PENDAHULUAN
2.1 DEFINISI
Normal Pressure Hydrocephalus (NPH) adalah sindroma klinis yang ditandai
gangguan gaya berjalan, demensia, inkontinensia urin dan berhubungan dengan
adanya ventrikulomegali tanpa disertai peningkatan tekanan cairan serebrospinal
1,4
(CSF).
Selama 35 tahun sejak pertama kali dijelaskan, definisi NPH telah diperluas.
Awalnya dianggap gejala akibat idiopatik, saat ini NPH digunakan secara umum
mencakup bentuk kronis dari communicating hydrocephalus, dan bahkan beberapa
bentuk noncommunicating seperti aqueductal stenosis. Karena semua pasien ini
dapat datang dengan trias gejala yang sama dan hampir semuanya mungkin harus
dikoreksi dengan pemasangan ventriculoperitoneal (VP) shunt. Perluasan definisi
dianggap tepat, walaupun beberapa gejala sekunder dapat menbedakan bentuk
idiopatik dari communicating hydrocephalus yang diketahui penyebabnya. Sebagai
contoh, insiden idiopatik NPH cenderung terjadi pada orang tua, sedangkan pasien
dengan hidrosefalus komunikan kronis diawali gejala perdarahan subarachnoid
sebelumnya, meningitis, riwayat bedah saraf, atau trauma kepala dan sering terdapat
pada usia muda. Selain itu respons terhadap pemasangan shunt pada pasien dengan
idiopatik kurang memuaskan (30-50%) dibandingkan dengan pasien hidrosefalus
komunikan yang diketahui penyebabnya (50-70%). Tergantung pada kriteria
diagnostik spesifik yang digunakan, setengah dari kasus NPH dianggap idiopatik dan
setengahnya ada penyebab, dengan demikian, NPH mungkin merupakan bentuk
5
akhir dari proses perjalanan beberapa penyakit.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Study epidemiologi NPH sangat sedikit dilakukan, karena insiden dan prevalensi
gangguan ini sulit ditentukan. Insidensi NPH yang pernah dilaporkan sekitar 1,8
kasus per 100.000 penduduk dan 2,2 kasus per 1.000.000 penduduk. Sebuah survey
rumah tangga untuk penduduk berusia 65 tahun di dua tempat di Jerman dilaporkan
bahwa prevalensi NPH 0,41% pada kelompok usia tersebut. Survey ini juga
menunjukkan antara 1,6% dan 5,4% pasien dengan demensia mempunyai NPH.
Sebuah analisis terkini 'nondegenerative nonvascular dementia' dari kantor
registrasi di Rochester, MN, tidak ditemukan kasus NPH dari tahun 1990 hingga
1994. Penulis berkesimpulan, bagaimanapun, meski populasi dalam study tersebut
mencapai 70.745, namun gagal menemukan NPH adalah sesuatu yang tidak bisa
4
dipercaya.
Faktanya, diperkirakan terdapat 375.000 orang di Amerika yang menderita
NPH, namun karena pengggunaan kriteria diagnosis yang salah, NPH sering
didiagnosis dengan demensia atau Parkinson's. Beberapa ahli percaya bahwa 1%
hingga 10% orang dengan usia tua yang hidup dalam lingkungan masyarakat dan
sebanyak 6% dirawat di rumah memiliki masalah NPH; data ini pasti lebih tinggi
2
dibandingkan jumlah pasien yang telah ditegakkan diagnosis NPH.
Tidak ada perbedaan jenis kelamin yang lebih cenderung mendapat NPH,
NPH sering pada pasien usia lanjut. NPH dapat terjadi pada semua umur, meski
penyakit ini lebih umum terjadi pada usia tua. Frekuensi lebih sering pada usia
2,5
decade 6 atau decade 7 kehidupan.
2.3 ETIOLOGI
Setengah dari kasus NPH dianggap idiopatik dan setengahnya ada penyebab, dengan
demikian, NPH mungkin merupakan bentuk akhir dari proses perjalanan beberapa
penyakit. Etiologi idiopatik NPH telah dijelaskan selama 4 decade, namun, tidak ada
5
teori tunggal yang diterima secara luas.
Kebanyakan faktor penyebab NPH tidak tidak diketahui secara pasti. Apabila
NPH terjadi akibat sekunder dari perjalanan penyakit lain, termasuk subarachnoid
hemorrhagic, trauma kepala, infark cerebri, meningitis atau komplikasi pembedahan,
gejala ini disebut NPH sekunder. Sedangkan NPH pada pasien yang tidak didahului
4
penyebab tertentu disebut NPH primer atau idiopathic NPH (INPH).
Kemungkinan faktor penyebab normal pressure hidrocephalus termasuk
trauma kepala, perdarahan subarahnoid, meningitis, tumor SSP. Walaupun setiap
kondisi dapat menyebabkan hidrosephalus. Bagaimana cara untuk menjelaskan
hubungan dengan NPH masih belum dipahami dengan baik.
