Benigna Prostat Hiperplasia
Benigna Prostat Hiperplasia
SRS
Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang
mengelilingi uretra pars prostatica. Panjang prostat sekitar 3 cm dan terletak antara collum
vesika urinaria (atas) dan diaphragma urogenitalis (bawah). Prostat dikelilingi oleh kapsula
fibrosa. Di luar kapsul terdapat selubung fibrosa, yang merupakan bagian dari lapisan visceral
fascia pelvis. Prostat mempunyai basis, apex, permukaan anterior dan posterior, dan dua
permukaan lateral. Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas
jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu :
perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan anterior (Mc Neal 1970).
1. Batas-batas prostat
Batas superior : basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica urinaria, otot polos
berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain.
Batas inferior : apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma urogenitalis. Uretra
meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior.
Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis, dipisahkan dari
simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica(cavum retziuz).
Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum
puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan kondensasi
vascia pelvis.
Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan anterior ampula
recti dan dipisahkan darinya oleh septum retovesicalis (vascia Denonvillier). Septum ini
dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis,
yang semula menyebar ke bawah menuju corpus perinealis.
Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m. levator ani waktu
serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis.
Ductus ejaculatorius menembus bagisan atas permukaan prostat untuk bermuara pada uretra
pars prostatica pada pinggir lateral orificium utriculus prostaticus.
Prostat secara tak sempurna dibagi dalam lima lobus. Lobus anterior, atau isthmus, terletak di
depan uretra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius, adalah kelenjar yang
berbentuk baji yang terletak antara uretra dan ductus ejaculatorius. Permukaan atasnya
dibatasi oleh trigonum vesicae. Bagian ini kaya akan kelenjar. Lobus posterior terletak di
belakang uretra dan di baeah ductus ejaculatorius dan juga mengandung jaringankelenjar.
Lobus lateral kanan dan kiri terletak di samping uretra dan dipisahkan satu sama lain oleh
alur vertikal dangkal yang terdapat pada permukaan posterior prostat. Lobus lateral
mengandung banyak kelenjar.
Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti air susu yang mengandung asam sitrat
dan fosfatase asam. Kedua zat ini ditambahkan ke caioran semen pada saat ejakulasi. Otot
polos pada stroma dan kapsula berkontraksi dan sekret yang berasawl bersama kelenjar
diperas masuk ke uretra pars prostatid. Sekret prostat bersifat alkali yang membantu
menetralkan keasamavagina.
Seperti diketahui fungsi utama dari unit vesikouretra adalah menampung urin untuk
sementara, mencegah urin kembali ke arah ginjal dan pada saat-saat tertentu melakukan
ekspulsi urin. Unit vesikouretra terdiri dari buli-buli dan uretra posterior. Uretra posterior
terdiri dari uretra pars prostatika, yang bagian proksimalnya disebut sebagai leher buli-buli
dan uretra pars diafragma yang tidak lain adalah spinkter eksterna uretra. Unit vesikouretra
ini dipelihara oleh sistem saraf otonom yaitu parasimpatis dan simpatis untuk buli-buli dan
uretra proksimal dari diafragma serta saraf somatis melalui nervus pudendus untuk spinkter
eksterna. Sistem persyarafan tersebut memungkinkan terjadinya proses miksi secara bertahap
(fase) yaitu :
1. Fase Pengisian (Resting /Filling Phase)
Fase ini terjadi setelah selesai miksi dan buli-buli mulai diisi lagi dengan urin dari ginjal yang
masuk melalui ureter. Pada fase ini tekanan di dalam buli-buli selalu rendah, kurang dari 20
cm H2O. Sedangkan tekanan di uretra posterior selalu lebih tinggi antara 60-100 cm H2O.
