakyat Indonesia, mengingat sampai saat inipun setiap partai politik
lebih sibuk memperjuangkan kepentingannya sendiri-sendiri.
Keempat hal ini akan membuat program-program yang ditawarkan oleh seorang calon presiden
menjadi sulit untuk dijadikan kerangka makro yang bisa menjadi panduan dalam dalam
penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan terutama di tingkat lokal dan di level
operasional.
Situasi initentunya akan bisa mematikan demokrasi dan sekaligus membalikaan asumsi bahwa
perubahan ini akan memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi berkembangnya partisipasi
dan kehidupan berdemokrasi. Beberapa pihak mungkin akan mengatakan bahwa uraian di atas
terlalu pesimistis. Pengalaman empiris di negara-negara lain terutama di negara-negara maju
menunjukkan bahwa mekanisme tersebut dapat diterapkan secara efisien dan efektif. Proses
politik akan menjadi lebih transparan, aspiratif, partisipatif dan kehidupan berdemokrasi akan
berkembang dengan lebih baik.
Namun tentunya ada perbedaan kondisi antara negara-negara maju dan berkembang. Indonesia
pada saat ini masih sebagai negara berkembang, belum maju, dan bahkan berada dalam kondisi
terpuruk akibat krisis. Oleh karena itu sebenarnya masih diperlukan perencanaan yang berciri.
Pada tulisan ini penulis akan merangkum perkembangan ekonomi di Indonesia. Penulis
akan menjelaskan mengenai orientasi pembangunan pada masa orde lama hingga reformasi dan
orientasi pembangunan manakah yang sesuai bagi Indonesia pada saat ini. Penjelasan tersebut
akan dijelaskan penulis dengan bersumber pada tulisan karya Mochtar Masoed yang berjudul
Stabilisasi dan Pembangunan Ekonomi yang Berorientasi Keluar dalam Ekonomi dan Struktur
Politik Orde Baru 1966-1971.
Kondisi ekonomi yang buruk dicoba untuk diperbaiki pada era Soeharto yakni orde baru
yang dimulai pada tahun 1965. Pada masa kepemimpinan Soeharto telah terjadi banyak
perubahan yang menuju pada stabilisasi ekonomi. Pembangunan di segala bidang merupakan
tujuan dari perekonomian orde baru. Pada masa orde baru pemerintah melakukan stabilisasi
ekonomi dengan pendekatan ke luar yakni dengan membuka pintu bagi investor asing agar dapat
mendongkrak pendapatan Indonesia. Bantuan dari organisasi internasional seperti IMF menjadi
pemicu kembalinya perekonomian Indonesia dari keterpurukan. Stabilisasi pembangunan yang
ada pada orde baru dirangkum dalam program pembangunan lima tahun yang membawa dampak
positif yakni terbukanya lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan khususnya pada bidang pertanian
dan industry. Stabilisasi ekonomi pada masa orde baru mendukung perekonomian Indonesia ke
arah yang lebih baik.