6,7
2.4 ANATOMI SISTEM VENTRIKEL
2.5 PATOFISIOLOGI
Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal secara aktif yang
menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak. Sebagian besar cairan serebrospinal
diproduksi oleh pleksus koroideus di dalam ventrikel otak dan mengalir melalui
foramen Monro ke ventrikel III kemudian melalui akuaduktus Sylvius ke ventrikel
IV. Dari sana likuor mengalir melalui foramen Magendi dan Luschka ke sisterna dan
rongga subaraknoid di bagian kranial maupun spinal. Penyerapan terjadi melalui
villus arakhnoid yang berhubungan dengan sistem vena seperti sinus venosus
serebral. Hidrosefalus terjadi akibat kelebihan produksi, sumbatan sirkulasi atau
gangguan proses penyerapan.
Hakim menjelaskan mekanisme tekanan normal atau tinggi-normal pada CSS
yang mana dapat memberikan efek. Menggunakan perhitungan, kekuatan sama
dengan tekanan berbanding lurus dengan luas permukaaan, peningkatan tekanan CSS
lebih memperluas permukaan ependima dengan memakai kekuatan yang sangat besar
sehingga melawan otak daripada tekanan yang sama pada ventrikel dengan ukuran
normal. NPH bisa diawali dengan transient high pressure hidrosephalus dengan
penambahan luas pemukaan ventrikel. Dengan perluasan lebih lanjut pada ventrikel
tekanan CSS kembali normal, keadaan ini disebut NPH, pada akhirnya yang tampak
pada proses patofisiologi inisial adalah suatu ketidaksesuaian. Teori klasik
menjelaskan bahwa tekanan CSF tidak meningkat pada NPH karena ventrikel
mengembang untuk menampung volume CSF yang meningkat; oleh karena itu,
tekanan CSF normal. Teori lain menjelaskan bahwa terjadi peningkatan tekanan
sementara selama ventrikel mengembang (terjadi inflasi ventrikel) tetapi normal
kembali setelah luas ventrikel seimbang dengan volume CSF. Seiring waktu
perkembangan gejala klinis, ventrikel mengalami pelebaran, dan tekanan dapat
berada dalam batas normal. Jadi, mengukur tekanan CSF tidak membantu dalam
menegakkan diagnosis. Tidak adanya peningkatan tekanan CSF, sebagaimana
terlihat pada bentuk hidrocefalus lain, maka hal ini juga menjadi alasan sangat sulit
2
menegakkan diagnosis NPH.
Pembesaran ventrikel dapat terjadi saat timbul tekanan antar lapisan. yaitu:
perbedaan tekanan antara ventrikel dan ruang subarachnoid meningkat, bahkan
sementara. Penurunan resorpsi CSF (cerebrospinal fluid) meningkatkan tekanan
transmantle (antar lapisan). Walau banyak ahli menyatakan bahwa resorpsi CSF
terjadi pada tingkat vili arachnoidal (mikroskopis) atau arachnoid granulations
(macroscopis), para ahli lainnya yakin bahwa sebahagian besar resorpsi subtansial
CSF terjadi pada tingkat parenkim otak, yaitu melalui trans kapiler atau trans venular.
(hal ini terbukti bahwa pada pasien hydrocepfalus obstruktif dapat terjadi reabsorbsi
5
sebahagian kecil CSF).
Ketika otak berfungsi secara baik, cairan serebrospinal diproduksi oleh plexus
choroid dengan kecepatan 20-25 mL per jam. CSF kemudian bersirkulasi dari
ventrikel lateral melewati garis tengah ventrikel tiga dan akhirnya masuk kedalam
ventrikel empat mengisi ke dalam fossa posterior otak. Dari ventrikel empat, CSF
keluar dari system ventrikel dan masuk ke ruang subarachnoid melingkupi otak dan
spinal cord, dimana CSF berperan sebagai bantalan membantu mencegah cedera
kepala. Cairan serebrospinal normalnya diserap oleh villi arachnoid dan masuk ke
dalam sinus venosus dalam jumlah yang sama dari jumlah produksi untuk menjaga
konsistensi sirkulasi dan tekanan. Gambar 2. Menampilkan aliran normal CSF dalam
otak. Pada pasien NPH, bagaimanapun, CSF tidak direabsobsi adekuat,
menyebabkan penumpukan terlalu banyak cairan dalam otak dan menimbulkan trias
2
gejala khas.