2. Fase Ekspulsi
Setelah buli-buli terisi urin sebanyak 200-300 ml dan mengembang , mulailah reseptor
strecht yang ada pada mukosa buli-buli terangsang dan impuls dikirimkan ke sistem saraf
otonom parasimpatis di medula spinalis segmen 2 sampai 4 dan sistem syaraf ini menjadi
aktif dengan akibat meningkatnya tonus buli-buli (muskulus detrusor). Meningkatnya tonus
detrusor ini dirasakan sebagai perasaan ingin kencing. Pada saat tonus detrusor meningkat
maka secara sinkron leher buli-buli dan uretra pars prostatika membuka, bentuknya berubah
seperti corong dan tekanannya menurun. Pada keadaan ini inkontinensia hanya dipertahankan
oleh spinkter eksterna yang masih tetap menutup. Bila yang bersangkutan telah mendapatkan
tempat yang dianggap konvivien untuk miksi barulah spinkter eksterna secara sadar dan
terjadi miksi. Pada saat tonus detrusor meningkat sampai terjadinya miksi tekanan
intravesikal mencapai 60-120 m
B. ETIOLOGI BPH
Penyebab dari BPH sampai sekarang belum dapat dipahami dengan jelas. Tidak ada
informasi yang jelas tentang faktor resiko terjadinaya BPH. Beberapa penelitian menunjukan
bahwa BPH banyak terjadi pada orang tua dan tidak berkembang pada pria yang testisnya
diambil sebelum usia pubertas. Karena alasan ini, beberapa peneliti percaya bahwa faktor
yang berhubungan dengan usia dan testis pria sangat berpengaruh dengan perkembangan
BPH. Pria memproduksi hormon terpenting pada sistem reproduksi yaitu testosteron dan
sebagian kecil adalah hormon estrogen. Pada saat pria mulai berumur maka jumlah
testosteron yang aktif di dalam darah menurun dan kadar estrogen lebih tinggi. Penelitian
yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa BPH disebabkan oleh tingginya kadar
estrogen dalam darah disertai dengan peningkatan aktivitas dari substansi yang mempercepat
pertumbuhan sel.
Walaupun prostat terus membesar selama lebih dari separuh hidup manusia, pembesarannya
tidak selalu menimbulkan masalah sampai pada usia terakhir manusia. Dengan bertambahnya
usia akan terjadi keseimbangan testosteron estrogen, karena produksi testosteron menurun
dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat dapat ditemukan pada usia
30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopiuk ini terus berkembang akan terjadi perubahan
patologik anatomik. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80
tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan tanda dan
gejala klinik.
Penelitian lain mengatakan BPH lebih banyak disebabkan karena dehidrotestoteron (DHT),
yaitu substansi yang merupakan derivat dari testoteron dalam prostat yang membantu
mengatur pertumbuhan kelenjar prostat. Beberapa binatang kehilangan kemampuannya untuk
memproduksi DHT ketika tua. Walau demikian, beberapa penelitian menyatakan bahwa
walaupun kadar testoteron dalam darah menurun tetapi DHT terkumpul dalam jumlah besar
di dalam prostat. Akumulasi DHT ini mengakibatkan pertumbuhan sel. Jadi para peneliti
tersebut menitikberatkan bahwa pria yang tidak memproduksi DHT tidak terjadi pembesaran
kelenjar prostat..
Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor
perubahan usia, di antaranya:
1.Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase dikonversi
menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2.Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang
pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah
penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar
prostat. Ia menyimpulkan bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang
terjadi pada usia dewasa.
3.Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa
pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan
antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang
menjadi sel aplifying. Keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga
dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat
yang normal.
4.Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma
dan unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel
stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth
factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi
transforming growth factor- b (TGF - b, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu adanya
dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan kongenital
berupa defisiensi 5-a reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi testosteron ke DHT, kadar
serum DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan,
kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran
androgen dan estrogen dalam BPH adalah kompleks dan belum jelas benar. Tindakan kastrasi
sebelum masa pubertas dapat mencegah BPH. Pasien dengan kelainan genetik pada fungsi
androgen juga mempunyai gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali
androgen diperlukan untuk memulai proses PPJ, tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan.
Estrogen berperan dalam proses hiperplasia stroma yang selanjutnya merangsang hiperlpasia
epitel.
C. PATOGENESIS
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahannya
juga terjadin secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat,
resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara
serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar dinamakan
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan
berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi
masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka vesika tidak
mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat dan dapat terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktu miksi penderita terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga dapat
menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong
(Incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy), harus
mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus (intermittency), dan
waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen
karena overflow. Kedua, gejala iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-
gesa untuk buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali
(nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence). Dari kedua macam gejala
tersebut, gejala obstruktif biasanya lebih menonjol. Bila terjadi gejala iritasi lebihmenonjol
harus dipikirkan penyebab lain selain BPH.
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis
pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring
yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International
Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological
Association (AUA). Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor
Boyarski1,2,5. Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri
derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar
antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat1. Skor Madsen-Iversen terdiri dari
6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3
pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat.
Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai
sendiri derajat keluhannya.
2. Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan
colok dubur/digital rectal examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,
walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat
obstruksi. Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila teraba
indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan.
F. PEMERIKSAAN FISIK
BPH biasanya mengenai pria usia lanjut oleh karena itu pada pemeriksaan fisik kita
menghadapi pria dengan tanda-tanda usia lanjut seperti rambut telah beruban, pada kulit
muka terdapat keriput dsb. Tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, respirasi biasanya cukup baik
kecuali bila BPH nya telah disertai berbagai penyulit. Karena usia penderita yang cukup
lanjut, pemeriksaan keadaan umum penderita harus dikerjakan dengan teliti, tidak jarang
terdapat penyakit-penyakit lain seperti hipertensi, obstruksi jalan nafas kronis, penyakit
parkinson, diabetes melitus, bekas stroke dan lain-lain. Pemeriksaan abdomen juga harus
diteliti. Daerah pinggang kanan dan kiri harus diperiksa dengan teknik palpasi bimanual. Bila
ginjal teraba, patut dicurigai adanya hidronefrosis karena stasis urin. Bila penderita
merasakan nyeri pada saat ditekan agak kuat, mungkin terdapat pyelonefritis.
Pada inspeksi daerah suprasimfisis, bila penderita dalam keadaan retensio urine, akan
kelihatan menonjol. Penonjolan ini bila dipalpasi akan terasa adanya balottement dan
penderita akan tersa ingin kencing. Kemudian dengan cara perkusi dapat diperkirakan ada
tidaknya residual urine Penting juga memeriksa penis dan uretra untuk mendeteksi
kemungkinan penyebab yang lain dari keluhannya misalnya adanya stenosis meatus, striktur
uretra, batu uretra, karsinoma ataupun fimosis. Scrotum bisa juga diperiksa untuk
menentukan ada tidaknya hernia, orchitis maupun epidiymitis
Pemeriksaan Colok Dubur (Rectal Toucher = RT)
Sebelum dilakukan RT, penderita harus diminta miksi lebih dulu dan bila penderita dalam
keadaan retentio urin, RT dikerjakan setelah buli-buli dikosongkan dengan kateter.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum,
keadaan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat.
Tujuan dari RT adalah :
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaa darah lengkap, faal ginjal, elektrolit serum, perlu dikerjakan sebagai dasar
keadaan umum penderita. Pemeriksaan kadar gula juga perlu dikerjakan terutama untuk
megetahui kemungkinan adanya neuropati diabetes yang dapat menyebabkan keluhan miksi.
Pemeriksaan urinalisa juga harus dikerjakan, termasuk pemeriksaan bakteriologiknya.
Adanya hematuria berarti perlu evaluasi lenjut secara lengkap. Pemeriksaan petanda tumor
(Prostate Spesific Antigen = PSA) sudah banyak digunakan, juga merupakan salah satu
sarana untukmenyingkirkan dugaan keganasan.
Harap diingat bahwa masa prostat yang besar dapat menaikkan kadar PSA dalam darah dalam
batas-batas tertentu. Hasil PSA yang normal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
sebelum memulai terapi medikamentosa BPH. Sebagai pegangan penilaian PSA
diintrepetasikan sebagai berikut :
Nilai PSA
Interpretasi
0,5-4,0 ng/ml
Normal
4,0-10 ng/ml
Kemingkinan Ca 20 % (perlu TRUS & biopsi)
> 10 ng/ml
Kemingkinan Ca 50 % (Perlu TRUS & biopsi)
Kenaikan > 20%/th
Segera rujuk untuk TRUS & biopsi
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin ini
dapat diperiksa dengan Uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup untuk mendapatkan
flowmetrogram yang representatif palaling sedkit 150 ml dan maksimal 400 ml, yang ideal
antara 200-300 ml.
Penilaian hasil :
Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif
10-15 ml/detik : border line
10 ml/detik : obstruktif
Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, Uroflowmetri merupakan cara
terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi traktus urinarius bagian
bawah.
4. Pemeriksaan Panendoskopi :
Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review :
Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra
Keadaan uretra prostatika, bagian prostat mana yang membesar, panjangnya uretra yang
obstruktif karena pembesaran prostat
Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor, ada
tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui kapasitas buli-buli.
