Anda di halaman 1dari 8

2.

5 Cara transmisi Salmonella typhi


Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi yang merupakan basil Gram-negatif,
mempunyai flagel, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakulatif anaerob, Kebanyakan
strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak
meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme Salmonella typhi tumbuh secara aerob dan mampu
tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resisten terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4C (130F) selama 1 jam atau 60 C (140 F) selama 15
menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari
dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering dan
bahan tinja.
Mikroorganisme dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu demam (hari ke-8
demam). Jika penderita diobati dengan benar, maka kuman tidak akan ditemukan pada tinja dan
urin pada minggu ke-4. Akan tetapi, jika masih terdapat kuman pada minggu ke-4 melalui
pemeriksaan kultur tinja, maka penderita dinyatakan sebagai carrier.
Seorang carrier biasanya berusia dewasa, sangat jarang terjadi pada anak. Kuman
Salmonella bersembunyi dalam kandung empedu orang dewasa. Jika carrier tersebut
mengonsumsi makanan berlemak, maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran
pencernaan untuk mencerna lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman Salmonella).
Setelah itu, cairan empedu dan mikroorganisme dibuang melalui tinja yang berpotensi menjadi
sumber penularan penyakit.
Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja atau
urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui air dan makanan. Mekanisme makanan dan minuman yang
terkontaminasi bakteri sangat bervariasi. Pernah dilaporkan di beberapa negara bahwa penularan
terjadi karena masyarakat mengonsumsi kerang-kerangan yang airnya tercemar kuman.
Kontaminasi dapat juga terjadi pada sayuran mentah dan buah-buahan yang pohonnya dipupuk
dengan kotoran manusia. Vektor berupa serangga (antara lain lalat) juga berperan dalam
penularan penyakit.
Kuman Salmonella dapat berkembang biak untuk mencapai kadar infektif dan bertahan
lama dalam makanan. Makanan yang sudah dingin dan dibiarkan di tempat terbuka merupakan
media mikroorganisme yang lebih disukai. Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara
massal sering bertanggung jawab terhadap terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).
Selain penderita tifoid, sumber penularan utama berasal dari carrier. Di daerah endemik, air
yang tercemar merupakan penyebab uatama penularan penyakit. Adapun di daerah non-endemik,
makanan yang terkontaminasi oleh carrier dianggap paling bertanggung jawab terhadap
penularan.

LI 3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN DEMAM TIFOID

3.1 Definisi Demam tifoid


Infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enteric serotype typhi atau paratyphi.
Suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit
infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam.demam tifoid
masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia.penyakit ini
merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.di Indonesia,demam tifoid bersifat endemik. penderita dewasa muda sering mengalami
komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan
kematian.

3.2 ETIOLOGI

3.3. Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa
IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya
ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
3.4. Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan
gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsurangsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam
hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga
suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir
kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. c. Gangguan
kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

3.5 Diagnosis demam tifoid


a. Anamnesis
Minggu Pertama : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis.
b. Pemeriksaan Fisik
Minggu Pertama : suhu badan meningkat. Sifat demam, meningkat perlahan-lahan
terutama pada sore dan malam hari.
Minggu Kedua : demam, bradikardia relative (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/ menit, lidah berselaput, hepatomegaly, splenomegaly,
meteroismus, somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Hematologi
Dalam pemeriksaan hematologi terdapat kadar hemoglobin dapat normal atau
menurun bila terjadi penyulit pendarahan usus atau perforasi. Jumlah leukosit yang
rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hasil laboratorium
terdapat jumlah trombosit normal atau menurun. Pemeriksaan darah dapat dilakukan
pada minggu ke-4.
2. Pemeriksaan Imunologi
a. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman Salmonella typhi.
Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella
typhi dengan antibodi yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah
dilaboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan demam tifoid yaitu:
a). Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b). Aglutinin H (flagel kuman)
c). Aglutinin Vi (simpai kuman)
b. Tes Tubex
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik
daripada uji Widal.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Gall Culture, uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk
pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif, belum tentu bukan
Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL, darah tidak
segera dimasukan ke dalam media Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit
sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih
dalam minggu pertama masa sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah
mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui
karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila
belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen
yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/
carrier digunakan urin dan tinja.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat dibandingkan adalah dengan Demam Paratifoid. Pada Demam
Paratiofid ini, gejala dan tanda-tanda kurang lebih sama dengan Demam Tifoid, hanya saja,
manifestasi klinis pada Demam Paratifoid ini lebih ringan daripada Demam Tifoid. Demam
tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang mempunyai antigen H, O dan V kalau kita
melakukan pemeriksaan widal. Sementara untuk menegakkan diagnosis Demam paratifoid yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella paratyphi A, B, dan C dan saat dilakukan pemeriksaan widal,
peningkatan antigen K lah yang dilihat.

