Anda di halaman 1dari 15

Nia Fitriyanti

081279171338

Skenario
Seorang perempuan berusia 22 tahun datang ke poliklinik RS dengan keluhan nyeri sendi sejak 1
tahun yang lalu. Nyeri dirasakan berpindah-pindah, namun paling sering di pergelangan di
pergelangan tangan dan kaki, os juga merasakan lesu, lemas, berat badan menurun 4 kg dalam 3
bulan terakhir. Keluhan tambahan : demam tinggi naik turun, menggigil (-), pilek (-), rambut
rontok (+), penderita merasa badan yang cepat lelah saat melakukan aktifitas. Os merasakan
silau dan kemerahan pada kulit jika terkena cahaya matahari. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan
bercak discoid pada sendi. Dari riwayat penyakit atau pengobatan di dasangkal. Riwayat
penyakit dalam keluarga: riwayat keluhan yang sama pada keluarga tidak ada.

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Sensorium: Compos mentis
Tekanan darah: 110/60 mmHg
Nadi: 72x/menit
Frekuensi napas: 20x/menit
Suhu: 36.5C
Berat Badan: 75 kg
Tinggi Badan: 160 cm

Keadaan Spesifik:
Kepala : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Rambut : di dapatkan alopecia (+)
Kulit : ptekiae (+), ekimosis (-), purpura (-)
Mulut : ulkus palatum (+)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Cor : Ictus cordis tidak terlihat, ictus cordis tidak teraba, batas jantung dalam batas
normal, BJI&II normal, mumur(-), gallop(-).
Pulmo : saat statis, simetris kanan dan kiri, saat dinamis simetris kanan dan kiri, stem
fremitus kanan sama dengan kiri, vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidsk teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, edema pretibia(-/-)

Status lokalis genu dextra et sinistra:


Look: deformitas (+/+), eritema (-/-), edema (+/+)
Feel: kalor (-/-), krepitasi (+/+), nyeri tekan (+/+)
Move: ROM terbatas

Hasil laboratorium:
HB : 7,1 g/dl
Eritrosit : 2,66 106 mm3
Leukosit : 3,4 106 mm3
Ht : 22 %
Trombosit : 155. 103/ul
Dc : 0/2/85/47/13

1. Diagnosis Kasus Diatas Adalah:


SLE
2. Etiologi Kasus Diatas Adalah:
autoimun
Referensi No.1:
American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research. Education.Atlanta:
Rheumatology :2012.

3. Jelaskan Patofisiologi/Patogenesis Kasus Diatas Adalah:


Referensi No.3:
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang
menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi lambat
laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat
terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling
banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA
double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat
autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk
kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi
komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada
kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor
genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter
komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan
jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat
multipel, kompleks dan interaktif.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada
penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,
kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik
dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai
perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis
mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang
bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya
antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi
trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula
sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen.
Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga
terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada
SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan
pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan. sistem retikuloendotelial.
Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada
permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di
daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal
glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan
karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-
stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada
perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol.
Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan
percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan
betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

