3.2 ETIOLOGI
3.3. Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa
IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya
ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
3.4. Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan
gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsurangsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam
hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga
suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir
kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. c. Gangguan
kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat dibandingkan adalah dengan Demam Paratifoid. Pada Demam
Paratiofid ini, gejala dan tanda-tanda kurang lebih sama dengan Demam Tifoid, hanya saja,
manifestasi klinis pada Demam Paratifoid ini lebih ringan daripada Demam Tifoid. Demam
tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang mempunyai antigen H, O dan V kalau kita
melakukan pemeriksaan widal. Sementara untuk menegakkan diagnosis Demam paratifoid yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella paratyphi A, B, dan C dan saat dilakukan pemeriksaan widal,
peningkatan antigen K lah yang dilihat.
3.7 Komplikasi
A. Komplikasi Intestinal
Perdarahan Usus
Pada plak payeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding
usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena factor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (KID) atau gabunagn kedua factor. Sekitar 25% penderita demam
tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat
bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan factor hemostasis
dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan
ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfuse yang diberikan tidak dapat menimbangi
perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.
Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa
terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama
di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto polos abdomen
(BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-
30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi juga
untuk mengatas kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobic pada flora usus. Umumnya
diberikan antibiotic spectrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena.
Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
a. Ileus paralitik
b. Pancreatitis
B. Komplikasi Ekstraintestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis
Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai ada 50% kasus dengan tifoid
dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi dari pada S.paratyphi. untuk membedakan
apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan
kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam
tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien
dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi
hepatoensefalopati dapat terjadi.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
psikosis, dan sindrom katatonia.
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-
koma, Parkinson rigidity/ transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus
generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik, mania akut, hipomania,
ensefalomielitis, meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis
3.9 Prognosis
Umumnya, demam tifoid akan menurun dalam waktu 2-4 hari dan sebagian besar penderita
demam tifoid ini akan sembuh total atau sembuh sempurna dalam waktu 7-10 hari.
Kematian bisa terjadi pada kasus demam tifoid yang tidak diatasi dengan cepat, angka
kematian yang memungkinkan sekitar 10%-30%, sedangkan dengan pemberian pengobatan yang
akurat, angka kematian kemungkinan dibawah 1%. Risiko terjadinya carrier tetap bisa terjadi
apabila sudah dilakukan pengobatan tetapi pada minggu ke-4 tetap ditemukan adanya bakteri
Salmonella.
Farmakodinamik
Farmakodinamik pada antibiotik:
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol ini menghambat sintesis protein yang dibutuhkan untuk pembentukan sel-
sel bakteri, sehingga kloramfenikol ini menghambat fungsi RNA dari sel bakteri.
2. Kuinolon
Siprofloksasin menghambat sintesis DNA bakteri dengan menghambat enzim, girase
DNA. Obat ini mempunyai distrribusi jaringan yang tinggi. Jika memungkinkan, obat ini
dipakai sebelum makan karena makanan memperlambat laju absorbs. Siprofloksasin
mempunyai mula kerja rata-rata sekitar setengah sampai sejam, dan waktu untuk mencapai
konsentrasi puncak adalah 1-2 jam. Lama kerja obat ini tidak di ketahui.
3. Kotrimoksazol
Karena kortimoksazol ini adalah gabungan dari sulfametoksazol dan trimetoprim.
Sulfametoksazol bekerja sebagai kompetitif inhibitor teradap PABA (yang menghambat
masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat). Sedangkan trimetoprim bekerja
menghambat enzim dihidrofolat reduktase sehingga asam tetrahidrofolat yang dibutuhkan
untuk perkembangan bakteri tidak terbentuk. Resistensi jarang terjadi.
4. Sefalosporin generasi III (seftriakson)
Sefazolin dan sefamandok menghambat sintesis dinding sel bakteri dan menghasilkan
kerja bakterisidal.
4.3 Kontraindikasi
Kontraindikasi pada antibiotik:
1. Kloramfenikol
Kontra indikasi antibiotik kloramfenikol :
a. Graviditas
b. Masa perinatal
c. Kerusakan hati
d. Hemopati
2. Kuinolon
Riwayat gangguan pada tendon, untuk pasien epilepsy, gangguan fungsi hati dan ginjal.
3. Kotrimoksazol
Hipersensitif pada obat golongan sulfa, trimethoprim atau komponen lain dalam obat,
profiria, anemia megaloblastik karena kekurangan asam folat, bayi dengan usia <2
bulan, adanya tanda kerusakan pada hepar pasien, gagal ginjal parah, kehamilan.
4. Sefalosporin generasi III (seftriakson)
Hipersensitif terhadap sefalosporin.