Anda di halaman 1dari 17

Journal Reading

Tanggal : 9 Februari 2015


Oleh : Lidya Christy Agustine Bonita
NIM : 030.10.161
Pembimbing : dr. Sri Primawati Indraswari, Sp. KK, MM

Diagnosis dan Pengobatan Reaksi Kusta di Layanan Terpadu Perspektif


Pasien di Nepal

Sonia F. Raffe, Min Thapa, Saraswoti Khadge, Khrisna Tamang, Deanna Hagge, Diana N.J.
Lockwood

PLoS Negl Trop Dis 7(3): e2089. doi:10.1371/journal.pntd.0002089

Dipublikasi pada tanggal 7 Maret 2013

Abstrak

Perawatan kusta telah terintegrasi dengan pelayan kesehatan perifer, jauh dari program
vertical. Ini mancakup diagnosis dan manajemen dari reaksi kusta, yang menjadi penyebab
tingkat kematian yang signifikan. Kami mensurvei pasien dengan reaksi kusta di dua rumah
sakit kusta di Nepal untuk menilai pengalaman mereka tentang manajemen reaksi kusta
terintegrasi untuk mengidentifikasi adanya perbedaan di tiap layanan.

Metode: pasien langsung maupun rujukan dengan reaksi kusta diwawancara di dua rumah
sakit kusta di Nepal. Kami juga mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif dari
pemeriksaan klinis dan tinjauan kasus untuk mendokumentasi perjalanan pasien

Hasil: Tujuh puluh lima pasien diwawancara. Dalam perkembangan symptom dari reaksi,
39% langsung mendatangi dokter spesialis, 23% ke dokter pribadi, 17% ke rumah sakit
daerah, 10% ke pengobatan tradisisonal, 7 % ke pos kesehatan, dan 4% ke tempat lainnya.
Mereka yang langsung mendatangi dokter spesialis 6,6 kali lebih dulu mendapat pengobatan
yang sesuai dibandingkan dengan mereka yang mendatangi tempat lainnya (95% CI: 3.01 to
14.45). Keterlambatan rata-rata antara onset dari symptom sampai dimulainya kortikosteroid
adalah 2,9 bulan (rentang 0-24 bulan). Hambatan dari kedatangan dan pengobatan dini ada

1
pada diagnosis, kurangnya pengetahuan pasien dan pandangan pasien akan kesehatan masih
dalam prioritas rendah. 40% menerima kortikosteroid selama lebih dari 12 bulan dan 72%
memerlukan rawat inap. Follow-up pengobatan dilakukan di lokasi-lokasi tersebut, mulai dari
pos kesehatan sampai dokter spesialis. Inkonsistensi dalam ketersediaan kortikosteroid
teridentifikasi dan 41% pasien yang diobati untuk kusta dan reaksi pada pasien rawat jalan
mendatangi beberapa tempat untuk pengobatan lanjut.

Kesimpulan: Studi ini menunjukkan bahwa layanan spesialis dibutuhkan dan terus
memberikan dukungan yang signifikan dalam pendekatan sistem kesehatan terpadu terhadap
diagnosis dan pengelolaan reaksi kusta.

2
Pendahuluan

Reaksi kusta memainkan peran penting dalam morbiditas yang terkait dengan
penyakit tersebut. Komplikasi imun tersebut, yang terlihat pada sampai dengan 50% dari
pasien [1], dapat menyebabkan kerusakan saraf yang cepat dan mengakibatkan anestesi dan
kelemahan, yang dapat meningkatkan risiko cedera dan deformitas [2]. Dua jenis reaksi yang
diakui: tipe 1 (T1R, juga dikenal sebagai reversal atau downgrade) dan tipe 2 (eritema
nodosum leprosum, ENL). Mereka dapat terjadi pada presentasi, selama pengobatan untuk
kusta dengan terapi multi-obat (MDT) dan sesekali setelah selesai pengobatan MDT [3].

Reaksi tipe 1, disebabkan oleh peningkatan imunitas seluler, menyebabkan


peradangan kulit atau saraf di tempat infeksi Mycobacterium leprae. Lesi kulit menjadi lebih
lembut, eritematosa, dan edema, sedangkan keterlibatan saraf menimbulkan rasa sakit,
parestesia atau penurunan mendadak dalam fungsi [4,5]. Pengobatan yang cepat dan tepat
sangat penting untuk mencegah defisit neurologis permanen dengan tingkat pemulihan dari
60-70% pada yang diidentifikasi dan diobati dalam waktu enam bulan dari onset [3].

