Anda di halaman 1dari 4

Hukum yang Berlaku dalam Kasus Prita

Mulyasari
Prita Mulyasari menjadi tersangka kasus pencemaran nama
baik Rumah Sakit Omni Internasional. Prita dijerat dengan Pasal
27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dengan sanksi pidana penjara maksimum
6 thn dan/atau denda maksimal 1 milyar rupiah.

Pendapat hukum mengenai kasus tersebut :


Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008
tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD
1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi
keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak
dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan
Pasal 311 KUHP.

Pertimbangan Mahkamah tersebut dapat diartikan bahwa


penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE merujuk pada pasal-pasal
penghinaan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan Pasal 311.
Dengan demikian, jika nanti perbuatan Prita Mulyasari terbukti
tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP,
secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal
27 ayat (3) UU ITE . Berikut petikan pasal-pasal yang dimaksud:

Pasal 27 ayat (3) UU ITE


Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.

Pasal 45 ayat (1) UU ITE


Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 310 KUHP


(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang
disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis,
jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau
karena terpaksa untuk membela diri.

Pasal 311 KUHP


(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang
dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan
dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia
diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat
dijatuhkan.

UU ITE, terutama pasal 27 dan 28, memang menjadi momok


dan dianggap praktisi pers, para penggiat citizen journalism,
serta blogger sebagai sebuah ancaman yang sangat nyata.
Atau bisa diistilahkan seperti harimau atau buaya yang siap
mencengkram mangsanya sewaktu-waktu.
Menurut pengamat pers Atmakusumah Astraatmaja dalam
sebuah diskusi di Jakarta Media Center, Rabu (25/2), pasal 27
dan 28 itu sebagai pasal karet. Pasal-pasal itu normanya
kabur, multitafsir, dan keputusannya sangat tergantung kepada
hakim, katanya.

Atmakusumah menggarisbawahi bahwa tidak semua hakim


menguasai dunia jurnalistik. Hal ini mengakibatkan munculnya
perkiraan bahwa kebebasan pers ke depannya bisa terganggu.

UU ITE disahkan DPR pada akhir Maret 2008 yang merupakan


gabungan dari dua Rancangan Undang Undang (RUU), yakni
RUU Informasi dan RUU Transaksi Elektronik.

UU tersebut kemudian diajukan untuk judicial review ke


Mahkamah Konstitusi oleh Narliswandi Piliang, terutama untuk
pasal karet, antara lain pasal 27 dan 45.

Pasal 27 berisi aturan pemidanaan bagi penyebar dokumen


elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan, perjudian,
penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan
ancaman. Sanksi yang ditetapkan juga dinilai berat yakni
denda hingga Rp1 miliar dan penjara hingga enam tahun.

Atmakusumah menilai denda yang ditetapkan itu terlalu besar


dan merugikan dunia jurnalistik di Indonesia. Denda Rp1 miliar
itu untuk pers Indonesia, kalau nggak bangkrut, ya setengah
bangkrut, katanya.

Pengamat hukum tata negara Denny Indrayana menyebut


langkah melakukan judicial review terhadap UU ITE sudah
tepat. Sudah tepat, tapi perjuangan di Mahkamah Konstitusi
akan berat, katanya.

Kesulitan itu antara lain karena UU ITE tidak hanya membahas


mengenai pencemaran nama baik atau penyebaran informasi
terkait dunia jurnalistik saja, namun juga mengenai hacking,
transaksi elektronik, dan hak atas kekayaan intelektual.

Menkominfo Mohammad Nuh mengizinkan MK untuk mencabut


pasal 27 ayat 3 dalam yang saat ini tengah diuji dalam judicial
review MK. Kalau MK meminta pasal yang bersangkutan
dicabut, ya cabut saja, kata Nuh usai jumpa pers di Gedung
Depkominfo, belum lama ini.

Tanggapan yang terkesan santai dari Menkominfo itu sekaligus


untuk menjawab tekanan dari sejumlah pihak yang ingin
menggoyang UU ITE.

Seperti diketahui, sejumlah blogger dan pemilik web yang


diwakili oleh Tim Advokasi Untuk Kemerdekaan Berekspresi
Indonesia telah mengajukan permohonan uji materi kepada
Mahkamah Konstitusi terhadap salah satu pasal di UU ITE.

Menurut para pemohon uji materi tersebut, pasal 27 ayat (3)


bertentangan dengan sejumlah pasal di UUD 1945, yakni pasal
1 ayat (2) dan (3), pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 28 C ayat
(1) dan ayat (2), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 E ayat (2) dan
ayat (3), pasal 28 F, serta pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Selain
itu, UU ITE juga dinilai cenderung memberatkan dan
membingungkan para pengguna media elektronik.

Sumber : www.google.co.id

Anda mungkin juga menyukai