Kelebihan CSF dalam otak dapat diakibatkan baik oleh perubahan idiopatik
2
maupun trauma, sekitar 50% untuk tiap katagori tersebut. Walaupun, kekacauan
reabsobsi CSF oleh villi arachnoid tidak sepenuhnya dipahami, beberapa teori
menghubungkan proses terjadinya akumulasi cairan dengan adanya scar (parut)
jaringan. Hal ini dipercaya bahwa scar tissue menurunkan kemampuan villi
arachnoid untuk menyerap CSF secara baik, atau scar tissue dapat terjadi pada
sekeliling sinus venosus dalam otak yang menghalangi CSF masuk ke dalam
sirkulasi pembuluh darah. Adanya riwayat bedah kepala atau bedah saraf,
intracranial hemorrhage, dan meningitis juga berhubungan dengan NPH. Sayangnya,
2
tingkat progresifitas NPH sering lambat, hingga mengelapkan etiopatologi pasti.
2.6 GEJALA KLINIS
NPH dapat terjadi pada semua umur, meski penyakit ini lebih umum terjadi pada
usia tua. Frekuensi lebih sering pada usia decade 6 atau decade 7 kehidupan.
Walaupun gejala Adams triad berhubungan erat dengan NPH fase lanjut, tidak semua
gejala tersebut dapat muncul saat stadium awal. Salah satu gejala yang paling awal
muncul adalah gaya berjalan yang tidak normal, yang umumnya digambarkan
sebagai shuffling atau berjalan terseok-seok (langkah pendek), magnetic (sulit
mengangkat tungkai atau berjalan dengan kaki terseret lantai), broad based / berdiri
dengan kedua tungkai dibuka lebar (kedua tungkai berpisah untuk menjaga
2,4,8
keseimbangan).
Gejala lengkap NPH dijelaskan berdasarkan faktor mekanik dan faktor
iskemik. Pembesaran ventrikel menyebabkan peregangan dan penurunan kelenturan
pembuluh darah dan tekanan nadi yang tinggi menyebabkan local ''barotrauma'' atau
tegangan geser tangensial. Hal ini juga terbukti dari tujuan pemasangan shunt yaitu
untuk menambah kapasitas sistem dan meningkatkan perfusi, bukan untuk
5
menurunkan tekanan (yang sudah normal).
NPH ditandai trias klinis yaitu gangguan berjalan, demensia dan inkontinensia
urin. Kumpulan gejala khas tersebut berkembang perlahan, dan umumnya terjadi
antara usia decade 6 dan decade 8. Gangguan gaya berjalan adalah ciri khas pertama
yang muncul pada INPH, dan digambarkan secara bervariasi seperti apraxic,
bradykinetic, glue-footed, magnetic, parkinsonian dan shuffling. Pasien sering datang
dengan riwayat terjatuh. Gaya berjalan yang menyimpang ini dicirikan pada INPH
seperti lambat, berdiri dengan kedua tungkai dibuka lebar, melangkah dengan
langkah pendek dan terseok-seok, dan sulit menyusun atau melangkah dengan kedua
kaki bergantian secara berurutan. Selain itu juga tidak didapatkan adanya kelemahan
4
gerak yang signifikan.
Gangguan gaya berjalan adalah gaya berjalan apraxia yaitu sebagai
gambaran kombinasi defisit motorik, kegagalan reflek meluruskan tubuh dan
ganguaan sensibilitas benda halus. Gaya berjalan ini dapat digambarkan
sebagai''magnet'' karena sikap berdiri dengan kedua tungkai dibuka lebar dan
berjalan lambat, langkah kecil dengan kaki menyeret lantai. Selain itu gejala ini juga
disertai terdapatnya peningkatan tonus dan reflek tendon tungkai bawah dan
timbulnya kelemahan serta inkoordinasi. Gangguan input dari kortex sensorimotor,
korteks frontal superior, dan gyrus gyrus anterior cingulate menuju formation
reticular di dalam tegmentum pada batang otak juga dapat berkontribusi untuk
gangguan gaya berjalan dan sikap berdiri. Karena serat-serat traktus serebrospinal
menyuplai fungsi kaki melewati ventrikel lateral dalam corona radiate. Maka
tidaklah mengherankan jika ganguan gaya berjalan ini biasanya merupakan gejala
5
pertama muncul dan pertanda awal untuk follow up sukses tidaknya VP shunt.
Demensia adalah gejala subkortikal dan ditandai inersia, pelupa, dan
ketidakmampuan memimpin. Ketiadaan jaras kortikal membantu untuk membedakan
demensia pada NPH secara klinis dengan penyakit Alzheimer. Demensia mempunyai
ciri khas dengan hilangnya memori yang nyata dan bradiphrenia. Progesitasnya lebih
lambat daripada demensia pada penyakit Alzheimer . Defisit fokal dan atau kejang
tidak biasa terjadi. Pasien dengan NPH menunjukan defisit kognitif subkortikal
termasuk didalamnya pikun, perhatian yang berkurang, inersia dan bradiphrenia yang
2,5
berbeda dengan Alzhemair.