Reaksi tipe 2 (ENL) adalah imunitas kompleks [1]. Gejalanya beragam dengan
karakteristik nyeri, nodul subkutan eritematosa yang terjadi dengan gejala sistemik termasuk
demam, limfadenitis, arthritis, neuritis, iridosiklitis atau orkitis [5]. ENL dapat menjadi kronis
atau berulang dan merupakan penyebab penting dari neuropati dan risiko cacat [6].

Kedua reaksi tipe 1 dan ENL memerlukan pengobatan dengan kortikosteroid, selain
pengobatan untuk infeksi Mycobacterium leprae yang mendasari. Sementara pengobatan
standar yang efektif telah ada utnuk infeksi kusta (MDT), pengobatan reaksi menantang.
Rejimen pengobatan standar telah diusulkan tetapi didukung oleh sedikit bukti karena dosis
yang tepat dan durasi pengobatan masih belum jelas [7,8]. Pengobatan dirumitkan oleh
kekambuhan reaksi sering terlihat di kedua jenis reaksi, dan kasus kronis terlihat pada sampai
dengan 62,5% pasien ENL [6,9].

3
Ringkasan penulis

Strategi global untuk kusta telah memindahkan perawatan pasien ke pelayanan


kesehatan umum dengan tujuan untuk meningkatkan akses pengobatan. Kami menduga
bahwa penderita kusta dengan komplikasi umum, reaksi kusta, tidak terdiagnosa dan diobati
segera dalam layanan terpadu. Reaksi kusta menyebabkan kerusakan saraf dan, jika tidak
diobati segera, dapat menyebabkan kecacatan yang signifikan. Kami mewawancarai 75
pasien dengan reaksi kusta di Nepal, sebuah negara dengan layanan kusta terintegrasi. Pasien
mengalami penundaan rata-rata 2,9 bulan antara perkembangan reaksi kusta dan dimulainya
pengobatan. Banyak juga yang membutuhkan pengobatan yang diperpanjang, rawat inap atau
mengalami kekambuhan. Pasien juga terus mendatangi layanan spesialis untuk diagnosis dan
tindak lanjut. Perawatan pasien dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan pengetahuan
spesialistik untuk pelatihan dan pengelolaan kasus yang kompleks. Petugas kesehatan dan
pasien harus diedukasi tentang reaksi kusta. Implikasi yang lebih luas dari penelitian ini
adalah bahwa para pembuat kebijakan kesehatan perlu berhati-hati tidak untuk terlalu
menyederhanakan kondisi medis saat memberikan pelayanan.

Di Nepal, layanan kusta telah terintegrasi ke dalam pengaturan perifer, jauh dari
program vertikal. Langkah ini, sebagai bagian dari strategi global untuk kusta, dibuat untuk
meningkatkan diagnosis dini dan pengobatan serta mengurangi stigma dengan menormalisasi
pengobatan kusta bersama penyakit kronis lainnya [10]. Populasi pedesaan di Nepal bisa
mendapatkan keuntungan dari jarak dekat dengan jasa kesehatan. Hanya 43% tinggal dalam
jarak 2 km dari jalan dan hanya 6% yang memiliki kendaraan bermotor [11]. Sejak tahun
1996 layanan kusta telah tersedia di pos kesehatan dan rumah sakit perifer di seluruh 75
kabupaten Nepal [12]. Termasuk dalam tugas unit kesehatan perifer adalah penemuan reaksi
kusta, pengobatan reaksi ringan dan rujukan dari reaksi parah ke tingkat perawatan yang lebih
tinggi yang mungkin rumah sakit kabupaten atau layanan spesialis kusta [13].

Namun, pengalaman kami di rumah sakit rujukan di mana pasien sering mengalami
keterlambatan dalam diagnosis reaksi kusta menunjukkan bahwa reaksi kusta belum disadari
dan dikelola dengan baik. Penelitian ini menguji hipotesis ini dan mendokumentasikan
pengalaman pasien dalam perkembangan reaksi kusta di Nepal, negara dengan pelayanan
kesehatan formal terintegrasi. Data dikumpulkan dengan wawancara terhadap pasien yang
baru terdiagnosis dengan reaksi kusta tentang detil perjalanan pasien melalui pelayanan
kesehatan mulai dari perkembangan gejala, sampai diagnosis, pengobatan dan tindak lanjut.

4
Dengan mendokumentasikan perjalanan ini kami bertujuan untuk menggambarkan
keterlambatan yang dialami oleh pasien, hambatan yang mencegah inisiasi pengobatan dan
pengalaman mereka selama pengobatan. Kami bertujuan untuk mengidentifikasi kesenjangan
dalam pelayanan saat ini untuk membantu memperkuat layanan di masa depan untuk
memastikan manajemen yang efektif dalam reaksi kusta.