H. DIAGNOSA BANDING
Sindroma prostatisme tidak hanya disebabkan oleh BPH, tetapi dapat pula disebabkan
beberapa penyakit lain. Beberapa penyakit lain serta pedoman membedakannya seperti
dibawah ini :
1. striktur uretra
2. Stenosis leher buli-buli
3. Batu buli-buli atau batu yang menyumbat uretra posterior
4 .Karsinoma prostat
5. prostatitis/prostatodinia
6. Buli-buli neuropati.
7. Pengaruh obat-obatan (Simpatolitik, Psikotropik, Alfa Adrenergik)
I. TERAPI
Tidak semua penderita BPH memerlukan terapi, untuk menentukan apakah penderita BPH
perlu mendapatkan terapi serta modalitas terapi mana yang akan dipilih tergantung dari berat
ringannya keluhan serta tanda-tanda klinis dari penderita. Keluhan ringan, sedang atau bert
dinilaindengan menggunakan sistem skoring. Bebereapa modalitas terapi untuk BPH antara
lain :
2. Medikamentosa
Indikasi dari terapi medikamentosa adalah BPH dengan keluhan ringan, sedang, berat tanpa
disertai penyulit dan BPH dengan indikasi terapi pembedahan tetapi masih terdapat indikasi
kontra atau belum well motivied. Macam obat yang digunakan adalah :
a. Supresi Androgen
Asumsi yang mendasari terapi dengan supresi androgen pada BPH adalah kontrasi atau
supresi androgen menurunkan volume dan gejala prostat pada penderita BPH, dan pria
dengan kelainan bawaan berupa defisiensi enzim 5 reduktase, ternyata kelenjar prostat tidak
berkembang. Supresi androgen dapat terjadi dengan memberikan :
1) Penghambat enzim 5 reduktase
2) Anti androgen
3) Analog Luteinizing hormone relasting hormone (LHRH).
Anti androgen dan analog LHRH tidak dipakai untuk pengobatan BPH karena efek
sampingnya sangat merugikan. Efek samping tersebut ialah hilangnya libido, impotensi,
hilangnya habitus pria, ginekomastia dan rasa panas di wajah. Keuntungan dari inhibitor 5
reduktase adalah tidak menurunkan kadar testoteron di dalam darah, sehingga efek samping
seperti disebutkan diatas jarang terjadi. Prinsip kerja dari obat ini menghambat metabolisme
testoteron menjadi dehidrotestoteron (DHT) yang mrupakan zat aktif perangsang terjadinya
hiperplasi prostat. Obat 5 reduktase yng tersedia di pasar adalah golongan Finasterida
dengan nama dagang di Indonesia PROSCAR. Obat ini diberikan per oral, sekali sehari/
tablet. Secara berkala penderita diperiksa lagi dan dievaluasi parameter pra terapi. Bila
menunjukkan perbaikan terapi diteruskan dan bila tidak, dipertimbangkan terapi
pembedahan.
3. Intervensi Invasif
1) Open prostatektomi
Dikenal 2 cara :
a. Freyer
Teknik : suprapubik transvesikacal prostatektomi
Balfied tahun 1887 pertama kali melakukan pembedahan cara ini, kemudian oleh Sir Peter
Freyer dari London dilaporkan pada kongres SIU di Paris tahun 1900.
b. Millin
Teknik : Retropubik transkapsular prostatektomi.
Tahun 1945 dikenalkan oleh Terence Millin dari Inggris
Keuntungan : Sumber perdarahan jelas dan apeks prostat lebih mudah dicapai.
Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau yang
diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam. BPH yang disertai
penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih dari 2,5 cm atau multipel dan bila
tidak tersedia fasilitas untuk melakukan TUR Prostat baik sarana maupun tenaga ahlinya.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Snell, Richard S., 1998, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed.3., EGC, Jakarta
Purnomo, Basuki B., 2000, Dasar-Dasar Urologi, Sagung Sto, Jakarta.
Hardjowijoto, S., 1999, Benigna Prostat Hiperplasi, Airlangga University Press, Surabaya.
Wijanarko, S., Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH), disampaikan pada temu
Ilmiah Penatalaksanaan BPH Pada Tanggal 2 Oktober 1999 di Sukoharjo Room Hotel Sahid
Raya Surakarta.
http://www.jr2.ox.ac.uk/bandolier/journal.html
http://www.nature.com/ncpuro/journal/v2/n9/index.html
http://www.ahcpr.gov/clinic/medtep.bphport.htm#bphpsum