Buku ajar ilmu penyakit dalam ed V tahun 2009

4. Bagaimana Mekanisme/Patofisiologi Terjadinya Keluhan Utama Kasus Diatas?


Keluhan utama berupa nyeri sendi.
Mekanisme : Manifestasi muskuloskeletal. Manifestasi yang satu ini merupakan
manifestasi yang paling sering mengungkap terjadi SLE pada pasien. Atralgia dan mialgia
merupakan gejala tersering. Keluhan ini sering kali dianggap mirip dengan artritis reumatoid dan
bisa disertai dengan faktor reumatoid positif. Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan
deformitas, durasi kejadian hanya beberapa menit. Keluhan pada pasien ini adalah berupa
inflamasi sendi, dijumpai pada 80-90% kasus SLE dengan keluhan nyeri sendi dan kekakuan
sendi. Pada kasus ini tidak ditemukan tanda-tanda inflamasi objektif, pasien hanya mengeluh
nyeri saat diam maupun digerakkan. Atralgia dan atritis sering ditemukan. Artritis jarang
menyebabkan deformitas.
Keluhan pada pasien ini disebabkan oleh gangguan sistem imun yang termasuk reaksi
hipersensitifitas tipe 3, antibodi akan berikatan dengan antigen yang beredar dalam sirkulasi,
membentuk kompleks antigen-antibodi, dan mengendap pada jaringan, pembuluh darah, dan
menimbulkan inflamasi seperti vaskulitis, nefritis, dan artritis, sehingga muncul gejala klinis
sesuai organ yang terkena. Deposit kompleks imun tersebut menyebabkan inflamasi dengan cara
menarik dan mengaktifkan leukosit. Pada pasien ini mengalami artritis.

Referensi No.4:
Buku ajar ilmu penyakit dalam ed V tahun 2009

5. Sebutkan Komplikasi Kasus Diatas (Dari yang terbanyak hingga terkecil):


kadriovaksular.
Nefritis
vaskulitis mesenterika
raynaud, livedo
Referensi No.5:
Buku ajar ilmu penyakit dalam ed V tahun 2009

6. Jelaskan Patofisiologi/Mekanisme Komplikasi Dapat Terjadi?


SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang
menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi lambat
laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat
terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling
banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA
double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat
autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk
kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi
komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada
kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor
genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter
komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan
jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat
multipel, kompleks dan interaktif.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada
penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,
kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik
dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai
perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis
mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang
bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya
antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi
trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula
sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen.
Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga
terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada
SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan
pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan. sistem retikuloendotelial.
Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada
permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di
daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal
glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan
karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-
stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada
perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol.
Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan
percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan
betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

7. Sebutkan Diagnosis Banding Kasus Diatas:


lupus nefritis
Sistemic Lupus Eritematosus (SLE)
Juvenil Rematoid Artritis

Referensi No.7:
PPK departemen penyakit dalam tahun 2014

8. Apa Saja Pemeriksaan Penunjang Untuk Dapat Menegakkan Kasus Diatas:


- Pemeriksaan laboratorium darah rutin
- Status besi ( SI, TIBC, ferritin)
- Pemeriksaan autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, dan lain-lain)
- Titer IgM, IgG, IgA
- Uji Coombs
- Biakan kuman, terutama dalam urin
- Foto rontgen dada

Referensi No.8:
PPK departemen penyakit dalam tahun 2014
9. Sebutkan Interpretasi Hasil Pemeriksaan Penunjang Yang Khas Untuk Kasus Diatas:
1. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau kualifikasi >+++
2. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau campuran
3. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
4. Leukopenia < 4000/uL
5. Limfopenia < 1500/uL
6. Trombositopenia< 100,000/uL
7. antiDNA meningkat
8. anti Sm meningkat
9. antibodi antifosfolipid: IgG IgM antikardiolipin meningkat, tes koagulasi
lupus (+) dengan metode standar, hasil (+) palsu dan dibuktikan
dengan pemeriksaan imobilisasi T.pallidum 6 bulan kemudian atau
fluoresensi absorsi antibodi
10. Titer ANA meningkat dari normal
Referensi No.9:
PPK departemen penyakit dalam tahun 2014

10. Sebutkan Pemeriksaan Fisik Khas Apa Saja Untuk Kasus Diatas Yang Mungkin Dapat
Ditemukan:

Rash Malar : Eritema, datar atau timbul di atas eminensia malar dan bisa
meluas ke lipatan nasolabial
Discoid Rash : Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik dan sumbatan
folikel. Pada SLE lanjut ditemukan parut atrofi
Fotosensitivitas : Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar matahari
Ulkus oral : Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri
Artritis : Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer dengan karakteristik efusi, nyeri,
dan bengkak.