Metode

Persetujuan Etik

Persetujuan etika untuk studi ini diperoleh dari Dewan Kesehatan dan Riset Nepal dan
dari Komite Etis The London School of Hygiene and Tropical Medicine. Direktur medis pada
setiap lokasi penelitian juga memberikan izin untuk mengakses pasien. Pasien diberikan
informasi tertulis dan lisan tentang studi melalui seorang penerjemah yang berpengalaman
dalam menangani penderita kusta dalam bahasa setempat (Nepal atau Maithali). Peserta dapat
mengajukan pertanyaan dan diberitahu bahwa mereka dapat mundur, tanpa konsekuensi,
setiap saat. Persetujuan tertulis yang disertai saksi telah diperoleh dari semua peserta.

Pemilihan pasien

Pasien diperoleh dari dua rumah sakit spesialis kusta di Nepal dan klinik satelit
mereka: Rumah Sakit Anandaban, rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Central Nepal,
dan Rumah Sakit Lalgadh, di Terai (dataran selatan), dekat perbatasan India.

Pasien direkrut untuk penelitian lebih dari dua minggu di setiap lokasi. Pasien yang
datang ke klinik atau rawat inap dengan reaksi yang terjadinya dalam lima tahun terakhir
dihampiri untuk pendaftaran. Pasien yang memenuhi syarat untuk mengambil bagian dalam
studi jika berusia 16 tahun atau lebih dan telah didiagnosis dengan reaksi kusta oleh seorang
pekerja kesehatan. Untuk mengurangi bias semua pasien yang memenuhi syarat dihampiri.
Karena desain ini maka ukuran sampel tidak ditentukan sebelumnya.

5
Pengumpulan data

Data kuantitatif dan kualitatif dikumpulkan saat wawancara pasien, melalui tinjauan
catatan kasus (jika tersedia) dan dengan pemeriksaan klinis secara singkat. Wawancara semi-
terstruktur berdasarkan kuesioner yang dirancang oleh penulis dengan dukungan dari staf di
Rumah Sakit Anandaban. Selain itu, grafik teks bebas juga digunakan untuk mengumpulkan
data kualitatif mengenai perjalanan pasien dari gejala pertama sampai sesuai pengobatan.
Delapan belas bulan kemudian staf lokal mengumpulkan data tambahan mengenai
pengobatan dan durasi reaksi dari catatan kasus.

Analisis data

Setelah dikumpulkan, data diungkapkan dan disimpan dalam database Microsoft


Access terenkripsi. Epi Info versi 3.5.1 digunakan untuk analisis. Statistik deskriptif
digunakan untuk menyajikan sebagian besar hasil dengan uji Chi-square yang digunakan
untuk membandingkan durasi perjalanan mereka yang mendatangi layanan spesialis dengan
mereka yang mendatangi tempat lain. Pasien dikategorikan dari jenis reaksi (T1R, neuritis
atau ENL) berdasarkan diagnosis yang didokumentasikan dalam catatan kasus. Untuk
memberikan detail pada sifat dasar dan keparahan episode reaksi, mereka lebih dikategorikan
lagi ke akut tunggal, ganda atau episode kronis akut berdasarkan definisi yang dijelaskan oleh
Pocaterra et al [9].

Data kualitatif dianalisis sebagai proses yang berkelanjutan, dimulai pada tahap
pengumpulan data. Metode ini, dijelaskan dalam literatur sebagai analisis berurutan atau
sementara, memungkinkan untuk awal identifikasi yang kemudian dieksplorasi dengan
peserta untuk mengidentifikasi pengalaman atau sikap [14].

Hasil

Detail pasien

Tujuh puluh delapan pasien reaksi diidentifikasi dan 75 mengambil bagian dalam
penelitian ini. Tiga dieksklusi; satu karena masalah ingatan dan dua karena penerjemah tidak
tersedia untuk dialek mereka di saat perekrutan.

6
Lima puluh tujuh (78%) dari mereka yang diwawancarai adalah laki-laki. Usia yang
merata dalam kisaran 16-78 tahun, dengan usia rata-rata 40 tahun. 93% tinggal di sebuah desa
atau pedesaan. 55% tidak pernah sekolah dan 49% adalah petani (gambar 1). Peserta berasal
dari 27 kabupaten yang berbeda dari Nepal, termasuk 11 kabupaten di luar daerah tangkapan
langsung yang dilayani oleh dua rumah sakit (data tidak ditampilkan).