Penurunan kemampuan kognitif cenderung muncul secara bertahap pada pasien
NPH. Gejala khasnya mencakup lambatnya psikomotor atau retardasi psikomotor,
sulit menfokuskan perhatian, gangguan verbal, penurunan kemampuan memimpin
dan sulit melaksanakan tugas. Defisit kognitif ini merupakan ciri khas akibat tipe
subkortikal. Apraxia, agnosia and aphasia jarang ditemukan pada INPH. Lebih 40%
pasien NPH mengalami Hyperinsomnia. Gangguan prilaku seperti depresi dan agitasi
2,4
dapat juga terjadi namun jarang.
Inkontinensia urin adalah gejala primer yang ketiga pada NPH. Masalah fungsi
kemih ini ditandai perasaan urgensi, dan dalam tahap lanjut pasien tidak mampu
menahan kencing. Gejala ini mungkin diakibatkan adanya keterlibatan serat saraf
corticospinal sacral. Stadium awal INPH, timbul frekuensi urin dan urgensi. Seiring
perjalanan penyakit, terjadi inkontinensia urin dan inkontinensia feses harus
diwaspadai. Masalah urologi dapat muncul tergantung tingkat keparahan penyakit
2,4,5
Perlu uji urodynamic dan demonstrasi bladder hyperactivity.
Lemahnya gaya berjalan dapat memperbesar masalah berkemih, seperti
inkontinesia, dimana saat semakin sulitnya bergerak sementara pasien harus
2
mendadak ke kamar mandi.
Akibat ventikulomegali menimbulkan trias gejala oleh karena adanya
penekanan atau peregangan nervus pada area-area otak. Dengan demikian,
menimbulkan tanda-tanda neurologis tidak normal. Gambar 1. menampilkan otak
2
dengan ukuran ventrikel normal dan dengan ventrikulomegali.
2.7 DIAGNOSTIK
Untuk menegakkan diagnosis INPH bukan perkara yang mudah. Penampakan klinis
pasien yang mirip penyakit degeneratif otak yang lain sering mengaburkan diagnosis.
Selama ini penegakan diagnosis didasarkan pada trias gejala yang menjadi ciri khas
Normal Pressure Hydrocephalus ditambah dengan pemeriksaan CT Scan atau MRI
serta pengukuran tekanan cairan otak. Tiga gejala klinis tersebut adalah gangguan
gaya berjalan, demensia, dan inkontinensia urin. Pemeriksaan Radiologi berupa CT
Scan atau MRI menunjukkan gambaran pembesaran ventrikel, tetapi pada
pengukuran tekanan cairan otak menunjukkan bahwa cairan otak mempunyai
tekanan yang normal yaitu sebesar 5-18 mmHg (70-245 mmH2O).
Terdapat variasi gambaran klinis, progressifitas dan keparahan gejala yang
signifikan, dan semua trias tersebut tidak selalu harus muncul untuk menegakkan
diagnosis INPH. Secara khusus, bagaimanapun, gaya berjalan dan kurangnya
keseimbangan muncul sebelum atau bersamaan dengan inkontinensia urin atau saat
onset munculnya demensia. Diagnosis lengkap INPH membutuhkan bukti anamnesis
4
gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan neuroimaging.
Anamnesis
Pasien datang dengan gangguan progressif yang bertahap. Sebagai catatan,
trias gejala klasiknya adalah gaya berjalan abnormal, inkontinensia urin, dan
demensia. Kekacauan gaya berjalan sebagai ciri utama dan perlu dipetimbangkan
adanya respon terhadap terapi. Gejala yang menonjol adalah keluhan gaya berjalan
menyerupai apraxia. Kelemahan nyata atau ataxia adalah tipe gejala yang tidak khas
1
pada NPH.
Gaya berjalan pasien NPH khas seperti bradikinetik, gaya berdiri dengan kedua
tungkai dibuka lebar, berjalan menyeret lantai dan terseok-seok. Gejala urinaria
dapat berupa frekuensi, urgensi, atau inkontinensia. Sedangkan inkontinensia dapat
1,6
terjadi sebagai akibat dari gangguan gaya berjalan dan demensia.
Demensia pada pasien NPH ditandai kehilangan memory yang mencolok dan
bradiprenia. Defisit frontal dan subcortikal adalah lafal yang utama. Selain itu, defisit
juga mencakup lupa, penurunan perhatian, inersia/kelembaman dan bradiprenia.
Kehadiran tanda kortikal seperti aphasia atau agnosia akan menimbulkan kecurigaan
untuk patologi alternative lainnya sepeti Alzheimer disease atau dementia vascular.
1
Bagaimanapun, patologi komorbid tidaklah berhubungan dengan umur.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, diperlukan tes
diagnostik selanjutnya untuk menegakkan diagnosis. Umumnya, uji laboratorium
tidak banyak membantu. Bagaimanapun, foto radiologis memegang peranan penting
1,4
menegakkan diagnostic NPH.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan peninjang yang dapat digunakan untuk diagnosis normal preasure
hydrocephalus dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Laboratorium
Hiponatermi dilaporkan pada pasien NPH karena tekanan pada hipotalamus
yang menggambarkan sindroma ketidaksesuaian sekresi hormon anti diuretik.