3.7 Komplikasi
A. Komplikasi Intestinal
Perdarahan Usus
Pada plak payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding
usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena factor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (KID) atau gabunagn kedua factor. Sekitar 25% penderita demam
tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat
bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan factor hemostasis
dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan
ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfuse yang diberikan tidak dapat menimbangi
perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa
terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama
di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto polos abdomen
(BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-
30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi juga
untuk mengatas kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobic pada flora usus. Umumnya
diberikan antibiotic spectrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena.
Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
a. Ileus paralitik
b. Pancreatitis
B. Komplikasi Ekstraintestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis
Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai ada 50% kasus dengan tifoid
dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi dari pada S.paratyphi. untuk membedakan
apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan
kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam
tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien
dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi
hepatoensefalopati dapat terjadi.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
psikosis, dan sindrom katatonia.
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-
koma, Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus
generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik, mania akut, hipomania,
ensefalomielitis, meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis

3.9 Prognosis
Umumnya, demam tifoid akan menurun dalam waktu 2-4 hari dan sebagian besar penderita
demam tifoid ini akan sembuh total atau sembuh sempurna dalam waktu 7-10 hari.
Kematian bisa terjadi pada kasus demam tifoid yang tidak diatasi dengan cepat, angka
kematian yang memungkinkan sekitar 10%-30%, sedangkan dengan pemberian pengobatan yang
akurat, angka kematian kemungkinan dibawah 1%. Risiko terjadinya carrier tetap bisa terjadi
apabila sudah dilakukan pengobatan tetapi pada minggu ke-4 tetap ditemukan adanya bakteri
Salmonella.

LI 4. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANTIMIKROBA


4.1 Farmakokinetik pada antibiotik
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotika yang broad spectrum aktif terhadap
bakteri gram positif dan gram negatif. Antibiotika ini dihasilkan oleh streptomyces
venezuela dan merupakan antibiotika yang terpilih utnuk mengobati penyakit tifus perut.
Kloramfenikol ini reabsorpsinya dari usus cepat dan agak lengkap dengan BA 75-
90%. Difusi ke dalam jaringan, rongga dan cairan tubuh baik sekali kecuali ke dalam
empedu. Kadarnya dalam CCS tnggi sekali dibandingkan dengan antibiotika lain, juga
bila tidak terdapat meningitis. PP-nya lebih kurang 50%. Dalam hati 90% dari zat ini
dirombak menjadi glukuronida inaktif. Ekskresinya melalui ginjal, terutama sebagai
metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh.
2. Kuinolon
Sekitar 70% dari siprofloksasin hidroklorida di absorbs melalui saluran gastrointestinal.
Obat ini mempunyai efek pengikatan pada protein yang rendah dan mempunyai waktu
paruh yang cukup singkat yaitu 3-4 jam. Sekitar setengah dari obat ini di ekskresikan
tanpa mengalami perubahan ke dalam urin.
3. Kotrimoksazol
Kortimoksazol merupakan sediaan kombinasi tetap trimetoprim dengan sulfameotoksazol
yang memberikan efek sinergistik dan bersifat bakterisid. Spektrum antibakteri
kotrimoksazol sama dengan sulfametoksazol, tetapi daya antibaktwrinya 20-100 kali
lebih kuat dari suldametoksazol. Absorpsi kotrimoksazol ini melalui saluran cerna dan
lengkap, kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2 jam untuk trimetoprim dan 4 jam
untuk sulfametoksazol. Waktu paruh 11 jam untuk trimetoprim dan 10 jam untuk
sulfametoksazol. Distribusinya cepat ke seluruh jaringan, termasuk SSP, saliva, dan
empedu yang kadarnya cukup tinggi. Ekskresin terutama melalui urine dan perlu
perhatian akan kerusakan ginjal.
4. Sefalosporin generasi III (seftriakson)
Diabsorpsi dengan baik melalui oral dan berikatan pada protein sebanyak 65%.
Mempunyai waktu paruh yang sangat panjang, sehingga diberikan sekali atau dua kali
sehari. Dipakai untuk melawan infeksi bakteri gram negatif (ex: Salmonella sp.)