Pasien telah didiagnosis dengan penyakit kusta antara Agustus 2005 dan Juli 2010.
Enam puluh lima (86%) dari peserta bertipe multibasiler dan 10 (14%) bertipe pausibasiler.
Empat puluh sembilan pasien (65%) pertama kali didiagnosis kusta di layanan spesialis, 15 di
kabupaten atau rumah sakit umum, empat oleh dokter pribadi, lima di pos kesehatan dan dua
di lokasi lain.

Dari pasien yang diwawancarai, 38 (51%) adalah pasien rawat inap yang menerima
pengobatan reaksi, sementara 19 (25%) mendatangi layanan spesialis lebih dari sekali per
bulan, 11 (15%) bulanan dan empat (5%) kurang dari sekali dalam sebulan. Pada saat
wawancara, tiga dari pasien yang baru didiagnosis dengan frekuensi follow-up belum
didapatkan.

Gambar 1. Usia, jenis kelamin, dan status pendidikan pasien

Detail reaksi

Banyak pasien (55%) pertama kali datang dengan reaksi dan tidak terdiagnosis kusta
sebelumnya (gambar 2). Dua puluh empat pasien sedang dalam pengobatan MDT pada saat
diagnosis reaksi dan enam pasien telah menyelesaikan pengobatan MDT.

7
Empat puluh dua pasien memiliki T1R (termasuk delapan pasien neuritis murni), 32
ENL dan satu pasien didokumentasikan sebagai memiliki baik T1R dan ENL secara
bersamaan (gambar 2). Perubahan lesi kulit merupakan gejala umum pada T1R dan
perkembangan nodul yang nyeri adalah gejala yang paling sering dilaporkan di ENL, diikuti
oleh nyeri sendi atau wajah (tabel 1). Pada saat wawancara, 37% (28) memiliki beberapa
bukti neuropati dengan tes kekuatan otot motorik dan tes sensorik: 35% dari T1R (12/34),
35% ENL (11/31) dan 62,5% dari pasien neuritis.

Gambar 2. Hubungan waktu diagnosis reaksi dan multi-drug therapy.

Setelah perkembangan reaksi kusta, pasien yang mendatangi beberapa layanan. Dua
puluh sembilan mendatangi langsung ke dokter spesialis (termasuk tiga yang saat ini pasien
rawat inap), 17 mendatangi dokter pribadi, 13 ke rumah sakit kabupaten atau rumah sakit
umum, delapan ke pengobatan tradisional, lima ke pos kesehatan, satu ke toko obat dan dua
ke lokasi lain (gambar 3).

Pasien memperkirakan waktu yang mereka habiskan untuk perjalanan pergi


berkonsultasi dengan layanan-layanan tersebut untuk nasihat awal. Kebanyakan pasien
pertama mencari perawatan medis untuk gejala reaksi mereka di suatu tempat dalam satu jam
(51%) atau dalam satu hari perjalanan dari rumah mereka (43%), yang secara kontekstual
dalam kisaran normal perjalanan di Nepal. Hanya 4% bepergian lebih dari satu hari. Dua
(3%) sudah merupakan pasien rawat inap karena alasan lain ketika reaksi mereka
berkembang. Kebanyakan pasien (56%) melakukan perjalanan dengan bus ketika pada
awalnya mencari nasihat.

8
Pengalaman dengan layanan terpadu

Sementara 29 (39%) dari pasien yang diwawancarai awalnya mencari pengobatan dari
perawatan khusus kusta, 46 (61%) dari pasien mengakses layanan kesehatan terpadu sebelum
mendatangi layanan khusus kusta. Kelompok ini mengakses rata-rata dua fasilitas (kisaran 1-
4) sebelum mendekati layanan khusus. Pasien tidak konsisten melaporkan berapa kali mereka
mengakses setiap situs, meskipun banyak yang menyebutkan lebih dari sekali. Beberapa kali
dalam perjalanan mereka, pasien-pasien ini mencari perawatan reaksi dalam satu atau lebih
dari layanan kesehatan berikut: rumah sakit daerah atau rumah sakit umum (23, 54%), dokter
pribadi (21, 49%), pengobatan tradisional (9, 23%), pos kesehatan (5, 12%) dan lainnya (3,
7%).

Dua puluh delapan (65%) dari mereka yang awalnya mendatangi layanan perifer
melaporkan setidaknya satu misdiagnosis arthritis, fotosensitivitas, penyakit saraf atau
penyakit kulit lainnya dengan beberapa menerima perawatan termasuk obat tradisional, obat
penghilang rasa sakit, vitamin atau methotrexate.