Ini bukanlah penemuan yang konsisten. Umumnya, uji laboratorium tidak
banyak membantu.
b. Radiologi
Pemeriksaan esensial untuk evaluasi pasien yang dicurigai INPH adalah
neuroimaging dengan CT atau MRI untuk menilai ukuran ventrikel. (gambar 1).
Walaupun tidak didapatkan tanda yang sesuai untuk diagnosis INPH pada
pemeriksaan neuroimaging, pelebaran ventrikel perlu untuk menegakkan
diagnosis INPH pada pasien yang mengalami gejala yang sesuai. Rasio frontal
horn (Evans' index), didefinisikan sebagai lebar ventrikel dari frontal horn
maximal dibagi diameter transversal tulang tengkorak diukur dari bagian dalam,
10
dikatakan ventrikulomegali jika nilainya 0,3 atau lebih. Gambaran radiologis
lain yang dapat ditemukan pada INPH termasuk: periventricular hyperintensities,
yang berhubungan karena terjadinya iskemia mikrovaskuler subkortikal (disebut
juga small-vessel disease), tetapi tidak mengeluarkan kemungkinan INPH,
peningkatan aliran cairan serebrospinal (CSF) secara cepat ke dalam aquaduktus;
akan menipiskan dan meninggikan atau elevasi corpus callosum pada gambaran
4
foto sagittal; dan tidak ada bukti adanya obstruksi aliran CSF.
Gambar 1. Neuroimaging dari 2 pasien dengan idiopathic normal pressure hydrocephalus. (A)
CT scan kepala menunjukkan ventrikulomegali tanpa disertai atrofi kortikal yang signifikan. (B)
MRI kepala menunjukkan ventrikulomegali dan adanya perubahan iskemik subkortikal. Kedua
pasien
idiopathic normal pressure hydrocephalus tersebut mengalami perbaikan gejala setelah
pemasangan shunt.
Computed tomography (CT) scans dan magnetic resonance imaging (MRI)
dapat digunakan untuk diagnosis NPH, Meskipun, tidak ada kriteria yang
dihandalkan untuk memastikan diagnosis dengan kedua modalitas tersebut. Beberapa
pasien berusia tua yang mengalami pembesaran ventrikel normal tidak selamanya
diakibatkan oleh NPH; jadi, ventrikel bisa saja melebar sebagai akibat adanya atrofi
otak atau penyusutan. Dalam kasus ini, pola dan tekanan aliran CSS akan normal.
Bagaimanapun pemeriksaan radiologis merupakan alur menegakkan diagnosis NPH
dengan memperhatikan Evans ratio (rasio antara frontal horns berbanding dengan
lebar tulang tengkorak yang diukur dari tepi bagian dalam calvaria). Demensia non-
NPH dengan ventrikulomegali biasanya berhubungan dengan meningkatnya Evans
ratio. Ahli radiologi akan memastikan adanya atrofi hipocampus atau adanya
2
peningkatan volume CSF.
MRI kepala adalah pemeriksaan penunjang yang dianjurkan untuk
menegakkan diagnosis NPH, khususnya T2-weighted images. CT scan kepala dapat
digunakan jika MRI tidak tersedia. Kedua teknik radiologis tersebut disesuaikan
1
dengan kebutuhan klinis.
Axial nonenhanced CT scan kepala pasien NPH pada level fossa cranial tengah. Pembesaran
bagian temporal pada ventrikel lateral yang tidak proporsional dibandingkan ukuran sulkus
1
normal. Factor progostik negative yang dikenal adalah adanya penyakit serebrovaskuler.
Axial T2-weighted MRI kepala pasien NPH. Tampak pembesaran system ventrikel khususnya
1
atrium ventrikel lateral (V) yang keluar dari ukuran sesuai dengan atrofi sulkus.
Keterbatasan teknik pemeriksaan CT scan dan MRI hanya untuk menilai
hidrosefalus dengan ventrikulosulcal yang tidak seimbang. Pengamatan ini termasuk
penilaian subjektif, dan pada pasien dengan pelebaran beberapa sulkus hanya
terdapat ventrikulomegaly minimal, dan pemeriksaan ini tidak sensitive atau tidak
1
spesifik.
Terdapat beberapa tes penunjang yang dapat meningkatkan diagnositik akurat
dan dan perlu dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai INPH. Tes tersebut
mencakup CSF tap test, external CSF drainage via spinal drainage, dan CSF outflow
resistance determination. Selain itu, beberapa teknik pemeriksaan radiologic lain
telah dicoba investigasi pada pasien INPH, termasuk single-photon emission CT,
PET, nuclear cisternography, dan CSF flow velocity. Penilaian diagnostik dengan
pemeriksaan tersebut tidak dianjurkan dan saat ini pemeriksaan penunjang demikian
4
tidak rutin dilakukan pada pasien INPH.