Referensi No.10:
American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research. Education.
Atlanta:Rheumatology; 2012.
11. Jelaskan Bagaimana Patofisiologi/Mekanisme Terjadinya Pemeriksaan Fisik Khas Kasus
Diatas:
Keluhan pada pasien ini adalah berupa inflamasi sendi, dijumpai pada 80-90% kasus SLE
dengan keluhan nyeri sendi dan kekakuan sendi. Pada kasus ini tidak ditemukan tanda-tanda
inflamasi objektif, pasien hanya mengeluh nyeri saat diam maupun digerakkan. Atralgia dan
atritis sering ditemukan. Artritis jarang menyebabkan deformitas.
Keluhan pada pasien ini disebabkan oleh gangguan sistem imun yang termasuk reaksi
hipersensitifitas tipe 3, antibodi akan berikatan dengan antigen yang beredar dalam sirkulasi,
membentuk kompleks antigen-antibodi, dan mengendap pada jaringan, pembuluh darah, dan
menimbulkan inflamasi seperti vaskulitis, nefritis, dan artritis, sehingga muncul gejala klinis
sesuai organ yang terkena. Deposit kompleks imun tersebut menyebabkan inflamasi dengan cara
menarik dan mengaktifkan leukosit. Pada pasien ini mengalami artritis.
Manifestasi klinis pada kasus ini berupa manifestasi kulit, yaitu berupa ruam makulopapular
eritematosa, tidak gatal dan tidak nyeri, menyebar hingga tulang hidung, dagu, telinga, namun
lipatan nasolabial tidak terkena. Ruam ini dicetuskan oleh paparan sinar ultraviolet terhadap
kulit, menyebabkan kerusakan sel kulit, melepaskan material nukleus seperti DNA, sehingga
mengaktifkan antibodi anti-Ro/SSA, dan menyebabkan apoptosis epidermal keratinosit.
Referensi No.11:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. V tahun 2009 & PPK penyakit dalam tahun 2014

12. Sebutkan Apa Saja Anamnesis Klinis Yang Khas Untuk Kasus Diatas:
Rash Malar : Eritema, datar atau timbul di atas eminensia malar dan bisa
meluas ke lipatan nasolabial
Discoid Rash : Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik dan sumbatan
folikel. Pada SLE lanjut ditemukan parut atrofi
Fotosensitivitas : Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar matahari
Ulkus oral : Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri

Referensi No.12:
PPK penyakit dalam tahun 2014

13. Sebutkan Dan Jelaskan Apa Saja Yang Mungkin Dapat Menjadi Faktor Risiko Untuk Kasus
Diatas:
jenis kelamin (perempuan), herediter, stress( factor lingkungan)
Referensi No.13:
Buku ajar ilmu penyakit dalam ed V tahun 2009

14. Sebutkan Dan Jelaskan Faktor Pencetus Yang Dapat Menyebabkan Keadaan
Akut/Eksaserbasi/Flare Kasus Diatas:
Tidak ada
Referensi No.14:
Tidak ada

15. Sebutkan Kriteria Diagnosis Untuk Menegakkan Kasus Diatas:


Kriteria Kriteria Definisi
klasifikasi
SLE
No.
1. Ruam malar Eritema pada eminensia malar rata atau sedikit naik
dari permukaan kulit sekitar, lipatan nasolabial tidak
terkena
2. Ruam diskoid Bercak eritematosus timbul dengan lapisan keratotik
mengelupas atau folikuler; dapat timbul jaringan
parut atrofi
3. Fotosensitivitas Ruam di kulit setelah terpapar oleh cahaya matahari;
dari anamnesis atau observasi klinisi

4. Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaringeal, biasanya tidak nyeri


5. Arthritis Arthritis non erosif melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ciri khas nyeri tekan, bengkak, atau efusi
6. Serositis Pleuritisriwayat nyeri pleuritik yang meyakinkan
atau friksi pada auskultasi atau bukti adanya efusi
pleura atau
Perikarditisterdokumentasi pada elektrokardiografi
atau ekokardiografi atau friksi
7. Gangguan ginjal Proteinuria persisten lebih dari 0,5 g/hari atau (+++)
jika tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
Cellular castsbisa berupa sel darah merah,
hemoglobin, granular, tubular, atau campuran
8. Gangguan Kejang yang bukan disebabkan penggunaan obat
neurologik atau kelainan metabolik