Dari 46 pasien awalnya mencari nasihat dari layanan terpadu, 21 (46%) baik pada
awalnya atau akhirnya menjumpai profesional kesehatan terpadu yang dengan tepat
mendiagnosis kusta dan / atau reaksi dan memulai pengobatan yang tepat atau merujuk ke
layanan spesialis.

Kedatangan ke layanan spesialis

Dari 29 pasien yang datang langsung ke layanan spesialis (tidak termasuk tiga yang
pasien rawat inap pada saat reaksi), 17% melakukannya atas inisiatif sendiri, 34% atas saran
dari pasien kusta lain dan 28% atas saran dari keluarga atau teman. Delapan belas pasien
dalam kelompok ini tidak memiliki diagnosis kusta sebelumnya dan karenanya tidak
diketahui oleh layanan. Lebih banyak pasien yang bepergian selama lebih dari satu jam untuk
mendatangi layanan spesialis daripada mereka yang mencari saran pada layanan perifer (p <
0,001).

9
Karena sifat dari sampel, semua pasien akhirnya menerima perawatan di salah satu
layanan spesialis kusta. Lebih dari setengah (56%) mendatangi atas inisiatif sendiri atau
mengikuti saran dari seorang teman, keluarga atau mantan pasien. 19% dirujuk dari rumah
sakit daerah atau rumah sakit umum, 10% oleh dokter pribadi, 7% dari yang lain atau sumber
yang tidak diketahui, 5% dari pos kesehatan dan 3% dari pengobatan tradisional (gambar 4).

Tabel 1. Gejala yang dilaporkan oleh pasien dengan reaksi kusta

Pengobatan reaksi

Saat kedatangan awal 31 pasien mulai pengobatan dengan steroid. Dari 29 pasien
yang datang langsung ke layanan spesialis, 25 (86%) menerima steroid. Dari 18 pasien yang
datang ke fasilitas pemerintah (pos kesehatan atau rumah sakit daerah / rumah sakit umum)
lima (28%) menerima steroid. Satu pasien diberikan steroid dari lokasi yang tidak diketahui.
Secara keseluruhan, pasien datang kepada layanan spesialis 6,6 kali lebih mungkin dimulai
pengobatan steroid daripada mereka yang mencari bantuan di tempat lain RR 6,6 (95% CI:
3,01-14,45).

Sembilan pasien yang terlihat dalam layanan perifer segera dirujuk ke layanan
spesialis di kedatangan pertama. Enam puluh lima (87%) tidak menerima steroid sampai tiba
di layanan spesialis. Sekali kedatangan pada layanan spesialis, 69 (92%) langsung menerima
steroid hari itu juga.

Rincian mengenai durasi pengobatan tersedia untuk 67 pasien. Sembilan pasien


berhasil diobati dengan 12 minggu steroid dan 14 pasien (34% total) menjawab dalam 20
minggu. Hanya dua pasien ENL yang berhasil dikelola dalam 20 minggu. Ketika
dikategorikan oleh durasi dan kambuhnya gejala, 67,7% dari mereka dengan T1R memiliki
episode akut sedangkan 61,3% dari reaksi ENL adalah episode kronis, yang berlangsung

10
lebih dari enam bulan (gambar 5). Lima puluh empat (72%) dari pasien memerlukan rawat
inap dengan median durasi 35,5 hari (25 persentil: 14 hari, 75 persentil: 105 hari).

Gambar 3. Jumlah pasien yang pada awalnya mendatangi tiap layanan

Keterlambatan datang ke pelayanan

Keterlambatan terlihat antara onset gejala dan pengobatan pada mereka yang
mendatangi layanan spesialis (rata-rata 12 bulan, kisaran 0-24 bulan) dan layanan terpadu
(rata-rata 2,9 bulan, kisaran 0-12 bulan), dengan banyak keterlambatan terjadi sebelum
kedatangan. Hambatan untuk kedatangan lebih awal dengan gejala reaksi termasuk
kurangnya kesadaran akan komplikasi kusta dan mengenai kesehatan sebagai prioritas rendah
bila dibandingkan dengan mencari penghasilan. Sebelum memiliki reaksi kusta hanya empat
pasien yang melaporkan telah mengetahui sebelumnya tentang reaksi kusta, dua diantaranya
tahu karena tinggal rawat inap di rumah sakit spesialis kusta.