Cisternography, salah satu tes yang dilakukan untuk diagnosis NPH,
menghandalkan monitoring CT terhadap injeksi radionucleotides kedalam ruang
subarachnoid melalui spinal tap. Adanya refluks radionucleotides kedalam ventrikel
8
dipantau menggunakan CT secara berskala lebih 4 kali sehari. Pasien
NPH
memperlihatkan reabsorbsi CSF yang rendah, kondisi ini mengakibatkan zat warna
radionucleotide tidak akan diabsorbsi sempurna seperti yang terjadi pada pasien non-
NPH. Untuk mereka yang kemungkinan didiagnosis NPH, dapat pula dilakukan
lumbal punksi, pertama, dilakukan tes gaya berjalan yang direkam selama pasien
berjalan 50 langkah dan nantinya rekaman tersebut diputar ulang. Lalu, diaspirasi
CSF sekitar 30 ml, dan kemudian dievaluasi kembali gaya berjalan pasien. Setelah
lumbal punksi, akan menunjukkan perbaikan segera pada pasien yang benar-benar
menderita NPH, meskipun beberapa kasus, dibutuhkan beberapa hari untuk
terjadinya perbaikan. Dengan metode drainase lumbal secara kontineus,
diperbolehkan drainase CSF untuk setiap 2 hingga 3 hari sekali, dan harus dinilai
adanya perbaikan klinis secara periodik. Pemeriksaan ini dipercaya sebagai metode
2,8
yang lebih baik untuk memastikan diagnosis NPH.
Tap test CFS disebut juga large volume lumbal punksi, didapatkan volume
saat penarikan 40-50 ml CSF dari rata-rata lumbal punksi. Terjadi perbaikan gejala
setelah pembuangan CSF, kemungkinan menunjukkan respon yang baik terhadap
pemasangan shunt (nilai prediksi positif 73-100%).Tap test CSF memiliki
sensitivitas yang rendah (26-61%), bagaimanapun, dan tes negative tidak dapat
7
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis INPH. tekanan terbuka juga diukur.
Range tekanan terbuka INPH adalah 60-240 mmH2O, atau 4,4-17,6 mmHg.
Dokumentasi detail pemeriksaan klinis yang didapatkan oleh dokter atau tenaga
kesehatan professional lainnya sebelum dan sesudah penarikan CSF sangat
4
dianjurkan.
Penilaian respon klinis dari drainase CSF yang lama melalui kateter spinal
memiliki kombinasi sensitivitas yang tinggi (50-100%), spesifitas (60-100%) dan
nilai prediksi positif (80-100%). Metode ini memerlukan perawatan di rumah sakit
dan staf perawat yang terlatih berkompeten dalam managemen drainase CSF external.
dan memiliki risiko komplikasi tinggi (infeksi, iritasi serat saraf). Konsekuensinya,
cara ini hanya digunakan secara terbatas di center-center Amerika. Identifikasi
peningkatan abnormal resistensi aliran keluar CSF juga meningkatkan respon yang
baik terhadap pemasangan shunt dibandingkan dengan evaluasi klinis dan radiologis.
4
dan teknik ini lebih umum digunakan di Eropa daripada di Amerika.
Medis
Tidak ada bukti definitif untuk terapi farmakologis NPH yang memuaskan.
Meskipun levodopa/carbidopa pernah dilaporkan bermanfaat dalam laporan anekdot
(tidak memenuhi syarat ilmiah), tetapi kemungkinan pasien dengan NPH pada
laporan tersebut merupakan penderita Parkinsons yang salah didiagnosis dan
dimasukkan dalam kelompok penderita NPH. Saat ini, tidak ada bukti definitive
bahwa levodopa/cardidopa adalah terapi efektif untuk NPH. Namun demikian, Pada
pasien miskin yang direncanakan shunt, lumbal punksi secara berulang yang
1,11
dikombinasikan acetazolamide perlu dipertimbangkan.
Acetazolamide merupakan pilihan terapi farmakologis untuk NPH karena
Acetazolamide dapat mengurangi sekresi CSF. Walaupun beberapa laporan
merekomendasi penggunaan Acetazolamide sebagai terapi efektif pasien NPH,
2
namun tidak menunjukkan adanya perbaikan klinis sesuai harapan.
Pemberian levodopa mungkin bermanfaat pada penyakit Parkinson idiophatik.
Pasien dengan NPH tidak menunjukkan respon menggembirakan terhadap levodopa
1
atau agonis dopamine.
Bedah
Pengobatan NPH dilakukan melalui tindakan pembedahan untuk mengalihkan
kelebihan cairan serebrospinal (CSF). Usaha ini dilakukan dengan cara implant
shunt untuk drainase CSF dari system ventrikel intracranial atau dari runag
subarachnoid lumbalis menuju arah distal, seperti ke peritoneum, cavum pleura atau
system vena, dimana ditempat tersebut CSF dapat di reabsorbsi. Shunt yang umum
digunakan saat ini adalah ventriculoperitoneal (VP) dan ventriculoatrial (VA) shunt.