9. Gangguan Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau


hematologik Leukopenia kurang dari 4000/mm3 pada dua atau
lebih pemeriksaan atau limfopenia kurang dari
1500/mm3 pada dua atau lebih pemeriksaan, atau
trombositopenia kurang dari 100.000/mm3

10. Gangguan Antibodi terhadap DNA natif atau


imunologik
Antibodi terhadap protein Sm, atau
Antibodi antifosfolipid baik antibodi
antikardiolipin, adanya antikoagulan lupus atau hasil
tes positif palsu untuk sifilis

11. Antibodi Adanya antibodi antinuklear dengan pemeriksaan


antinuklear
imunofluoresens atau yang sejenis

Referensi No.15:
Buku ajar ilmu penyakit dalam ed V tahun 2009

16. Bagaimana Prognosis Kasus Diatas:


Ad vitam: bonam
Ad sanationam: dubia ad malam
Ad fungsionam: dubia ad malam
Referensi No.16:
PPK penyakit dalam tahun 2009

17. Apakah Tatalaksana Awal Yang Dapat Dilakukan, Apabila Kasus Diatas Dialami Pada Fase
Akut/Eksaserbasi/Flare atau Bersifat Gawat/Darurat (sebutkan secara spesifik spt dosis, satuan,
dll):
Tidak ada
Referensi No.17:
Buku ajar ilmu penyakit dalam ed V tahun 2009

18. Bagaimanakah Tatalaksana Utama/Definitif Untuk Kasus Diatas (sebutkan secara spesifik spt
dosis, satuan, dll):
Prinsip tatalaksana SLE adalah remisi, menyelamatkan organ, menyelamatkan pasien,
mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup. Penyakit SLE adalah penyakit kronik
yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi
bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan.
Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit
multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas
sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang
optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga
diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.

1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun efek
samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik untuk nefritis
lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan pada anak, bahwa efek samping
kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat
menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. Pemberian awal
kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2/hari (maksimum
80 mg/hari) dan diturunkan secara bertahap, bila terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria,
fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis
berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10
mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps,
pemberian steroid dibah menjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari.Bila timbul relaps,
dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.

Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten intravena
disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral tulang.
Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake
kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid
pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti
tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi
pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang. Pada
beberapa anak, pota tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak
menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan
memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid
dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk
memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan.
2. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus derajat
sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa studi
menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit.
Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi
kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun
resiko ini dapar diminimalisasi dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari.
3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai profilaksis
episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid yang
tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan. Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan
untuk gejala dan tanda pada muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada
anak dengan terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis.
4. Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi dengan
kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin. Indikasi
pemakaian obat sitostatik adalah:
- Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk mengontrol penyakit

- Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya hipertensi

- Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi kortikosteroid dan
sitostatik.
Referensi No.18:
Buku ajar ilmu penyakit dalam ed V tahun 2009

19. Bagaimana Pencegahan Untuk Kasus Diatas?


1. Proteksi terhadap matahari
2. Imunisasi
3. Diet dan Olahraga
Referensi No.19:
Buku ajar ilmu penyakit dalam ed V tahun 2009

20. Buatlah Satu Pernyataan Yang Benar Berkaitan Kasus Diatas, TIDAK BOLEH
MENGULANG JAWABAN Yang Telah Anda Sebutkan Dari Isian Diatas:
Terapi nonfarmakologi lain yang dapat dilakukan pada pasien SLE adalah :
Hindari Stress
Selalu memakai pakaian panjang, pelindung body lation, kacamata saat berada di lingkungan
luar.
Referensi No.20:
Kuliah (IT) Osteoartritirs tahun 2014 oleh dr. Surya Darma, SpPD

SKDI Untuk Kasus Diatas:


III A

Anda mungkin juga menyukai