Peserta 55, laki-laki 32 tahun dari Nepal Tenggara telah menyadari perubahan kulit
dan kesemutan di tangan kanannya selama dua bulan sebelum ia mendatangi Rumah Sakit
Lalgadh untuk mencari nasihat. Ketika ditanya mengapa ia telah menunggu begitu lama
untuk mengakses layanan kesehatan ia menjelaskan bahwa ia tidak dapat datang lebih awal
karena penting baginya untuk menyelesaikan menanam padi di ladang, dan kesehatannya
adalah prioritas lebih rendah dibandingkan memberi makan keluarganya.

11
Delapan (12%) dari total pasien berkonsultasi dengan pengobatan tradisional dengan
kisaran 1-50 kali sebelum mencari perawatan di tempat lain. Enam menerima terapi ritual,
satu tidak menerima pengobatan dan satu pasien disarankan untuk menghadiri layanan
spesialis kusta.

Peserta 50, laki-laki 23 tahun, awalnya melihat kelainan kulit dengan sensasi tidak
normal, tetapi hanya mencari bantuan ketika muncul nodul, yang kemudian didiagnosis
sebagai ENL, muncul beberapa minggu kemudian. Karena kepercayaan tradisional ia
mendatangi dukun setempat yang mengatakan bahwa dia terkena cacar air dan
mengobatinya dengan pasta tanah liat. Tiga bulan kemudian ketika nodul menetap, ia
mendatangi sebuah rumah sakit spesialis kusta atas saran dari penderita kusta lain dari
desanya.

Gambar 4. Sumber rujukan ke layanan spesialis kusta

12
Gambar 5. Frekuensi reaksi berdasarkan tipe episode

Kelanjutan perawatan

Tiga puluh lima pasien (47%) menerima sebagian besar MDT mereka dari layanan
spesialis, 17 sebagai pasien rawat inap dan 18 pasien rawat jalan. Dua puluh tiga pasien
(31%) menerima sebagian dari MDT mereka dari pos kesehatan, 13 (17%) dari rumah sakit
daerah atau rumah sakit umum dan dua (3%) dari lokasi lain. Dua pasien didiagnosis kusta
pada hari mereka diwawancarai sehingga tidak memiliki informasi follow-up pada saat
wawancara.

Peserta 70, seorang petani 58 tahun didiagnosa menderita kusta dan reaksi kusta tipe
1 pada awal tahun ini. Dia menjelaskan bahwa selama ia bisa memperoleh MDT-nya di pos
kesehatan di desa, ia harus melakukan perjalanan kembali ke rumah sakit kusta dua kali
sebulan untuk memperoleh steroid, membutuhkan satu hari penuh setiap kali perjalanan.
Ketika ditanya mengapa ia harus pergi ke dua lokasi yang berbeda untuk follow-up dia
mengatakan ia tidak tahu.

Tiga puluh tiga pasien (44%) menerima sebagian besar dari pengobatan reaksi sebagai
pasien rawat jalan; 25 (76%) pada layanan spesialis, tujuh (21%) di rumah sakit daerah atau
rumah sakit umum dan satu (3%) pos kesehatan setempat. Tiga puluh satu pasien (41%)
memakai MDT dan steroid bersamaan, secara dominan rawat jalan. Dua puluh tujuh pasien
(87%) tidak mengalami kesulitan dalam menerima obat reaksi, sementara empat (13%)
melaporkan kesulitan terkait hal untuk bepergian atau beban biaya. Dari pasien yang diobati
secara rawat jalan, 18 pasien (58%) mampu mengakses MDT dan steroid dari lokasi yang
sama, tetapi 13 (42%) mendatangi dua lokasi yang berbeda; satu untuk MDT, kedua untuk
steroid. Dengan kedua MDT dan steroid tersedia dari layanan spesialis, tidak jelas mengapa
pasien memilih untuk ini.

13
Diskusi

Data kami menunjukkan bahwa di Nepal, pasien dengan reaksi kusta mengalami
keterlambatan yang signifikan dalam mengakses pengobatan reaksi. Sementara keterlambatan
rata-rata adalah 2,9 bulan, pasien dengan gejala tidak terobati sampai dua tahun, sering
karena mereka gagal mencari bantuan awal. Bahkan setelah kedatangan ke layanan
kesehatan, banyak pasien dengan reaksi yang tidak didiagnosis atau diobati dengan benar.
Sebagian besar pasien yang diwawancarai (59%) yang awalnya datang ke layanan terpadu
tidak memulai pengobatan di konsultasi pertama mereka. Sebaliknya, sebagian besar yang
datang ke layanan spesialis (86%) langsung dimulai pada steroid pada awal konsultasi.
Temuan ini menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang reaksi kusta di antara pasien,
masyarakat dan pekerja kesehatan yang harus ditangani untuk mengurangi keterlambatan
pengobatan dan konsekuensi kecacatan.

