Inisiasi
MENGENAL HUKUM
A; Definisi Hukum
Berikut ini definisi hukum dari beberapa sarjana yang diadaptasi dari
modul 2 PIH/PTHI yang ditulis oleh Kunthoro Basuki, SH.,M.Hum
L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa hukum banyak seginya dan
demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang dapat membuat definisi secara
memuaskan. Lagi pula pada umumnya definisi ada ruginya, sebab tidak dapat
mengutarakan keadaan yang sebenarnya dengan jelas. Hukum sebenarnya
banyak sisinya, berupa-rupa dan berganti-ganti, sedangkan definisi itu
menyatukan segala-galanya dalam satu rumus, harus mengabaikan hal yang
berupa-rupa dan yang banyak bentuknya (Apeldoorn, 1971:13). Van Apeldoorn
termasuk sarjana yang menulis buku Pengantar Ilmu Hukum yang dalam
bukunya tidak membuat definisi hukum.
Kesulitan membuat definisi hukum juga dikemukakan oleh G.W. Paton,
yang antara lain mengatakan bahwa persoalan mengenai definisi hukum adalah
tidak semudah seperti yang disangka orang semula. Secara logis haruslah lebih
dahulu ditemukan genus-nya yaitu pada genus mana res termasuk, kemudian
sifat-sifat khusus yang membedakannya dari species lain pada genus yang
sama. Pemilihan genus akan ditentukan oleh apa yang menjadi tujuan kita.
Keyakinan lama bahwa setiap res itu hanya mempunyai satu inti sari atau
substantia, telah dirubah oleh kenyataan bahwa apabila tujuan seorang
penyelidik berbeda dengan tujuan penyelidik yang lain, maka demikian pula
tekanannya pada aspek yang berbeda-beda (Paton, 1953 : 51).
Ada pameo atau adagium yang berbunyi definitie per genus et
differentiam, artinya memberi definisi itu dengan menyebutkan jenisnya
(genus-nya) dan ciri-cirinya atau perbedaan-perbedaannya (Hart, 1970 : 14
15). Contoh : burung, genus-nya adalah binatang; sedangkan differentiam-nya
adalah berkaki dua, berparuh, bersayap, dapat terbang dan lain sebagainya.
Demikian juga dengan hukum, kita cari dulu genus-nya, yaitu termasuk kaidah
sosial yang merupakan peraturan hidup, setelah dibandingkan untuk dicari
persamaan dan perbedaannya dengan kaidah-kaidah sosial yang lain, kita dapat
mendapatkan ciri-ciri dari hukum, yaitu :
1; adanya perintah dan/atau larangan;
2; perintah dan/atau larangan harus ditaati setiap orang;
3; adanya sanksi hukum yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang
berwenang.
Hukum dalam arti sebagai ilmu pengetahuan (ilmu hukum) atau yang
berarti juga sebagai ilmu kaidah (normwissenschaft), yaitu ilmu yang
membahas hukum sebagai kaidah, atau bagian dari sistem kaidah dengan
dogmatik hukum dan sistematik hukum. Dalam hal ini hukum dilihat sebagai
karya manusia untuk mencari kebenaran, yang memiliki ciri-ciri : sistematis,
logis, empiris, metodis, umum dan akumulatif. Mengingat hukum mempunyai
fungsi untuk melindungi kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat,
maka kebenaran yang dicari tentunya yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Kenyataannya masyarakat dinamis, masyarakat selalu berubah dan
berkembang. Hal tersebut menuntut ilmu hukum ikut berkembang agar secara
obyektif dapat memberikan jawaban yang tepat sesuai dengan keadaan
masyarakat.
Hukum dalam arti sebagai disiplin, yaitu sebagai ajaran hukum
mengenai fenomena masyarakat, atau ajaran kenyataan atau gejala-gejala
hukum yang ada dan yang hidup dalam masyarakat.
Hukum dalam arti sebagai kaidah, yaitu sebagai peraturan hidup yang
menetapkan bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku dalam hidup
bermasyarakat, yang berisi perintah, perkenan dan larangan, yang tujuannya
agar tercipta kehidupan masyarakat yang damai. Sebagai peraturan, hukum
harus ditaati atau harus dilaksanakan, apabila dilanggar si pelanggar akan
mendapatkan sanksi dari masyarakat. Berbeda dengan kaidah sosial yang lain,
pelanggaran terhadap kaidah hukum sanksinya lebih tegas dan dapat dipaksakan
oleh pihak berwenang.
Hukum dalam arti sebagai tata hukum, yaitu sebagai keseluruhan
aturan hukum yang berlaku sekarang, atau yang positif berlaku di suatu tempat
dan pada suatu waktu. Tata hukum disebut sebagai hukum positif, atau ada juga
yang menyebut sebagai sistem hukum. Sebagai contoh Tata Hukum Indonesia
adanya sejak saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1945. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa hukum dalam arti
Tata Hukum Indonesia adalah keseluruhan aturan hukum dibuat atau lahir
setelah Proklamasi Kemerdekaan dan yang telah ada sebelumnya yang masih
berlaku sekarang adalah merupakan bagian dari Tata Hukum Indonesia.