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan saat evaluasi pasien untuk pemasangan shunt,
termasuk risiko, rasio keuntungan prosedur, arah kateter proximal atau distal, katub
2,4
spesifik, dan komplikasi akibat shunt.
VP shunt dilakukan dengan menempatkan kateter ke dalam ventrikel dan
memasang sebuah katub dibawah SCALP. Kateter lain, menempus lapisan
subkutaneus, mulai dari katub hingga cavum peritoneum, disini CSF didrainase dan
2
siap untuk diabsorbsi (gambar 3).
Pemilihan tempat kateter proximal dan distal dan tipe katub tergantung
individu. Kateter proximal ditempatkan dalam ventrikel, walaupun ruang
subarachnoid lumbal dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah cedera
kepala yang ditakutkan memasukkan kateter ventrikel, sebagai contoh, seorang
pasien dengan riwayat trauma hemisfer kanan, yang dapat mengalami komplikasi
akibat memasukkan shunt kedalam hemisfer kiri akan menyebabkan trauma kepala
bilateral. Tempat kateter distal tergantung penilaian riwayat pembedahan dan
anatomi pasien. Sebagai contoh, riwayat bedah abdomen sebelumnya atau pernah
mengalami peritonitis dapat membuat cavum peritoal kurang sesuai untuk absorbsi
CSF. Dalam kondisi demikian, digunakan ventrikuloatrial shunt, pilihan ketiga
4
adalah dengan menempatkan kateter distal ke dalam cavum pleura.
Design katub bervariasi, termasuk differential pressure valves (DPVs), dan flow-
limiting valves. Untuk DPVs, shunt terbuka dan CSF mengalir saat ada perbedaan
tekanan melebihi nilai tekanan yang telah diatur pada katub tersebut. Katub ini dapat
dikelompokkan dalam katub bertekanan, rendah, medium, atau tekanan tinggi.
Dengan DPV, perubahan posisi tubuh dari posisi supine miring ke kanan dapat
menyebabkan drainase berlebihan dari CSF karena afek perpindahan gradient
tekanan hidrostatik. (contoh, jarak vertical antara ventrikel dan kateter distal) adalah
lebih besar dibandingkan tekanan untuk terbukanya DPV. Untuk menurunkan
drainase akibat pengaruh gaya grafitasi ini, dikembangkan alat anti-siphon. Flow-
limiting valves didesign untuk beroperasi lebih 'fisiologis' dengan pemeriharan
konstanta nilai aliran melebihi range perbedaan tekanan. Aliran melalui katub ini
diatur oleh peningkatan resistensi terhadap peningkatan tekanan intrakranial.
Menurut kondisi tingginya tekanan intracranial, bagaimanpun, katub ini beroperasi
dalam model nilai aliran yang tinggi. Sebelumnya, tidak ada bukti bahwa sebagian
design shunt atau bentuk produk memberi hasil yang lebih baik dari bentuk lain
untuk terapi INPH, dan pemilihan shunt biasanya tergantung pilihan ahli bedah
4
dengan mempertimbangkan faktor-faktor di lapangan saat pemasangan shunt.
Design katub shunt yang terbaru adalah mengembangkan katub yang dapat
disesuaikan (adjustable shunts) atau diprogramkan. Katub ini, yang didesign agar
memungkinkan suatu range tekanan diatur antara 20-200 mmH2O, tergantung model
dan pembuatannya, dapat disesuaikan transkutaneus dengan penggunaan
peralatan magnetik. Katub ini memberikan manfaat dalam hal managemen
INPH, karena antara kemungkinan drainase berlebihan atau kurangnya drainase
dapat diatur secara
noninvasive. (Gambar 4). Pembatasan penting pada shunt yang dapat disesuaikan
4
(adjustable shunts) mudah dikendalikan melalui bidang magnetic external.
Walaupun shunt CSF merupakan procedur bedah saraf langsung secara relative,
hal ini berhubungan dengan sejumlah kemungkinan komplikasi. Komplikasi tersebut
dibagi dalam 3 kelompok utama: pertama, komplikasi akibat prosedur operasi
(seperti: hematoma intraserebral, malposisi kateter, infeksi shunt); kedua, komplikasi
yang berhubungan dengan system shunt (seperti: malfungi katub, obstruksi kateter
proximal atau distal); dan ketiga, komplikasi yang dapat diakibatkan oleh
karakteristik aliran dari system shunt (seperti: nyeri kepala akibat overdrainage, atau
4
hematoma ataupun subdural hygroma).
Komplikasi yang paling sering terjadi setelah pemasangan shunt adalah
obstruksi. Pada INPH, kondisi ini secara klinis tampak rekuren atau berulangnya
gejala klasik INPH setelah periode sembuh, tetapi kondisi ini juga harus dicurigai
sebagai respon tidak menggembirakan pada pasien yang tidak memberikan perbaikan
setelah bedah pemasangan shunt. injeksi radionuclide tracer ke dalam reservoir shunt
4
dapat menyebabkan obstruksi aliran shunt baik parsial maupun total.