Reaksi kusta dapat menjadi parah, berulang atau kronis. 87% dari pasien kami tidak
memiliki respon yang memuaskan untuk 12 minggu standar pengobatan steroid. Dan 61%
dari mereka dengan ENL memiliki reaksi kronis, tingkat yang sama dengan yang dilaporkan
di India, penelitian kohort dari 481 pasien rawat jalan kusta [9] dan pengobatan rawat inap
dibutuhkan oleh 72%. Mereka yang merawat pasien dengan reaksi kusta harus mampu
memantau respon pengobatan dan memiliki rencana yang jelas bagi mereka dengan penyakit
yang kompleks atau non-responsif.

Steroid tidak selalu tersedia di layanan perifer. Dari 31 pasien rawat jalan yang
menerima pengobatan untuk kusta dan reaksi secara bersamaan, 42% menghadiri lokasi yang
berbeda untuk mengakses steroid dari yang mengawasi MDT mereka. Data dari RCT yang
membandingkan steroid dengan placebo menunjukkan bahwa steroid bisa digunakan secara
aman dalam lapangan dengan peningkatan hanya sedikit efek samping (RR 1.6) [15]. Karena
pemulihan saraf tergantung pada pengobatan yang tepat, kekhawatiran mengenai penggunaan
steroid yang tidak tepat seimbang terhadap risiko kecacatan. Sebuah sistem integrasi parsial,
yang akan menimbulkan ketidaknyamanan pasien dan mengancam kepatuhan pengobatan,
harus dihindari.

Pasien terus mendatangi layanan spesialis. Meskipun ada layanan diagnostik dan
pengobatan, 65% dari mereka yang diwawancarai didiagnosis oleh layanan spesialis kusta.
Pada perkembangan gejala reaksi, 38% langsung mendatangi layanan spesialis termasuk 18

14
pasien yang sebelumnya tidak diketahui. Kedatangan lanjutan ke layanan spesialis telah
diamati di negara-negara lain. Evaluasi pelayanan kusta pasca-integrasi Sri Lanka
menemukan bahwa sementara layanan spesialis mendiagnosis lebih sedikit kasus kusta,
pasien memilih untuk mendatangi lembaga yang digolongkan sebagai perawatan sekunder
atau tersier meskipun tersedia layanan perifer [16]. Biaya mungkin memainkan peran karena
layanan spesialis bebas biaya sementara beberapa layanan perifer mengenakan biaya
konsultasi. Pasien juga mungkin merasa dapat menhindari stigma dalam layanan spesialis.
Sebuah studi kualitatif pasca-integrasi pelayanan kusta di Orissa, sebuah negara bagian India,
mengidentifikasi masalah dengan perilaku stigma oleh staf kesehatan terhadap pasien kusta
[17]. Penelitian lebih jauh untuk memastikan faktor yang mempengaruhi pilihan pasien di
Nepal akan memberikan informasi yang berguna untuk membantu mengurangi hambatan dan
mendorong penggunaan layanan perifer.

Pasien seringkali sudah muncul gejala selama berbulan-bulan sebelum kedatangan.


Pendidikan pasien dan masyarakat mengenai keterlibatan jangka panjang dari mengabaikan
gejala harus ditingkatkan. Karena 40% dari mereka yang diwawancarai adalah yang telah
diketahui penderita kusta, keperluan meningkatkan pendidikan pada saat diagnosis dan tindak
lanjut harus diketahui. Metode tidak tergantung pada keaksaraan seperti radio, dan program
berbasis masyarakat harus diprioritaskan.

Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah bahwa kami mewawancarai pasien yang
sudah menggunakan layanan spesialis. Ini adalah keputusan pragmatis yang dibuat sehingga
kami bisa mengidentifikasi dan mewawancarai cukup pasien dalam kerangka waktu kami.
Bagaimanapun pasien-pasien ini cenderung memiliki reaksi yang lebih parah. Kami tidak
tahu berapa banyak pasien yang berhasil dikelola dalam pengaturan perifer. Namun, 65% dari
sampel kami yang merujuk sendiri, menyiratkan bahwa ada berbagai keparahan gejala. Data
pada kedua kelompok pasien; mereka yang dikelola sepenuhnya dalam pengaturan perifer
dan non pengguna, akan diperlukan untuk secara resmi mengevaluasi pelayanan terpadu.