Hukum dalam arti sebagai petugas hukum, dalam konteks ini lebih
banyak merupakan anggapan dari sebagian warga masyarakat yang awam
hukum (the man in the street), mereka memanifestasikan hukum seperti apa
yang dilihatnya, yaitu petugas penegak hukum. Dalam hal ini, polisi, jaksa dan
hakim serta petugas hukum lain yang memakai seragam dan sedang
melaksanakan tugasnya menindak orang yang melanggar hukum, dianggap
sebagai hukum. Bagi mereka, bukan terbatas pada petugas yang merupakan
manusia, tetapi juga bentuk manifestasi dari petugas (polisi), misalnya patung
polisi dan simbol-simbol atau rambu-rambu lalu lintas yang ada atau terpasang
di pinggir jalan.
Hukum dalam arti sebagai keputusan penguasa, yaitu merupakan
keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat, ditetapkan atau
diputuskan oleh pihak penguasa yang berwenang. Penguasa yang berwenang,
baik yang secara khusus mempunyai kewenangan pembuatan peraturan
perundang-undangan maupun penguasa lain yang mempunyai kewenangan
mengeluarkan penetapan atau keputusan dalam menyelesaikan kasus-kasus
konkrit tertentu.
Hukum dalam arti proses pemerintahan, yaitu merupakan aktivitas dari
lembaga administratif atau lembaga eksekutif dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam hal ini yang dipentingkan adalah tertib aktivitas
prosesnya itu sendiri. Kalau yang dilihat mengapa penguasa lebih menekankan
pada aspek ketertiban maka ini akan dipahami sebagai hukum dalam arti tata
hukum, sedangkan kalau yang dilihat adalah hasil dari proses yang merupakan
penetapan atau keputusan dan bentuk tertulis, maka ini akan dipahami sebagai
hukum dalam arti sebagai keputusan penguasa.
Hukum dalam arti sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang
teratur, yaitu perilaku individu yang satu terhadap yang lain secara biasa, wajar
dan rasional, yang secara terus-menerus dilakukan dalam garis sama akhirnya
menimbulkan suatu ikatan yang diterima sebagai suatu keharusan. Sebagai
contoh : Setiap Dosen A memberi kuliah di sore hari, B (petugas Fakultas)
menyediakan minuman. Pada tiap akhir semester, setelah dosen A menerima
hasil ujian, ia selalu memberi uang kepada B. Sikap tindak dosen A dan petugas
B yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh mereka berdua dianggap
merupakan ikatan, bahkan mungkin dianggap sebagai hukum. Andaikata
kebiasaan tersebut juga diikuti oleh dosen-dosen lain dan dalam lingkup
aktivitas yang lebih luas, kurun waktu yang lama serta pada akhirnya diterima
sebagai suatu keharusan, maka sikap tindak tersebut dapat menjadi hukum
kebiasaan.
Hukum dalam arti sebagai jalinan nilai-nilai, tujuan hukum dalam
kaitannya dengan jalinan nilai adalah untuk mewujudkan keseimbangan atau
keserasian antara pasangan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yaitu: antara
nilai obyektif (yang universal misalnya tentang baik dan buruk, patut dan tidak
patut) dengan nilai subyektif (yang sesuai dengan tempat, waktu dan budaya
masyarakat), antara nilai kepentingan pribadi (sejajar dengan ketenteraman)
dengan nilai kepentingan masyarakat (yang sejajar dengan ketertiban), antara
nilai kelestarian dengan nilai pembaharuan, semuanya itu demi terciptanya
kedamaian hidup bersama.
Tentang Keadilan
Aristoteles mengajarkan bahwa ada dua macam keadilan, yaitu : keadilan
distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang
memberikan kepada setiap orang bagian menurut jasanya masing-masing, tidak
menuntut agar setiap orang mendapatkan bagian yang sama banyaknya, bukan
persamaan, melainkan kesebandingan. Sedangkan keadilan komutatif adalah
keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tanpa
mengingat jasa-jasa perseorangan (Apeldoorn, 1971 : 24 25).
Teori Utilitis
Tujuan hukum adalah menjamin tercapainya kebahagiaan sebesar-
besarnya untuk jumlah orang yang sebanyak-banyaknya. Penganut teori
utilitis antara lain adalah Jeremy Bentham, yang berpendapat bahwa
hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi
orang, tetapi mengingat apa yang berfaedah bagi orang yang satu
mungkin merugikan orang lain, maka tujuan hukum dirumuskan sebagai
berikut : hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan yang sebesar-
besarnya pada orang sebanyak-banyaknya (Utrecht, 1961 : 27).