Farmakodinamik
Farmakodinamik pada antibiotik:
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol ini menghambat sintesis protein yang dibutuhkan untuk pembentukan sel-
sel bakteri, sehingga kloramfenikol ini menghambat fungsi RNA dari sel bakteri.
2. Kuinolon
Siprofloksasin menghambat sintesis DNA bakteri dengan menghambat enzim, girase
DNA. Obat ini mempunyai distrribusi jaringan yang tinggi. Jika memungkinkan, obat ini
dipakai sebelum makan karena makanan memperlambat laju absorbs. Siprofloksasin
mempunyai mula kerja rata-rata sekitar setengah sampai sejam, dan waktu untuk mencapai
konsentrasi puncak adalah 1-2 jam. Lama kerja obat ini tidak di ketahui.
3. Kotrimoksazol
Karena kortimoksazol ini adalah gabungan dari sulfametoksazol dan trimetoprim.
Sulfametoksazol bekerja sebagai kompetitif inhibitor teradap PABA (yang menghambat
masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat). Sedangkan trimetoprim bekerja
menghambat enzim dihidrofolat reduktase sehingga asam tetrahidrofolat yang dibutuhkan
untuk perkembangan bakteri tidak terbentuk. Resistensi jarang terjadi.
4. Sefalosporin generasi III (seftriakson)
Sefazolin dan sefamandok menghambat sintesis dinding sel bakteri dan menghasilkan
kerja bakterisidal.

4.2 Efek Samping


Efek Samping pada antibiotik:
1. Kloramfenikol
Efek samping penggunaan antibiotik kloramfenikol in berupa gangguan lambung-usus,
neuropati optis dan perifer, radang lidah, dan mukosa mulut. Tetapi sangat berbahaya
adalah depresi sumsum tulang (myelodepresi) yang dapat berwujud dalam dua bentuk
anemia yaitu berupa:
a. Penghambatan pembentukan sel-sel darah merah (eritrosit, tombosit, dan granulosit)
yang timbul dalam waktu 5 hari sesudah dimulainya terapi. Gangguan ini tergantung
dari dosis serta lamanya terapi dan bersifat reversibel.
b. Anemia aplastis, dapat timbul sesudah beberapa minggu sampai beberapa bulan pada
penggunaan oral, perenteral dan okuler.myelodepresi ini tidak bersifat reversibel dan
terjadi agak jarang, tetapi sering kali bersifat fatal.
c. Gangguan gastro intestinal (anoreksia, nausea, diare)
d. Syok endotoksin
e. Reaksi alergis
f. Kerusakan sel-sel hati
2. Kuinolon
Psikotik, halusinasi, kejang jarang terjadi, hilang nafsu makan, sakit kepala, vertigo, dan
insomnia.
3. Kotrimoksazol
Efek samping pada kotrimoksazol mirip dengan efek samping sulfonamida seperti:
a. Reaksi toksik (sistem hemopoetik, nefrotoksik, dll)
b. Reaksi hipersensitivitas (urtikaria, fotofobia, demam obat, hepatitis, dll)
c. Reaksi lain, seperti asidosis karena penghambatan enzim karbonat anhidrase,
hipoglikemia, kelainan hematologi (trombositpenia,dll).
d. Tetapi untuk efek samping dari trimetoprim belum begitu jelas. Obat ini juga ada
hubungannya dengan antimalaria.
4. Sefalosporin generasi III (seftriakson)
Efek samping yang memungkinkan terjadi:
a. Reaksi alergis, dengan kurang lebih 5% mirip frekuensinya seperti pada Penisilin.
b. Reaksi anafilaktoid, kurang lebih 0,1-0,5%
c. Pemberian sefriakson pada dosis tinggi, mengakibatkan keluhan empedu (garam
seftriakson).

4.3 Kontraindikasi
Kontraindikasi pada antibiotik:
1. Kloramfenikol
Kontra indikasi antibiotik kloramfenikol :
a. Graviditas
b. Masa perinatal
c. Kerusakan hati
d. Hemopati
2. Kuinolon
Riwayat gangguan pada tendon, untuk pasien epilepsy, gangguan fungsi hati dan ginjal.
3. Kotrimoksazol
Hipersensitif pada obat golongan sulfa, trimethoprim atau komponen lain dalam obat,
profiria, anemia megaloblastik karena kekurangan asam folat, bayi dengan usia <2
bulan, adanya tanda kerusakan pada hepar pasien, gagal ginjal parah, kehamilan.
4. Sefalosporin generasi III (seftriakson)
Hipersensitif terhadap sefalosporin.

Anda mungkin juga menyukai