Studi ini menunjukkan bahwa kompleksitas dan tingkat keparahan reaksi kusta
mungkin belum sepenuhnya disadari selama proses integrasi. Dengan 93% dari pasien yang
tinggal di pedesaan, argumen untuk meningkatkan akses melalui integrasi dengan layanan
perifer dibutuhkan. Namun, pekerja perifer harus didukung dalam peran mereka jika
diperluas. Keahlian mereka yang bekerja di layanan spesialis harus digunakan untuk
konsultasi dan pelatihan untuk membantu pekerja perifer untuk mengenali dan mengobati

15
reaksi lebih awal dan untuk memantau respon pengobatan yang memadai. Harus ada alur
rujukan yang jelas untuk memastikan bahwa mereka yang tidak berespon terhadap
pengobatan atau dengan reaksi yang kompleks mampu mengakses masukan spesialis dengan
tepat waktu. Sama, untuk mengalokasikan sumber daya dengan efektif dan meningkatkan
akses terhadap pengobatan, alur rujukan kembali ke layanan perifer bagi mereka dengan
reaksi sederhana harus dioptimalkan. Pembuat kebijakan kesehatan, tidak hanya di bidang
kusta, perlu berhati-hati ketika memberikan layanan kesehatan untuk memastikan semua
kebutuhan kesehatan terpenuhi.

Referensi

1. Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, et al. (2006) The
Continuing Challenges of Leprosy. Clin Microbiol Rev 19: 338381.
doi:10.1128/CMR.19.2.338-381.2006.

2. Saunderson P (2002) How to Recognise and Manage Leprosy Reactions. International


Federation of Anti-Leprosy Associations. 52 pp.

3. Britton WJ, Lockwood DNJ (2004) Leprosy. Lancet 363: 12091219. doi:10.1016/S0140-
6736(04)15952-7.

4. Kahawita IP, Walker SL, Lockwood DNJ (2008) Leprosy type 1 reactions and erythema
nodosum leprosum. Anais Brasileiros de Dermatologia 83: 7582.

5. Bryceson A, Pfaltzgraff RE, editors (1990) Leprosy. 3rd edition. Edinburgh: Churchill
Livingstone.

6. Van Veen N, Nicholls PG, Smith W, Richardus JH (2007) Corticosteroids for treating nerve
damage in leprosy. (A Cochrane review). Lepr Rev 79: 36171.
doi:10.1002/14651858.CD005491.pub2.

7. Sundar Rao P, Sugamaran D, Richard J, Smith W (2006) Multi-centre, double blind,


randomized trial of three steroid regimens in the treatment of type-1 reactions in leprosy.
Lepr Rev 77: 25.

8. Naafs B (2006) Treatment of Leprosy: science or politics? Trop Med Int Health 11: 268
278. doi:10.1111/j.1365-3156.2006.01561.x.

16
9. Pocaterra L, Jain S, Reddy R, Muzaffarullah S, Torres O, et al. (2006) Clinical course of
erythema nodosum leprosum: an 11-year cohort study in Hyderabad, India. Am J Trop Med
Hyg 74: 868879.

10. Leprosy WECO (1998) WHO Expert Committee on Leprosy. 7th edition. Geneva: World
Health Organization.

11. Worldbank (2007) Nepal: Transport At Glance. siteresourcesworldbankorg: 12.


Available: http://siteresources.worldbank.org/INTSARREGTOPTRANSPORT/1812598-
1130163732725/21884244/Nepal_Transport_At_Glance_2007_update_2008.pdf. Accessed 2
April 2012.

12. Jain MC (2008) Leprosy Scenario in Nepal. J Nepal Med Assoc 47: 259263.

13. World Health Organization (2009) Enhanced Global Strategy for Further Reducing the
Disease Burden due to Leprosy (Plan Period: 20112015). World Health Organization.

14. Pope C, Ziebland S, Mays N (2000) Analysing qualitative data. BMJ 320: 114 116.

15. Richardus JH, Withington SG, Anderson AM, Croft RP, Nicholls PG, et al. (2003)
Adverse events of standardized regimens of corticosteroids for prophylaxis and treatment of
nerve function impairment in leprosy: results from the TRIPOD trials. Lepr Rev 74: 319
327.

16. Wijesinghe PR, Settinayake S (2005) An analysis of the pattern of detection of leprosy
patients by institutions in the general health services in Sri Lanka after the integration of
leprosy services into general health services. Lepr Rev 76: 296304.

17. Siddiqui MR, Velidi NR, Pati S, Rath N, Kanungo AK, et al. (2009) Integration of
Leprosy Elimination into Primary Health Care in Orissa, India. PLoS ONE 4:e8351.
doi:10.1371/journal.pone.0008351.

17

Anda mungkin juga menyukai