Insiden komplikasi shunt kira-kira 30-40% pasien. Hal ini termasuk komplikasi
anestesi, perdarahan intracranial dari tempat pemasangan kateter ventricular, infeksi,
nyeri kepala akibat hipotensi CSF, subdural hematom, oklusi shunt, dan kerusakan
shunt. Reduksi cepat ukuran ventrikel diikuti komplikasi seperti subdural hematoma,
yang bisa terjadi 2-17%. Penggunaan jenis katub dual-switch valves dan
1,12
programmable valves dapat mengurangi insiden komplikasi ini.
Berdasarkan list komplikasi dari INPH guideline terdapat komplikasi
malfungsi shunt (20%), subdural hematom (2-17%), kejang (3-11%), infeksi shunt
6
(3-6%) dan hematoma intracerebral (3%). Data terbaru kami dari 132 pasien INPH,
33% pasien harus diperbaiki shuntnya, 7% berkembang infeksi, 2% terjadi subdural
4
hematom, dan 1% terjadi hematoma intracerebral.
2.10 PROGNOSIS
Gejala NPH biasanya semakin buruk jika tidak mendapat terapi, walaupun beberapa
pasien dapat mengalami perbaikan sementara. Sedangkan tingkat kesuksesan terapi
dengan pemasangan shunt berbeda antara satu pasien dengan pasien lainnya.
Beberapa pasien sembuh sempurna setelah terapi dan kembali hidup normal seperti
biasa. Diagnosis dini dan terapi yang sempurna meningkatkan prognosis
3
kesembuhan.
Prognosis secara keseluruhan dari NPH menetap adalah buruk karena kurang
menunjukkan perbaikan pada pasien sekalipun sudah dilakukan pembedahan, hal ini
akibat komplikasi yang berat. Dalam studi Vanneste et al, studi komprehensif
menjelaskan pernyataan di atas, perbaikan hanya 21% pada pasien yang dilakukan
shunt. Angka komplikasi kira-kira 28% meninggal atau morbiditas residual berat
mencapai 7% pasien. Langkah yang perlu diperhatikan adalah pemilihan pasien yang
1
baik.
Nilai hasil perbaikan bervariasi setelah pemasangan shunt. Variasi ini dapat
dijelaskan karena sebahagian besar menggunakan kriteria dengan metode seleksi
pasien dan penilaian postoperatif berbeda, dan variasi pada periode follow up
lanjutan. Guideline INPH melaporkan angka perbaikan mencapai 30-96%. Sebuah
metaanalisis 2001 melaporkan bahwa 59% pasien mengalami perbaikan setelah
pemasangan shunt, dan 29% membutuhkan waktu yang lama untuk perbaikan.
Walaupun semua gejala dapat berubah setelah pemasangan shunt, gaya berjalan
adalah gejala yang paling baik mengalami kesembuhan. Kami mendapatkan 75%
pasien mengalami perbaikan salah satu gejala INPH, dan 46% mengalami perbaikan
untuk semua gejala setelah 18 bulan. Seluruhnya, terdapat 93% mengalami perbaikan
gaya berjalan, tetapi demensia dan inkontinensia urin hanya mengalami perbaikan
pada sebagian pasien. Waktu melakukan intervensi sangat penting: kebanyakan studi
melaporkan bahwa lamanya masa mengalami gejala INPH berhubungan dengan
4
rendahnya respon yang baik untuk pemasangan shunt.
Dari ketiga gejala klasik tersebut, buruknya kemampuan kognitif sangat
sedikit mengalami perbaikan setelah pengobatan. sekalipun nilai perbaikan yang
dilaporkan bervariasi. Kami dan ahli lainnya telah mengamati adanya perbaikan
kognitif yang signifikan pada lebih 50% pasien setelah pemasangan shunt. Hal ini
berbeda dengan hasil pengamatan pada pasien Alzheimer's disease, yang lebih sedikit
dari setengah pasien yang menunjukkan respon klinis yang baik terhadap terapi
4
antikolinesterase.
Karena tidak ada tes prognostic yang sesuai untuk tingkat sensitifitas 100%,
terdapat pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah pemasangan shunt. Jika
hasil CT scan menunjukkan tidak ada masalah yang membutuhkan intervensi bedah,
perlu dievaluasi indikasi yang jelas alasan pemasangan shunt. Jika shunt terjadi
obstruksi, shunt dapat diperbaiki. Jika shunt berfungsi adekuat dan pasien tidak
mengalami perbaikan klinis, mungkin saja pasien tidak hanya mempunyai masalah
NPH, atau, alternatifnya, pasien punya penyakit comorbid berat dimana terapi INPH
4
tidak dapat memperbaiki berbagai keluhan simtomatis pasien.
BAB III
PENUTUP